Arsip Kategori: KauMuda

RAHASIA MENULIS EMPAT LARIK PUISI CINA KLASIK

Oleh Ahmad Yulden Erwin

rahasia-menulis
Gambar diunduh dari lifeofafemalebibliophile

Begini bisa saya bagi rahasia menulis empat larik puisi Cina klasik. Sebentar ada pikiran mengira cuma ingin menara sendirian? Tapi, untuk berbagi bukannya mesti jadi ribuan pucuk rumput, tahan dalam gigil, pas sepasang terwelu mandi embun? Tidak peduli, saya hanya ingin berbagi, begini cukuplah:

“Rahasia menulis empat larik puisi Cina klasik dimulai dengan hati dan pikiran seorang pelukis. Larik pertama tak usah ragu lukis suatu lanskap atau peristiwa atau topik tertentu dengan kata-kata. Larik kedua biar jadi kelanjutan larik pertama. Larik ketiga beralih ke topik lainnya. Larik keempat jadilah sari bagi tiga larik sebelumnya.”

Berikut beberapa puisi empat larik Cina klasik dari dinasti Tang:

Mendaki Menara Bangau

Karya Wang Zhihuan (688 – 742)

Mentari putih menyusuri bukit berakhir,
Sungai kuning menuju lautan mengalir.
Ingin melempar mata sejauh ribuan Li,
Mendaki sajalah ke tingkat lebih tinggi.

Peristirahatan Rusa

Karya Wang Wei (701 – 706)

Gunung kosong tidaklah nampak insan,
Hanya terdengar cakap orang bergema.
Pantulan cahaya mentari masuk hutan,
Kembali menapaki lumut tanpa terasa.

Pulang Saat Malam Badai Salju

Karya Liu Changqin ( ? – 786)

Petang datang gunung purba menjauh,
Hawa gigil rumah putih beku merapuh,
Terdengar anjing menyalaki pintu kayu,
Orang pulang waktu malam badai salju.

Apa benar saya tengah berbagi? Sayangnya, ini justru satu Koan Zen Jepang terbaca sebelum dini hari:

Dua orang putri dari seorang pedagang sutera di Kyoto,
Yang tertua dua belas tahun, yang muda delapan belas,
Seorang samurai bisa membunuh musuh dengan katana,
Tetapi gadis-gadis itu membunuh orang dengan matanya.

Puisi-puisi Arinta Ds Tika

Bersama Gerimis

Melihatmu, seperti melihat gerimis datang
Berarah dan menetes setiap langkahnya
Merasakan hal yang ingin aku jumpai
Bersama gerimis dan bersamamu
Aku mengenalmu itu
Entah kapan aku akan berhenti mengenalmu
Aku selalu mengingatmu
Entah apa yang ingin aku lakukan
Mengenalmu dan berbagi cerita
Aku ingin bercerita tentang satu hal
Denganmu.. bersama angin dan gerimis

Mereka

Semua mengatakan tentang kebodohan
Entah apa yang mereka lakukan
Berdesir kuat saat aku tenang
Melamunkan satu hal yang awam
Mereka tak tau, dan mungkin tak kan tau tentang itu
Aku memilih satu subjek
Mereka memilih lebih dari aku
Aku tak percaya tentang kepastian hal
Mereka slalu mengatakan
Apa akan terus mendesir jika itu benar?
Uh… payah sekali hal itu
Kenapa aku harus bersimpati?
Kenapa juga aku harus memikirkan hal itu?
Bukankan hal itu akan membuat kita merasa mati?
Sia-sia dan tak kan pernah terjadi
Yah… itu hal konyol
Aku tak mengerti tentang mereka
Apa aku terlalu kolot tentang itu?
Jauh… aku sama sekali tak mengerti
Terlalu konyol untuk dipikirkan

tears become rain
gambar diunduh dari isgodasquirrel

Ingin Bersamamu

Hanya mengagumimu dari jauh
Mungkin itu sebab aku tak berkutik
Sama sekali..
Aku hanya ingin melihat malam saat ini
Bintang begitu cerah tanpa terluka
Aku melakukan dengan mataku
Melihat dan sesekali mencoba memohon
Apa kamu tau itu?
Sesekali melihat itu
Begitu indah..
Dan sesekali ingin melihatnya bersamamu
Uh.. aku hanya bermimpi
Semuanya tak kan terjadi
Dan aku sadar hal itu

