Arsip Tag: telaga

Mata Kelinci Bertelaga Teduh

Cerpen Aksan Taqwin

/1/

Telaga teduh. Pohon jambu. Rumput mengering. Ayam bertamu. Ikan kecil serupa kecebong secara cekat kabur ketika Kasrun hendak menangkap. Ibunya telah meracik berbagai bumbu-bumbu yang akan segara ditumpahkan di sekujur tubuh indah sang ikan. Masih belum juga reda hujan sedari pagi. Kasrun pun belum juga kembali. Ikan belum sempat ia kemasi dari peraduan yang hening. Hanya tiga ekor ikan yang masuk di sebuah timba kecil warna hijau. Sehijau rumput depan rumahnya. Lalu mengalirlah senyum Ibunya ketika mata Kasrun menyapa sambil menenteng timba.

lukisan kanvas
Absurditas (aquarelle on paper, 37cm x 32cm, 2005), karya Antonsammut.
website http://www.antonsammut.com

Mata kelinci. Serupa syarif. Kadang mata serupa kembang kamboja yang menggerimisi tanah. Telah menjadi segumpal kedamaian sejenak, bertaburan sepi serupa kuburan. Namun tampak damai dan bahagia. Mengais hidup yang buaya. Kasrun masih diam. Menggenang di atas tepian air. Telaga teduh bermata merah jambu. Dikelilingi gunung bonsai berdiam pohon kelapa yang miring. Tiada wajah yang menguning kepada keluarga yang hening. Berkecukupan adalah sebatas syukur yang tiada keluh kesah bagi mereka. Berdiam hati, meski cemooh mengalirkan ludah hingga ke tanah menusuk telinga, hati merunduk masihlah teduh bagi mereka.

Bapaknya pegawai negeri sipil di perangkat desa—Narko. Berhati kelinci yang selalu menanam senyum di penjuruhan desa. Tiada air mata atau pun mengais kesakitan pada lambung-lambung fakir. Tergolong absolut yang berdiri di tengah-tengah gambut. Bisa jadi alunan beserta senyum akan disuguhkan melalui bibirnya, kepada Narko mereka patuh. Narko yang mengalir laksana asap cerutunya yang cokelat.

Menangkap senja. Gerimis tipis merinai pada gambut yang memerah. Hingga pada mata Kasrun menculik teduh rumah. Berduyun sambil membawa ikan-ikan kecil yang tidak seberapa ukuran tubuhnya. Bersamaan dengan Bapaknya pulang kerja. Masih tampak rapi dan berwajah pohon jati. Bapaknya tampak letih. Bersamaan dengan senja perempuan, keduanya saling mencucui diri. Ibunya masih sibuk mempersiapkan makan malam. Meracik bumbu-bumbu yang belum usai. Senyum liris mengiris bawang bombai. Cabe yang sadis telah diiris, hingga sampai pada harapan yang siap dihidangkan.

/2/

Seperti bapaknya. Wajah Narko serupa bapaknya yang dahulu menjadi kepala desa di kota yang selalu mendapatkan adi pura. Nyaris sama. Hati kelinci, mata sapi, tubuh kuda yang adalah sama ada pada dirinya. Narko bersayap letih, berangkat dari keluarga fakir pada awalnya. Atas kejujuran dan kebaikan bapaknya serupa merpati, hingga ia diangkat dan didorong para warga menjadi bupati. Asal tunjuk jari sudah jadi.

“Bapak, sepatu saya sudah rusak.” Rintihan Kasrun kepada bapaknya.

Cukup mengangguk lalu diam. Sibuk membaca surat kabar tentang pelecehan seksual, korupsi adalah menyentuh hati. Berimajinasi menjadi pemimpin paling tinggi akan dihamburkan kemakmuran pada garis tanah yang damai bagi Narko. Wajah Kasrun sepi. Malu kembali merintih di atas wajah bapaknya yang putih. Berkesinambungan di beranda rumah nun damai adalah keluarga paling bahagia, baginya. Yang terpenting berkecukupan saja sudah cukup, begitulah ucap Sarni adalah suami Narko ketika ditanya tetangga mengapa tidak membeli alat kendaraan. Keterbiasaan hidup sederhana adalah penenaman berawal dari diri Narko. Tipis duka.

“Berapa harga sepatu itu?” bibir Narko mencoba menyapa kembali kalimat anaknya.

Setelah menyebut merk dan harga membuat Narko semakin bingung. Sepasang sepatu yang adalah gaji sebulan. Sedang lambung butuh tanaman, cairan dan segala nafas untuk hidup. Buatnya, ibunya, juga rumah. Sementara adalah penundaan. Mencoba menasehati dari bibir tipisnya, Kasrun cukup mengganggukan kepala.

“Biarkan Bapak menabung dulu, anakku. Namun, tidakkah kau beli saja sepatu yang lebih murah yang sepertiga dari gaji bapak?”

Gelengan kepala Kasrun membuat Narko resah semakin gelisah. Mencoba meredamkan penuh sabar hingga tiada penutup usia bagi penyakitnya yang adalah jantung. Hampir lima tahun dia berjuang sekuat tenaga demi penyakitnya yang sudah berskala tinggi. Ibunya cukup cantik, bersabar menyambung hidup dalam kederhanan. Kesederhanaan yang bagi mereka adalah saru. Pejabat yang bermata kelinci.

/3/

Narko sangat bijak dalam berkemimpinan. Sangat deras dana untuk desa masuk padanya, namun dia hanya semata-mata membuat keperluan seluruh warga dan desa. Tak pernah sepeser pun ia ambil meski untuk sebungkus rokok. Kerap warga menyukainya, meski terkadang ia hidup sengsara.

“Bapak, apa sudah cukup membeli sepatu buat Kasrun?” rintih Kasrun sambil memanja.

Narko semakin bingung. Uang yang sudah tekumpul hampir cukup telah dipinjam karibnya. Dia memubutuhkan untuk operasi sesar istrinya. Narko tak kuasa menahan rintihan karibnya yang menyapa dan bertamu di beranda retinanya. Mengalir air mata hangat pada mata karib adalah prihatin. Lalu esoklah membeli sepatu untuk anak, nyanyian hati yang sepi.

/4/

“Apa kau tidak mampu mendidik anakmu? Bagaimana bisa terwujud keindahan di indonesia sedangkan anak pejabat mencuri sepatu kelas tinggi tanpa risih. Kuakui kau memang becus memimpin rakyatmu, juga mampu menjaga profesi, namun bukan berarti kau lalai dalam mendidik anak. Masak membelikan sepatu anak saja tidak mampu.” Hentak warga menghakimi.

Narko cukup diam dan merasa bersalah kepada anaknya. Tidak mampu memberikan pelangi yang telah ia minta. Iya, baginya sepatu itu adalah pelangi. Berdiam diri dan merasa malu kepada para warga, mengiris hatinya sendiri, mencoba bertahan atas jantungnya yang hampir meledak.

“Jika tidak mampu, kau bisa ambil beberapa uang untuk pembangunan jalan desa. Dan kami ikhlas.” Sartir getir menusuk telinga Narko dari salah satu warga dari puluhan warga.

Narko cukup diam. Mengelus dada. Merasa berenang di telaga darah bertabur gigi buaya yang sewaktu-waktu siap dikunyah. Matanya menyepi. Wajahnya menguning. Istrinya mencoba menghiburnya, menyanyikan nada-nada semasa muda demi meredamkan api dalam hati.

Hujan. Menengadah sebagai pelebur resah. Semangkok keringat pada pembakaran ego. Ego bertudung kesabaran mata. Wajah. Hati. Sampai mengerucut pada jiwa. Menutup aib, mencairkan kembali darah mengalir di penjuruhan nadi.

“Janganlah kau ulangi lagi, anakku. Bapak akan menabung kembali untukmu. Membeli sepatu yang kau mau.” Rintihan yang mengelus pundaknya adalah senyum ibunya.

