|| Angin Daun Pisang ||
Kau berkata: Biar di Kyoto, dengar wiwik
menjerit. Kurindu Kyoto. Aku bilang: Biar
di Daik, lihat ombak merajuk. Kurindu Daik.
Berkasut jepang aku injak empat musim
dan kau, lewat setahun lagi ——— tangan
memegang caping, kaki bersandal jerami.
Kau bilang: 行く春や鳥啼き魚の目は涙
yuku haru ya tori naki uo no me wa namida
berlalu musim semi, mata ikan sembab,
burung berkicau Blues. Sebab itu kita tahu
jalan hidup amat sempit, musim bunga
amat pendek. Begitu lengser musim salju
sebaiknya kau buka bilik hatimu, jajakan
riang bunga. Jelas itu sehamparan hening
bagaimana kau bisa dengar suara tonggeret
menyusup ke balik batu? Lalu bagaimana
pula di antara nasi dan asmara, induk kucing
jadi kurus? Kau berkata: Laut dah gelap,
suara panggilan camar, agak memutih.
Aku melihat kadang Selat Berhala kadang
Selat Malaka, laut kampungku pelan-pelan
gelap, kunang-kunang berkedip di kelam
bakau, bagai berjalan di bawah pijar bintang
negeri jauh. Kau berkata: Seladang kapas
laksana bulan telah merekah bunga
Aku bilang: Sekolam cahaya bulan, bagai
ikan perak, menggelepar sisik-sisik tubuhnya.
Di lubuk botan/ seekor lebah miring/ mundur
keluar. Ah, bukan main sedap, kau sedang
di dalam dunia rasa membuat filem iklan
tujuh belas detik tujuh belas silabel, bukan?
Di bawah pohon pinus bertanya katak, ekor
angin telah kacir ke mana: Dia satu suara,
ping pong, lompat ke dalam perigi tua,
daun pisang di permukaan air, suara serpih
daun pisang koyak, perlahan bergoyang
|| Angin Gubuk Rumput ||
Telah lebih sepuluh musim gugur menginap
di dalam puisimu, Mister Du. Kertas serbuk
emas di dalam angin barat memantul burung
dan tangga giok. Merah padam api peperangan
telah dingin abu. Gemeretak roda kereta juga
barisan prajurit terbangun di dalam sehamparan
panorama huruf-huruf kuning krisan. Chang’an,
sebuah gelas anggur, tidak bisa kau genggam
terlalu erat. Tamu datang, kau utang arak
Musim semi datang, pergi tonton bunga
Harum padi tentu telah habis dipatuk bayan
Setumpuk beras perang, aku curiga sangat
erat terkait dengan sintaksis terpelintir itu
selalu rampung dengan api kecil, berulang kali
diaduk, dikukus. Bukankah aku telah melihat
kau tuang sana tuang sini, meniup sambil nyanyi
karya baru selesai kau tanak, seolah seluruh
dunia hanya mendengar kau Mister Du seorang.
Namun, puisi bagaimana bisa cuma demi nama
ditulis. Saat memancing masih terkenang
Mister Tao Mister Xie, dan mengenai seafood
di mata kail itu, mana tahu apa epik apa liris?
Malam ini menumpang di dalam puisimu lagi
Mister Du, sebaris krisan di depan gubukmu
kuning hingga bibir sungai. Hanya teringat
seperti kemarin saja, aku melihat dia pulang
kantor, demi kupu-kupu sepanjang jalan
mengadaikan jubahnya. Sebuah kotak obat
kosong tercenung di pojok gubuk. Sakit tentu
masih punya, namun gelisah justru berkurang.
Tahu-tahu yang datang mengetuk pintu mimpi
adalah gerombolan ini ——— Li Bai telah mati,
Wei Ba hilang. Itu terjadi di malam bintang
padat merayap seperti kemacetan di pusat kota.
Mendengar angin musim gugur mengepak
atap gubuk, Mister Du buka mulut: Mau main
catur? Ke bandar besar di atas papan catur
adu langkah sambil petik bunga liar di luar bandar