Kamu

Hanya bergaung di lintasan kerdil yang suram
Berlutut hingga padam hatimu
Tak bisakah kamu melihat?
Bagaimana aku melakukan ini untukmu?
Kamu bergaung hanya untuk pembelaan
Harusnya kamu sadar
Tak bisakah kamu sadar?
Aku sedikit marah denganmu
Marah dan mungkin membencimu
Apa kamu mata, hanya untuk melihat?
Apa kamu telinga,hanya untuk mendengar?
Kamu tak akan sadar jika hanya bergaung
Rendah dan akan semakin rendah
Mulutmu benar tak berguna
Aku kira kamu super
Tak lain hanya kosong
Hanya itu…
Dan mungkin itu…

Penulis adalah pelajar di SMK Telkom Sandhy Putra Malang

I’ll Be Waiting For You

Cerita Phelina Felim

Aku mengenakan sebuah gaun berwarna coklat selutut dengan sebuah syal melingkari leherku. Dengan cepat aku mengambil tas dan payung transparanku keluar kamar asramaku. Di luar hujan sangat deras. Aku membuka payung dan berlari keluar untuk mencari taksi. Hari ini aku akan menemui seseorang di sebuah bandara, seseorang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Aku mengenalnya melalui situs jejaring sosial. Dia pria yang menyenangkan, umurnya 26 tahun, 5 tahun di atasku. Sayangnya ia tidak pernah memasang foto dirinya di sana dan menurut khayalanku, ia adalah seorang pria yang tampan, tinggi, dan putih, mengingat bahwa ia mengaku dirinya adalah keturunan chinese, sama denganku.

Setelah kurang lebih satu tahun aku mengenalnya, aku merasa aku mulai menyukainya, bahkan bisa dibilang aku jatuh cinta padanya. Konyol, memang, tapi aku tahu hatiku tidak pernah berbohong. Kami tinggal di kota yang sama, tapi aku tidak pernah sekalipun menerima ajakannya untuk bertemu. Aku takut kecewa, takut bila semuanya tidak sesuai dengan harapanku, takut dia juga tidak menyukaiku dan hubungan kami akan kandas begitu saja. Dia memaklumi alasanku untuk tidak menemuinya. Aku senang ia mau memahamiku.

Namun kemarin saat kami sedang mengobrol di chatting, kabar buruk itu datang secara mendadak. Pria itu bilang bahwa ia akan keluar negeri untuk waktu yang lumayan lama dan kemungkinan kami untuk sering ngobrol pun akan berkurang. Aku sedih sekali mendengarnya, aku ingin sekali bertemu dengannya untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Oleh karena itulah aku memutuskan untuk menyusulnya ke bandara hari ini. Aku juga sudah memberitahunya hal ini dan ia sangat antusias dengan keputusanku ini.

Sialnya hari ini aku bangun kesiangan. Pesawat akan berangkat pukul 11 dan aku baru bangun pukul 10. Dengan cepat aku mandi, mungkin mandi tercepat yang pernah kulakukan dan langsung berangkat ke bandara. Dan di sinilah aku berada, di dalam taksi yang tengah melewati jalanan yang ramai menuju bandara. Hatiku sangat gelisah. Aku terus saja memandangi jam tangan, sebentar lagi pukul 11 dan aku masih setengah perjalanan.

Singkat cerita, aku sampai di bandara pukul 11.15, pupus sudah harapanku untuk bertemu dengannya. Tapi aku masih berharap bisa bertemu dengannya, aku berharap pesawatnya akan mengalami delay. Aku langsung berlari menuju sebuah cafe di mana aku dan dia berjanji untuk bertemu kemarin. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling cafe, berusaha mencari sosok pria yang kucari, walaupun aku belum pernah bertemu dengannya. Aku berharap instingku bisa diandalkan kali ini. Begitu banyak pengunjung di cafe itu dan aku tidak tahu pria itu di mana.

