Arsip Tag: cerpen

Erina ke Jakarta

Cerpen Bhima Yudistira
Editor Ragil Koentjorodjati

City_Rain_by_jesidangerously

Senja di desa Wae Sano memang menyilaukan mata, dengan keindahan latar belakang bukit-bukit kapur yang terbentang sepanjang danau belerang, di tepi barat pulau Flores. Seorang gadis, bernama Erina sudah ditakdirkan lahir di alam yang mengagumkan ini. Segalanya akan dimulai dari tanah leluhur ini, tanah penuh harapan sekaligus kebencian, tanah masa lalu sekaligus menyimpan mimpi seorang Erina, gadis Wae Sano, begitu orang biasa memanggilnya. Ia asli Flores, lahir dan dibesarkan di kampung Wae Sano, dengan kondisi yang hampir tidak terjamah manusia kota. Dengan debit air diambang batas kritis, penduduk desa hidup dalam keterbatasan yang mungkin menyebabkan separuh dari penduduk desa meninggalkan kampungnya dalam seperempat abad terakhir ini.  Mereka yang mampu bertahan tinggal orang-orang tua dengan kaki kapalan karena harus menempuh jarak berkilo-kilo meter hanya untuk mendapatkan satu jerigen air bersih. Jangankan berbicara kehidupan layak, listrik pun belum dikenal di desa ini.

Anak-anak yang berangkat ke sekolah tidak membawa buku tulis dan  pensil atau jenis lainnya dari keperluan normal sekolah, mereka membawa jerigen air, bayangkan kawan, jerigen air bukan lainnya. Mereka dengan semangat mendaki bukit-bukit terjal di sisi kampung, masuk ke pedalaman hutan di Lenda hingga ke tepi danau berbau asam, berlarian membawa jerigen kosong yang akan penuh terisi ketika mereka pulang sekolah. Kehidupan manusia-manusia di Wae Sano tidaklah seindah dongeng-dongeng pahlawan atau lagu-lagu yang sering dinyanyikan orang tua saat meninabobokan anak mereka. Kehidupan di Wae Sano sangat keras, dan menyakitkan.

Bukit-bukit terjal di sekeliling Wae Sano menjadi saksi kerasnya kehidupan masyarakat desa. Danau yang elok jika dilihat oleh para wisatawan tidak dapat mendatangkan kemakmuran apapun, bahkan menjadi malapetaka di setiap awal musim hujan. Debit air danau belerang yang tajam baunya perlahan bertambah, seiring dengan racun-racun berwarna kuning kehitaman yang meluap-luap di pesisir danau. “Jangan sekali-kali Kae dekati danau itu! Sebuah laknat akan menimpa setiap orang. Ya benar, danau itu keramat,” ujar Tua Golo. Keramat karena telah menelan puluhan nyawa yang mencoba untuk berenang, atau menyebrangi danau penuh lumpur kuning beracun. “Danau sial!” begitu sebut Tua Golo (adat) ketika berkeliling sekitar danau sebagai tradisi menolak segala celaka yang bisa timbul di tahun-tahun penuh hujan.

Pernah Erina seorang diri berendam di pemandian air panas di balik danau, tiba-tiba warna air berubah menjadi abu-abu penuh lumpur. Erina berteriak, untung Papa Petrus dengan sigap berlari dari rumahnya untuk menyelamatkan Erina yang mulai merasakan mati rasa di kakinya. Danau itu mengalirkan racun yang teramat berbahaya, bahkan pemburu hutan menggunakan lumpur danau untuk menjebak babi hutan, yang tewas seketika memakan daun-daunan bercampur air danau.

Erina memang bukan sembarang gadis, ia tergolong anak cerdas, di tengah penduduk desa yang kurang gizi dan air bersih, soal hitung-menghitung Erina paling pandai. Ia anak tunggal dari Papa Pedo, seorang tukang batu yang menjual keringatnya kepada pemerintah kabupaten. Batu-batu dikumpulkan mulai matahari belum terbit, hingga malam dengan penerangan lampu minyak seadanya, Ayah Erina menggali dan memukul batu kemudian menjualnya untuk perbaikan jalan antar kabupaten di Labuan Bajo. Hasil kerja kerasnya digunakan untuk membeli beras dan kecap di pasar tiap sabtu, itu pun masih berhutang sana-sini. “Yang penting kamu sekolah yang tinggi Nak, capai cita-citamu. Itu pesan bapak, jadilah perempuan seperti Kartini yang pernah Bapak baca waktu seumur kamu dulu, sayang bapak sudah tidak bisa membaca lagi,” pesan Ayah Erina. Ia peluk anaknya dengan kehangatan seorang bapak tukang batu.

Perjalanan kehidupan membuat Ayah Erina sadar, bahwa profesi tukang batu akan segera tergantikan oleh mesin-mesin pemecah batu pesanan kabupaten. Ia bergumam, “Tenaga tua ini segera akan punah, ya Tuhan, harus kerja apa lagi untuk hidup, mengapa hidup begitu penat dan berat seperti ini?” Terkadang Erina mengintip ke dalam kamar ayahnya ketika melihat ayahnya menangis, meratapi tembok-tembok rumahnya yang hampir rubuh. Erina terlahir dari keluarga serba kurang, namun semangatnya tinggi, ia rela menghabiskan waktu tanpa bermain hampir 10 tahun dari waktu hidupnya.

Pulang dari sekolah, Erina mengambil alat pemukul kemiri, lalu membuka karung goni berisi kemiri milik pamannya. Erina diupah per kilogram lima ratus rupiah, tidak pernah naik mulai dari dulu ia pertama kali mencoba membantu pamannya menjadi kuli pecah kemiri. Ibu Erina sudah lama meninggal akibat wabah disentri yang tidak jelas kapan datang dan hilangnya. Ketika bercerita soal ibu Erina, Papa Pedo hanya mengumpat danau belerang yang terkutuk itu, menuduh danau itu penyebab malapetaka hilangnya nyawa Ibu Erina. Walaupun dokter keliling sudah menjelaskan kepada penduduk, bahwa disentri bukan disebabkan karena belerang, tetap saja Ayah Erina tidak percaya, bahkan sekali waktu dokter keliling yang ditugaskan langsung dari Dinas Kesehatan Kabupaten dibentaknya dengan sumpah serapah karena menurutnya dokter itu menyebarkan kebohongan tentang disentri.

Danau yang tidak pernah menghasilkan ikan apapun itu selalu dikutuk oleh penduduk ketika salah seorang diantara mereka meninggal, sakit jantung, ginjal, bahkan tertabrak truk, tetap saja danau itu yang disumpah telah membawa kematian. “Oh. Betapa bodohnya penduduk desa ini, semoga Tuhan memberi kesempatan belajar untuk anak-anak yang tertular penyakit bodoh orang-orang tua itu. Ya Tuhan selamatkanlah anak-anak, aku tidak peduli dengan manusia-manusia kolot sok pintar di desa ini!” Hanya itu yang bisa Pastur Maksimus gumamkan ketika ia mendapati berbagai macam tingkah aneh penduduk ketika meratapi kematian saudara atau teman dekatnya.

Sebulan sudah sejak Ayah Erina tidak mendapatkan pesanan memecah batu untuk perbaikan jalan karena dana kabupaten untuk membeli batu guna memperbaiki jalan dihentikan, anggarannya digunakan untuk membeli mesin pemecah batu yang baru. Waktu mendengar kabar datangnya rencana pembelian mesin itu, ayah Erina segera meloncat dari tempat tidurnya jam dua malam, berlarian seperti orang kesetanan, menyumpah di tepi danau, “Mati kau Danau sial! Terkutuk!”

Ya, gejala orang frustasi, mungkin ia terkena sakit gila pikir penduduk yang terganggu tidurnya akibat teriakan-teriakan ayah Erina. Di jalan ia berteriak-teriak, “Habis sudah kae, habis sudah!” Penduduk mungkin sudah terbiasa mendengar orang tiba-tiba berteriak sambil berlarian di jalan-jalan kampung, kalau bukan ada festival desa, kemungkinan kedua, ada orang gila.

Tua Golo malam itu berkumpul di rumah Pastur Eman, sambil membawa oleh-oleh buah-buahan yang biasa diberikan kepada Pastur sebelum memulai jamuan rohani di minggu pagi. Tua Golo bercerita tentang peristiwa tadi siang yang menimpa Papa Pedo. Ia dengan miris bercerita tentang malangnya kehidupan ayah satu anak itu setelah pemerintah kabupaten tidak membutuhkan tenaganya lagi. “Dua puluh lima tahun sudah ia bekerja menjadi tukang batu, bayangkan Bapa, 25 tahun! Dan sekarang pekerjaan satu-satunya hilang sudah! Nasib benar Kae Pedo!” seru Tua Golo yang bersemangat bercerita tentang malapetaka hari ini. “Lalu, apa kita masih mengumpat pada danau yang membawa celaka itu?” kata Pastur sambil tertawa. “Tentu itu bukan maksud saya Bapa, tapi mungkin danau itu malapetaka juga, lain waktu aku akan menyumpahi danau itu! Sekarang kita harus menolong Kae Pedo mendapatkan pekerjaan. Menurut Bapa bagaimana?” Pastur terdiam sebentar berhenti tertawa sambil melihat mata bulat Tua Golo yang berapi-api memikirkan satu penduduk kampungnya yang baru saja menjadi pengangguran. “Itu yang saya tunggu Tua Golo, kebetulan saya punya kawan di Jakarta, ia kerja jadi tukang bangunan, mungkin Kae Pedo bisa bantu-bantu sedikit.” Secercah harapan muncul di mata Tua Golo, “Baiklah besok saya sampaikan, tolong Bapa bantu atur ya, saya tidak mau penyakit gilanya Kae Pedo menular ke penduduk lain, bencana! Bencana benar itu Bapa! Kasihan juga Erina harus menanggung beban berat, ia sudah banyak berkorban Bapa!”

Setelah berusaha menghibur ayah Erina, Tua Golo memberikan informasi pekerjaan dengan penghidupan yang lebih baik di kota Jakarta. Banyak pemuda yang bekerja di Jakarta setelah lulus sekolah menengah di desa ini, lalu bertaruh nasib menjadi tukang bangunan atau juru parkir di Jakarta. “Ah.. aku memang belum tau Jakarta, tapi aku yakin d isana lebih baik, dan di sana juga tidak ada danau pembawa sial seperti di sini, Semoga kau mendapatkan kerja di sana, aku sudah atur dengan Bapa, apa yang bisa kami bantu, mungkin uang seperlunya dan bekal makanan hingga kau tiba di Jakarta.” Kemudian ayah Erina menatap Tua Golo sambil matanya berkaca-kaca, “Kau memang pemimpin desa, kau bahkan tidak pernah berutang budi padaku, aku yang akan mengingat kebaikanmu dan desa ini, aku berjanji Kae!” Sambil meminum kopi, kemudian ayah Erina memanggil Erina, “Nak, kau sudah besar sekarang, sudah gadis pula, Bapak ingin cari kerja di Jakarta, kau teruslah sekolah, setiap bulan Bapak kirim uang untuk sekolahmu, jangan putus atau kau gunakan untuk membeli barang yang tidak perlu! Ingat! Sekolah! Itu yang utamanya, Mau kau jadi seperti Bapak?” Erina hanya terdiam. Ayah Erina menyadari bahwa keputusan untuk pergi ke Jakarta dan meninggalkan anak gadisnya di desa merupakan hal yang harus dilakukan.

Setahun berlalu..

Sudah tiga bulan Erina tidak mendapatkan kabar dari ayahnya, di mana ia sekarang atau bagaimana kesehatannya. Kiriman uang pun berhenti, Erina hanya membantu menjadi penjaga toko kelontong milik Tua Golo di sudut pasar Lenda. Ia bertanya pada setiap orang yang baru kembali dari Jakarta di terminal pasar Lenda, “Ada yang tau bapak? Pedo namanya, tinggi dan berkumis, dengan tanda bekas luka di dahinya, pernahkah Kae melihat?” sambil ditunjukkan foto ayahnya. Tak satu pun yang tahu keberadaan ayahnya. Selama ini ayahnya hanya menelpon untuk mengetahui kabar Erina dan menanyakan apakah uang kirimannya telah sampai ke tangan Erina, tanpa menyebutkan alamat tempat dia kini tinggal di Jakarta.

Didesak oleh situasi yang membuat hatinya cemas, akhirnya Erina mengambil sisa uang di amplop wesel berwarna biru kiriman terakhir ayahnya sebelum kabar ayahnya tidak terdengar lagi. Dibuka amplop itu dan terdapat selembar kertas, mungkin berisi alamat rumah pikir Erina, ternyata ia tersentak, itu semacam surat pesan yang biasa ditulis oleh orang yang sangat dekat dengan kematian.

Ananda Erina,

Surat ini bukan untuk dijawab, simpanlah baik-baik, dan jagalah. Berikan kepada anakmu kelak…

Apa menurutmu kebahagiaan yang paling ingin Bapak rasakan? Bapak ingin sekali lagi melihat kau dipangku oleh ibumu dalam dekapan yang penuh hangat. Kini aku hanya seongok manusia yang tidak pantas kau panggil Bapak. Aku sudah gagal, gagal di dalam kehidupan ini, uang yang kukirimkan ini, mungkin uang Bapak yang terakhir. Simpanlah baik-baik. Ingat pesan Bapak yang selalu terucap, tapi jangan pernah kau bosan mendengarnya Nak, Bapak ingin kau sekolah setinggi-tingginya, jadilah manusia bebas, lakukan apa saja yang kau inginkan Nak dengan ilmumu, jadilah manusia-manusia yang punya harapan!

Hidup bukan untuk menangisi kesedihan, hidup untuk melawan, melawan nasib yang menidurkanmu Nak, nasib yang berkuasa atas hidupmu. Lawan Nak! Lawan! Kau harapan bapak yang terakhir!

 

Ttd.

Ayah seorang “putri penantang nasib!”

Setelah membacanya, Erina menangis terisak-isak, “Di mana bapak sekarang? Tegakah melihat aku sendiri di sini? Pulang Pak. Erina ingin bersama Bapak.”

Satu bulan telah berlalu sejak wesel terakhir dikirim ke Erina, berisi uang Rp.500.000,-. Teringat akan foto ayahnya yang ia letakkan di bawah bantal, sewaktu-waktu ia ingin menangis, ia lihat foto ayahnya untuk membangunkan semangat yang hampir runtuh. Gadis belia kini tanpa siapa-siapa, tanpa apa-apa, dan hidupnya hanya menunggu dipinang oleh pemuda desa, itu pun jika beruntung mendapatkan pemuda yang ingin menikahinya. Mungkin dijadikan istri ketiga sudah bersyukur.

Sejak saat itu Erina tidak percaya lagi akan adanya doa, ia tidak lagi pergi ke gereja seperti yang pernah ia lakukan dulu. Tuhan baginya tidak pernah ada, kalaupun ada, Tuhan hanyalah gambaran akan nestapa dan rasa sedihnya. “Tuhan tak mampu menjawab doaku. Aku Erina dan aku ingin menjadi manusia-manusia bebas seperti yang bapak bilang dulu,” gumam Erina di dalam hati.

Sudah setahun semenjak surat terakhir bapak, Erina sangat ingin pergi ke Jakarta, berusaha menemukan tempat tinggal terakhir ayahnya, di surat weselnya tercantum alamat pengirimnya yang mungkin saja mengarahkan Erina kepada ayahnya yang sangat ia rindukan. Berangkatlah Erina dengan uang secukupnya, dari Wae Sano ke Jakarta membutuhkan waktu 4 hari pelayaran dan bisa mencapai waktu 1 minggu jika pelabuhan sape di Bima terpaksa ditutup karena tingginya ombak membuat kapal membatalkan jadwal normalnya.

Erina akhirnya sampai di kota Jakarta, kota dengan bayangan-bayangan aneh, wanita-wanita malam di sepanjang stasiun Senen dengan rok mini menjajakan cinta semalam, dan pedagang-pedagang asongan di sekitar Pasar Senen membuat mata Erina berputar-putar mencari nama jalan yang sulit untuk diingatnya, jalan Kampung Rambutan no.3, Pasar Senen seperti yang tertulis di belakang wesel pos berwarna biru. Akhirnya Erina menemukan rumah dengan pintu cat hijau, dan pagar setinggi lutut. Setelah bertanya pada tetangga, ternyata rumah itu memang pernah dijadikan tempat tinggal tukang bangunan yang sedang mengerjakan proyek perumahan tak jauh dari situ. Kini dada Erina berdebar-debar, berharap ia masih bisa mencari alamat tinggal ayahnya, setidaknya jika ayahnya sudah tiada ia masih bisa menemukan tempat ayahnya dikubur. Senja semakin gelap, Erina terpaksa mencari tempat penginapan, sekalian makan, pikirnya. Ada sebuah rumah yang bertuliskan “menerima tamu” tak jauh dari stasiun Pasar Senen. Ia sendirian masuk ke dalam rumah itu, dengan uang seadanya ia memesan satu kamar dengan kipas angin. Hmm ini murah, Jakarta tidak seperti dugaanya dulu, semua begitu mahal, dan orang-orangnya brutal. Ternyata Jakarta sangat ramah dengan tempat penginapan yang murah, “apa mungkin aku sedang beruntung?”. Ia rebahan di atas kasur kemudian tertidur.