Kasrun cukup menganggukan kepala. Sambil berdiam diri dan menyepikan hati dia menuliskan sebuah sajak untuk bapaknya. Baginya hati bapak adalah hati Bung Hatta. Sesosok pemimpin yang anti korupsi. Sajak yang ia tulis menyentuh hati Narko. Bersikap sedemikian pun tanpa ia sadari. Bermuncul pada masa lalu atau terkait pada mimpinya yang kerap mencintai kepribadian Bung Hatta.

Rumah kamboja. Sepi nun damai adalah keluarga. Menukar kata, menyelimuti segala keluh kesah menjadi hal yang sangat biasa. Begitu pula istrinya yang kerap memasak mata kuda untuk suaminya. Seperti mata-mata yang menyelinap di lorong-lorong tabuh dalam jalan hidup keluarga.

/5/

            Kampung itu kembali riuh. Dikejutkan kembali dengan peristiwa yang serupa dengan Kasrun. Tetangga sebelah semalam telah tertimpa musibah. Seluruh hartanya ludes dimaling orang yang tidak dapat dijangkau batang hidungnya. Histeris. Depresi. Wajahnya lucet, hingga pada akhirnya Narko menghampirinya penuh santun.

Sebenarnya Narko sudah enggan berhadapan dengannya. Karena dia adalah warga yang sangat sombong dan kikir pada umumnya. Hingga pada akhirnya Narko yang tak lebih dari seorang pemimpin harus bersikap bijak. Menghampirinya dan mencoba meredamkan keluh kesahnya.

“Pakailah uang ini sebagai kebutuhanmu. Sebagai pengganti hartamu yang hilang” lantunan Narko menyentuh hati.

Kerap tidak jadi membelikan sepatu untuk anaknya. Kasrun cukup pasrah dan diam dalam kekinian. Tiada resah atau tangis lagi baginya. Yang ada hanyalah bapak yang bermurah hati pada warga. Pelangi di matanya, kesejukan pada hati kecilnya. Seseuatu yang adalah kebanggaan tersendiri.

“Wah berarti dia adalah salah satu komplotan dari maling itu?” celetukan salah satu warga yang adalah fitnah.

Serentak para warga percaya. Menghabisi rumah Narko beserta isinya. Menghabisi Narko hingga tak berdaya, bertudung pada usia yang menyempit atas jantungnya. Lagi-lagi Narko hanya bertahan hidup untuk anak dan istrinya. Kembali meredamkan hati kembali dan tersenyum tipis meski rumah sudah habis.

“Pentingkanlah orang lain yang membutuhkanmu, anakku” Lantunan terakhir Narko kepada anaknya di mata istrinya. Wajahnya serupa kamboja. Hingga kembali pada telaga teduh. Telaga teduh. Pohon jambu. Rumput mengering. Ayam bertamu. Perkampungan yang indah. Pada telaga teduh yang menggenang di mata Narko serupa mata kelinci. Lembut berhati tunduk.

Brondong, 15 Juni 2012

*) AKSAN TAQWIN, terlahir di kota soto; Lamongan 18 Maret 1989. Mahasiswa Universitas PGRI Ronggolawe Tuban ini memiliki aktivitas menulis yang cukup. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini cukup kreatif dalam menulis, jadi tak heran berbagai tulisannya telah dimuat di media cetak. Beberapa Esai, cerpen dan Puisi-puisinya pernah dimuat di Jawa Pos (Radar Bojonegoro), Majalah Akbar, kotakata ,Tabloid Nusa, Majalah Sagang, Majalah Warta. Puisi-Puisinya juga tergabung dalam antologi bersama: Jual-Beli Bibir (Ilalang Pustaka:Mei 2011), Sehelai Waktu (Scolar: juli 2011). Mimpi Kecil(Seruni 2011), Deverse 120 Indonesian poet: Puisi dua bahasa (Jagad shell publishing 2012). 50 Puisi terbaik untuk kota padang tercinta se-Indonesia 2011. 15 Besar Puisi Rinai Rindu Untuk Muhammad-Mu. 20 besar pusi terbaik Lingkar Bhineka 2012. 10 Puisi terbaik lomba cipta puisi Koran Bogor 2012.  Cerpennya Kutilang Mencium Bulan (Pemenang Harapan Empat Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) Award 2011 Nasional.). Pemenang harapan Lomba cipta cerpen Kalimantan selatan dalam cerita. Kawa Banua 2012. Seringkali menghadiri acara sastra lintas kota di Indonesia. Temu penyair muda 2011.