“Ada yang bisa saya bantu?” seorang wanita pelayan cafe menghampiriku.

“Ah, aku sedang mencari seseorang.”

“Apakah anda yang bernama Xiao Ling?”

“Ah iya! Dari mana anda tahu?”

“Tadi ada seorang pria yang menitipkan pesan bahwa ia sudah harus pergi ke ruang tunggu pesawat dan ia menitipkan surat ini.”

Aku kecewa dan kakiku langsung lemas. Sudah terlambat, aku tidak bisa lagi menemuinya.

“Tapi tadi saya dengar pesawat yang ditumpangi pria itu mengalami delay setengah jam. Anda pasti mengharapkan seperti itu bukan? Pria itu juga berharap begitu, tadi ia mengatakannya padaku.”

“Benarkah?”

“Pergilah.”

“Apa?”

“Kejar dia. Mungkin dia masih ada di ruang tunggu pesawat.”

Aku mematung sejenak kemudian tersenyum gembira.

“Baiklah, terima kasih!”

Aku pun berlari sambil menangis. Aku sungguh berharap aku masih sempat. Sambil menggenggam surat darinya, aku tidak berhenti berlari. Sesampainya di ruang tunggu aku mengedarkan padanganku. Aku terus berdoa dalam hati, kembali mengandalkan instingku untuk mengenalinya. Aku menutup mata, meminta bantuan Tuhan untuk menemukannya. Tapi saat kubuka mataku dan kembali memandangi seluruh ruangan, aku belum juga menemukannya. Ya, Tuhan, yang mana dirinya? Mengapa susah sekali mengenalinya? Kenapa dia tidak pernah memasang fotonya di situs sosial itu? Dasar bodoh!

Tiba-tiba saja mataku tertuju pada satu titik. Ada seorang pria tidak jauh dariku yang sedang memainkan ponselnya dengan serius. Sesekali ia mendekatkan ponsel itu di telinganya. Pria itu tampak gelisah. Wajahnya putih dan tampan, sesuai dengan khayalanku tentang pria yang kukenal itu. Lalu aku tersadar. Ponsel! Mengapa aku begitu bodoh? Sekarang aku hidup di jaman apa?! Aku kan bisa menghubungi ponselnya. Bodoh sekali aku.

Aku mengeluarkan ponsel dari tasku. Ada 20 misscall di sana. Sejak kemarin aku memang men-silent ponselku, kebiasaanku saat hendak tidur supaya aku tidak terganggu bunyi SMS di pagi-pagi buta dan aku lupa mengaktifkan nada deringnya lagi karena bangun kesiangan. Betapa terkejutnya saat kubuka siapa yang misscall itu. Semuanya dari pria itu. Aku hendak meneleponnya balik saat tiba-tiba ponselku berdering lagi dan jantungku berhenti berdetak begitu melihat namanya. Pria itu! Berarti ia belum naik ke pesawat. Harapanku kembali timbul. Aku berdebar-debar saat mengangkatnya.

“Ha.. Halo..” kataku grogi.

“Hei, akhirnya kau angkat juga. Kau di mana? Tidak jadi datang? Kau tidak apa-apa kan? Aku menunggumu dari tadi. Aku khawatir sekali. Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?” nadanya terdengar kecewa dan cemas. Aku senang ia mengkhawatirkanku.

“A.. Aku bangun kesiangan. Maaf..”

“Syukurlah, aku kira kau kenapa-kenapa. Jadi kau sekarang masih di asrama?”

Aku terdiam. Haruskah aku mengakuinya? Sejujurnya aku masih takut untuk menemuinya, tapi kapan lagi? Ini kesempatan terakhirku.

“Aku.. Aku sudah di bandara.”

“Apa?! Kau di mana?” suara pria itu terdengar sedikit keras sehingga aku menjauhkan sedikit ponselku. Seketika itu juga aku melihat pria tampan tadi berdiri dari kursinya dan melihat-lihat ke sekelilingnya. Jantungku semakin berdetak cepat. Apakah pria itu yang aku cari?

Da Dong ge* , kau di mana sekarang? Kau pakai baju apa?” aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Aku sudah di ruang tunggu bandara. Aku memakai kemeja berwana biru dan celana putih. Hey, kenapa kau menanyakan hal itu? Kau di mana sekarang?”

“Aku.. Aku sedang melihatmu, ge.. Aku juga ada di ruang tunggu sekarang.”

Ya benar! Pria tampan itulah yang sedang kucari, dan begitu mendengar jawabanku pria itu terdiam sejenak. Matanya mengelilingi ruang tunggu dan kemudian berhenti saat pandangannya terarah kepadaku. Jantungku berdebar cepat. Da Dong mengenaliku? Benarkah?

“Kau mengenakan gaun coklat dengan syal hitam di lehermu?” Aku melihat pria itu menggerakkan bibirnya sambil terus menatap ke arahku. Ponselnya masih di telinganya. Aku mengangguk pelan.

“Iya..”

Pria itu kemudian menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana. Ia berjalan menghampiriku. Jantungku semakin cepat berdetak, rasanya ingin pingsan saja. Pria tampan itu benar-benar Wang Dong Cheng, yang biasa aku panggil Da Dong. Dialah pria yang selama setahun ini membuat hari-hariku semakin berwarna. Dialah pria yang kucintai, meski aku tidak pernah bertemu dengannya.

Semakin dekat ia berjalan, langkahnya semakin cepat. Perlahan aku menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku gaunku, tepat saat Da Dong sudah berdiri di hadapanku.

“Kau.. Xiao Ling?”

Aku mengangguk. Air mataku sudah tak terbendung. Aku bahagia, akhirnya aku bisa bertemu dengannya.

“Hey, kenapa kau menangis?” Da Dong menghapus air mataku dengan jarinya yang hangat. Hatiku senang dan hangat karena sentuhannya.

“Kau.. tidak kecewa bertemu denganku?” aku bertanya dengan hati-hati.

“Kenapa aku harus kecewa? Kau.. cantik.. Rambutmu.. Kupikir rambutmu panjang seperti di foto profilmu. Makanya aku tidak mengenalimu tadi.”

“Y.. Ya.. Aku memotong rambutku 3 bulan yang lalu. Itu foto lamaku. Ke.. kenapa? Terlihat aneh?”

“Tidak. tentu saja tidak. Kau.. cantik.. sungguh..”

Aku tersenyum.

“Kau sendiri? Tidak kecewa bertemu denganku? Kau selalu bilang bahwa kau takut kalau kita bertemu. Kau takut kecewa saat tahu wajahku tidak seperti bayanganmu kan?”

“Bagaimana kau tahu?”

“Hey, kita sudah satu tahun berteman. Walaupun aku tidak pernah bertemu denganmu, bukan berarti aku tidak mengenalmu. Aku tahu semua isi hatimu.”

Wajahku memerah. Semua isi hatiku? Apakah dia juga tahu bahwa aku menyukainya?

“Jadi? Kau kecewa?” tanyanya lagi.

“Tidak. Sama sekali tidak. Aku senang, sungguh.”

“Karena wajahku tampan? Karena itukah kau senang? Tapi jika wajahku jelek, kau akan kecewa?”

Bukan! Bukan itu maksudku.. Bagaimana mungkin ia berpikir seperti itu?!

“Hahaha..” tiba-tiba ia tertawa. “Aku hanya bercanda. Aku tahu kau tidak akan kecewa bagaimanapun penampilanku. Kau sudah datang ke sini saja, itu sudah menandakan bahwa kau serius berteman denganku, tidak peduli bagaimana wajahku nantinya kan?”

Aku mengangguk cepat. Aku memang menyukainya, tidak peduli bagaimana penampilannya. Mungkin aku memang akan sedikit kecewa apabila tidak sesuai dengan khayalanku selama ini, tapi aku sudah terlanjur menyukainya, mencintainya!

“Kau suka padaku?” pertanyaan yang terlontar dari mulutnya membuatku terbelalak.

kiss goodbye
gambar diunduh dari iiayayarahayu.blogspot.com

“A.. apa?”

“Hahaha.. Kau ini lucu sekali!”

Ugh, ternyata ia hanya mempermainkanku! Aku merengut.

“Ehm.. Maaf.. Tapi.. Pertanyaanku serius. Kau menyukaiku?”

Aku jadi salah tingkah. Wajahku memanas. Haruskah aku mengatakan ya? Tapi jika ia tidak punya perasaan yang sama, bagaimana?

“Sayang sekali bila kau tidak menyukaiku. Berarti aku baru saja patah hati.”

“Apa?” Maksudnya? Dia..?

“Aku menyukaimu. Ehm.. Aku mencintaimu.” Da Dong memandang mataku dengan tatapan yang sangat dalam. Wajahku kembali memanas, pasti sekarang wajahku sudah memerah sekarang.

“Kau menyukaiku?” aku bertanya ragu.

“Ya..” Da Dong menggaruk kepalanya dengan salah tingkah. “Mungkin ini terdengar bodoh, padahal aku tidak pernah bertemu denganmu, tapi setiap kali aku ngobrol denganmu di telepon, atau bahkan melihat namamu sedang online, hatiku berdebar, aku senang sekali, ingin selalu berbagi cerita denganmu dan mendengar semua kegiatanmu. Semua ceritamu itu membuatku merasa, kau adalah wanita yang ceria. Walau mood-mu gampang berubah, tapi aku menyukainya. Aku.. menyukaimu.”

“Kau.. Kau tidak bodoh..” aku akhirnya berani bersuara. “Karena aku.. merasakan apa yang kau rasakan,” kataku perlahan.

“Benarkah?” Da Dong tersenyum lebar, matanya berbinar-binar, membuatku ingin sekali memeluknya.

Aku mengangguk pasti.

Da Dong memelukku dengan cepat. Membuatku sedikit terkejut karena baru saja aku berpikir ingin memeluknya. Kami berpelukan lama sekali, tidak peduli semua mata tertuju pada kami.

“Pesawat _______ akan segera berangkat. Diharapkan semua penumpang memasuki pesawat.” informasi itu membuat hatiku mencelos. Inikah saatnya aku akan berpisah dengan Da Dong? Secepat ini?

“Xiao Ling.” Da Dong berbisik di telingaku, kami masih saja berpelukan.

“Ya?” aku berusaha tegar. Air mataku sudah mengumpul di pelupuk mata tapi aku menahannya.

“Maukah kau menungguku? Tiga tahun. Apakah terlalu lama?”

“Tentu saja tidak. Aku akan menunggu.” Jangan pergi! Aku ingin sekali meneriakkannya.

“Aku akan berusaha menghubungimu kapanpun aku sempat.”

Take your time, ge. Jangan mengkhawatirkanku. Jaga dirimu ya.”

“Kau juga. Aku akan segera kembali. Aku janji.”

Da Dong melepas pelukannya dan mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah kotak beludru berwarna merah. Ia membukanya dan tampaklah sebuah cincin yang sangat indah.

“Maukah kau memakainya? Mungkin ini bukan cincin mahal yang pantas kuberikan padamu. Tapi aku janji, tiga tahun lagi aku akan kembali dan menukarnya dengan cincin yang lebih indah dari ini, dengan namaku terukir di dalamnya..”

Aku mengangguk. Air mataku pun mengalir.

“Jangan menangis. Oke?” Da Dong menghapus lagi air mataku dan memakaikan cincin itu di jari manis kananku. Kemudian mencium keningku.

“Sampai jumpa.” katanya lalu mengambil kopernya. Menatapku sejenak, tersenyum dan melambaikan tangan sambil melangkah menuju pesawat. Aku pun membalas lambaian tangannya dengan senyuman.

I’ll be waiting for you, Da Dong ge. Aku janji. Sampai jumpa! Wo ai ni.

 

Catatan:

Da dong ge: kakak laki-laki dalam bahasa mandarin.

*)Penulis adalah mahasiswi Universitas Tarumanagara jurusan DKV semester 8 dan sedang menyiapkan skripsi. Menyukai bidang tulis-menulis dan bercita-cita untuk menerbitkan minimal 1 buku seumur hidup.

 

Blokir Berarti Bebas Bermimpi

Weekly Writing Challenge Retna Agustina

kebebasan
gambar diunduh dari weheartit.com

Aku berharap segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku akan berhenti sampai disini. Tapi jarum jam tetap berputar seolah mengingatkan aku bahwa dia lebih berkuasa untuk menaklukan waktu. Aku sedang dihadapkan pada dua pilihan dan detik-detik jam serasa memaksaku untuk segera mengambil keputusan. Pilihan pertama, aku menuruti keinginan paman dan bibiku untuk melanjutkan studi di Amerika, artinya aku akan tinggal bersama mereka disana selamanya. Pilihan kedua, aku menolak perintah mereka dan mulai menentukan masa depanku sendiri. Aku menyandang status yatim piatu sejak berumur lima tahun. Orang tuaku meninggal karena kecelakaan dan kerabat satu-satunya yang merawatku selama ini adalah bibi Orora. Ini adalah kebimbangan pertama yang aku alami. Aku berencana melakukan pemberontakan setelah sekian lama patuh padanya.

Aku menekan beberapa digit angka yang kemudian segera diikuti nada sambung. Aku menutup mata sampai terdengar sapaan bibi Orora dari seberang, ”Hallo dear!” Aku serasa tercekik mendengar suaranya yang selama ini berotoritas penuh atas hidupku itu. ”Sayang, kapan kau akan berangkat ke Chicago huh?” Bibi kembali bersuara setelah beberapa detik aku terdiam.

Aku menarik nafas dalam-dalam mengalahkan orang sakit asma. Aku sudah memilih untuk mandiri dan aku tidak tahu bagaimana menyampaikan keinginanku ini pada bibiku. ”Claris?” Nada suara bibi mulai meninggi.

”Emm..emm aku.. ,” nafasku tertahan. Aku memukuli dahiku berharap hal itu bisa menyatukan kata-kata yang teracak dalam pikiranku.

”Carilah jadwal penerbangan tercepat hari ini! Aku tidak bisa menunggumu lebih lama lagi.” Bibi mengambil alih semuanya dan komunikasi diputus secara sepihak. Aku menjatuhkan gagang telepon dan membiarkannya menggantung. Aku sangat mengenal bibi Orora. Jika aku tidak menurutinya, maka semua fasilitas yang menyertaiku selama ini akan diberhentikan. Dan mungkin akan berat bagiku untuk memulai semuanya dari awal.

Pyaaar. Aku terjingkat mendengar suara pecahan kaca. Kedengarannya tidak jauh, sepertinya dari arah ruang tamuku. Seorang anak laki-laki menebarkan pandangannya ke segala arah dalam rumahku untuk mendeteksi keberadaan pemilik rumah. Aku menghampirinya dan dia menyambutku dengan sebuah pengakuan, ”Kak Claris maaf, aku menendang bola terlalu keras dan memecahkan kaca rumahmu!”

Oh…gosh! Anak kecil ini tahu siapa namaku sementara aku merasa tidak pernah mengenalnya. Tiba-tiba dia mendekat dan menjabat tanganku, ”Oh ya, namaku Kevin. Aku tahu tentang kakak dari cerita ibuku! Ibu bilang kalau besar nanti aku harus seperti kak Claris yang hidupnya selalu sukses dan membanggakan orang tua.”

Aku tercekik untuk yang kesekian kalinya hari ini. Tapi aku menghargai kejujurannya. ”Baiklah! Pujian yang tepat dan kau selamat! Ambil bolamu dan kejar impianmu!”

”Suatu saat nanti kalau kakak ganti memecahkan kaca rumahku, aku akan memberikan kebebasan padamu.”