Esoknya ketika bangun ia meraba-raba tas yang seingatnya tadi malam di simpan di dalam lemari. Hilang semua. Hilang tak tersisa, beserta uang dan amplop wesel biru dan foto ayahnya. Ia bertanya kepada penjaga penginapan yang tidak tahu menahu masalah tas yang hilang di dalam kamar malah membentaknya dengan kasar. “Maaf Mbak, tapi itu salah lu sendiri ga hati-hati naroh tas di dalam lemari yang ga dikunci, barang hilang gue ga bisa tanggung jawab, lo urus sendiri! Sekarang lo mau bayar pake apa nih?” Dengan nada mengancam ibu penjaga malah menagih uang sewa kamar kepada Erina. Dengan bingung Erina tidak bisa melakukan apa-apa, lalu bu Retno menunjuk rumah di depannya sambil berkata “Udah, mending lo sekarang cari kerja di situ, bantu cuci-cuci piring, atau ngapain deh yang penting ntar lo balikin uang sewa ya! Sana kerja!”

Sebulan sudah semenjak Erina tiba di Jakarta, kini ia menyewa kamar di rumah bu Retno, dan sehari-hari penghasilannya hanya cukup untuk membayar uang sewa dan makan nasi sayur secukupnya bahkan terpaksa berhutang. Ia terjebak, tapi tak bisa apa-apa. “Sekarang aku bekerja mencuci piring, kukumpulkan uangku sedikit demi sedikit untuk mencari rumah ayah,” besar harapan Erina untuk bertemu kembali dengan ayahnya.

Di hari yang panas itu, Erina sedang mengerjakan mencuci piring seperti biasa, kini ia bertugas membersihkan kamar-kamar kosong di lantai dua gedung yang gelap penerangannya. Ketika membersihkan kamar di pojokan, tiba-tiba Erina tersentak hingga ia hampir terjatuh. Di dalam kamar itu ada sosok laki-laki yang dikenalinya, sedang berdua dengan wanita dalam kondisi yang tak layak. Segera ia memekik, “Ayah?” Pria yang sedang asyik berduaan dengan wanita tersebut kemudian berbalik badan dan setengah telanjang ia menarik selimutnya, “Siapa kau?”

“Aku Erina, kaukah Papa Pedo?” seru Erina secara spontan

Dengan keadaan yang aneh itu pria tadi menjawab, “Ah, Anakku,” sambil matanya berkaca-kaca seolah tidak percaya.

“Apa yang sedang Ayah lakukan?” tanya Erina

“Tidak anakku, mari kukenalkan dengan teman Ayah,” sapa hangat ayah Erina

Pertemuan singkat ini bukanlah momen yang diharapkan oleh Erina, aneh, tak terduga dan membuat pikirannya berputar-putar, lutut Erina langsung lemas, “Benarkah ia Ayah yang Erina kenal? Yang ia cari selama ini? Atau aku sedang bermimpi?” gumam Erina.

Sambil memakai baju, pria yang memang ayah Erina berkata, “Mendekatlah anakku, aku takut sekali menghadapi Jakarta. Aku ingin kita pulang ke kampung lagi, menyumpahi danau Wae Sano yang telah membawa laknat kepada tanah leluhur kita. Mari anakku, bukan tempatmu di sini,” sambil ia berusaha memeluk Erina.

Erina tidak menangis sedikitpun, ia masih belum percaya pria setengah telanjang yang beberapa menit yang lalu sedang tidur dengan wanita entah dari mana kini memanggilnya lembut “Mari pulang Anakku”. Pria yang dulu menjadi teladan hidupnya, kini begitu asing.

Di tengah-tengah hiruk pikuk Jakarta, Erina dan Ayahnya keluar dari kamar itu, sambil berpengangan tangan, dengan latar gedung tempat Erina bekerja sebulan ini, di kamar penuh tanda tanya itu tertulis “Panti Pijat Sinar Melati”.

Gadis Terbungkus Kertas Koran

Cerpen Willybrodus Wonga

gambar diunduh dari 3.bp.blogspot.com

Rasanya hantu-hantu berdesing melewatiku; hantu hitler dengan moncong pistol menempel pada pelipisku, hantu bethoven yang mendayukan sonata kesedihan, hantu karl Max menyeringai lebar lebar dengan sepotong pizza yang mencederai cintaku pada tahu isi,hingga hantu Bung Tomo dengan telunjuk seolah mencongkel mataku karena melupakan sejarah bangsa. Belum lagi hantu-hantu lain dengan segala masa lalu mereka yang melekat di bumi, entah urusan apa mereka berputar-putar mengenakan jubah bau bangkai ini. Hantu mereka berkerumun di bawah kakiku, menjepit leherku dengan napas-napas dingin serta wajah penuh belatung, dan Hitler mencemoohku habis-habisan ketika kereta ini menuntunku menemuimu; menuju masa lalu. Pasti Hitler yang pasi itu mengolok-olok karena kejahatanku atau mungkin karena sebentar lagi aku akan memilih mati mengikuti hantu-hantu tersebut. Tetapi aku telah menabung keberanianku untuk hari ini; ketika  ribuan hari melebur dalam bilangan tahun demi tahun yang datang dan berlalu kadang berbekas kadang terhapus oleh hujan di tiap musimnya, bahkan ketika kenangan telah terkuras habis oleh keringat yang mengalir deras dari tubuh kuyu yang beranjak sepuh, aku putuskan menemuimu sekali lagi. Bukan sekedar kunjungan dengan gairah-gairah terkekang, tetapi karena aku pernah keceplosan berkata padamu bahwa kutukan memilih jalannya sendiri. Jadi alih-alih mengindahkan hantu-hantu yang berusaha mencegahku aku mengutuk mereka: menyingkirlah kalian, mahkluk tanpa nurani, sejenak ke neraka atau ke surgamu.

Meski harus kuakui dengan semborono bahwa ingatanku pada setiap detil tubuhmu seakan tidak ikut terlebur oleh jutaan menit, aku cukup tegang akan menatapmu untuk sebuah jangka waktu 21 tahun perpisahan kita. Otak setengah mesumku mengandai; barangkali kau akan keluar dari pintu berpelitur halus itu dengan pulasan lipstik merah marun kebangganku, mengenakan celana pendek mencekik paha dan sebuah sweater yang menyembunyikan kutang hitam yang sering kau siram dengan parfum kesayanganmu. Kau akan berdiri di sana, dengan batas tidak jelas antara seringai dan senyummu menyembul dari balik pintu. Akankah aku terpana seperti pandangan kesekian kali kala kita bertemu di tengah keramaian kampus, dengan menawarkan senyum profesionalmu tetapi selalu aku bilang senyummu lebih menarik kala kau kelelahan di samping ketiakku? Yang pasti akan aku katakan padamu, dengan setengah linglung, dengan setengah pucat bahwa kendati kita adalah sesama pemuja globalisasi yang memarkir norma susila dalam garasi kultur kita yang masih purbawi, lalu memilih bersuka cita oleh cara kehidupan asing yang menyusup lewat burger dan mac donalds dan kini kau punya kehidupan normalmu yang mungkin antah berantah aku ingin bertemu sekali lagi.

Langit tempat rumahmu tumbuh kini meludahkan hujan. Jogjakarta basah. Kereta tetap melaju mendekati stasiun.

Jangan kecewakanku, sebab bukankah kemarin siang kau menjawab teleponku lalu dengan riang kau nyatakan ada waktu bagi seorang sahabat lama? Jantung sialan ini masih juga menabuh genderang mendengar suaramu, meneteskan keringat yang menari-nari keluar dari pori tubuhku dan folikel rambutku yang mulai kendur. Berbohonglah pada suamimu, atau kepada siapa lelaki yang kini sering meminjam ragamu untuk sebuah kenikmatan yang dulu milik kita berdua. Jangan pula kau sertakan anakmu, bayimu mungkin, sebab itu akan mengingatkan akan berbagai hal lain, dosa-dosa tak termaafkan kita.

Hai,,,Petra! Puput! Marsha! Bela!!!!

Sapaan apalagi selain keempat nama yang cenderung, dan ini sesuai persetujuanmu, kunamaimu sesuai suasana hatiku? Kau hanyalah Petra yang biasa-biasa saja di pagi hari, yang mengolesi mukamu dengan make up lalu mengubahnya jadi topeng kecantikan, kemudian berubah jadi puput yang menawan pada makan siang, yang kadang menolak masakan pribumimu dan merasa lebih cocok menipu lidahmu dengan masakan ala jepang atau ala perancis. Aku kagum dengan caramu beradaptasi secara global. Dengan rambut kadang dikelabang dengan pita kau disapa Bela oleh teman-temanmu namun dalam hangat gesekan kulit kita kau berubah jadi Marsha yang penuh gairah. Dulu kadang aku membiarkan mulutku mendesahkan kata seperti; sayang! Atau my baby! Atau honeyku! Namun kata-kata itu terasa gombal dan tidak sepadan dengan dirimu. Pernah sekali, karena perasaan yang melimpah pada setiap lekak tubuhmu aku nyaris memanggilmu dengan kata; Malena, yang pada akhirnya Aku mengutuki diri sebab telah memikirkanmu sebagai maria magdalena, nama si pelacur itu. Oh, maafkan aku sebab aku telah memanggilmu dengan banyak nama dan membuatmu terkesan sedikit murahan, meski bersama teman-temanmu, harus kuakui, kau lebih sering memajang dirimu di mal-mal dan tempat-tempat hiburan.

Aku melangkah keluar stasiun dalam dedas angin. Jogjakarta, kota pelajar, mahasiswa berserakan dan aku makin mengingat masa kuliahmu.

“Sederhana. Kamu royal dan aku membutuhkan uang saku yang lebih demi pendidikanku yang mahal.” Kau menerawang saat menjawab tanyaku mengapa kau menodai kegadisanmu denganku.

Lalu akankah kau masih tersenyum manis, yang tentunya terlalu palsu dalam gaya genitmu, saat mendengarkan salah satu nama di atas tercetus dari bibir berkumis yang pernah melekat di atas bibirmu? Atau malah kamu melengos pergi untuk sebuah masa lalu kita yang benderang oleh kasmaran serta sebuah cinta terpasung?

Ah, Petra! Seandainya aku memiliki sedikit nyali untuk menciptakan Tuhan yang benar-benar baru, dimana kepadanya aku akan bersembah dan berterima kasih karena telah menciptakanmu, aku yakin akan melupakan norma agama yang ada dalam kultur kita ini dan berpaling dari istriku kepada tawaran dadamu yang membuncah. Tetapi, sekalipun menjadi anggota laskar westernisasi yang membutuhkan seks seolah seorang istri tidaklah mencukupi dan pernikahan tidaklah terlalu suci untuk setia serta yakin jiwaku akan masuk neraka, aku masih saja takut membenarkan hubungan kita kepada orang kebanyakan. Namun karena pengertian luarbiasamu untuk suami kesepian macamku, Aku semakin mencintai, bahkan berharap aku mati sambil mencium telapak kakimu.

Aku yakin sudah lebih dari sekali membuka-buka kenangan lama kita yang masih terasa semanis es jeruk di lapak Bu Wati pada siang-siang musim panas kita. Aku akan membayangkan dengan sedikit kehilangan bagaimana rupamu bila disengat panas, dengan butir-butir keringat hinggap di dahi, hingga wangi minyak wangimu meruap melalui udara yang kering. Menyangkut bau tubuhmu Puput; Aku pernah membelikan parfum mahal pada hari natalmu, kemudian berbulan-bulan kemudian kamu mengirim pesan bahwa parfum itu cocok buatmu sehingga uang bulanan selalu kusisipkan beberapa lembar sampai botol-botol serupa parfum pertama berjejer di atas lemarimu. Musim panas kita, setelah kuingat kembali, seolah-olah matahari berhenti berputar di atas kamarku atau kamarmu. Biar aku katakan kepada orang-orang mengenai gairah liar kita. Entah siang entah malam, oleh gelenyar desah dan tabuhan jantung yang seakan diremas kenikmatan cinta liar, kita selalu berakhir dengan bersimbah peluh. Dengan napas memburu. Bahkan di tengah malam sekalipun, ketika seluruh jagat seakan larut dalam penat kita malah masih saling menjamah. Kala tiap orang dibius mimpi dan telinga mereka berhenti dari kebisingan, telinga kita masih saja jangak menelan bisikan demi bisikan yang selalu terulang keesokan hari.

Petra, Bidadari liarku, cinta sesatku: pasti kau telah sangat merindukan jakarta. Ketika hujan tiba-tiba mengurungmu di kamar kosku, kau akan selalu jadi gadis beliaku sayang. Kendati dua puluh satu tahun membenamkan rahasia-rahasia tak terbongkar kita, aku akan selalu dibayangi mimpi tentangmu.

Biarkan aku melantur, Bella, karena aku tahu bahasaku akan mewakili semua ekspresi kejahatan seorang suami kepada istrinya. Sekalipun berhasil mendapatkan logika untuk diriku bahwa aku hanya ingin sebuah hubungan tanpa ikatan dan sebuah makan malam yang tenang, aku masih saja meragukan akal sehat kita berdua. Kau adalah mahasiswa keperawatan yang bisa saja memiliki kekasih normal dengan segenggam iming-iming tentang masa depan sementara aku adalah pria dua puluh tujuh tahun yang baru tiga tahun menikah namun memilih menghindari istriku yang serewel anak tujuh tahun. Pertemuan sehari kita di plaza yang mengawali tiap derap gairah tentu kau masih kenang. Aku memang memiliki setidaknya beberapa alasan yang menurutku cukup wajar membuatku menemuimu, begitupun kau pasti memiliki kesenangan tersendiri dari hubungan kurang ajar kita. Kau bisa memiliki motor sendiri, bukan dari hasil keringatmu tetapi oleh karena belas kasihku atas pemberianmu yang tiada batas. Namun, sekuat apapun aku menghindari rasa bersalah, sekuat itu pula rasa bersalah menggerogoti jiwaku.

Akhirnya, kamu berbicara tentang anak;

“Ceritakan mengenai anak pertamamu,” demikian kau bertanya pada sebuah makan malam yang sudah tidak kuingat. Aku mendelik, bagimu pasti kelihatan sangat genit untuk ukuran seorang lelaki, membuatmu tertawa renyah. Aku sahut;

“Menginginkan seorang anak adalah naluri seorang suami yang baik.” Aku cukup filosofis, pujimu selanjutnya. Kini, setelah dua puluh satu tahun wanita cerewet teman pelaminanku tersebut belum juga menetaskan sebuah janin sekalipun, Marsha. Dari cerita-cerita kita tentang berbagai hal, kau memberitahu bahwa kau pecinta makhluk-mahkluk kecil yang lucu itu. Mimpi-mimpi besarmu tentang masa depan selalu berhiaskan bayi-bayi mungil, bukankah begitu bela? Kau pun membingkiskan senyum buat bayi-bayi impianmu. Duhai Petra-ku, seharusnya aku tidak merusak mimpi-mimpi muliamu. Sebab sebelum aku berhasil meyakinkanmu kalau kau akan jadi seorang ibu yang baik kelak, rahimmu telah menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Seketika fantasi indahmu musnah dalam simbahan tangis pertama di kamar kosku. Aku turut diurung ketakutan serupamu, sayang, takut karena tiba-tiba mahkluk malang itu berkunjung ke dalam perutmu. Kita hanya bisa saling bertanya; kapan, malam keberapa, siang yang mana, saat kesiagaan kita dilebur gelombang nafsu-nafsu purba sehingga kita begitu teledor membiarkan pertemuan dua cairan tubuh kita melakukan pembuahan? Kau menangis sekali lagi dengan bisikan kecemasan yang luar biasa gundah. Tetapi, sekali lagi kukatakan sangat beruntunglah diriku memilikimu oleh karena loyalitasmu. Tidak macam gadis cengeng dengan seratus alasan untuk memerasku, kau lebih memilih pasrah. Katamu, seperti kutukan, hidup juga memilih jalannya sendiri. Di sanalah dirimu. Kau menolak menggugurkan jabang bayi kita. Bagian kecil dari fantasimu tentang bayi-bayi mungil di hari yang lain, menyisakan rongga di hatimu yang terluka. Meski dengan tangis, kau relakan makananmu turut menutrisi si penyusup kecil itu. Kau biarkan tanganmu mengelus-elus dirinya dari balik kulit pucatmu. Aku sangat tertekan melihat cinta tanpa pamrihmu.

