Arsip Tag: memori otak

Wanita Itu Bernama Marida #2

Cerbung Willy Wonga

cerita bersambung
gambar diunduh darii bp.blogspot.com
Aku memiliki koleksi perempuan cantik. Bukan hobiku sejatinya, tetapi sekadar koleksi untuk bahan perbandingan mana di antara mereka yang paling banyak kubenci. Pernah aku menatap wajahku di cermin untuk mencari-cari perasaan tersirat terhadap para perempuan itu. Sirik. Dengki lebih pas. Barangkali demikian aku mengetahui perasaan tersebut. Aku benci pada kecantikan mereka. Coba perhatikan mimikku bila ada wanita lain, dari golongan rupawan, di rumah ini. Mulut ini akan bengkok sebagai sinis, alis terangkat dengan mata menyipit. Semacam refleks reaktif terhadap adonan rupa yang lebih menarik. Sesekali kulampiaskan marah pada penciptaku yang teledor sehingga lupa merapikan wajahku dari timbunan lemak di kedua pipi. Juga lupa membetulkan hidungku yang kempis ini.
Ah! Seandainya mereka tidak merebut waktuku dengan lelaki kesayanganku pastilah aku tidak menanam benci semacam ini. Gara-gara kecantikanlah orang paling kucinta di muka bumi ini mengabaikanku. Aku teliti lagi rupa pada cermin, sering pula menatap lama-lama foto-foto kenangan; gambarku sama. Jauh dari cantik. Pantas aku kalah bersaing dengan wanita lain.
“Kecantikan mengubah dunia! “
“Kau terlahir cantik? Yakinlah dunia akan kau genggam!”
Sejak kapan kalimat-kalimat penghancur itu tersisip dalam memori otak? Pasti aku telah membaca dari salah satu buku bacaan, atau kalimat terucap dari seorang bintang film yang kutonton. Kata-kata itu melekat bagaikan tumor ganas, atau ular berbisa, menetes-teteskan racun tiap kali hatiku mengutuki kecantikan wanita lain. Dengan alasan itu aku senantiasa minder bila para perempuan lain datang ke rumah. Mereka datang selalu untuk mengunjungi lelaki terkasihku. Sehingga diam-diam aku pelihara gunjing dan fitnah kepada para pemilik rupa cantik.
“Malaikatku” atau “Bidadariku” atau ”Gadis tercantikku”, demikian Andre pernah menyapa di setiap hari-hariku. Aku melambung ke ufuk timur, terjerang matahari hingga hati ini terasa hangat. Bagiku dia matahari. Bersinar, tampan dan cemerlang. Itulah mengapa aku perlu mencintai Andre sekudus cintaku pada bunga-bunga, pada lapisan awan gemawan, pada bintang-bintang, biarlah terkesan tak terkatakan betapa agung cintaku itu.
Andre, aku sebut ia lelaki pulang subuh! Memang kejam aku menamai Andre begitu. Aku namai dia sesuai tindaknya. Lebih halus ketimbang pemuja malam, atau pengejar rembulan atau penunggu pagi. Sebab sekejam-kejamnya mencecar Andre, aku akan tetap bersama dia. Mana mungkin meninggalkan dia lantaran dia adalah lelaki pulang subuh. Barangkali karena dia pulang subuh itu yang buat aku tetap bertahan hidup dengannya. Pikirku, sudah bagus dia pulang subuh daripada tidak pulang sama sekali? Lalu aku akan jadi wanita paling sepi di bumi, sehingga lebih baik mati saja? Ahh…
“Jam berapa pulangnya, Bi?” aku sering tanya begitu pada pembantu. Bi Imah menatapku, di matanya tergurat kasihan yang mendalam. Dia telah mengasuhku sejak bayi hingga rambutnya telah banyak ubannya kini.
“Biasa, Non. Jam tiga lagi.”