Aktivitasnya selain tergabung dalam Komunitas Penulis (Komunitas Sanggar Sastra:KOSTRA), dia juga tergabung dalam teater LABU Tuban.

Cerita Pendek Mingguan yang Lain:

Bagaikan Nyala Api

Pencuri Mimpi

MISTERI GUA KUCING

Ponte Vecchio

Sekar Sukma

Cerpen Chotibul Umam
Editor Ragil Koentjorodjati

gadis jawa
gambar diunduh dari drop.ndtv.com

Ketika malam-malam telah menyisakan purnama, ketika itu pula aku mulai merasa tak bisa lagi membedakan antara duka dan cinta. Seperti duka yang ingin selalu kulupa. Seperti cinta yang ingin selalu kutanya, namun kenyataannya bagai irama hujan yang terdengar merapat ke dalam pelukan lalu tumpah meninggalkan noda. Ia teramat manis untuk aku kecap. Ia terlalu lembut untuk aku sentuh. Dan terlalu indah untuk aku sebut. Seperti bahasa dan lidah yang tak punya jarak. Seperti aku yang tenggelam terbawa arus ke medan telaga.

Dialah wanita yang sesungguhnya. Seorang gadis yang tak pernah mengira bahwa kecantikan yang ia punya cukup sederhana. Sebuah wujud kesederhanaan yang tak butuh sentuhan berbagai macam kosmetik apapun. Orang cantik yang sesungguhnya adalah mereka yang tidak tahu bahwa dirinya cantik. Paras yang cantik adalah paras yang tak butuh rumus untuk menemukan titik kecantikannya.

Entah sudah berapa kali aku mengantarkan surat ke rumahnya, namun apa yang selalu teringat olehku hanyalah sebuah nama. Ya, nama si penerima yang melekat pada surat itu, Sekar Sukma. Dialah gadis yang aku maksud selama ini.

“Panggil aku Sekar,” sapanya setelah menyuruhku masuk. Ketika itu hujan mulai turun mengguyur kehangatan tanah.

“Angin di luar begitu kencang.” Seraya berjalan ke tempat duduk.

“Aku Karna,” sahutku sebelum menyerahkan surat yang sedari tadi aku genggam.

“Sering kali aku memperkenalkan nama kepada orang yang ingin aku ajak bicara. Kau tahu kenapa Mas Karna?” Suaranya terdengar datar.

Aku menggeleng dengan mata kosong. Bukan berarti menggeleng karena aku tak tahu, melainkan keherananku pada gadis yang selama ini aku hampiri setiap minggunya itu tak pernah kuduga ternyata memiliki wajah yang indah dengan sorot mata yang tajam. Setajam cinta yang mampu membius kerinduan dalam kabut kelam.

“Saya rasa itu adalah wujud dari kehadiran kita untuk dianggap ada. Sebab kehadiran setiap orang seperti tak ada yang tahu, kapan ia akan pergi dan tak tahu kapan ia akan kembali,” Jelasnya dengan tatapan mata melayang.

Aku tidak paham dengan apa yang ia katakan, tapi aku tetap mencoba untuk mengikuti setiap kata yang ia ucapkan.

“Benar,” kataku mencoba mengangguk.

“Kadang kita selalu menjadikan apa yang telah ada terasa tiada, namun setelah ketiadaan ada, baru di kemudian hari kita akan merasakan derita. Maka ajaklah ia untuk berdialog meski sejenak,” Sembari kakinya berjalan mendekat ke mulut jendela kemudian menutupnya.