Namun, bagaikan tersengat arus listrik atau kalajengking bunting aku menjerit di suatu senja setelah beberapa hari kelahiran putri kita. Kau mengiba-iba. Terucap serentetan kalimat memelas dari mulutmu bahwa karena beban moral, karena kau masih kuliah, dan karena hubungan terlarang kau telah bungkus bayi terkasihmu dalam sebuah kertas koran berlapis, dalam sebuah kardus bertuliskan indomie, kau letakan dia di depan toko swalayan yang sepi pada subuh yang dingin. Oh, itulah awal dari akhir kita.

Sudahlah, aku tak mau berlama-lama mengusik harta-harta kenangan sementara ini, meskipun aku berhak berlarut-larut, sebab langkahku telah mencapai pintu beralamatkan sesuai pemberianmu. Aku di depan pintu rumahmu, sayang.

Bukalah pintu itu, segera!!

*****

Aku mulai saja karena sudah hampir sejam kita berpelukan, hanya berpelukan seolah kata-kata kerinduan menjalar lewat kehangatan suhu kita. Kau hanya perlu mendengarkan, aku akan mengisahkan dia selama kita masih berpelukan dan terima kasih kau masih menggunakan merk parfum ini.

Seperti pribadimu; kekasih baruku punya banyak nama. Benar-benar kebiasaan tak patut ditiru dariku menamai sesuka hati. Mungkin aku mencontohi indutri musik kita yang memberi peluang tiap orang boleh bebas meniru gaya, penampilan, yang belaka milik orang sehingga musik zaman sekarang begitu trendy, sehingga aku merasa akan lebih terkesan bila kunamai kekasihku dengan nama-nama terkini. Dia adalah paula dengan gaun kuliahnya di pagi hari. Dia adalah Tasya dalam sebuatan ibu kosnya tiap kali aku mampir menanyakan dia. Dalam kartu mahasiswanya dia adalah paula anastasya. Namun dalam pelukanku, dia kunamai karlita. Sungguh aku punya maksud menamai dia seperti itu, sekedar menghidupkan sensasi lama kita bila kulit kita bergesekan di atas kasurku yang empuk dan yang selalu kau senangi.

Bella, izinkanku menceritakan tentang setan menggairahkan itu. Inilah tujuanku menemuimu; mencaritahu tentang dia.

Aku mula-mula bertemu paula pada suatu malam di sebuah tempat hiburan, dosaku terkasih, dan aku mendapati diriku tidak mengeluhkan kebiasaan anak muda yang menghabiskan uang kuliah seperti ini. Aku malah terus memandanginya hingga ia jengah, sebab dalam balutan gaun seronok, sumpah kupikir dia adalah dirimu. Aku sampai gila mengira Tasya adalah titisanmu. Sampai pada batas kewarasanku yang berpikir dia adalah dirimu yang tidak akan pernah menua, aku pun berhasil menutup “fase”-mu dengan sosoknya. Lalu, tak malu-malu lagi kami pun jatuh cinta. Oh, Marsha; makan malam bersama kita di waktu-waktu yang telah menumpuk dalam sejarah sungguh menenangkanku dari segala omong kosong di meja kerja. Dan demikian kami sekarang, sayangku. Paula sangat manusiawi dengan menolak pikiran pelajarnya bahwa aku hanyalah si tua beruban yang mengincar paha mulus gadis dua puluhan. Sejauh ini, aku yakin dia tidak pernah menuntut terlalu banyak. Tidak memanfaatkan dompetku yang tebal. Mengapa ada kemiripan hampir mutlak macam ini antara kalian, Bela?

Petualangan kecil kami, membujukku menyewa kamar kos di sekitar kampusnya. Aku menginap di sana selalu dua hari dalam seminggu yang menyedihkan karena perselingkuhanku, dan tahukah kamu bahwa istriku sama sekali menelan kebohonganku seperti menelan pil-pil yang membantunya tertidur lebih awal? Lembur di kantor. Minum bersama teman. Membahas peluang investasi, dan sebagainya. Dan sebagainya. Istriku percaya begitu saja selama cinta adalah uang dan uang adalah kebahagiaan rumah tangga kami.

Aku adalah kuda, Marsha. Maksudku bertenaga kuda. Dengan mengantongi angka usia menjelang lima puluh tahun, api sulbiku masih memanas memandangi paha mulusnya. Paula sangat wangi saat pertama kali segala pertanyaannya tentang rahasia apa di balik kulitnya yang sesegar jambu air menemui jawaban melalui lenguhanku. Gelenyar asmara berpendar hingga ke langit. Sayangnya, tidak sepertimu yang tabah, dia menitikkan air mata. Entahlah. Namun kau harus pandai menduga bahwa keesokan harinya dia mengirimi pesan singkat tentang kalimat-kalimat rindunya. Hmm, bagaikan kembang krisan mekar di sela-sela pagi.

Puput sayang, Jakarta selalu cocok buatku. Dimana macet menawarkan asusila kami di dalam mobilku yang merayap. Peluh bersimbah di balik baju kuliahnya, lutut kami bergetar takut ketahuan di negara hukum kita ini. Namun ketika mobil melaju lagi dalam kecepatan standarku, kami pun akan saling menertawakan lagi. Kegilaan yang manis dan bertabur bintang-bintang.

Petraku terkasih,,singkat cerita dia adalah dirimu. Semacam titisan yang mendebarkan. Aku menyerah berbulan-bulan ini untuk mengabaikan kemiripan kalian. Dan sebelum kisahku berakhir, benar-benar tuntas dalam satu letusan kembang api tahun baru itu aku ingin bertanya padamu. Pertanyaan antara kita berdua. Kau mesti mengetahui keberanian amat besar dalam diriku bahkan mengabaikan sekerumunan hantu-hantu yang tengah mengejekku untuk bertemu wajah masa lalumu, jadi bersikaplah terbuka padaku sayang.

“Apakah, bayiku, bayi kita…oh, betapa memalukan aku mengakui sebagai ayah mahkluk tak bersalah itu, memiliki setitik penanda di pipinya? Tepat di pipinya seperti milikku ini? Sebintik hitam yang katamu tahi lalat? Benarkah, bela?..jawablah!”

Aku juga selalu berprasangka, bahwa karena setelah kelahirannya aku tidak pernah sekali jua berani menatapnya, menggendong, menciuminya, Tuhan berhenti memberiku seorang bocah kecil pada rahim istri sahku. Ini pula yang membuatku tidak pernah tahu seperti apa rupa anak kita, sayang. Mungkin itu bagian dari kutukan-kutukanku.

Oh Marsha, tataplah aku. Biarkan matamu menyampaikan kebenaran. Kau berpaling, matamu meredup, padahal sesungguhnya aku mimpikan melihat cahaya dalam biasan korneamu yang sehitam malam. Karena redup memiliki arti mengerikan seumpama rasa bersalahmu. Aku terpaku ketika kamu mengangguk.

Aku teringat pernah berdoa kepada Tuhan yang mungkin telah meludahi perbuatan nekadku, memohon agar apapun kesamaan fisik antara kau dan dia, paula bukanlah hasil rahimmu. Malahan aku masih tekun bersujud setelah dengan gamblang pada suatu malam Tasya mengatakan bahwa dia adalah anak pungut, benar-benar anak pungut. Dengan bersungguh-sungguh, aku berdoa agar bayi yang kau bungkus dengan kertas koran dan ditinggalkan di dekat toko pada subuh yang dingin itu tidak pernah tumbuh sebagai remaja yang memabukanku. Kau tahu berapa usianya kini? 22 tahun, Bella. Bukankah 22 tahun yang lalu seorang bayi perempuan pernah dibiarkan digeluti gigil sendirian, hingga barangkali Tuhan mengirimkan seorang malaikatnya, mungkin seorang penjaga toko atau seorang pengemis jalanan atau seorang pengendara motor memungutnya. Aku mau mati saja karena berharap paula bukan bayimu, Petra tersayang…

Namun, aku ingat akan kalimatku. Kutukan memilih jalannya sendiri. Barangkali, di usia hendak menuju senjaku, dengan uban di sana-sini sementara kebejatanku belum berakhir juga, Tuhan telah mengutukku dengan membuat kutukan paling mengerikan ini. Dan hantu si Lincoln tersenyum bijak. Aku berbisik-bisik di sampingmu oleh ketakutan akan dosa tak termaaf; apakah aku masih layak hidup di pagi besok sementara wujud manusiaku seharusnya telah berubah jadi seekor anjing karena telah meniduri putrinya sendiri?? Hantu-hantu itu mengerubungikui bagai belatung, dari mulut Hitler terdengar bisikan sesak, “bergabunglah bersama kami, besok!”

Sementara hantu Max menyodorkan sisa pizza-nya.

Tanda Mata

Cerpen Chotibul Umam

gambar diunduh dari 1.bo.blogspot.com

Seorang pemuda dengan wajah tenang sedang duduk di atas kursi roda. Sudah sekian bulan dia terbaring seperti tak bernyawa. Entah penyakit apalagi yang tak jenuh menghinggap di tubuhnya. Daya tahan tubuh seakan tak lagi mau berpihak pada niatnya untuk menjalani hidup. Tapi di balik matanya yang bulat dia masih menyisahkan cita-cita yang selama ini tertunda. Seperti sedang merencanakan sesuatu yang barangkali dia sendiri tak tahu bagaimana akan bertindak.

Dari kejahuan tampak seorang gadis yang tiba-tiba mampu memecah ingatannya. Diputarlah roda yang membawa tubuh lemahnya untuk lebih dekat namun tetap menjaga jarak dengan gadis tersebut. Gadis berambut gelombang itu seakan tak sungkan untuk mengenakan pakaian layaknya seorang pria. Rambutnya yang tergerai ditutup dengan topi khas gaya Putu Wijaya, dan tas yang menungging di punggungnya seolah ingin menunjukkan bahwa dia menyimpan berbagai macam lensa yang dibutuhkan, di sisi lain baju rompi yang turut mempercantik penampilannya lebih memberi kesan bahwa dirinya memang  fotografer yang berpengalaman.

Sepucuk mawar di pagi itu mulai mekar. Harumnya mulai turut memperindah taman bunga di tepian kolam air mancur. Angin segar yang berhembus ringan semakin kian diburu oleh para pasien sebelum ikut membaur bersama polusi, ditemani sanak famili atau perawat pribadi, mereka berharap segala duka akan segera hilang.   

Pemuda itu sempat menyimpan pertanyaan dalam hati saat melihat gadis itu. “Apa yang diharapkannya dengan mengambil gambar di tempat seperti ini? Bukankah ada yang lebih indah dari sekedar mengabadikan orang-orang yang dirundung duka?” ujarnya dalam hati.

Matanya terlihat cekung dengan warna hitam yang membalut tepat di pelupuknya. Belum sempat keinginannya untuk menyapa tiba-tiba rasa nyeri di kepala menyerang. Diputarlah kursi roda yang membawa tubuh ringannya untuk segera kembali ke kamar. Kembali untuk mengurai beban kepala yang tak sebanding dengan cintanya.

“Bagaimana dengan hari ini Mas Adam? Apakah sudah lebih baik,” tanya suster pribadinya sembari mengantarkan sarapan pagi. 

Ia seperti terkejut ketika melihat suster muncul dari bilik pintu kamarnya. Hanya dengan senyum ringan pemuda berparas layu itu menjawabnya, selebihnya tak ada kata yang keluar.

“Sebelum dokter datang memeriksa, ada baiknya Mas Adam sarapan dulu mumpung lagi hangat buburnya.”

“Sus, masih berapa lama lagi saya tinggal di sini?” tanyanya

“Kata dokter tidak lama lagi. Hanya saja kondisi tubuh Mas Adam masih diragukan maka dari itu dokter menyarankan lebih baik tinggal di sini dulu,” jawabnya.

“Boleh saya bertanya Sus?” tanya pemuda beralis tebal itu.

“Boleh Mas…”

“Apa Suster pernah jatuh cinta?”

“Ya sering Mas, malahan hampir tiap hari,” jawabnya meledek.

“Apa yang biasanya orang berikan sebagai tanda cinta kepada orang yang dicintainya?”

“Ya macam-macam Mas. Dengan bunga boleh. Lukisan juga boleh atau puisi apalagi. Bisa juga dengan memberikan sesuatu yang menjadi kesukaannya. Oh…, ada yang sedang jatuh cinta ya,” guraunya.

“Mungkin Sus, tapi nggak tahu.”

“Nggak tahu atau nggak berani Mas,” seraya tersenyum.

“ Heheh…ya terimakasih Sus atas sarannya”

“Ya sama-sama Mas,” senyumnya ramah.

Kamar bernomor 13 ruang VIP adalah tempat dimana dia merebahkan segela penat. Tak ada satupun keluarganya yang berkunjung, sebab dia menutup diri dari keluarga maupun teman dekatnya. Dipilihnya rumah sakit sebagai tempat tinggalnya sementara adalah atas kemauannya sendiri. Dia sangat menyadari dengan kondisinya yang telah berbulan-bulan menahan rasa sakit di kepala.

Malam telah menjelang dan bulan yang terang  sinarnya perlahan jatuh menembus dinding-dinding sepinya malam. Bila saat-saat seperti ini para pasien tak lagi diperbolehkan keluar dari kamarnya. Karena udara malam dianggap  liar seperti tak kenal memilih untuk dijadikan korbanya. Di setiap barisan bangsal mata malaikat maut seolah mengintai para penghuninya. Meski itu sebuah resiko usaha dan doa harus tetap dilakukan.

Mula-mula kepalanya mulai nyeri dicarinya tempat obat. Dia menelusuri disekitar laci ,meja, sampai dibawah ranjang. Ketika tak sengaja dia menendang kotak sampah lalu jatuh berserakan dia melihat sebungkus obat. Diambilnya dengan tergesah-gesah lalu lekas diminumnya sesaat kemudian jatuh tertidur di atas lantai tanpa alas.

“Mas Adam,….!” teriaknya suster ketika membuka pintu

“Mas Adam bangun Mas” sembari meanggoyangkan tubuhnya.

Akhirnya dia terbangun dengan tergagap. Dengan wajah pucat pasi dia dipapah berdiri kemudian dibaringkan tubuhnya di atas ranjang.

“Bagaimana Mas Adam bisa tertidur di atas lantai” tanya suster penuh.

“Tidak  tahu Sus, setelah saya minum obat langsung terjatuh”

“Pasti terlalu capek.”

“Sekarang Mas Adam mandi dulu habis itu kita jalan-jalan keluar” lanjut suster.

Dia bergegas membersihkan tubuhnya. Berpakain rapi dengan sedikit berdandan. Hari ini tidak seperti biasanya dia terlihat tampan, berbeda betul dengan hari-hari sebelumnya. Rambutnya yang pendek dibiarkan sedikit acak-acakkan. Tak ketinggalan pula dia memakai wangi-wangian. Disemprotkan parfum bermerk ke tubuh kurusnya seperti ingin memberi aroma semangat dalam hidup.

“Wah  hari ini mas terlihat tampan,” puji suster.

“Memang Mas Adam punya janji hari ini, dengan seseorang mungkin,? ujarnya.

“Nggak ada Sus, cuma ingin tampil beda dari hari biasanya.”

“Baguslah Mas, saya senang mendengarnya,” katanya begitu riang seraya mendorang kursi roda.

Dari kejauhan terlihat lagi seorang gadis fotografer seperti tempo itu. Untuk kali ini dia sedang membidik objek. Sekali bidik sesekali itu pula dia langsung melihat bidikannya mengoreksi hasil dari gambar kameranya. Mungkin dirasa belum cukup puas hasil jepretannya lalu diarahkan lagi mata kamera ke objek tadi. Setelah sekian kali dia membidik, baru sebentar senyumnya mulai mengembang seperti merasa puas dengan hasil yang terakhir ini. Sejurus kemudian dia mengedarkan matanya dengan jeli berharap menemukan sesuatu yang menarik. Tiba-tiba kamera itu diarahkan kepada sosok pemuda yang duduk di kursi roda dengan seorang suster sedang mendorong dibelakangnya.