Aku hidup bersama Andre di rumah ini. Dia seorang pianis cukup handal serta sering menciptakan lagu bagus sementara aku hanya seorang pelajar seni. Hidup cukup mewah dengan mengenal orang-orang mewah pula. Dari penyanyi, pemusik bahkan para wartawan yang tak jarang mencuri-curi liput, hingga kami tidak terlalu banyak menghabiskan waktu bersama. Andre, pria yang hidup denganku masih di ambang usia tiga puluh pula. Dia menarik walau bukan tampan hingga pada akhir-akhir ini kutahu dia sering mengencani gadis-gadis cantik. Bila tidak berkencan mereka berteman. Tak jarang teman-teman wanitanya datang ke rumah ini dan mengulurkan tangan mereka yang halus terawat menyalamiku. Dan Andre hanya tersenyum sebelum mereka berlalu ke ruang kerjanya.
“Terlalu banyak perempuan yang datang. Studio kan bukan di rumah ini,” keluhku suatu hari. Andre sedang membenah ruang kerjanya, tempat kertas-kertas berserakan berebut tempat di lantai. Sebuah komputer tua bertengger pongah meski telah dipakai sejak Andre di bangku kuliah. Aku jarang sekali masuk ke ruang kerjanya selain sewaktu-waktu mengingatkannya untuk tidak berkubang sampah. Lagipula dia lebih banyak keluar, dengan dalih studio.
“Mereka datang ada urusan dengan lagu-lagu, Sayang.”
Aku akan diam. Aku sebenarnya kecewa atas sikap Andre yang tidak mau tahu perasaanku. Mungkin dia pikir aku tak masalah menghadapi polahnya. Hanya saja aku biarkan dia begitu, sebab dari dulu aku tahu dia lelaki bebas. Sebebas ikan berenang di lautan. Tidak pernah mau terikat sejak kematian istri pertamanya. Hingga aku menjadi terbiasa disepelekan.
Bagi orang-orang macamku, setidaknya, sebagian dari yang pernah mengalami hidup jarang diperhatikan oleh orang terkasih, akan timbul marah pada diri. Atau frustrasi akibat sering diabaikan. Tetapi aku belajar menyembunyikan perasaan. Sampai-sampai orang lain di sekitar menamaiku si pemurah senyum. Aku belajar tersenyum ketika Andre hanya menghabiskan sedikit waktu dalam seharinya denganku pada saat sarapan. Itu pun tidak berlebihan. Sekedar mengingatkanku menghabiskan roti serta menenggak segelas susu coklat panas kesukaan kami berdua. Lalu dia mengantarku ke tempat aku belajar sebelum dia menghilang. Aku tidak pernah tahu di mana dia berada pada kerumunan kota ini. Lumrah, pikirku, hidup dan mencintai seorang pemusik.
Apalagi jarak sekolah dan rumah tidak seberapa jauh jadi ia tidak berpikir untuk menjemput aku lagi sepulang sekolah seni. Cukup pagi hari dia mengantarku. Tak mengapa memang, Aku sudah menikmati berjalan kaki dari sekolah ke rumah seorang diri sejak Andre memutuskan aku bukan seorang anak kecil lagi. Dulu, setahuku sejak tiga tahun lalu Andre lebih banyak pulang rumah pada larut malam. Mendekati tengah malam dan segera tidur dengan dengkurnya yang tidak hilang-hilang. Sebagai orang terdekatnya, dalam persepsiku, aku sering meminta penjelasan.
“Lembur di studio.” Selalu demikian Andre memberi jawab atas tanyaku.
Kendati menyerah dengan perlakuan sebelah mata Andre terhadapku, aku tetap mengkhawatirkannya bila dia belum pulang selepas pukul sepuluh malam. Aku tidak tidur dan lebih banyak tenggelam pada buku-buku bacaan hingga akhirnya dia datang dengan wajah suntuk. Kemudian beberapa pekan terakhir Andre pulang lebih lambat. Selalu menjelang subuh, dan Bi Imah-lah yang terbangun menyambutnya.
Barangkali sebelum cerita ini berakhir, orang akan pertanyakan mengapa aku tidak memilih jalan sendiri bagi hidupku ketimbang pasrah menebah dada tiap kali Andre pergi dengan wanita lain? Lalu pulang subuh? Apalagi bukan tali pernikahan yang menyatukan kami pada satu rumah. Hanya sebuah ikatan natural yang terbentuk. Demikian aku selalu mengartikan kebersamaan kami yang semu.
 
bersambung…
 
 
Baca cerita sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #1