Arsip Tag: atas ranjang

Mary, Mary, Godwin, Shelley #3

Kolom John Kuan

Dua tahun setelah Mary dan Shelley minggat bersama, isteri sang penyair mati bunuh diri. Maka Mary Wollstonecraft Godwin pun resmi menikah dengan Shelley.

Mary selalu berdiskusi dengan Shelley seluruh rencana penulisannya. Mereka bersama-sama mengunjungi kota besar dan kecil juga hutan gunung dan tepi laut daratan Eropa, selain catatan harian ditulis bersama-sama, mereka juga memendam kepala masing-masing, menulis puisi dan novel sendiri, seringkali memasukkan negeri asing tempat mereka hidup bersama ke dalam tulisan, samar-samar sebagai latar, namun lebih sering melampaui, simbolis. Mary dengan bakat alamnya, ditambah pendidikan luar biasa dan harapan yang diberikan orangtuanya, saat itu sepenuh cinta dan saling menggetarkan dengan Shelley yang penuh daya imajinasi, wawasan, dan cita-cita yang menjulang, memberi dia daya kreasi yang tak terbayangkan, melepas keluar seluruh kekuatan terpendam seni dan filsafatnya.

~

Mary dan Shelley, juga banyak teman-teman mereka suka sekali berkisah cerita hantu, sekalipun mereka adalah intelektual menonjol yang rasional dan kaya rasa. Mary pernah menulis sebuah artikel tentang hantu (On Ghost), membaca ini bisa membuat bulu kuduk berdiri. Salah satu bagian konon adalah pengalaman pribadi salah satu temannya. Temannya bercerita bahwa tidak lama setelah seorang temannya meninggal dunia, almarhum tahu dia sangat mengenangnya, sehingga setiap malam mengunjunginya. Begitu dia berbaring di atas ranjang antara tidur dan tidak, temannya yang telah meninggal itu akan pelan-pelan mendekat dan menyentuh kedua pipinya, sehingga dia bisa dengan tenang tertidur. Demikian berlangsung beberapa hari. Mary menambah satu kesimpulan: Bisa dibayangkan, hal begini sangat bisa dipercaya; namun temannya berkata bahwa temannya yang telah meninggal dunia itu suatu hari berhenti mengunjunginya (sekalipun dia setiap malam masih berdebar baring di atas ranjang), hanya karena dia pindah rumah. Kalau menurut perkataannya ini, hantu ternyata tidak dapat menemukan alamat rumah barunya, dan sebagainya dan seterusnya.

~

Di sekitar hutan lebat sebelah timur Jerman, ada orang sedang memacu kuda menuju rumah teman, dan di sekitar pinggir hutan, dia tersesat. Orang itu terus mencari jalan di antara pepohonan, akhirnya tampak di jauh ada setitik cahaya remang. Dia berjalan ke arah cahaya, baru tahu ternyata cahaya berasal dari sebuah biara terlantar. Sebelum mengetuk pintu, dia merasa seharusnya mengintip sedikit bagian dalam dari jendela. Dia melihat sekelompok kucing berkerumun di depan sebuah liang lahat, dan empat ekor di antaranya sedang bekerja sama menurunkan sebuah peti mati, di atasnya tergeletak sebuah mahkota. Orang itu kaget setengah mati, hatinya menerka dia mungkin sudah masuk ke alam hantu atau kampung penyihir jahat, cepat-cepat melambungkan badan ke atas kuda, dengan kecepatan penuh lari dari tempat tersebut. Agak lama, akhirnya dia sampai di rumah teman, dan teman sedang duduk begadang menunggunya. Temannya bertanya kenapa wajahnya begitu pucat dan takut? Awalnya dia ragu-ragu, tidak ingin buka mulut, amat yakin temannya tidak akan percaya. Namun akhirnya juga membeberkan apa yang terjadi. Dia baru selesai menceritakan bagian peti mati yang ada mahkota di atasnya bagaimana diturunkan, tampak kucing temannya yang lelap di depan perapian tiba-tiba berdiri, langsung berkata: “Sekarang giliran aku jadi raja kucing!” cepat-cepat memanjat ke puncak cerobong, hilang tanpa bekas.

~

Cerita di atas adalah salah satu bagian yang dicatat Mary di dalam On Ghost, cerita ini berasal dari seorang pengarang cerita misteri yang dia dan Shelley kenal di Jenewa.