“Cekrek.”

Tersontak ketika dia tahu bahwa dirinya sedang dijadikan objek gambar seorang fotografer.

“Sus, dia itu fotografer?” tanya pemuda itu dengan menunjuk ke arah gadis yang sedang mengambil gambar.

“Ya Mas, hampir satu minggu dia di sini katanya mau mengadakan pameran fotografi di kota ini.”

Si gadis sepertinya menyapa pemuda yang berkursi roda itu dengan tersenyum manis. Gadis itu pun berjalan menuju ke arah pemuda yang ditemani seorang suster tersebut.

“Pagi Mas, kenalkan saya Ana” gadis cantik itu menyapa sembari memperkenalkan namanya    

“Pagi juga Mbak Anan, saya Adam” pemuda itu pun membalasnya.

“ Mbak Ana katanya ingin mengadakan pameran fotografi di kota ini?”  

“Ya Mas, rencananya bulan depan bareng teman-teman”

“Mas, saya tinggal dulu mau ke ruang dokter pribadi Mas Adam” sela suster di tengah percakapan mereka.

“Mbak Ana saya tak tinggal dulu ya?” lanjutnya.

“Oh ya silahkan Sus.”

“Kalau boleh tahu kenapa yang jadi objek rumah sakit Mbak?”

“Heem, karena saya ingin mengabadikan orang-orang yang tegar dan berani bertahan menghadapi hidup, dan saya kira orang-orang di luar sana harus bisa mengambil pelajaran dari orang-orang yang sakit. Mereka yang jelas-jelas dalam keadaan sakit masih mau mencuri kesempatan untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya” jawabnya dengan lugas.

Angin pagi itu menerpa tubuh sakitnya. Semacam duka atau suka meski itu semua silih berganti beranjak. Entah apa yang ada dalam pikiranya seperti ingin menyampaikan kata-kata tapi tak selugas apa yang biasa dia katakan.

“Begini Mbak, saya punya permintaan yang mungkin bisa dijadikan bahan untuk pameran nanti” pintanya dengan tatapan sedikit nanar.

“Apa itu Mas?”

“Tolong bidik mata saya, cuma mata saya,” tegasnya.

“Boleh juga Mas.”

“Cekrek,,cekrek,,cekrek” beberapa kali gadis bermata jelita itu mengambil gambar sesuai keinginannya.

“Terima kasih Mbak”

“Ehm punya kertas dan pensil Mbak”

“Ini Mas” disodorkannya kertas dan pensil.

Tidak lama dia menuliskan sesuatu di atas kertas. Lalu diberikannya lagi kepada gadis bernama Ana itu.

“Kalau memang gambar tadi bisa dijadikan sebagai bahan pameran. Saya minta judul dan sinopsis ceritanya sama persis dengan apa yang saya tulis tadi Mbak” pintanya.

“Siap Mas” jawabnya gadis berparas anggun itu.

Selang beberapa saat sang suster datang bersama dokter pribadinya. Mereka pun akhirnya berpamitan kepada  si gadis . Ditariknya pemuda tersebut dari tempat semula. Entah baru beberapa jam lewat. Tak lama kemudian sebuah kereta ranjang keluar dari kamar bernomor 13. Terlihat kain putih itu telah menutup seluruh tubuh yang nampak terbujur kaku berjalan di depan mata si gadis. Dia  terpaku melihat sosok yang telah tertidur panjang. Suara serak roda kereta ranjang itu seperti ingin mengabarkan bahwa usia hidupnya memang tak sepanjang usia cintanya.

Tepat ketika pameran fotografer itu dibuka. Di samping pintu masuk pameran terpajang foto berukuran paling besar. Siapa pun yang akan masuk ke ruang galeri itu pasti tak akan melewatkan foto bertuliskan tanda mata dengan sinopsis” ketika kata-kata tak lagi bisa menjadi peluru, bisakah tanda mata sebagai ungkapan cintaku padamu?” teruntuk Fhy Savitri.

Tembakan Lelaki Borneo

Tembakan Lelaki Borneo[1]

 Cerpen Anton Trianto

gambar diunduh dari situsaja.blogspot.com

Bunyi tembakan dan suara barang yang pecah terdengar nyaris bersamaan. Menggetarkan udara dan terasa membekas di gendang telinga. Menyusul di belakangnya suara berat seorang lelaki yang memaki-maki.

“Riwuuuut! Tempayanku, Riwuuut! Sontoloyo! Asu!”

Menyusul lagi di belakangnya suara banyak orang terkekeh-kekeh menggenapi parade suara gaduh di tempat itu. Sebuah tempat yang merupakan sebidang halaman belakang sebuah rumah. Tempat yang dipenuhi oleh banyak lelaki yang sedang menggendong bedil di tangannya.

Di tempat itu berdiri seorang pemuda, tubuh kecil berkulit hitam. Pemuda yang barusan saja menembak, dimaki dan ditertawakan. Namanya Riwut. Semua orang di sana menggeleng-geleng kepala atas apa yang sudah diusahakannya. Riwut pun juga terpaksa geleng-geleng kepala atas kegagalan-kegagalannya.

Mata Riwut menatap sebuah botol kosong bekas minuman keras buatan Belanda yang diletakkan di atas tumpukan karung berisi pasir. Botol kosong itu adalah sasaran latihan tembaknya sore ini. Botol kosong yang diletakkan sembilan hasta di depan ujung laras bedilnya itu, benar-benar membuat hatinya sangat jengkel.

Tujuh kali sudah peluru meletus dari moncong senapan Riwut. Namun tetap saja sasaran tembak itu bergeming di tempatnya semula. Tak bergerak barang secuil jarak pun. Peluru Riwut malah nyasar menghantam sebuah tempayan air milik majikannya yang terbuat dari tembikar. Bagian tengah tempayan itu rengkah isinya muncrat berhamburan.

Bukan hanya tempayan air yang jadi korban keganasan senapan Riwut. Sebelumnya, dahan pohon randu di belakang sasaran tembak juga berlubang ditembus peluru. Beberapa karung pasir di kiri kanan sasaran bernasib sama, bocor dicium timah panas. Sementara tiga buah peluru melesat menyapa awan, hilang entah kemana. Tak satu pun tembakan Riwut kena sasaran.

Riwut membidik lagi. Ia kembali mengatur posisi badannya. Kuda-kuda kakinya dikuat-kuatkan. Suara kokang senapan terdengar. Riwut mulai memicingkan sebelah matanya lalu menahan nafas.

“Sudah, sudah! Cukup! Kita hemat peluru!” seorang lelaki berbadan tinggi gempal mencegah dan memberikan isyarat tangan kepada Riwut agar tidak menembak lagi.

“Kau belum bisa menembak juga,” katanya pada Riwut dengan kerut di dahinya. Yang ditanya cuma bisa menjawab dengan cara memamerkan senyuman hambar dan seringai kosong.

Lelaki tinggi gempal itu melepas hembus nafas pelan, prihatin dengan kegagalan Riwut menembak. Lelaki itu adalah Cak Hasan. Dahulu Cak Hasan adalah seorang chudanco[2] PETA[3], kini ia jadi anggota BKR[4]. Cak Hasan diminta oleh Ki Kusno, untuk melatih laskar rakyat bentukannya agar bisa menggunakan berbagai senjata api hasil rampasan dari gudang senjata milik Jepang. Ki Kusno sendiri adalah majikan Riwut, orang yang memaki karena tempayan airnya pecah ditembak Riwut. Ia terkenal sebagai salah seorang jawara silat ternama di Surabaya.

“Riwut, latihan yang becus! Masa sampai hari ini kau belum juga bisa menembak!” bentak Ki Kusno dengan air muka yang geram.

Lagi-lagi Riwut hanya bisa memamerkan senyuman hambar dan seringai kosong sebagai sahutan untuk Ki Kusno. Riwut tak berani berlama-lama menatap sorot mata majikannya yang sedang kesal. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah Cak Hasan. Cak Hasan terlihat sedang memberi tanda kepada semua orang di tempat itu untuk berkumpul lebih dekat.

“Dengar semua! Kabar yang kami dapat, pasukan Sekutu yang diwakili Inggris segera akan berlabuh di Surabaya, mungkin dua tiga hari lagi. Dan seperti yang telah kita tahu, desas-desus berkembang bahwa akan ada Belanda membonceng di dalamnya. Mereka hendak kembali mengangkangi kemerdekaan kita.”

Lantang suara Cak Hasan membuat suara lain jadi bungkam. Cak Hasan memang penuh kharisma. Air mukanya yang selalu tenang dan nada bicaranya yang datar dan tegas bagai menyihir siapa saja untuk hormat dan segan padanya. Tidak terkecuali Ki Kusno yang terkenal sebagai seorang jagoan.

“Kita tidak punya banyak waktu untuk terus latihan senjata. Kita harus segera bersiap, bersiaga. Seluruh laskar rakyat diharapkan terus bekerja-sama membantu BKR.”

Cak Hasan berhenti sejenak. Bola matanya bergerak menyapu seluruh wajah lelaki yang ada di sana, lalu berhenti pada wajah Riwut. Ditatap lama oleh Cak Hasan, Riwut membuang pandangnya ke tanah.

“Bagi yang sudah mempunyai senjata, pergunakan amunisimu dengan bijaksana. Yang belum bisa menembak, usahakan segera bisa, silahkan latihan sendiri. Tapi ingat, hemat pelurumu! Mulai sekarang semuanya harus siaga, pantau setiap perkembangan dan kabar yang datang. Jalin terus komunikasi dengan BKR. Kita tahu Belanda tidak akan main-main untuk mengembalikan kekuasaannya. Paham semua?”

Semua kepala lelaki di hadapan Cak Hasan bergerak mengangguk tanda mengerti.

“Baik. Cukup sampai hari ini latihan kita.”

“Merdeka!”

“Merdeka!”

Semua orang pun bubar. Cak Hasan berpamitan kepada Ki Kusno lalu bergerak kembali ke markas BKR. Sementara Ki Kusno bergegas menghampiri Riwut.

“Riwut! Kemari!”

Riwut tergopoh menemui Ki Kusno. Dilihatnya sorot mata Ki Kusno belum juga berubah sedari tadi. Sorot mata kesal yang hendak menerkam wajahnya.

“Riwut, bagaimana kamu ini? Kamu serius tidak selama latihan? Sampai hari ini kau belum juga bisa menembak?”

Riwut cuma diam, matanya ke tanah.

“Musuh kita adalah Belanda, Wut! Mereka pakai bedil, meriam, dan senjata api lainnya. Kamu kira bisa menghadapi mereka hanya dengan parang, pedang dan jurus-jurus silatmu saja, hah?!”

Riwut masih diam, matanya melirik wajah Ki Kusno sejenak lalu kembali ke tanah.

“Aku tahu, kita semua belum ada yang mahir menembak. Tapi paling tidak kami bisa membidik sasaran lumayan lebih baik ketimbang kau. Tapi kau, benar-benar payah!”

Riwut tetap diam, ia merasa seperti terbenam pelan-pelan ke dalam lumpur hisap, tak kuasa membela diri. Ki Kusno diam sejenak, diamatinya raut wajah Riwut lekat-lekat. Tak tega juga akhirnya Ki Kusno melihat kesan wajah menyerah tak berdaya yang diperagakan oleh Riwut. Ki Kusno pun mengendurkan urat lehernya.

“Kau bisa jadi seorang yang amat berguna bagi perjuangan ini. Badanmu lincah, gerakmu cepat, bayangkan jika kau mampu menembak dengan baik.”

“Tak tahu aku, Ki. Sudah aku coba. Tapi tetap tak bisa,” akhirnya Riwut bersuara.

“Latihan yang becus, Riwut. Akan sangat berbahaya jika kau menembak dengan caramu itu lalu bergabung dengan laskar di garis depan perjuangan.”

Riwut mengangguk pelan. Ki Kusno kemudian pergi meninggalkan rumah sekaligus padepokan silat juga markas laskar rakyat buatannya itu. Seperti biasa, setiap senja mulai menguning, Ki Kusno harus sudah berada di sekitar gudang beras milik Koh Ah Guan. Di sana ia bertugas sebagai mandor yang mengawasi para pekerja membereskan karung-karung beras sebelum pintu gudang dikunci. Kali ini ia tak mengajak Riwut membantunya mengawasi gudang Koh Ah Guan. Riwut diperintahkan untuk menjaga markas.

Ki Kusno memang seorang centeng. Dahulu meneer-meneer[5] Belanda, para indo dan priyayi kaya sering menyewa jasa Ki Kusno. Namun sejak kedatangan Jepang, ia kini hanya melayani permintaan tauke-tauke Cina saja. Jawara silat itu sering dibayar untuk bekerja sebagai mandor perkebunan, penjaga gudang, tukang pukul, bahkan pengawal pribadi.

Menjadi centeng sewaan tentu perlu merekrut beberapa orang anak buah. Lima tahun sudah Riwut direkrut jadi anak buah Ki Kusno. Awalnya Ki Kusno bertemu Riwut di Pelabuhan Ujung. Kala itu Ki Kusno sedang disewa untuk membantu mengawasi keamanan proses bongkar muat barang kapal yang baru datang dari Rotterdam.

Sedikit terkejut Ki Kusno saat melihat ada seorang kuli baru bekerja di sana. Kemampuan kuli itu menyelesaikan pekerjaannya memukau Ki Kusno. Kuli itu mampu bergerak sangat lincah dan cepat walau sedang memanggul beban berat di pundaknya. Ia mampu menyelesaikan pekerjaannya dua kali lebih cepat dari kuli lainnya.

Dia-lah Riwut, si kuli baru itu. Seorang pemuda asal Borneo. Kuli itu tak mengerti bahasa Jawa, tapi bisa sedikit Melayu. Namun masalah bahasa tak jadi soal buat Ki Kusno, tampaknya ia sudah kepincut dengan kemampuan fisik Riwut. Akhirnya Ki Kusno menemui Riwut dan menawarkan pekerjaan sebagai anak buahnya dengan upah yang jauh lebih tinggi daripada upah kuli. Riwut pun menerima tawaran itu.

Tak butuh waktu lama, Riwut pun menjadi orang kepercayaan terdekat Ki Kusno. Selama ini tak ada satu pun tugas yang Riwut lalaikan. Semua perintah tuntas ia laksanakan. Kecuali satu perintah yang masih tersisa sekarang, belajar menembak dengan senapan.

Masih di halaman belakang markas laskar rakyatnya Ki Kusno, Riwut duduk termenung memandangi senapannya. Tangannya menyapu seluruh badan senapan, mulai dari laras, pelatuk hingga popornya. Lagi, Riwut geleng-geleng kepala. Ia tak bisa paham mengapa dirinya seperti tak berjodoh dengan senjata itu.

Diambilnya satu butir peluru dari kantung yang tergantung di sabuknya. Didekatkan peluru itu ke matanya, dilihatnya lekat-lekat. Lalu peluru itu ia dekatkan bersisian dengan moncong senapan. Entah kenapa, tiba-tiba ia ingat senjata warisan leluhurnya di Borneo.

Andai Ki Kusno menyuruhnya menembak menggunakan senjata leluhurnya itu, tentu botol kosong itu sudah terpelanting pecah. Jangankan botol, seekor harimau gila pun sanggup ia robohkan sampai mampus hanya dengan senjata tersebut. Tapi ia tak mau berlama-­lama memikirkan senjata leluhurnya itu.

Riwut kembali berdiri. Ia menata posisi dan kuda-kuda kakinya lagi. Bedil diangkat dan moncong larasnya diarahkan kembali ke botol kosong yang masih di atas tumpukan karung pasir. Senjata di-kokang, mata kirinya kembali memicing.

Suara tembakan kembali menggelepar di udara. Dahan pohon randu kembali berlubang. Botol kosong tetap diam di tempatnya. Di belakang Riwut, suara tawa mengejek kembali terdengar.

“Jangan memaksa diri, Wut! Hari sudah petang, sudah mandi sana! Botol itu juga sudah muak dengan bau badanmu!” rupanya Sudiro – anak buah Ki Kusno yang lain – mengintip dari jendela saat tembakan Riwut meletus, lalu ia tertawa.

Suara tembakan meletus lagi. Peluru Riwut kembali terbang, menyapa awan lalu hilang. Sudiro tertawa lagi, bahkan lebih keras.

**

Bulan November, Surabaya porak poranda. Hampir genap dua puluh hari kekuatan tempur tentara Inggris menggilas perlawanan kota itu. Yang tersisa hanya reruntuhan pos-pos pertahanan yang berwarna legam juga sejumlah jasad dan bekas tumpahan darah para pejuang. Serangan udara, serbuan tank dan tembakan mortir Inggris sejak tanggal sepuluh telah membungkam Surabaya dalam sebuah kekalahan.

Semua front perjuangan rakyat Surabaya dipukul mundur jauh hingga ke selatan tidak terkecuali laskar rakyatnya Ki Kusno. Ki Kusno telah kehilangan banyak anak buahnya. Lebih sialnya lagi ia kini putus kontak dengan pasukan BKR pimpinan Cak Hasan.

Setelah pertahanan di Wonokromo disergap oleh tank-tank Sherman, pasukan pejuang tercerai berai mundur ke arah Gunungsari. Karena gencarnya tembakan kanon dari moncong tank, Ki Kusno dan empat anak buahnya termasuk Riwut panik lalu lari terpisah dari pasukan BKR. Mereka lari masuk ke dalam hutan yang masih merimbun tak jauh dari Kali Surabaya.

Mereka terjebak lebih dari tiga hari di dalam hutan dengan keadaan kekurangan bahan makanan. Sumber makanan kian menipis karena binatang-binatang yang bisa diburu tak terlihat lagi berkeliaran dalam hutan itu. Sementara sumber air semakin sulit dicapai karena tentara Inggris masih terus bergerak menyapu kekuatan pejuang hingga di tepian Kali Surabaya.

Ki Kusno harus memutuskan sesuatu. Diam di dalam hutan lalu kemungkinan mati kelaparan, atau terus bergerak ke timur menembus rimbunan pohon hingga sampai ke Wonocolo dengan persediaan makanan dan minuman yang tak memungkinkan. Dan pilihan terakhir adalah nekat menyelinap melewati barikade tentara Inggris di depan mereka di sekitar Kali Surabaya.

Ki Kusno lebih condong pada putusan yang nekat. Ia mengirim Riwut untuk mengintai kemungkinan dimana keberadaan pos-pos penjagaan musuh dan bagaimana gambaran peluang mereka untuk menyelinap. Riwut di suruh pergi saat langit senja telah benar-benar gelap.

Namun hingga malam kian meninggi, Riwut tak kunjung kembali. Ki Kusno dan anak-anak buahnya gusar menunggu informasi. Dengan diterangi sedikit nyala api yang membakar tumpukan ranting-ranting kecil, Ki Kusno mengajak sisa anak buahnya untuk merundingkan hal tersebut dan memutuskan rencana selanjutnya.

“Riwut belum juga kembali. Kita tak bisa menunggu lebih lama lagi. Jika malam berlalu dan terang pun datang, maka kita terpaksa menunda rencana kita. Akan sangat sulit kita menyelinap di saat cahaya sedang benderang,” resah Ki Kusno membuat suaranya kian berat.

“Bagaimana menurut kalian?” tanya Ki Kusno sembari mengamati mata anak buahnya.

“Kami.. Kami hanya menunggu perintah sampeyan, Ki,” jawab Sudiro singkat dan pelan.

“Goblok! Menunggu perintah saja bisanya kalian! Tak pernah memberi masukkan jika diminta! Asu!”

Anak-anak buah Ki Kusno tersentak akibat dibentak dengan kuat seperti itu. Mereka diam tertunduk.

“Ya, sudah. Malam ini juga kita susul Riwut. Siapkan semuanya!”

“Baik, Ki!”

Akhirnya berbekal temaram cahaya bintang dan bulan separuh serta nyala api dari sebuah suluh kecil, mereka bertiga bergerak kembali ke utara. Menembus malam dan pekatnya hutan.

**

Temaram sinar bulan separuh tak bisa mengaburkan mata seorang lelaki yang sedang mengintai seekor ular sendok yang sedang meliuk-liuk di atas tanah. Lelaki itu tampak sungguh gembira. Sudah berjam-jam mungkin ia mencari binatang ini di sekitar hutan, akhirnya ketemu juga. Pelan-pelan ia mendekat sambil mengambil sebuah benda yang tersandang di punggungnya.

Benda itu berbentuk pipa berongga yang terbuat dari kayu berwarna coklat dengan dua utas tali tambang sebagai pengikat di kedua ujungnya. Di salah satu ujung tersebut terpasang semacam mata tombak kecil yang dipaku dan diikat dengan lilitan rotan yang kuat. Panjang benda itu nyaris mencapai satu hasta setengah.

Lelaki itu mengendap-endap mendekat. Benda kayu berbentuk pipa berada di tangan kiri sang lelaki. Sementara tangan kanannya mencabut sebilah pisau yang terselip di sabuk sebelah kirinya.

Tiba-tiba sang ular menyadari kehadiran lelaki itu. Kepalanya langsung berdiri tegak lalu berbalik menghadap ke arah sang lelaki. Ular itu memasang sikap siaga. Otot-otot di sisi-sisi kepalanya mulai melebar bagai sayap burung yang mengembang. Suara desisnya menjadi-jadi.

Sang lelaki tenang-tenang saja menghadapi kemarahan ular itu. Tangan kirinya mulai menyerang dengan menusuk-nusukkan mata tombaknya ke arah kepala ular. Sementara tangan kanannya yang memegang pisau juga melakukan gerakan-gerakan mengayun seperti bersiap-siap hendak melempar.

Sang ular membalas dengan reaksi mematuk-matuk benda kayu berbentuk pipa dan mata tombaknya. Sang lelaki terus saja menyerang ular itu dengan mata tombak tersebut. Tiba-tiba, dengan sebuah hentakan tangan yang penuh tenaga, lelaki tersebut melempar pisau kecil di genggaman tangan kanannya. Pisau pun terbang lalu menembus tubuh sang ular. Ular itupun berakhir selamanya.

Setelah memastikan ular tersebut tak bernyawa lagi, lelaki itu mencabut pisau dari badan sang ular. Kemudian ia duduk bersila di atas tanah. Pisau dan benda kayu berbentuk pipa di letakkannya dekat bangkai ular. Matanya memandang dalam ke arah benda kayu berbentuk pipa tersebut. Sebuah kenangan manis sekaligus pahit pasti kembali jika ia melihat benda itu.

Benda kayu berbentuk pipa tersebut adalah salah satu bagian dari senjata warisan leluhurnya. Karena senjata itulah ia pernah berbangga hati memiliki seorang ayah. Ia bangga karena ayahnya didaulat sebagai prajurit yang paling lihai menggunakan senjata tersebut.

Kenangan manis itu kembali. Ia ingat masa kanak-kanak hingga remajanya dihabiskan dengan belajar menggunakan senjata itu. Ia masih ingat betapa sabar ayahnya mengajarkan seluruh kemampuan yang ia miliki.

Namun segera kenangan pahit menyusul di belakang kenangan manis itu. Ia tentu tak lupa, dengan senjata itu juga ia pernah membunuh seorang manusia. Selembar nyawa anak tetua adat melayang di tangannya hanya karena perkara cinta. Lalu ia lari dari tanah kelahirannya di Borneo, menghindari hukum adat yang sudah pasti menghendaki dirinya juga mati.

Senjata warisan leluhurnya itu tidak boleh tidak pasti akan mengantar kembali semua kenangan dari tanah kelahirannya. Sumpit, demikian senjata itu dikenal. Senjata asli suku-suku dayak di Borneo. Senjata yang racunnya mampu merobohkan seekor harimau gila sekalipun.

Sebenarnya lelaki itu enggan melihat sumpit lagi. Tapi entahlah, dia sendiri bingung mengapa senjata itu juga turut serta ia bawa saat memutuskan menyeberang ke tanah Jawa. Wajah seorang ayah yang selau membayang dalam sumpit itulah yang mungkin membuat ia tak kuasa meninggalkan sumpit itu di tanah kelahirannya.

Sesaat kemudian lelaki itu tersadar dan buru-buru ingin melepaskan diri dari kenangan-kenangan itu. Ia menarik pikirannya dari bayangan-bayangan masa lalu melalui tarikan nafas yang berat dan dalam. Seluruh kenangan tentang tanah Borneo ditiupnya jauh-jauh seiring hembusan nafas yang dilepaskannya. Ia tak mau lagi melihat masa lampau.

Saat ini yang paling penting bagi lelaki itu adalah perintah majikannya. Dan saat ini ia ingin bertindak lebih jauh dari apa yang diperintahkan. Oleh karena itu ia mencari ular untuk diambil bisanya.

Tangan lelaki itu kemudian merogoh sebuah kantong kecil terbuat dari kulit yang tergantung di sisi kanan sabuknya. Ia mengeluarkan semacam tabung kecil kemudian membuka tutupnya. Di dalam tabung itu ada gumpalan sesuatu yang tampak telah mengering dan keras. Bau tak sedap menyeruak keluar.

Inilah racun racikan ayahnya. Racun ini adalah pelengkap agar sumpit menjadi senjata yang sanggup membunuh sebuah sasaran hidup. Karena telah lama tidak digunakan, cairan racun itu menggumpal dan mengering. Namun lelaki itu tahu, dengan mencampur ramuan racun itu dengan beberapa tetes bisa ular dan air ludah, racun tersebut tak lama kemudian akan kembali mencair dalam bentuk yang kental.

Lelaki itu kemudian mengambil bangkai ular. Ia menyayat daging dekat taring-taring ular dengan pisau. Selanjutnya ia meremas kepala ular tersebut tepat di dekat gigi taringya. Cairan putih kemerahan terlihat keluar menetes dari sela-sela gigi-gigi taring ular lalu masuk ke dalam tabung. Setelah cukup banyak bisa ular yang tertampung, lelaki itu segera meludahi tabung tersebut beberapa kali lalu mengaduk-aduk isi tabung tersebut. Gumpalan racun pun perlahan mencair.

Lelaki itu selanjutnya mengeluarkan tujuh buah damek. Damek adalah anak sumpit, benda yang merupakan bagian paling penting dari senjata sumpit. Laksana peluru pada senapan atau anak panah untuk busurnya, demikianlah damek berperan. Benda tersebut terbuat dari bilah bambu yang di potong tipis dan diraut hingga meruncing salah satu ujungnya. Sementara ujung yang lain ditempeli bulu-bulu angsa di sekelilingnya. Lelaki itu mencelupkan damek satu persatu secara perlahan dan berulang-ulang hingga dirasa cukup. Lalu ia biarkan racun pada permukaannya mengering oleh tiupan angin.

Lelaki itu memandangi damek-damek itu. Ia telah memutuskan untuk menggunakan sumpit lagi setelah bertahun-tahun lamanya ia tinggalkan. Ia jadi ingat hari di mana ia didatangi sebuah firasat yang menggerakkan dia untuk membawa serta sumpit dalam pertempuran. Dan pada hari itu, markas laskar rakyatnya Ki Kusno habis dihancurkan oleh serangan udara Inggris. Mungkin malam inilah hikmah dari firasatnya hari itu, pikir lelaki tersebut. Ia berhasil menyelamatkan senjata warisan leluhurnya dari serangan udara sehingga bisa digunakan untuk memperlancar rencananmya keluar dari hutan malam ini.

Sebuah rencana di luar rencana majikannya telah ia susun. Ia sengaja hendak mengejutkan majikannya. Sekaligus mengejutkan tentara Inggris yang sebelumnya telah diintainya di tepian Kali Surabaya dekat sebuah jembatan kecil yang sudah hancur dan runtuh ke aliran kali.

**

Ki Kusno, Sudiro dan dua orang lainnya menahan nafas sejenak dari balik semak rumput yang tinggi. Di depan mereka, terlihat sebuah pos penjagaan yang didirikan oleh tentara Inggris. Pos itu dijaga oleh tujuh hingga sepuluh orang. Rencana untuk menyelinap melewati tentara Inggris kini sepertinya terlihat sangat mustahil.

“Bagaimana ini, Ki? Mereka lebih banyak dari kita!” bisik Sudiro kepada Ki Kusno.

Ki Kusno cuma diam. Entah sedang berpikir atau sedang tenggelam dalam kebingungannya.

Di tengah-tengah kebingungan dan rasa cemas Ki Kusno dan anak buahnya, tiba-tiba terdengar jeritan dari salah satu tentara Inggris. Seorang tentara Inggris terhuyung-huyung memegangi lehernya lalu roboh. Kelojotan sebentar sebelum diam untuk selamanya. Tentara Inggris yang lain tersentak lalu berteriak-teriak memberi tahu rekannya yang lain untuk siaga.

Kini giliran pihak musuh yang dihantui kebingungan dan rasa cemas karena diserang dengan tiba-tiba. Belum sempat mereka tahu apa yang terjadi dan siapa yang menyerang mereka, tiba-tiba satu lagi tentara Inggris terjungkal roboh lalu mengelepar mati. Tanpa suara tembakan, tanpa terlihat siapa yang menyerang, satu persatu tentara Inggris jatuh bertumbangan.

Ki Kusno dan anak buahnya terbelalak menyaksikan pemandangan tersebut. Bingung, tak tahu apa yang terjadi. Tiga orang tentara Inggris yang tersisa perlahan langsung mengambil gerakan mundur dari pos penjagaan. Air muka ketakutan jelas tampak di wajah mereka.

Melihat keadaan itu, Ki Kusno berinisiatif mengambil kesempatan untuk menyerang sisa-sisa tentara Ingris tersebut. Setelah memberi aba-aba perintah kepada anak buahnya, Ki Kusno langsung saja menghamburkan tembakan ke arah tiga orang tentara Inggris yang masih dalam kebingungan dan ketakutan.

Tak lama kemudian baku tembak pun terhenti. Tiga orang tentara Inggris meregang nyawa dengan lubang peluru yang menganga di bagian tubuh mereka masing-masing. Ki Kusno dan anak buahnya keluar dari persembunyian mereka.

“Kita berhasil, Ki!” teriak Sudiro girang.

“Ya. Terima kasih untuk hantu hutan yang telah membantu kita membunuh Inggris-Inggris sontoloyo ini,” sahut Ki Kusno.

Bulu kuduk Sudiro dan teman-temannya sejenak meremang berdiri. Hantu? Mungkinkah yang melakukannya hantu, demikian pikir mereka. Tiba-tiba dari arah sebelah kanan terdengar suara seorang lelaki yang memanggil-manggil mereka. Sontak Ki Kusno dan anak buahnya terkejut lalu bersiap hendak menembak. Namun begitu melihat siapa yang datang mereka menurunkan moncong senjata masing-masing lalu berseru.

“Riwut!”

“Kau yang melakukan semua ini?”

Lelaki yang barusan muncul mengangguk-angguk sembari tersenyum.

“Hebat, Kau! Bagaimana kau melakukannya?” tanya Ki Kusno.

“Dengan sumpit, Ki.” Jawab Riwut singkat sambil menunjukkan senjatanya dengan bangga.

Akhirnya sisa-sisa laskar rakyat itu meneruskan perjalanan mereka keluar dari hutan dan berharap dapat melakukan kontak kembali dengan pejuang-pejuang lainnya. Namun belum lima ratus meter mereka meninggalkan pos penjagaan tentara Inggris yang mereka hancurkan tadi, tiba-tiba terdengar rentetan suara tembakan dari sebuah senapan mesin.

Ki Kusno, Sudiro dan dua anak buah lainnya terpelanting tewas bermandi darah. Beruntung Riwut sigap melompat dan lari menyelamatkan diri dan bersembunyi. Tak lama kemudian muncul seorang tentara Inggris memeriksa jasad-jasad korbannya. Menyadari salah satu bidikannya lepas, tentara Inggris itu lantas kembali memasang sikap siaga dengan senapannya lalu perlahan bergerak memburu korbannya yang lolos.

Dari jarak seratus meter, Riwut melihat tentara Inggris itu semakin mendekat ke arah persembunyiannya. Riwut kebingungan. Ia tak bisa lagi menggunakan sumpit karena semua damek telah habis terpakai. Tak ada pilihan lain selain menggunakan senapannya untuk menembak tentara Inggris itu.

Riwut mulai membidik dari tempat persembunyiannya. Sebuah tembakan terdengar membelah udara malam. Tentara Inggris itu roboh. Riwut melongo menatap senapannya. Kali ini ia tepat mengenai sasarannya hanya dengan sekali tembak. Ia girang bukan kepalang.

***


Catatan:

[1] Borneo adalah nama lain dari Kalimantan. Istilah Borneo dipakai pada zaman kolonial Belanda

[2] Chudanco adalah salah satu istilah kepangkatan pada tentara PETA. Chudanco artinya kepala regu.

[3] PETA (Pembela Tanah Air) adalah milisi (pasukan) yang dibentuk oleh pemerintahan kolonial Jepang di Indonesia dengan tujuan mempertahankan Indonesia dari serangan sekutu

[4] BKR (Badan Keamanan Rakyat) adalah sebuah organisasi ketentaraan yang dibentuk oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1945 yang merupakan cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia.

[5] Meneer = Tuan

Bawa Uky Naik Kereta

Cerpen Sri Utami Ningsih
Editor Ragil Koentjorodjati

stasiun jadul
gambar diunduh dari 4.bp.blogspot.com

“Ayah, kapan Ayah ajak Uky naik kereta?”

Itulah kalimat yang berulang kali diucapkan oleh Uky, putra kecilku yang berusia tujuh tahun. Sudah tiga bulan terakhir ini dia merengek minta diajak naik kereta karena ingin seperti teman-temannnya yang sudah pernah naik kereta. Tapi apa daya, yang bisa kulakukan hanya tersenyum, atau mengulur-ulur waktu, walaupun aku tidak tahu kapan tepatnya keinginannya itu bisa kupenuhi.

“Yah, Uky pengen naik kereta. Kapan Yah?” tanya Uky dengan pertanyaan yang sangat familiar di telingaku.

“Jangan sekarang, Uky! Keretanya lagi dipakai sama oaing banyak. Nanti kalau sepi, Ayah pasti ajak Uky naik kereta,” kataku dengan jurus menghindar yang selalu kupakai. Kata-kata itu selalu melukis semburat kesedihan pada wajah Uky. Namun kesedihan itu tak lama kemudian mengembang menjadi senyuman tulus dan polos dari seorang anak yang sangat percaya pada ucapan ayahnya. Dan hal itu secara tidak langsung membuat hatiku sakit.

Sering kulihat Uky di kamarnya, bermain dengan kereta mainannya yang terbuat dari kardus, dan ia gerakkan dengan jemarinya yang mungil. Sungguh, ingin kuwujudkan keinginannya itu. Naik gerbong kereta, menyusuri rel yang panjang, dan melihatnya tersenyum lebar. Tapi ada satu hal yang membuatku segan melakukan hal itu.

“Uky hanya minta diajak naik kereta, Mas, apa susahnya?” tanya Dinda, istriku tercinta. Wanita cantik yang tengah berbadan dua, yang kini menggantikan posisi almarhummah Ibunda Uky.

“Aku hanya takut kejadian lima tahun silam terulang lagi,” jawabku sambil menutup mata.  Menutup lagi peristiwa pahit yang seharusnya sudah pudar seiring berjalannya waktu. Saat d imana berita itu datang, dan menggores kesediahan tiada akhir. Saat aku melihat daftar nama korban kecelakaan kereta api yang terguling. Dan kutemukan sebuah nama, Annisa Rahma, bidadari hidupku yang kini telah menjelma menjadi bidadari cantik di surga.

Dinda tersenyum manis dan menghampiriku dengan membawa secangkir teh yang tadi dibuatnya. “Itulah yang dinamakan takdir, Mas. Tanpa istri Mas naik kereta itu pun, memang Allah sudah menghendakinya menuju tempat yang lebih baik,” kata Dinda dengan sangat bijak.

Aku terdiam, berusaha menyerap kata-kata Dinda. Dan seketika, hatiku pun terbuka. “Kamu benar, Din. Tidak seharusnya aku menyalahkan kereta atau siapapun. Aku terlalu tidak peka dengan perhatian yang Allah berikan untukku. Maafkan aku ya? Aku jadi membuka lagi lembar masa lalu yang seharusnya sudah kututup,” kataku sambil menatap lekat-lekat paras cantik Dinda.

“Tidak apa-apa, Mas…. Terkadang kita perlu membuka masa lalu untuk belajar tentang masa depan. Dinda senang Mas sudah tenang. Jadi, Mas mau mengajak Uky naik kereta, kan?” tanya Dinda. Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman. Lalu mengelusnya penuh cinta, beserta calon adik Uky yang tengah terlelap di perutnya.

Hari-hari pun berlalu. Aku mulai bekerja lebih keras. Pekerjaan utamaku sebagai pembuat batu bata tidak cukup untuk membeli tiket kereta dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluargaku. Aku pun mencari pekerjaan tambahan sebagai pemilah kertas. Memang terlihat mudah, hanya memisahkan kertas putih dan yang berwarna. Namun pekerjaan ini cukup menyita waktuku. Tak jarang aku merasa punggungku sakit karena duduk memilah kertas semalaman. Dan paginya, aku sudah disibukkan dengan pekerjaanku membuat batu bata.

Semakin lama, kondisiku pun semakin menurun. Mungkin aku kelelahan. Dinda sudah menyuruhku untuk beristirahat dan jangan terlalu memforsir diri, namun keinginanku untuk membahagiakan Uky itu, seketika membuat sakitku berkurang. Terbayang olehku senyum Uky yang melihat kendaraan inpiannya itu. Semua itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku kembali bangkit.

Sampai suatu hari, ketika aku tengah beristirahat setelah seharian membuat batu bata, si kecil Uky datang dengan membawakanku segelas teh manis hangat. Aku segera meneguknya sampai hampir setengah gelas. Seketika penatku hilang, berganti kehangatan dari suhu teh itu dan senyum dari Uky dan Dinda. Tanpa kuduga, Uky menanyakan suatu hal yang membuatku terkejut.

“Ayah, ayah bekerja siang dan malam buat ngajak Uky naik kereta ya?”

Aku tercengang. Tak terpikirkan olehku kalau pertanyaan seperti itu akan keluar dari bibir Uky yang mungil. Aku harus menjawab apa? Aku sungguh tak mau Uky merasa bahwa dirinya adalah beban bagiku. Tegakah aku berbohong? Tegakah aku melakukan kebohongan yang sejak dulu kularang Uky untuk melakukannya?

“Ayah… Uky nggak usah naik kereta nggak apa-apa kok.Kata teman-teman Uky, tiket kereta itu harganya mahal. Mendingan uangnya buat adik bayi aja,” kata Uky lagi. Lidahku semakin kelu untuk berucap. Aku tak tahu harus berkata apa. Yang dikatakan Uky adalah benar. Usia kandungan Dinda sudah menginjak 7 bulan. Apakah aku harus menangguhkan keinginan kecil Uky?

Dengan sikap keibuan, Dinda menghampiri Uky. Dia bukan hanya seperti ibu, namun juga sosok teman dekat bagi Uky. “Uky tenang aja. Adik bayi punya rezekinya sendiri dari Allah. Rezeki yang datang sekarang adalah rezeki buat Uky. Allah pasti tahu kalau Uky pengen banget naik kereta. Jadi, semahal apapun tiket kereta, kalau Allah sudah berkehendak, pasti pasti bisa. Asal Uky mau mensyukuri apa yang dikasih Allah buat Uky.”

Mata Uky kembali berbinar, seakan menemukan cahaya harapannya. Perlahan senyumnya terkembang dari bibir mungilnya. “Uky janji, Uky akan berterima kasih terus sama Allah. Biar Allah mau naikin Uky ke kereta!” kata Uky dengan lantang. Matanya semakin berbinar menatap harapan.

Setelah kurasa uangku cukup, kupenuhi keinginan Uky itu. Untung saja sejak seminggu kemarin, aku mendapat pesanan batu bata yang cukup banyak. Jadi, aku masih ada simpanan untuk keperluan mendadak. Kini, aku dan Uky berada di sini. Tempat orang-orang berlalu-lalang mengejar waktu. Ada pula yang tengah tersedu melepas kepergian orang tersayangnya. Peluit-peluit yang bersahutan, suara rel yang berderik, derap langkah orang-orang yang terburu-buru, menjadi musik tersendiri di telinga kami. Seakan kami tengah terlibat dalam kesibukan besar di tempat ini.

“Ayah, kereta ini hebat ya? Kalau udah gede, Uky mau bikin kereta api yang panjaaang banget. Terus, Uky mau jadi masinisnya. Ntar tiketnya Uky gratisin deh, biar orang-orang yang pengen naik kereta kayak Uky nggak perlu bingung nyari uang,” kata Uky sambil menatap kereta yang melintas kencang di depannya.

Aku diam-diam tersenyum melihat kebahagiaan Uky. Hatiku tak henti-hentinya bersyukur melihat keinginan anakku hampir terwujud. Sebentar lagi, hanya perlu menunggu waktu.

“Uky, kita beli tiketnya dulu yuk?”

“Uky di sini aja yah, Uky mau lihat kereta!” kata Uky sambil mencari tempat duduk. Sebenarnya enggan aku meninggalkannya seorang diri di tengah keramaian ini. Namun saat kulihat Uky sedang duduk tenang sambil menatap kereta impiannya itu, hatiku jadi tak tega untuk tak mengizinkannya menungguku di sini. Aku akan secepatnya kembali.

Loket tiket kereta ternyata sudah penuh sesak. Antriannya sangat panjang. Bahkan ada yang nekat mendorong-dorong. Kumaklumi, ini adalah long weekend. Pastinya banyak yang ingin segera bertegur sapa dengan keluarga di kampung halaman. Atau setidaknya hanya melepas penat setelah lama berkutat dengan keseharian. Diam-diam aku bersyukur tidak membawa Uky ke sini. Tak dapat kubayangkan tubuh kecilnya terdorong orang-orang yang tidak sabaran itu.

Hampir 20 menit aku berdiri, dan akhirnya tibalah giliranku. Aku segera memesan 2 tiket, dan menyelesaikan transaksi itu dengan cepat. Aku tak ingin Uky bosan menungguku di sana.

“Eh, ada yang terserempet kereta!” kata seseorang, diikuti langkah cepat orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi. Aku pun segera ke sana. Kulirik tempat duduk yang tadi dihuni Uky, sudah kosong! Hatiku berkecamuk. Berbagai pikiran negatif bertebaran di otakku. Kusibak orang-orang yang berkerumunan itu, mencoba mencari sosok si kecil Uky yang kuharap baik-baik saja. Kulihat sebuah tas mungil yang tak asing bagiku, tas Uky! Dengan sosok Uky di sampingnya. Dan dalam keadaan….

***

            Hari ini akhirnya datang. Di saat kubisa melihat Uky naik kereta. Namun bukan dengan senyum gembira seperti yang selama ini diinginkannya. Melainkan dengan wajah kaku dan senyum terakhirnya yang abadi.

“Uky, kupenuhi keinginanmu, Nak. Keinginanmu untuk naik kereta. Bahkan dengan kereta yang dihias cantik dengan bunga-bunga. Apa kau senang sekarang, Nak? Kau sudah naik kereta sekarang. Bahkan aku sendiri yang kini menjadi masinisnya. Dengan kereta terindah ini, aku akan mengantarmu, menuju tempat yang paling indah, di sisi-Nya.”

Sekar Sukma

Cerpen Chotibul Umam
Editor Ragil Koentjorodjati

gadis jawa
gambar diunduh dari drop.ndtv.com

Ketika malam-malam telah menyisakan purnama, ketika itu pula aku mulai merasa tak bisa lagi membedakan antara duka dan cinta. Seperti duka yang ingin selalu kulupa. Seperti cinta yang ingin selalu kutanya, namun kenyataannya bagai irama hujan yang terdengar merapat ke dalam pelukan lalu tumpah meninggalkan noda. Ia teramat manis untuk aku kecap. Ia terlalu lembut untuk aku sentuh. Dan terlalu indah untuk aku sebut. Seperti bahasa dan lidah yang tak punya jarak. Seperti aku yang tenggelam terbawa arus ke medan telaga.

Dialah wanita yang sesungguhnya. Seorang gadis yang tak pernah mengira bahwa kecantikan yang ia punya cukup sederhana. Sebuah wujud kesederhanaan yang tak butuh sentuhan berbagai macam kosmetik apapun. Orang cantik yang sesungguhnya adalah mereka yang tidak tahu bahwa dirinya cantik. Paras yang cantik adalah paras yang tak butuh rumus untuk menemukan titik kecantikannya.

Entah sudah berapa kali aku mengantarkan surat ke rumahnya, namun apa yang selalu teringat olehku hanyalah sebuah nama. Ya, nama si penerima yang melekat pada surat itu, Sekar Sukma. Dialah gadis yang aku maksud selama ini.

“Panggil aku Sekar,” sapanya setelah menyuruhku masuk. Ketika itu hujan mulai turun mengguyur kehangatan tanah.

“Angin di luar begitu kencang.” Seraya berjalan ke tempat duduk.

“Aku Karna,” sahutku sebelum menyerahkan surat yang sedari tadi aku genggam.

“Sering kali aku memperkenalkan nama kepada orang yang ingin aku ajak bicara. Kau tahu kenapa Mas Karna?” Suaranya terdengar datar.

Aku menggeleng dengan mata kosong. Bukan berarti menggeleng karena aku tak tahu, melainkan keherananku pada gadis yang selama ini aku hampiri setiap minggunya itu tak pernah kuduga ternyata memiliki wajah yang indah dengan sorot mata yang tajam. Setajam cinta yang mampu membius kerinduan dalam kabut kelam.

“Saya rasa itu adalah wujud dari kehadiran kita untuk dianggap ada. Sebab kehadiran setiap orang seperti tak ada yang tahu, kapan ia akan pergi dan tak tahu kapan ia akan kembali,” Jelasnya dengan tatapan mata melayang.

Aku tidak paham dengan apa yang ia katakan, tapi aku tetap mencoba untuk mengikuti setiap kata yang ia ucapkan.

“Benar,” kataku mencoba mengangguk.

“Kadang kita selalu menjadikan apa yang telah ada terasa tiada, namun setelah ketiadaan ada, baru di kemudian hari kita akan merasakan derita. Maka ajaklah ia untuk berdialog meski sejenak,” Sembari kakinya berjalan mendekat ke mulut jendela kemudian menutupnya.

“Aku hampir lupa, tunggu sebentar.”

Langkah kecilnya ia seret menuju ke belakang. Meninggalkan tanya dalam rinai air hujan yang mendesak membasahi jalanan batu kerikil. Di sini, di rumah adat jawa ini aku merasa terlahir kembali. Sebuah rumah kuno yang hampir terlupakan oleh sejarah di benak anak-anak jaman sekarang. Sebab rumah-rumah bertingkat serta gedung-gedung megah bergaya eropa telah larut dan rata masuk ke berbagai sudut kota.

Aku yakin bahwa bangunan rumah yang sedang aku tatap ini tidak serta merta dibangun tanpa menyimpan sebuah makna. Lihat saja setiap sudut bangunan yang terbentuk seperti ingin mengajak cerita, tapi aku tak paham. Belum usai aku menatap keindahan arsitektur yang disuguhkan di depan mata, tiba-tiba terdengar suara renyah dari belakang.

“Ayahku sendiri yang merancang rumah ini. Memang beliau adalah sosok yang sangat kuat dalam menjaga tradisi leluhurnya. Ketika orang-orang ramai merombak rumahnya dengan berbagai macam gaya kemewahan seperti sekarang ini, ayahku masih saja setia untuk mempertahankannya.” Sembari meletakkan minuman untukku.

“Silahkan diminum, Mas.”

“Oh ya terimakasih, jadi merepotkan,” basa-basiku.

“Tak apa.”

Angin di luar terdengar kencang menyambar dedaunan yang kemudian gugur berserakan memenuhi halaman rumah. Sedangkan gemuruh badai turut serta mengusik ketenangan. Suara halilintar pun seperti tak mau kalah, dengan pekikannya yang sewaktu-waktu bisa merobek telinga ikut membaur mengejutkan dada. Seakan Tuhan tampak seram dalam senja.

“Kata ayah, siapa lagi kalau bukan kita yang menjaga kekayaan leluhur ini? Apa harus negara lain dulu yang turun tangan? Baru di kemudian hari kita kalang kabut buru-buru mematenkannya dan menyebut mereka sebagai pencuri. Siapa yang bodoh sebenarnya?” katanya dengan nada tinggi.

“Tanpa disadari kita sedang mengurai borok di kepala sendiri.” Cetusku.

“Benar, Mas Karna.”

“Rumah bergaya jawa klasik ini mempunyai tiga ruang. Ruang yang pertama itu disebut pendopo.” Tangannya menunjuk ke ruang depan.

“Coba Mas Karna lihat,” suruhnya.

Aku sengaja mendekat ke sisinya, bau khas yang tercium adalah bau wangi yang belum pernah menyentuh hidungku. Bau wangi yang dipadukan dengan pakain adat jawa yang dikenakannya. Ia terlihat semakin anggun dan sejuk untuk memanjakan mata. Sore itu aku tersungkur kembali ke peradaun rasa yang sulit aku sebut.