“Aku hampir lupa, tunggu sebentar.”

Langkah kecilnya ia seret menuju ke belakang. Meninggalkan tanya dalam rinai air hujan yang mendesak membasahi jalanan batu kerikil. Di sini, di rumah adat jawa ini aku merasa terlahir kembali. Sebuah rumah kuno yang hampir terlupakan oleh sejarah di benak anak-anak jaman sekarang. Sebab rumah-rumah bertingkat serta gedung-gedung megah bergaya eropa telah larut dan rata masuk ke berbagai sudut kota.

Aku yakin bahwa bangunan rumah yang sedang aku tatap ini tidak serta merta dibangun tanpa menyimpan sebuah makna. Lihat saja setiap sudut bangunan yang terbentuk seperti ingin mengajak cerita, tapi aku tak paham. Belum usai aku menatap keindahan arsitektur yang disuguhkan di depan mata, tiba-tiba terdengar suara renyah dari belakang.

“Ayahku sendiri yang merancang rumah ini. Memang beliau adalah sosok yang sangat kuat dalam menjaga tradisi leluhurnya. Ketika orang-orang ramai merombak rumahnya dengan berbagai macam gaya kemewahan seperti sekarang ini, ayahku masih saja setia untuk mempertahankannya.” Sembari meletakkan minuman untukku.

“Silahkan diminum, Mas.”

“Oh ya terimakasih, jadi merepotkan,” basa-basiku.

“Tak apa.”

Angin di luar terdengar kencang menyambar dedaunan yang kemudian gugur berserakan memenuhi halaman rumah. Sedangkan gemuruh badai turut serta mengusik ketenangan. Suara halilintar pun seperti tak mau kalah, dengan pekikannya yang sewaktu-waktu bisa merobek telinga ikut membaur mengejutkan dada. Seakan Tuhan tampak seram dalam senja.

“Kata ayah, siapa lagi kalau bukan kita yang menjaga kekayaan leluhur ini? Apa harus negara lain dulu yang turun tangan? Baru di kemudian hari kita kalang kabut buru-buru mematenkannya dan menyebut mereka sebagai pencuri. Siapa yang bodoh sebenarnya?” katanya dengan nada tinggi.

“Tanpa disadari kita sedang mengurai borok di kepala sendiri.” Cetusku.

“Benar, Mas Karna.”

“Rumah bergaya jawa klasik ini mempunyai tiga ruang. Ruang yang pertama itu disebut pendopo.” Tangannya menunjuk ke ruang depan.

“Coba Mas Karna lihat,” suruhnya.

Aku sengaja mendekat ke sisinya, bau khas yang tercium adalah bau wangi yang belum pernah menyentuh hidungku. Bau wangi yang dipadukan dengan pakain adat jawa yang dikenakannya. Ia terlihat semakin anggun dan sejuk untuk memanjakan mata. Sore itu aku tersungkur kembali ke peradaun rasa yang sulit aku sebut.

“Ruangan itu letaknya di depan, dan tidak mempunyai dinding atau terbuka. Mas Karna tahu apa maknanya?” tanyanya

“Aku tidak tahu, coba jelaskan,” pintaku.

”Hal itu merupakan wujud filosofi orang Jawa yang selalu bersikap ramah, terbuka dan tidak memilih dalam hal menerima tamu. Pada umumnya ruangan itu tidak diberi meja ataupun kursi, hanya diberi tikar apabila ada tamu yang datang, sehingga antara tamu dan yang punya rumah mempunyai kesetaraan dan juga dalam hal pembicaraan atau ngobrol terasa akrab rukun,” terangnya.

“Kalau ruangan yang menghubungkan antara pendopo dan dalem itu disebut pringgitan.”

“Apa itu pringgitan?” selaku.

“Pringgitan memiliki makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang.”

Aku hanya mengangguk sebagai wujud pemahamanku atas keterangannya atau justru mengagumi hatiku sendiri yang diam-diam aku merasa tersulut api asmara. Seketika itu pula aku sulit memisahkan pertempuran dua hati ini.