 Ada orang mengatakan Mary tidak mendengar langsung dari penulis cerita misteri itu.

Mei 1816, Mary dan Shelley, bersama adik perempuannya yang lain bapak lain ibu, Claire pergi ke Swiss, tinggal di Jenewa yang dingin beku, kala malam sering bersama teman hidup api berkisah cerita hantu. Sekitar Agustus, Shelley dan seorang temannya pergi mengunjungi penulis cerita misteri itu, mendengar lima buah cerita hantu, dan semuanya dicatat, cerita di atas adalah salah satu. Teman yang bersama-sama Shelley pergi mendengar cerita hantu bukan orang lain, dia adalah Byron.

~

 A gentleman journeying towards the house of a friend, who lived on the skirts of an extensive forest, in the east of Germany, lost his way. He wandered for some time among the trees, when he saw a light at a distance. On approaching it he was surprised to observe that it proceeded from the interior of a ruined monastery. Before he knocked at the gate he thought it proper to look through the window. He saw a number of cats assembled round a small grave, four of whom were at that moment letting down a coffin with a crown upon it. The gentleman startled at this unusual sight, and, imagining that he had arrived at the retreats of fiends or witches, mounted his horse and rode away with the utmost precipitation. He arrived at his friend’s house at a late hour, who sate up waiting for him. On his arrival his friend questioned him as to the cause of the traces of agitation visible in his face. He began to recount his adventures after much hesitation, knowing that it was scarcely possible that his friend should give faith to his relation. No sooner had he mentioned the coffin with the crown upon it, than his friend’s cat, who seemed to have been lying asleep before the fire, leaped up, crying out, ‘Then I am king of the cats;’ and then scrambled up the chimney, and was never seen more.

 Mary Wollstonecraft Godwin Shelley suka nuansa misterius, suka mengali ke daerah yang dalam, mencari ke jaman kuno, pasti akan suka yang begini, setengah klasik setengah populer, suatu bentuk tulisan yang mencurigakan juga menggembirakan, bentuk ini juga pernah sangat populer, terselip di dalam tradisi besar kebudayaan, ditampilkan dalam bentuk cerita misteri, legenda, catatan, juga novel, dengan daya hidup yang demikian kuat, menggembirakan juga mencurigakan, kiranya Mary pasti sangat menyayangi, juga Shelley, juga Byron juga teman-teman mereka.

~

Kesulitan dalam mengarang, awalnya bukan masalah tema, adalah makna yang diberikan tidak menemukan sandaran yang dapat ditelusuri dan tepat, kata-kata tidak bisa secara efektif menjadi rujukan, menyebabkan hati dan pikiranmu menyelam terlalu lama, teori yang dibaca dan dipelajari terombang-ambing, pada saat itu, sekalipun sendiri merasa kata-kata telah selesai diungkapkan, orang lain merasa kamu samasekali belum bicara.

Atau, kamu belum berbicara, orang lain sangka kamu telah bicara, bahkan telah berbicara banyak; mereka menerka tujuanmu, dengan kata-kata yang terbatas sebagai landasan, sesuka hati intepretasi, mencemari karyamu, kadang-kadang seluruhnya salah.

Kadang-kadang, mereka sengaja salah.

~

 Kitab Sejarah Dinasti Jin – 晉書 mencatat suatu kali Raja Kuaiji ( 会稽 ) Sima Daozi – 司马道子 dan Xie Chong – 谢重 sedang duduk berbicara. (Saat itu malam berbulan, terang dan bersih, Daozi merasa pemandangan begini bagus sekali, sangat menikmati) Xie Chong menimpali: “lebih baik dihias sedikit awan tipis.” Sebab Daozi ingin bercanda sambil menyindir Xie Chong maka berkata: “Anda sengaja mengotori hati, bahkan mau memaksa langit ikut tercemar?”

Ini adalah pelajaran yang sangat bagus

Su Dongpo ketika menulis buku esainya (zhilin – 志林), tidak dapat menahan diri menambah beberapa goresan pena: (Langit biru bulan putih, tentu merupakan satu hal yang menyenangkan di dunia; atau masih ada yang berkata: Lebih baik dihias sedikit awan tipis. Sebab tahu hati memang tidak bersih, sering ingin mencemari langit.)