“Ruangan itu letaknya di depan, dan tidak mempunyai dinding atau terbuka. Mas Karna tahu apa maknanya?” tanyanya

“Aku tidak tahu, coba jelaskan,” pintaku.

”Hal itu merupakan wujud filosofi orang Jawa yang selalu bersikap ramah, terbuka dan tidak memilih dalam hal menerima tamu. Pada umumnya ruangan itu tidak diberi meja ataupun kursi, hanya diberi tikar apabila ada tamu yang datang, sehingga antara tamu dan yang punya rumah mempunyai kesetaraan dan juga dalam hal pembicaraan atau ngobrol terasa akrab rukun,” terangnya.

“Kalau ruangan yang menghubungkan antara pendopo dan dalem itu disebut pringgitan.”

“Apa itu pringgitan?” selaku.

“Pringgitan memiliki makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang.”

Aku hanya mengangguk sebagai wujud pemahamanku atas keterangannya atau justru mengagumi hatiku sendiri yang diam-diam aku merasa tersulut api asmara. Seketika itu pula aku sulit memisahkan pertempuran dua hati ini.

“Dan rungan ini,” sambil mengedarkan telunjukku.

“Ruangan yang sedang kita tempati ini adalah ruangan terakhir yang disebut dengan ruangan dalem atau ruang pribadi. Ruangan ini merupakan ruang pribadi pemilik rumah.

“Kalau begitu aku tidak sopan,” celetukku.

“Tak apa, aku memang sengaja mengajak Mas Karna ke dalam,” timpalnya dengan senyum wajah manis.

“Dalam ruang utama dalem ini ada beberapa bagian yaitu ruang keluarga dan beberapa kamar atau yang disebut senthong. Senthong atau kamar hanya dibuat tiga kamar saja.”

“Kenapa harus tiga kamar?”

“Ini akan aku jelaskan. Sebab kamar ini hanya diperuntukkan menjadi tiga bagian yaitu kamar pertama untuk tidur atau istirahat bagi laki-laki,” lanjut gadis berambut sanggul itu.

Aku seperti tak punya pilihan lain selain mengamati setiap gerak bibirnya. Ia seperti pemancing yang lihai memainkan kailnya, atau mungkin lebih mirip jika dikatakan seorang ilusionis yang mampu menghipnotis korbannya. Sampai-sampai aku tak sadar kalau hujan sudah mulai reda.

“Maaf, Mas Karna dengar apa yang saya ceritakan?” tanyanya mengejutkanku.

“Dengar.”

“Tapi tatapannya kelihatan kosong.”

“Nggak, lanjutkan saja. Aku mendengarkan.”

“Baiklah,” dengan memperlihatkan mimik yang ramah. “Kamar kedua kosong namun tetap diisi tempat tidur atau ranjang lengkap dengan perlengkapan tidur. Kamar yang kedua ini atau yang tengah biasanya disebut dengan krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan. Sedangkan yang ketiga diperuntukkan tempat tidur atau istirahat kaum perempuan.”  Ia berhenti sejenak untuk menyeruput secangkir teh.

“Aku kira sudah cukup penjelasan ini.”

“Lebih dari cukup mungkin.”

Sesaat setelah usai menjelaskan semua itu, ia menyuruhku untuk minum teh racikannya. “Silahkan Mas diminum lagi tehnya.”

Kini yang terdengar hanyalah gerimis rintik air. Sisa-sisa air hujan yang ikut turun terbawa arus, sekarang menghilang entah pergi ke mana. Dan juga suara gemuruh yang gaduh disertai halilintar yang terdengar kejam terkadang masih mengejutkan dada.

“Setiap kali hujan mulai reda seperti saat-saat ini. Aku selalu membayangkan kalau Tuhan bisa ikut bersedih.”

“Kenapa Tuhan harus ikut bersedih?”

“Cukup aku dan Tuhan yang tahu.”

“Bagaimana mungkin Tuhan bisa semelankolis itu,” ketusku.

“Tidak ada salahnya bukan kalau sekali-kali kita menggambarkan wujud Tuhan sedemikian rupa. Aku tidak mau kalau Tuhan selalu nampak seram seperti yang pernah diajarkan oleh guru-guru agama,” sahutnya dengan suara agak tinggi.

Aku sedikit menahan tawa ketika melihat ekspresi wajahnya yang tampak serius setelah menjelaskan tentang wujud Tuhan. Tanpa aku sadari, ternyata ada sisi lain bahwa sebagian kecantikan yang dimiliki oleh seorang wanita akan terlihat menarik ketika berwajah serius.

Melihat hujan telah berhenti dan waktu mengharuskan aku pulang. Bagiku itu terasa berat untuk meninggalkannya, namun aku masih yakin jika waktu masih milik kami, kesempatan kedua akan menjadi lebih indah dari apa yang pernah aku bayangkan. Detik itu pula aku meminta ijin untuk kembali ke rumah demi sejenak melepaskan lelah.

***

Malam itu adalah malam yang langka untuk aku rasakan seorang diri. Hujan sore itu. Aku tak langsung jatuh tertidur, melainkan menyalakan api kompor untuk memanaskan air sembari menghitung beberapa surat yang belum sempat aku kirimkan. Setelah terdengar air mendidih aku cepat-cepat mematikan api dan menuangkannya ke dalam cangkir yang terlebih dulu aku masukan kopi. Asapnya mulai membumbung meliuk-liuk mengikuti udara berhembus.

Tepat di tepi pintu setumpuk surat telah menunggu pekerjaanku sebagai pengantar surat. Aku turut terharu ketika orang-orang lebih instan mengabarkan informasi lewat teknologi, ternyata masih ada orang yang lebih suka menuliskan informasinya lewat surat. Aku tidak paham di mana asyiknya menuliskan informasi lewat surat. Bagiku mungkin itu tidak penting, yang terpenting adalah aku masih bisa bersyukur karena dari mereka pekerjaanku sebagai pengantar surat tetap berlanjut.

Setelah secangkir kopi habis aku teguk, tiba-tiba terbayang paras cantik Sekar Sukma melayang-layang di atap langit malam itu dan ketika mataku berkedip bayangan itu langsung lenyap. Tinggal susah dan resah yang aku rasakan.

Hujan sore itu masih menyisakan malam yang dingin. Rasa lelah yang menghujam tubuhku sepeti tak mengenal kata kalah meski malam hampir usai. Namun, sepertinya waktu memaksa mataku untuk terpejam meskipun barang sebentar.

***

Terhitung sudah tiga pekan aku tak lagi mengantarkan surat ke rumah gadis jawa itu. Aku seperti terserang rindu, tapi aku ragu. Apa ia sengaja membuatku seperti ini, tapi aku tak yakin. Untuk kesekian kalinya aku memilah-milah surat yang baru saja aku bawa dari kantor. Berharap ada sepucuk surat yang dialamatkan kepadanya.

Harapan itu pun akhirnya tak terwujud. Aku tak menemukan sepucuk surat bertuliskan nama Sekar Sukma. Hingga berhari-hari aku tak juga menemukan surat untuknya lagi. Sudah cukup rasanya untuk aku lanjtukan.

Siang itu, ketika aku membuka pintu untuk keluar mengantarkan surat. Terlihat ada sepucuk surat yang tergeletak di atas lantai. Aku kira itu bagian dari surat yang belum sempat aku masukan ke dalam tasku, namun apa yang aku lihat adalah nama Sekar Sukma yang tertulis sebagai pengirim surat yang ditunjukkan untukku. Awalnya aku tak yakin dengan surat itu, tapi tetap saja rasa penasaran mendorongku untuk membukanya.

Cukup untuk hari ini
Kau tak perlu mengatakan rindu, sebab ketika purnama
Aku selalu menuangkan waktu dalam sebentuk cahaya
Jika seperti itu yang kau rasa
Hanya cukup untuk  satu kata
Kau tak perlu menanyakan cinta

Seusai membaca isi surat darinya hari itu pun juga aku seperti kehilangan segala bentuk bahasa cinta yang aku punya. Seolah bahasa cinta tak lagi pantas untuk dijadikan sebuah prosa atau puisi.

Saat malam mulai menjelang aku bergegas berangkat menuju ke rumahnya dengan menyimpan segala tanda tanya akan isi surat yang dikirimkannya. Malam itu juga aku berharap ia menyambut kedatanganku dengan sambutan yang sama persis saat pertama kali bertemu atau bahkan labih dari itu. Tetapi, sesampainya di sana apa yang aku temukan bukan lagi sebuah rumah yang ditempati seorang gadis bermata tajam itu, melainkan sebidang tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon besar belantara, namun aku tetap yakin bahwa di tempat itu tiga bulan yang lalu aku pernah berteduh. Bersama rinai air hujan yang mulai turun, perlahan ikut membasahi setapak jalan kaki yang aku lewati.

 Kau memang benar adanya teramat manis untuk aku kecap, terlalu lembut untuk aku sentuh, dan terlalu indah untuk aku sebut.

Padrè

Cerita KauMuda Hylda Keisya

Gambar dari shutterstockphoto.com

Risa merebahkan sebuah pigura kusam yang telah bertengger di atas televisi sejak 15 tahun lalu. Sungguh, ia tak ingin lagi melihat seringai khas wajah orang dalam pigura tersebut. Andai bisa, ia ingin mengubur sosoknya hidup-hidup sekarang juga.

“Mengapa kamu tutup pigura itu, Risa?”

Mati, ketahuan oleh Ibu! Risa langsung mengendap-endap menuju pintu depan.

“Bu, Risa pamit berangkat ekskul!” serunya cepat-cepat sambil membetulkan tali sepatu.

“Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, Risa,” sahut Ibu yang entah sejak kapan ada di belakang Risa.

“Bu,” Risa memutar badan lalu menatap dalam-dalam wajah teduh Ibunya yang telah lapuk termakan usia. “Sampai kapan Ibu menunggu orang itu kembali? Orang yang telah meninggalkan kita sejak bertahun-tahun lalu itu tak akan pulang, Bu! Tak akan!”

“Walau bagaimanapun itu Bapak kamu, Risa,” tukas Ibu, nada suaranya tetap pelan. Gurat di wajahnya ikut berkerut saat beliau bicara.

“Bukan! Itu bukan bapak Risa! Seorang bapak yang benar tak akan meninggalkan anak istrinya terlunta-lunta seperti ini,” tandasnya lalu berlari meraih sepeda gunungnya, meninggalkan Ibunya termenung sendiri.

*****

            Dalam kamus hidup Risa, semua cowok itu bullshit dan cinta itu tai kucing. Menurutnya, prinsip hidup cowok adalah habis manis sepah dibuang. Kalau sudah bosan, ya cari yang lain. Itu yang paling tak disukainya. Kurang ajar betul makhluk bernama cowok itu. Berkat lelaki pula, ia harus menyongsong hidup yang memprihatinkan. Hidup seadanya dengan mengandalkan upah ibu sebagai buruh yang tidak seberapa. Beruntung ia memiliki pekerjaan sampingan sebagai guru mengaji anak tetangganya selepas maghrib. Namun yang membuatnya tak habis pikir, ibu tak pernah lelah menanti kedatangan bapak yang telah disinyalir minggat sampai kiamat. Bahkan beberapa tetangga sempat mengakui keberadaannya berkeliaran sebagai preman pasar. Hah, masa bodoh sekali dengan orang keji itu. Sekalian saja diciduk polisi biar tahu rasa. Namun sekali lagi ya Tuhan.. tak pernah seumur hidupnya ibu membenci bapak, setelah semua luka yang telah ditorehkan padanya, tak pernah! Sebesar itukah cinta ibu kepada bapak? Cinta..cinta, memang membuat sakit jiwa.

Risa mengayuh kebut laju sepedanya mendekati gerbang sekolah sambil membatin dalam hati. Pokoknya jangan sampai aku menjadi korban seperti ibu! Mulai detik ini ia  bersumpah, tak akan ia berurusan dengan cinta! Tak sudi untuk menjalin hati dengan lelaki mana pun!

“Lalu bagaimana dengan masa depanmu? Emang kamu mau jadi lesbong?” tanya Dina menyudutkan.

“Ish, tak bakalan aku senajis itu! Mungkin hanya tak menikah seumur hidup,” sahutnya enteng.

“Lah, dunia ini kan dihuni lelaki juga. Masa kamu tak mau mengenal lelaki sama sekali?”

“Hei,” Risa menepuk bahu sahabatnya itu. “Untuk berteman dengan lelaki, it’s okay. Untuk menjalin hubungan khusus, no way!

“Usai ekskul bahasa Itali, kau ada acara tidak?” Dina mengalihkan topik.

“Hmm… kukira tidak. Kenapa?”

“Main ke Kafe Kopi, yuk.”

Risa mengangguk, menyanggupi.

*****

            “Din, hampir maghrib. Pulang, yuk!”

Mereka pun menyudahi sesi curhat. Usai membayar di kasir, mereka bergerak menuju parkiran.

“Oh, shit!

Dina menghampiri Risa yang ribut dengan sepeda gunungnya. “Kenapa, Ris? Ada masalah?”

“Nggak tahu. Tiba-tiba aja gak bisa dikayuh,” sahutnya putus asa.

“Mungkin aku bisa membantu.”

Risa sedikit terkejut mendapati seorang cowok berbekal obeng di tangannya berdiri di sisinya. Ia mengerling pada Risa, menawarkan bantuan. Akhirnya Risa membiarkan cowok itu mengutak-atik kayuh sepedanya. Kontras dengan Dina yang terkesan segan pada si cowok dengan gesture yang tak dapat dijelaskan.

Tujuh menit berselang, sepeda gunung Risa pun beres. Risa menghujani si cowok ribuan kata terima kasih.

“Ah, itu bukan apa-apa, kok,” rendahnya lalu beranjak kembali menuju kafe. Risa tak mampu berkata apa-apa lagi, ada sesuatu yang berbeda tengah dirasakannya.

“Ris, kamu sadar gak, sih?” bisik Dina usai kepergian si cowok.

“Gak tau deh, Din. Aku ngerasa.. ngerasa ada yang aneh, aku.. aku..”

“Bukan!” potong Dina. “Maksudku, kamu sadar gak sih kalo itu tadi Mas Bayu Ketua OSIS sekolah kita?”

Risa menggeleng tanpa dosa. Dina menepuk jidatnya sendiri.

“Tau gak, Mas Bayu itu orang cool, pendiam, dan disegani satu sekolah. Beruntung banget kamu sempat ditolong dia.”

*****

            TEET! TEET!

Ah.. our superhero is coming! Dongeng mata pelajaran fisika yang sedari tadi memenuhi otak langsung menguar. Siswa-siswi pun berhamburan keluar.

“Kamu istirahat kemana?” tanya Dina.

“Aku lagi pengen ke perpus, Din. Kali aja ada buku baru,” ujar Risa sembari membenahi buku-buku pelajarannya.

“Aku ikut,” seru Dina akhirnya. Keduanya pun meninggalkan kelas. Saat di koridor..

“Hai, kamu cewek yang kemarin, ya?”

Srett! Dunia bagai berhenti berputar dan es melingkupi jagat raya. Mas Bayu! Tuhan.. kenapa tubuhnya mendadak lemas begini?

“Eh, iya, ada apa Kak Bayu?” hanya kalimat itulah yang mampu ia lontarkan.

Mas Bayu menyunggingkan senyum.Maniiis sekali! “Aku lupa menanyakan sesuatu kemarin. Namamu siapa?”

“Risa, Kak. Triasa Ekantari.”

“Mau ke mana, nih?”

“Ke perpus aja, kok. Ini bareng sama Dina.”

Tampang Mas Bayu malah bersemangat. “Nah, kebetulan aku juga mau kesana. Kita bisa berangkat bersama, kan?”

Risa mengangguk. Saat posisi Mas Bayu selangkah di depan, Dina berbisik di telinga kiri Risa. “Kamu gak bakalan suka Mas Bayu, kan? Soalnya diam-diam aku suka dia.”

*****

            Apa ini pertanda Risa menaruh hati pada Mas Bayu? Ah.. tak mungkin! Bukankah ia telah bersumpah pada dirinya sendiri untuk tidak berurusan dengan cowok? Tapi dia kan berbeda, bisik hati kecilnya. Risa gamang. Lagipula apa ia tega melukai hati Dina, sahabatnya sendiri, dengan menginginkan Mas Bayu?

Sore ini Risa menghabiskan waktu di Taman Apsari ditemani sepeda gunungnya demi memburu inspirasi untuk tugas bahasa Indonesia mengarang cerpen. Eh, yang ia dapatkan malah perang batin sejak pertemuannya dengan Mas Bayu. Mas Bayu.. Mas Bayu, kenapa harus kamu?