“Dan rungan ini,” sambil mengedarkan telunjukku.

“Ruangan yang sedang kita tempati ini adalah ruangan terakhir yang disebut dengan ruangan dalem atau ruang pribadi. Ruangan ini merupakan ruang pribadi pemilik rumah.

“Kalau begitu aku tidak sopan,” celetukku.

“Tak apa, aku memang sengaja mengajak Mas Karna ke dalam,” timpalnya dengan senyum wajah manis.

“Dalam ruang utama dalem ini ada beberapa bagian yaitu ruang keluarga dan beberapa kamar atau yang disebut senthong. Senthong atau kamar hanya dibuat tiga kamar saja.”

“Kenapa harus tiga kamar?”

“Ini akan aku jelaskan. Sebab kamar ini hanya diperuntukkan menjadi tiga bagian yaitu kamar pertama untuk tidur atau istirahat bagi laki-laki,” lanjut gadis berambut sanggul itu.

Aku seperti tak punya pilihan lain selain mengamati setiap gerak bibirnya. Ia seperti pemancing yang lihai memainkan kailnya, atau mungkin lebih mirip jika dikatakan seorang ilusionis yang mampu menghipnotis korbannya. Sampai-sampai aku tak sadar kalau hujan sudah mulai reda.

“Maaf, Mas Karna dengar apa yang saya ceritakan?” tanyanya mengejutkanku.

“Dengar.”

“Tapi tatapannya kelihatan kosong.”

“Nggak, lanjutkan saja. Aku mendengarkan.”

“Baiklah,” dengan memperlihatkan mimik yang ramah. “Kamar kedua kosong namun tetap diisi tempat tidur atau ranjang lengkap dengan perlengkapan tidur. Kamar yang kedua ini atau yang tengah biasanya disebut dengan krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan. Sedangkan yang ketiga diperuntukkan tempat tidur atau istirahat kaum perempuan.”  Ia berhenti sejenak untuk menyeruput secangkir teh.

“Aku kira sudah cukup penjelasan ini.”

“Lebih dari cukup mungkin.”

Sesaat setelah usai menjelaskan semua itu, ia menyuruhku untuk minum teh racikannya. “Silahkan Mas diminum lagi tehnya.”

Kini yang terdengar hanyalah gerimis rintik air. Sisa-sisa air hujan yang ikut turun terbawa arus, sekarang menghilang entah pergi ke mana. Dan juga suara gemuruh yang gaduh disertai halilintar yang terdengar kejam terkadang masih mengejutkan dada.

“Setiap kali hujan mulai reda seperti saat-saat ini. Aku selalu membayangkan kalau Tuhan bisa ikut bersedih.”

“Kenapa Tuhan harus ikut bersedih?”

“Cukup aku dan Tuhan yang tahu.”

“Bagaimana mungkin Tuhan bisa semelankolis itu,” ketusku.

“Tidak ada salahnya bukan kalau sekali-kali kita menggambarkan wujud Tuhan sedemikian rupa. Aku tidak mau kalau Tuhan selalu nampak seram seperti yang pernah diajarkan oleh guru-guru agama,” sahutnya dengan suara agak tinggi.

Aku sedikit menahan tawa ketika melihat ekspresi wajahnya yang tampak serius setelah menjelaskan tentang wujud Tuhan. Tanpa aku sadari, ternyata ada sisi lain bahwa sebagian kecantikan yang dimiliki oleh seorang wanita akan terlihat menarik ketika berwajah serius.

Melihat hujan telah berhenti dan waktu mengharuskan aku pulang. Bagiku itu terasa berat untuk meninggalkannya, namun aku masih yakin jika waktu masih milik kami, kesempatan kedua akan menjadi lebih indah dari apa yang pernah aku bayangkan. Detik itu pula aku meminta ijin untuk kembali ke rumah demi sejenak melepaskan lelah.