Tahun 1100 Masehi, Su Dongpo di dalam pembuangan di Pulau Hainan mendapat pengampunan Kaisar, dalam perjalanan pulang melewati Qiongzhou, pada malam tanggal 20 bulan 6 menyeberangi lautan, menggunakan maksud di atas, berputar jadi sebait puisi begini:

Awan bubar bulan terang siapa menghias?

Langit rangkul laut warnanya memang jernih.

云散月明谁点缀?天容海色本澄清

~

Februari 1821 John Keats meninggal dunia di Roma karena sakit, saat itu Mary dan Shelley menetap di Pisa, latar belakang Shelley dan Keats sangat berbeda, samasekali tidak ada hubungan persahabatan, mereka juga tidak saling mengapresiasi. Namun kematian John Keats di usia muda, 25 tahun, membuat Shelley sangat sedih, terutama karena dia mendengar bahwa John Keats menderita sakit dan ambruk, disebabkan oleh para kritikus menyerang puisi-puisinya, lalu menulis sebuah elegi panjang (Adonais) untuknya.

~

Kritikus dapat memarahi seorang penyair sampai sakit, sampai mati?

Tidak mungkin.

 ~

Januari 1818 Mary Wollstonecraft Godwin Shelley menerbitkan Frankenstein, tidak lama kemudian bersama sang penyair berangkat ke Italia. Tahun itu Shelley mulai menulis drama liris Prometheus Unbound. Selain itu, karya puisi tidak putus, ada panjang ada pendek, salah satu adalah sebuah soneta yang berubah bentuk:

Ozymandias

Aku bertemu seseorang datang dari tanah purba

Berkata padaku: Dua potong paha besar pahatan batu

Tegak di atas gurun, tanpa batang tubuh… tak jauh di dalam pasir

Setengah terkubur satu wajah hancur, mengernyit,

Bibir berkerut, aba-aba sinis dingin yang angkuh

Buktikan pematung kala itu demikian bisa membaca hatinya

Dalam-dalam memahat ke benda mati itu, bertahan hingga kini

Lebih lama dari hati yang menjaga dan tangan tukang yang meniru;

Dan di atas dudukan patung hanya muncul beberapa kata:

Aku bernama Ozymandias, Raja Segala Raja

Lihat hasil karyaku, alangkah perkasa, mengeluhlah!

Di sisinya tiada apapun, hanya kelihatan tumpukan serpihan

Dikelilingi kehancuran, tak bertepi, mati senyap

Adalah pasir rata yang luas dan sunyi menjulur hingga jauh.

 

I met a traveller from an antique land

Who said: Two vast and trunkless legs of stone

Stand in the desart. Near them, on the sand,

Half sunk, a shattered visage lies, whose frown,

And wrinkled lip, and sneer of cold command,

Tell that its sculptor well those passions read

Which yet survive, stamped on these lifeless things,

The hand that mocked them and the heart that fed:

And on the pedestal these words appear:

“My name is Ozymandias, king of kings:

Look on my works, ye Mighty, and despair!”

Nothing beside remains. Round the decay

Of that colossal wreck, boundless and bare

The lone and level sands stretch far away.

Wanita Itu Bernama Marida #3

Cerbung Willy Wonga

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Sering aku bolak-balik memori-memori usang. Dan mengenai dia adalah seni, seperti goresan pena di tiap lagu ciptaan. Atau denting piano mengalun di pagi-pagi prematur. Pernah aku bersyukur menjalani hidup hanya dengan mendengar dia menembang lagu cinta. Pikirku, seelok lagu demikian hidup yang akan dirintis bersama. Di sana ada ritme lembut sebelum menghentak, pula ada barisan kata indah terdengar kuping.

Adalah kesalahanku tidak mengenal banyak pria dalam hidup. Aku minder, itu poin penting akibat kurang cantik. Sehingga lelaki pertama yang buat aku jatuh hati ini adalah cinta segala rupa. Menjeratku.

Mengenal seni, bikin aku beranggap semua pencinta seni adalah pria romantis. Dan aku menyukai hal-hal berbau romantis. Ada hal romantis dilakukan Andre dalam hidupku yakni menemaniku berkeliling pulau Flores. Sebuah pulau kecil yang ada danau tiga warnanya serta aroma asli dari pepohonan dan stepa di pinggir jalan. Istri pertamanya kelahiran Flores sehingga sedikit banyak Andre sudah mengenal pulau itu. Sebuah petualangan yang mestinya monumental bagiku. Mengingat setelahnya Andre mulai mengabaikanku.

“Dari mana kita harus memulai?” tanyaku waktu pesawat mendarat di kota Ende. Kota kecil namun tak kalah kotor dan hiruk pikuk seperti di sini.

“Dari sini kita ke timur. Hingga tiba di ujung pulau, di mana orang-orang sering berburu ikan paus. Semoga kita tiba pas musim berburu. Lalu balik lagi ke arah barat, ke ujung pulau ini pula. Kau akan lihat hewan raksasa yang namanya komodo.”

Jadi mulailah sebuah perjalanan memakan waktu tiga hari. Momen-momen penuh bahagia tiada terkira merasakan kehadiran Andre yang utuh. Di Lembata kami menikmati daging paus di antara penduduk setempat. Berperahu motor bersama nelayan yang bersedia membawa kami melihat-lihat tandusnya sebagian pulau tersebut dari tengah laut. Aku muntah-muntah, Andre memijitku dengan kekhawatiran tingkat tinggi hingga kami kembali ke darat dan mualku berhenti. Waktu kami berdua menyelusuri tepian pembatas menyaksikan danau Kelimutu, tiga warna, aku merasakan nirwana terbentuk kala itu. Cinta bergelora dan dia tidak henti-henti memelukku. Sebuah anugerah belaka. Tidak ada seorang penyanyi, pemusik dan wartawan di sana yang merenggut Andre dari sisiku. Aku bahagia bukan main. Kemudian perjalanan berakhir di Labuan Bajo. Kota kecil pula, tempat di mana beberapa pulau kecil dihuni komodo. Berdua kami menghabiskan waktu menyambangi kadal raksasa sebelum menikmati keindahan pantai di daerah itu. Kemesrahan berlimpah ruah di sini. Cinta bermekaran laksana kembang albesia di awal musim penghujan. Seperti bentangan terumbu karang di bawah laut Labuan Bajo. Penuh semarak canda tawa.

“Aku ingin kamu tahu bahwa kau diselimuti oleh cinta. Tidak ada orang lain lebih mencintaimu selain aku. Kamu harus tahu itu. Jangan pernah merasa sendirian lagi, ya.” Bisiknya di antara peluk. Begitu lembut membuat aku bergelayut manja pada lengannya.

“Apakah aku begitu berarti bagimu?”

“Huss, kamu ingat sebaris syair lagu baruku?”

Kaulah pertama saat kuawali hari dan terakhir ketika tertidur malam nanti: kusebut namamu..” kami melantun bersama.

“Berikan aku sepotong arti cinta!”  Aku tersenyum. Menggoda Andre dengan menirukan salah satu kalimat dalam lagu ciptaannya.

“Saat aku bertahan di sisimu dan masih bertahan di sana meski tanpa alasan aku kira itulah cinta.” Dia kecup keningku. Ahh..

Dan aku berjanji saat itu; untuk mencintainya seumur hidup. Apapun yang terjadi.

 
 

bersambung…

 

Baca cerita sebelumnya:

Wanita Itu Bernama Marida #2

Cerbung Willy Wonga

cerita bersambung
gambar diunduh darii bp.blogspot.com
Aku memiliki koleksi perempuan cantik. Bukan hobiku sejatinya, tetapi sekadar koleksi untuk bahan perbandingan mana di antara mereka yang paling banyak kubenci. Pernah aku menatap wajahku di cermin untuk mencari-cari perasaan tersirat terhadap para perempuan itu. Sirik. Dengki lebih pas. Barangkali demikian aku mengetahui perasaan tersebut. Aku benci pada kecantikan mereka. Coba perhatikan mimikku bila ada wanita lain, dari golongan rupawan, di rumah ini. Mulut ini akan bengkok sebagai sinis, alis terangkat dengan mata menyipit. Semacam refleks reaktif terhadap adonan rupa yang lebih menarik. Sesekali kulampiaskan marah pada penciptaku yang teledor sehingga lupa merapikan wajahku dari timbunan lemak di kedua pipi. Juga lupa membetulkan hidungku yang kempis ini.
Ah! Seandainya mereka tidak merebut waktuku dengan lelaki kesayanganku pastilah aku tidak menanam benci semacam ini. Gara-gara kecantikanlah orang paling kucinta di muka bumi ini mengabaikanku. Aku teliti lagi rupa pada cermin, sering pula menatap lama-lama foto-foto kenangan; gambarku sama. Jauh dari cantik. Pantas aku kalah bersaing dengan wanita lain.
“Kecantikan mengubah dunia! “
“Kau terlahir cantik? Yakinlah dunia akan kau genggam!”
Sejak kapan kalimat-kalimat penghancur itu tersisip dalam memori otak? Pasti aku telah membaca dari salah satu buku bacaan, atau kalimat terucap dari seorang bintang film yang kutonton. Kata-kata itu melekat bagaikan tumor ganas, atau ular berbisa, menetes-teteskan racun tiap kali hatiku mengutuki kecantikan wanita lain. Dengan alasan itu aku senantiasa minder bila para perempuan lain datang ke rumah. Mereka datang selalu untuk mengunjungi lelaki terkasihku. Sehingga diam-diam aku pelihara gunjing dan fitnah kepada para pemilik rupa cantik.
“Malaikatku” atau “Bidadariku” atau ”Gadis tercantikku”, demikian Andre pernah menyapa di setiap hari-hariku. Aku melambung ke ufuk timur, terjerang matahari hingga hati ini terasa hangat. Bagiku dia matahari. Bersinar, tampan dan cemerlang. Itulah mengapa aku perlu mencintai Andre sekudus cintaku pada bunga-bunga, pada lapisan awan gemawan, pada bintang-bintang, biarlah terkesan tak terkatakan betapa agung cintaku itu.
Andre, aku sebut ia lelaki pulang subuh! Memang kejam aku menamai Andre begitu. Aku namai dia sesuai tindaknya. Lebih halus ketimbang pemuja malam, atau pengejar rembulan atau penunggu pagi. Sebab sekejam-kejamnya mencecar Andre, aku akan tetap bersama dia. Mana mungkin meninggalkan dia lantaran dia adalah lelaki pulang subuh. Barangkali karena dia pulang subuh itu yang buat aku tetap bertahan hidup dengannya. Pikirku, sudah bagus dia pulang subuh daripada tidak pulang sama sekali? Lalu aku akan jadi wanita paling sepi di bumi, sehingga lebih baik mati saja? Ahh…
“Jam berapa pulangnya, Bi?” aku sering tanya begitu pada pembantu. Bi Imah menatapku, di matanya tergurat kasihan yang mendalam. Dia telah mengasuhku sejak bayi hingga rambutnya telah banyak ubannya kini.
“Biasa, Non. Jam tiga lagi.”
Aku hidup bersama Andre di rumah ini. Dia seorang pianis cukup handal serta sering menciptakan lagu bagus sementara aku hanya seorang pelajar seni. Hidup cukup mewah dengan mengenal orang-orang mewah pula. Dari penyanyi, pemusik bahkan para wartawan yang tak jarang mencuri-curi liput, hingga kami tidak terlalu banyak menghabiskan waktu bersama. Andre, pria yang hidup denganku masih di ambang usia tiga puluh pula. Dia menarik walau bukan tampan hingga pada akhir-akhir ini kutahu dia sering mengencani gadis-gadis cantik. Bila tidak berkencan mereka berteman. Tak jarang teman-teman wanitanya datang ke rumah ini dan mengulurkan tangan mereka yang halus terawat menyalamiku. Dan Andre hanya tersenyum sebelum mereka berlalu ke ruang kerjanya.
“Terlalu banyak perempuan yang datang. Studio kan bukan di rumah ini,” keluhku suatu hari. Andre sedang membenah ruang kerjanya, tempat kertas-kertas berserakan berebut tempat di lantai. Sebuah komputer tua bertengger pongah meski telah dipakai sejak Andre di bangku kuliah. Aku jarang sekali masuk ke ruang kerjanya selain sewaktu-waktu mengingatkannya untuk tidak berkubang sampah. Lagipula dia lebih banyak keluar, dengan dalih studio.
“Mereka datang ada urusan dengan lagu-lagu, Sayang.”
Aku akan diam. Aku sebenarnya kecewa atas sikap Andre yang tidak mau tahu perasaanku. Mungkin dia pikir aku tak masalah menghadapi polahnya. Hanya saja aku biarkan dia begitu, sebab dari dulu aku tahu dia lelaki bebas. Sebebas ikan berenang di lautan. Tidak pernah mau terikat sejak kematian istri pertamanya. Hingga aku menjadi terbiasa disepelekan.
Bagi orang-orang macamku, setidaknya, sebagian dari yang pernah mengalami hidup jarang diperhatikan oleh orang terkasih, akan timbul marah pada diri. Atau frustrasi akibat sering diabaikan. Tetapi aku belajar menyembunyikan perasaan. Sampai-sampai orang lain di sekitar menamaiku si pemurah senyum. Aku belajar tersenyum ketika Andre hanya menghabiskan sedikit waktu dalam seharinya denganku pada saat sarapan. Itu pun tidak berlebihan. Sekedar mengingatkanku menghabiskan roti serta menenggak segelas susu coklat panas kesukaan kami berdua. Lalu dia mengantarku ke tempat aku belajar sebelum dia menghilang. Aku tidak pernah tahu di mana dia berada pada kerumunan kota ini. Lumrah, pikirku, hidup dan mencintai seorang pemusik.
Apalagi jarak sekolah dan rumah tidak seberapa jauh jadi ia tidak berpikir untuk menjemput aku lagi sepulang sekolah seni. Cukup pagi hari dia mengantarku. Tak mengapa memang, Aku sudah menikmati berjalan kaki dari sekolah ke rumah seorang diri sejak Andre memutuskan aku bukan seorang anak kecil lagi. Dulu, setahuku sejak tiga tahun lalu Andre lebih banyak pulang rumah pada larut malam. Mendekati tengah malam dan segera tidur dengan dengkurnya yang tidak hilang-hilang. Sebagai orang terdekatnya, dalam persepsiku, aku sering meminta penjelasan.
“Lembur di studio.” Selalu demikian Andre memberi jawab atas tanyaku.
Kendati menyerah dengan perlakuan sebelah mata Andre terhadapku, aku tetap mengkhawatirkannya bila dia belum pulang selepas pukul sepuluh malam. Aku tidak tidur dan lebih banyak tenggelam pada buku-buku bacaan hingga akhirnya dia datang dengan wajah suntuk. Kemudian beberapa pekan terakhir Andre pulang lebih lambat. Selalu menjelang subuh, dan Bi Imah-lah yang terbangun menyambutnya.
Barangkali sebelum cerita ini berakhir, orang akan pertanyakan mengapa aku tidak memilih jalan sendiri bagi hidupku ketimbang pasrah menebah dada tiap kali Andre pergi dengan wanita lain? Lalu pulang subuh? Apalagi bukan tali pernikahan yang menyatukan kami pada satu rumah. Hanya sebuah ikatan natural yang terbentuk. Demikian aku selalu mengartikan kebersamaan kami yang semu.
 
bersambung…
 
 
Baca cerita sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #1

September Suatu Hari

Puisi John Kuan

1.

Petai cina sepuluh batang

tebang pilih tiga sisa tujuh

sekejap gemericik, derai

miring gerimis September

menabur di pekarangan jauh

Bunga jombang berlomba

guling di rumput hijau

hanya tidak diijinkan masuk pintu ———

Di balik pintu sekat ruang

sekat waktu, duduk hening, alis putih 

bunga anggrek, bonsai Buxus

agak jauh agak jauh ada sederet bambu

Kau menulis bunga plum

aku baca sejarah kolonial

 

Suhu hangat sedang mengukus

lumut hijau di sela bata merah

Tahun itu bukan April saja bisa keji

sehalaman bunga baru selesai merekah

di hutan karet tidak hanya cangkang biji meletus

 

2.

Bugenvil tetangga seperti satu malam

mekar semua, bahkan diam-diam menjulur lewat

dinding kayu, seperti juga ada sayap

seekor kupu-kupu putih mengaduk lembab

meriak semacam getaran sunyi

di sebelah dinding kayu: sungguh pekarangan hening

( Anak lelaki mereka luka parah di atas ranjang

September yang dingin ) Maukah

kita berdoa untuk kesehatannya?

 

Petai cina tujuh batang:

semacam romantis, pusing menaksirnya

September juga tidak setara musim gugur

Sebiji hati sesat di lorong-lorong batu hijau

tiba-tiba purnama agak basah di atas tembok, sorot

kau menulis bunga plum

aku baca sejarah kolonial

 

Petai cina tujuh batang

Tujuh batang juga bagus