“Sendirian aja disini?”

Alamak, hampir saja jantung Risa copot dikejutkan oleh suara.. Mas Bayu! Bagaimana dia bisa disini? Ia pun mengambil tempat di sisi Risa.

“Aku temani, ya?”

Risa hanya mengangguk, tak tahu harus berkata apa lagi. Sedang Mas Bayu malah menatapnya lekat.

“Dari tadi kok diem? Jangan bilang kalo kamu sungkan sama aku, ya. Aku tahu benar reputasiku dikenal sebagai anak pendiam dan tak aneh-aneh, tapi itu membuatku sedikit tak nyaman dalam berkomunikasi dengan orang lain. Selalu saja mereka terkesan sungkan. Padahal aku tak berbeda dengan mereka,” curhatnya panjang.

“Ngh.. kalo aku kan gak terlalu kenal Kak Bayu,” kata Risa membela diri.

“Kamu beda, Ris,” ucap Mas Bayu tiba-tiba menyimpang dari topik. “Kalo di sekul, cewek-cewek yang gak aku kenal itu selalu heboh tiap ada aku. Emang aku kenapa?”

“Ya, mereka kan menganggap Kak Bayu itu berwibawa, cool, … jadinya gitu deh,” komentar Risa ngasal.

“Nah itu dia. Kamu gak seperti mereka. Tiap kali ada aku, kamu malah kayak gak pernah kenal aku. Bukannya sombong, mestinya kamu tahu aku, kan,” ujarnya dengan tatapan mata makin merasuk. Hah, belum tahu dia kalo Risa aja baru kenal Mas Bayu kemarin! Kalo dia tahu mungkin bakal epilepsi.

“Ris, kamu bawa sepeda, kan? Ikut aku, yuk!”

“Ha? Kemana?”

“Ada deh pokoknya. Ayo!”

Lantas keduanya menaiki sepeda masing-masing. Risa berkendara di belakang Mas Bayu sampai sepeda Mas Bayu terhenti di depan sebuah rumah yang cukup mewah. Mas Bayu memasuki rumah itu dan menyuruh Risa membawa serta sepedanya.

“Ini rumahku, Ris,” terang Mas Bayu tanpa diminta. “Masuklah dulu.”

Risa memasuki ruang tamu dan duduk pada sofa empuk berwarna pastel. Tak lama kemudian Mas Bayu muncul bersama seseorang yang entah tak begitu asing bagi Risa.

“Ini ayahku.”

DHARRR! Risa menatap Mas Bayu tak percaya dan orang itu bergantian. Orang itulah sosok dalam pigura kusam yang tak pernah bergeser dari tempatnya, tetap di samping televisi. Yang hingga kini masih dinanti oleh ibunya.

Padrè.[1]


[1] Bahasa Italia yang berarti ayah

 

 

Hylda Keisya adalah siswa Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Nurul Ummah Mojokerto.

Air Mata

Cerpen Ragil Koentjorodjati

mata air mata
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Aku hampir tidak percaya ketika pagi itu, selepas bangun tidur, aku membuka tudung saji dan mendapati hanya ada dua tetes air dalam gelas bening di meja. Tidak ada nasi. Tidak ada lauk. Tidak juga sayuran. Hanya dua tetes air dalam gelas bening di meja. Tanpa harum wangi rempah-rempah digoreng. Tanpa aroma masakan, bahkan aroma asap pun tak ada. Udara begitu bersih dan segar, tidak seperti biasa. Tanpa bau keringat manusia. Entah ke mana perginya istriku. Biasanya, pagi begitu riuh dengan bebunyi alat dapur dan dendang riang istriku, sebelum aku terbangun karena basah bibir menindih kelopak mataku, aneka hidangan telah tersaji di meja makan. Tapi kali ini tidak. Pagi menjadi sungguh tidak biasa. Hanya ada sunyi. Hampa. Aku sendirian.Aku alihkan pandangan mataku ke dispenser. Kosong. Perihal ini aku sedikit ingat, sudah dua hari pabrik air olahan isi ulang macet produksi. Terakhir kali ada sesuatu, serupa cacing, berenang di air dalam botol isi ulang. Berenang dengan riang. Mungkin sebab itu pabriknya tutup. Kabar yang kudengar terlalu banyak keluhan tentang cacing dalam botol, meski sebenarnya bukan cacing. Hanya serupa cacing. Dan dispenserku menjadi hiasan dapur. Tidak lagi berisi. Seekor kecoa paruh baya asyik bermain sungut di atasnya. Meski cukup haus dan lapar, tetapi aku belum berpikir untuk menjadikan kecoa sebagai lauk hari itu. Kecoa bukanlah hewan yang baik bagi manusia.

Mungkin masih ada sesuatu di kulkas. Aku buka kulkas. Tidak ada yang bisa dimakan. Tidak ada yang bisa diminum. Hanya sedikit aroma debu dan bau sangit menyeruak, semacam aroma kebakaran listrik dalam skala kecil. Aku mencoba mengingat, sejak kapan kulkas itu kosong. Lalu aku menyadari aroma itu. Listrik mati beberapa hari lalu menyisakan kebakaran ringan pada alat elektronik murahan. Tentu saja kebakaran semacam itu tidak boleh diperhitungkan sebagai kerugian yang bisa dimintakan ganti ke perusahaan listrik. Aku tidak terlalu ambil pusing meski seharusnya mengajukan keberatan atas iuran bulanan yang mulus-mulus saja. Pagi itu aku lebih butuh minum daripada ribut soal bayar listrik.

Aku perhatikan gelas bening di meja makan. Masih di sana. Sepertinya tidak lagi dua tetes air di sana. Ada empat atau lima tetes barangkali. Aku tidak habis pikir dari mana tambahan air itu. Mungkin air dari atap rumah yang lalu rembes, menetes melalui retakan genteng atau lubang semut. Entah. Air bisa lewat mana saja, lewat tempat yang tidak pernah kauduga, lalu mungkin menetes masuk ke dalam gelas. Atau barangkali kencing kecoa yang sebelumnya asyik bermain sungut di atas dispenser. Itu pun sebuah kemungkinan lain. Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja air dalam gelas itu lebih banyak dari yang sebelumnya. Mungkin saja aku rabun usai bangun tidur, belum sepenuhnya sadar. Atau lebih tepatnya kesadaranku baru sebatas rasa bahwa aku kehausan. Tapi aku belum sudi minum air kencing kecoa, andai benar tambahan air dalam gelas itu bersumber dari kencing kecoa. Tidak sudi juga aku minum air dari atap bocor. Aku hidup di negeri yang kaya raya, tempat air berlimpah ruah bahkan bila batu dipecah, air akan membuncah. Masak harus minum air kencing kecoa, pikirku.

Sudah jadi kebiasaanku bahwa ketika bangun tidur aku minum dua-tiga gelas air putih sebelum kemudian melanjutkan aktivitas. Tetapi pagi itu memang lain dari biasanya. Tidak ada yang dapat kuminum. Aku berpikir, mungkin lebih baik memasak air dari sumur atau air ledeng daripada minum kencing kecoa atau air dari atap bocor. Segera aku mencari perlengkapan memasak, maklum sejak ada dispenser aku hampir tidak pernah memasak air lagi. Aku cari kompor. Kompor minyak kutemukan di bawah meja dapur, tidak ada minyaknya. Aku lupa kalau sudah tidak jaman lagi masak memakai minyak tanah. Aku coba kompor gas. Masih tersisa nyala api sedikit biru kemerah-merahan. Aku tersenyum sedikit lega. Tinggal mencari panci dan tentu saja air. Aku masih belum ingat, mengapa istriku tidak memasak air jika dispenser kosong.

Panci tidak sulit kutemukan. Teronggok masih kotor di kamar mandi, belum di cuci. Sisa bumbu mie instan menempel di kanan kiri panci. Bergegas aku hendak mencucinya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika kudapati tidak ada air dalam bak mandi. Habis tandas. Seingatku, pada malam terakhir aku mandi, air  masih ada, setidaknya setengah bak mandi. Ke mana perginya air itu, tanyaku dalam hati. Memutar kran, tidak ada yang keluar. Hanya desis angin bercampur bau karat.

Aku tidak habis mengerti mengapa air bisa lenyap dari rumah ini hanya dalam waktu semalam. Jam dinding masih berdetak seperti biasa. Jarum panjang berputar sangat perlahan menunjuk angka 7. Jarum pendek malas beringsut dari angka 6. Masih pagi. Masih tidak salah untuk bangun tidur. Penanggalan tergantung setengah miring pada tembok yang lancang menonjolkan bata merahnya.

“Wahai, siapa yang mengubah angka tahun itu?” bisikku terperangah.

Angka 2078 bertengger di atas gambar gadis sampul tanpa celana. Selembar daun seolah menutup sesuatu yang gagal untuk tidak diperlihatkan. Wajahnya bukan wajah istriku. Wajah gadis itu sedikit keriput. Hanya buah dadanya tetap penuh. Silikon tidak mengenal usia rupanya. Dan istriku tidak menggunakan silikon hanya untuk mempermontok payudara. Tahun 2078. Aku bingung. Aku mencoba mengingat. Tapi aku lupa ingatan. Tidak ada yang kuingat.  Air dalam gelas bening setengah penuh. Apa yang sebenarnya terjadi, bingungku menjadi-jadi.

Perlahan kulangkahkan kakiku keluar rumah. Tidak peduli andai wajahku tampak kusut dan rambut awut-awutan. Sepintas aku dapat mencium bau busuk tubuhku sendiri. Biarlah, pikirku. Tidak ada air untuk mandi atau hanya untuk cuci muka. Mungkin di tempat tetangga ada sedikit air tersisa. Aku tertawa. Hanya sedikit tertawa, sebab hatiku sesungguhnya tidak tertawa. Waktu satu malam sepertinya mengubah segalanya.

Matahari mulai meninggi. Udara terasa begitu panas. Rumah-rumah berderet rapi. Tanpa pepohon di sepanjang jalan. Tempat yang tidak kukenali. Entah ke mana perginya para tetangga. Entah di mana pohon berpindah tempat untuk tumbuh. Rumah-rumah megah di depanku sunyi sepi. Di ujung jalan kulihat dua bocah kecil menari. Aku datangi mereka sambil tersenyum mesra. Begitu mesra.

“Orang gila! Orang gila!”

Mereka berteriak sejadi-jadinya. Tarian buyar berganti gerakan liar memungut apa saja yang ada di dekatnya yang lalu dilemparkan ke arahku. Tanah, batu, pasir, kayu dan ranting kering, terbang ke arahku. Tepat ke arahku.

“Hei!” teriakanku putus di ujung bibir. Segumpal tanah menutup mulutku. Mereka lari lintang pukang.

Aku cengengesan sebelum kemudian tidak lagi mempedulikan mereka. Kulangkahkan kakiku menuju rumah-rumah megah. Masih sunyi dan sepi. Tetap sunyi dan sepi. Tanpa penghuni. Kota apakah ini, tanyaku dalam hati. Sunyi dan sepi seperti kota mati. Kering dan gersang seperti kota usang. Tidak ada manusia. Tidak lagi kutemui para tetangga. Mungkinkah mereka mengungsi mencari air dan aku tertinggal di belakang? Aku memilih pulang sembari berharap keajaiban terjadi. Aku berharap istriku sudah kembali dari mana saja ia telah pergi.

Di meja, air dalam gelas bening terisi penuh. Aku berkaca padanya. Tak kukenali wajahku. Wajah siapa, entah, plethat plethot tanpa bentuk. Begitu abstrak. Perlahan, aku reguk sedikit air dalam gelas bening. Alangkah terkutuknya hari ini, gumamku, sekedar untuk minum saja tidak ada air kudapati. Air dalam gelas bening terasa asin. Seperti rasa air mata. Aku tidak peduli meski ada semacam rasa nelangsa menusuk dada. Mungkin tanpa kusadari air mataku menetes di sana.

Dengan gelas masih di tangan aku menuju ke kamar mandi sekedar ingin membasahi muka dengan sedikit air tersisa di gelas bening. Cermin retak berlumut memantulkan wajah kusut awut-awutan. Semakin abstrak. Wajah dalam cermin berurai air mata. Aku ingin meminum air yang berlimpah di sana. Air dari air mata. Air mata dari wajah yang pernah kukenal. Lalu gelas bening di tanganku tiba-tiba terisi  penuh air. Aku tuang sedikit ke mukaku. Basah. Wajah dalam cermin basah. Cermin basah. Tanganku basah.

Air dalam gelas bening tidak berkurang. Mataku basah. Bak mandi basah. Kran air, basah. Semua menjadi basah. Aku menangis bahagia sejadi-jadinya. Rumahku berlimpah ruah dan membasah. Air rembes dari mana saja. Dari mataku mengalir air tak berkesudahan. Membanjiri rumah. Membanjiri segala. Sejak itu aku terbiasa minum air mata dan memasak dengan air mata.

 

Ujung Mendung, Desember 2011

Ketika Delapan Bidadari Bersimfoni (24 – Senarai Kisah dari Kampung Fiksi)

Buku 24 - Senarai Kisah dari Kampung Fiksi
Apa yang kau rasakan ketika menyaksikan delapan bidadari bersimfoni? Gundahkah? Resahkah? Atau terbengong-bengong terhujam selaksa rasa yang sepertinya hanya ada dalam imaji khayalmu? Cinta. Rindu. Bahagia. Lega. Harap. Mimpi. Maya. Atau hanya rasa sederhana: suka!
Aku? Terpelanting pada rasa tidak percaya. Delapan bidadari itu memainkan simfoni kata-kata. Saling mengisi. Saling melengkapi. Hingga nada sumbang menjadi tembang. Dan tarian kata mencipta pesan nyata: hidup ini indah!
Seperti ketika engkau berdiri di tepi laut biru. Mencecap aromanya setetes demi setetes. Lalu desah debur ombaknya dapat kau rasa bersama Lelaki yang Melukis Negeri di Seberang Laut yang berkata: Akan kulukis negeri ini, seperti indahnya negeri seberang yang terletak di balik horizon, nun jauh di sana. Itu persis seperti ketika engkau menikmati nada lembut alunan organ yang mengalir tanpa sela hingga membawamu melayang, Bertualang dalam Lamunan bersama Indah Widianto yang terperangkap angan bersama Francesco Totti.
Jangan salahkan dirimu jika ketika menyaksikan delapan bidadari bersimfoni lantas kau nyaris ekstase. Permainan denting-denting melodi G pada Bayi dalam Diksi menimpali nada sederhana 13 Perempuan Endah Raharjo hingga mungkin saja ekstasemu nyaris semakin menjadi-jadi. Jangan pula salahkan dirimu jika kemudian engkau menjadi ketagihan. Sebab, simfoni itu Bagai Shabu-sabhu. Melambungkanmu ke awan. Berulang. Berkali-kali. Up-down-up-down yang kemudian mengajakmu untuk mengulang lagi, lagi, sekali lagi dan lagi.
Untuk menjagamu tetap sadar, selingi keasyikanmu dengan menyantap Cupcake Cinta Winda Krisnadefa. Agar selagi engkau menikmati simfoni, tetaplah kakimu berpijak pada bumi seperti Sri dan Merapi. Tak perlu Takut kehilangan, karena ada kata Setia Ria Tumimomor. Hidup ini memang indah, meski kadang berbalut kesah bagai Wanita di Balik Jendela yang mungkin tersiksa Gara-gara Main Hati. Saat resah menyapa, dengarkan simfoni dari delapan bidadari. Pagi. Siang. Senja. Malam. Jangan kau penggal-penggal nadanya. Jangan kau acak-acak aransemennya. Sebab, jika engkau begitu, engkau tidak akan mendapat yang lebih sempurna. Dengarkan secara utuh. Lihat tarian kata dengan penuh. Niscaya sampai Akhir Sebuah Perjalanan, semua terasa indah. Bersama delapan bidadari bersimfoni -Winda Krisnadefa, Deasy Maria, Endah Raharjo, G, Sari Novita, Indah Widianto, Ria Tumimomor, dan Meliana Indie– melantunkan 24 Senarai Kisah dari Kampung Fiksi.

Judul Buku : 24 – Senarai Kisah dari Kampung Fiksi
Penulis : @Kampung Fiksi (Winda Krisnadefa, Deasy Maria, Endah Raharjo, G, Sari Novita, Indah Widianto, Ria Tumimomor, dan Meliana Indie)
Penerbit : Kampung Fiksi
Cetakan : I, 2011
Tebal : 196 halaman