***

Malam itu adalah malam yang langka untuk aku rasakan seorang diri. Hujan sore itu. Aku tak langsung jatuh tertidur, melainkan menyalakan api kompor untuk memanaskan air sembari menghitung beberapa surat yang belum sempat aku kirimkan. Setelah terdengar air mendidih aku cepat-cepat mematikan api dan menuangkannya ke dalam cangkir yang terlebih dulu aku masukan kopi. Asapnya mulai membumbung meliuk-liuk mengikuti udara berhembus.

Tepat di tepi pintu setumpuk surat telah menunggu pekerjaanku sebagai pengantar surat. Aku turut terharu ketika orang-orang lebih instan mengabarkan informasi lewat teknologi, ternyata masih ada orang yang lebih suka menuliskan informasinya lewat surat. Aku tidak paham di mana asyiknya menuliskan informasi lewat surat. Bagiku mungkin itu tidak penting, yang terpenting adalah aku masih bisa bersyukur karena dari mereka pekerjaanku sebagai pengantar surat tetap berlanjut.

Setelah secangkir kopi habis aku teguk, tiba-tiba terbayang paras cantik Sekar Sukma melayang-layang di atap langit malam itu dan ketika mataku berkedip bayangan itu langsung lenyap. Tinggal susah dan resah yang aku rasakan.

Hujan sore itu masih menyisakan malam yang dingin. Rasa lelah yang menghujam tubuhku sepeti tak mengenal kata kalah meski malam hampir usai. Namun, sepertinya waktu memaksa mataku untuk terpejam meskipun barang sebentar.

***

Terhitung sudah tiga pekan aku tak lagi mengantarkan surat ke rumah gadis jawa itu. Aku seperti terserang rindu, tapi aku ragu. Apa ia sengaja membuatku seperti ini, tapi aku tak yakin. Untuk kesekian kalinya aku memilah-milah surat yang baru saja aku bawa dari kantor. Berharap ada sepucuk surat yang dialamatkan kepadanya.

Harapan itu pun akhirnya tak terwujud. Aku tak menemukan sepucuk surat bertuliskan nama Sekar Sukma. Hingga berhari-hari aku tak juga menemukan surat untuknya lagi. Sudah cukup rasanya untuk aku lanjtukan.

Siang itu, ketika aku membuka pintu untuk keluar mengantarkan surat. Terlihat ada sepucuk surat yang tergeletak di atas lantai. Aku kira itu bagian dari surat yang belum sempat aku masukan ke dalam tasku, namun apa yang aku lihat adalah nama Sekar Sukma yang tertulis sebagai pengirim surat yang ditunjukkan untukku. Awalnya aku tak yakin dengan surat itu, tapi tetap saja rasa penasaran mendorongku untuk membukanya.

Cukup untuk hari ini
Kau tak perlu mengatakan rindu, sebab ketika purnama
Aku selalu menuangkan waktu dalam sebentuk cahaya
Jika seperti itu yang kau rasa
Hanya cukup untuk  satu kata
Kau tak perlu menanyakan cinta

Seusai membaca isi surat darinya hari itu pun juga aku seperti kehilangan segala bentuk bahasa cinta yang aku punya. Seolah bahasa cinta tak lagi pantas untuk dijadikan sebuah prosa atau puisi.

Saat malam mulai menjelang aku bergegas berangkat menuju ke rumahnya dengan menyimpan segala tanda tanya akan isi surat yang dikirimkannya. Malam itu juga aku berharap ia menyambut kedatanganku dengan sambutan yang sama persis saat pertama kali bertemu atau bahkan labih dari itu. Tetapi, sesampainya di sana apa yang aku temukan bukan lagi sebuah rumah yang ditempati seorang gadis bermata tajam itu, melainkan sebidang tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon besar belantara, namun aku tetap yakin bahwa di tempat itu tiga bulan yang lalu aku pernah berteduh. Bersama rinai air hujan yang mulai turun, perlahan ikut membasahi setapak jalan kaki yang aku lewati.

 Kau memang benar adanya teramat manis untuk aku kecap, terlalu lembut untuk aku sentuh, dan terlalu indah untuk aku sebut.