Oleh John Kuan

1.
Melati Suryodarmo sedang menggiling arang, pagi Januari, dinding kaca, cahaya matahari mengaduk partikel hitam, entah perlu berapa kalori lelah gelisah buat satu kilogram serbuk arang. Satu pasangan muda masuk ke dalam restoran, lelaki membawa sebuah MacBook, segepok Straits Times, perempuan menggendong bayi, duduk di atas kursi melepaskan karbon dioksida, lelaki mengaduk satu cangkir putih kopi hitam, molekul saling tabrak di ujung sendok terbang ke atas menjadi awan, barangkali dicicipnya, lalu amat terlatih memeriksa isi sandwich, giliran gendong bayi. Perempuan segera periksa mangkuk salad, memindai MacBook selayang pandang Straits Times, gigit satu sudut sandwich, dua tiga garpu salad, kembali gendong bayi, lelaki mengaduk lagi, molekul saling tabrak terbang ke atas menjadi hujan, barangkali dicicipnya, buka halaman kriminal, gigit sudut lain sandwich. Tidak ada percakapan, tidak ada tukar pandang, mata mereka berenang di dalam akuarium teks dan gambar, sesekali baru terlihat naik ke atas permukaan air mengambil nafas sebelum kembali menyelam ke dasar samudera aksara. Sementara itu saya sedang menikmati saat-saat hening tak terkira, bayi amat kerjasama, Melati Suryodarmo sedang dengan duabelas jam asam arang dan basi keringat menyiksa orang-orang tidak punya bakat dan kapasitas menderita, -apa itu lapar takut dan putus asa, dan masih membara, bagai arang, semula pohon, lalu mati, sekarang lewat api merah membakar di dalam tubuhnya, kembali hidup, namun segera akan menjadi abu, kata Eileen Chang, hidup pertamanya adalah hijau terang, hidup keduanya adalah merah gelap, seperti alga atau jamur di dahan pohon waktu, pengubah nitrogen, sel demi sel, kata demi kata, bercampur mineral-mineral pilu, babak-belur hingga sebuah dunia layak hidup. Tapi satu pasangan muda ini tampak begitu rukun, baca koran, cicip kopi, salad dan roti, suhu sangat pas, bayi sedang tidur nyenyak pada satu sudut terang, dunia dan seluruh kemungkinannya.
2.
Berdiri di depan kamar pas sejarah melihat Titarubi gantung sebuah jubah emas, banyak orang datang mencobanya, Albuquerque pernah, Houtman pernah, Coen pernah, Courthope pernah. Dua orang Eropa menerobos ke dalam radarku, seperti sedang mencocokkan ukuran dan model, masih muda, pakai headphone, kulit agak udang rebus, sejenak sudah berlayar keluar dari batu karang jaman. Tinggal saya sendiri kandas pada sehamparan pasir waktu, melihat jubah emas hilang batang tubuh dan wajah sejarah, sisa sepasang tangan hangus, satu memegang buku, satu menunjuk lampu langit-langit, entah terlalu terang atau terlalu redup. Sementara itu seorang prajurit bayaran dari Swiss: Elie Ripon telah bersandar di bawah jubah menulis jurnal. Tidak ada yang penting, bahasa terpelintir, misal halaman bertanda tahun 1622; di sana tumbuh semacam buah, penduduk setempat sebut jaca, seperti labu air, buah yang tumbuh dari pohon ini berbeda dengan pohon lain; bunganya tumbuh keluar dari kelompok daun, langsung jadi buah, empat musim tersedia; Pala bentuknya seperti persik kita, bunganya seperti cangkang juga seperti selaput tipis, pohonnya kembaran pohon apel, daun juga persis. Durian dan nenas bersifat panas, bisa menyebabkan luka seperti terbakar, juga bisa membuat nafsu lelaki menyala. Lalu saya meninggalkan kamar pas sejarah, berjalan masuk ke dalam iklan cokelat dan jam tangan Zurich, pasangan-pasangan berbaju rapi terbingkai di dalam restoran penuh sesak, menu utama adalah daging rusa campur sauerkraut dan kastanye, pada sepotong jalan bagai kartu pos, saya cuma beli sebungkus kastanye panggang, kulit garing isi manis seperti semua rasa kampung halaman, di dalam begitu banyak godaan, saya hanya memilih sebungkus kecil kastanye panggang. Sebiji-sebiji, pelan-pelan menghabiskan. Hujan, saya berlindung ke dalam gereja, ada orang sedang merenung, ada orang sedang bekerja. Sudah berapa tahun kau di sini? Lampaui berapa kali perang dan damai? Apakah lukamu sudah diurus? Saya menyeka air hujan di leher, suasana dingin dan medung memang cocok buat merenung. Namun apakah kamu juga merasa letih? Kau tidak menjawab, suara mesin penyedot debu terlalu nyaring, kau sedang sibuk dengan pembersihan setiap pagi.