Kevin dengan sigap mengambil bolanya dan kembali bermain di halaman rumahku. Sekarang aku sadar hadiah dari bibi Orora bukanlah impianku. Kata-kata kebebasan yang sempat dia ucapkan itulah yang aku inginkan. Aku berlari ke kamarku, meraih beberapa barang penting dan memasukkannya secara paksa kedalam tas koperku. Sekarang aku semakin yakin bahwa rumah dan segala isinya inilah yang memenjarakan masa depanku. Semasa kecil, aku masih ingat bahwa bibi akan memberiku hadiah jika aku menurut pada aturan mainnya. Saat itu, aku lebih memilih belajar seharian di kamar daripada berkenalan dengan tetangga baruku. Aku menurut untuk fokus pada bidang pendidikan yang sebenarnya tidak aku sukai. Aku menekuni pekerjaan yang menurutku membosankan sepanjang hari. Aku harus membaca dan menuruti pesan dinding di facebook yang selalu dia posting. Tidak ada pilihan lain. Aku akan memblokir semua akses internet yang bibi gunakan dan memutuskan semua sarana komunikasi antar negara yang kami lakukan selama ini. Setelah berhasil melaksanakan pemberontakan ringan itu, aku keluar dari rumahku.

”Hey kak, apa yang akan kau lakukan dengan kopermu itu?” tegur Kevin sambil memainkan bolanya dengan lincah.

”Aku menginginkan kebebasan.” Aku melirik kaca rumahnya sekedar menggoda janji yang pernah dia ucapkan.

”Hah? jadi kau akan benar-benar memecahkan kaca rumahku?!”

Keluguannya itu membuat tawaku meledak. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Aku bisa bergurau dengan siapa saja dan melakukan apapun yang aku sukai. Aku tidak percaya bahwa aku akan memblokir jalur komunikasi antara aku dengan orang yang selama ini mengasuhku. Aku akan memblokir semua campur tangan bibi dari kehidupanku. Masa depanku adalah milikku. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap bibi, aku akan meraih cita-cita yang selama ini aku harapkan dan rindukan dengan cara-cara sederhana bersama orang-orang yang aku cintai.

Batu Karang di Bawah Sebuah Payung

Oleh Retna Agustina

Tanggal 30 Mei 2012, aku mengalami pertengkaran yang hebat dengan salah seorang teman. Aku melakukan sebuah kesalahan padanya. Bisa dibilang aku tidak menepati janji untuk suatu proyek perkuliahan yang kami rencanakan beberapa minggu lalu. Tentu saja aku sudah minta maaf dan jawabannya klasik”oke nggak apa-apa”. Tapi ternyata “apa-apa”. Dia sakit hati dan meluncurkan beberapa pembalasan dendam untuk menyerangku. Dia mulai menyebarkan berita yang tidak benar tentang diriku kepada teman-teman di kampus. Dia meniru gaya hidupku habis-habisan, entah apa maksudnya. Dia berusaha menggagalkan usaha yang aku bangun dengan cara-cara licik. Aku tetap bertahan hingga suatu ketika dia berhasil membuatku bertengkar dengan sahabatku. Saat itulah pertahananku runtuh.

Aku serasa mengalami kematian ketika harus ditolak, dihindari dan dimaki oleh sahabatku. Aku membangun persahabatan kami dengan cara membunuh karakterku yang sombong dan pemarah, bukan dengan hadiah atau uang. Kami melewatkan banyak waktu bersama untuk tertawa dan menangis. Kami memanjatkan banyak doa satu sama lain di setiap malam. Kami juga mengalami banyak pertengkaran, tapi selalu ada kebesaran hati untuk mengakui kesalahan masing-masing. Kami benar-benar belajar arti mengasihi, mengampuni, dan bagaimana memaknai kebersamaan. Selalu ada dukungan dan tangan yang kuat untuk mengangkat salah satu dari kami ketika terjatuh, berduka atau mengalami kegagalan. Sekarang aku harus melakukan segalanya tanpa sahabat. Itu sungguh sangat sulit.

Tiga bulan berlalu dan aku masih berjuang untuk menjalani keseharianku tanpa sahabat. Aku mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku untuk tetap berkuliah. Hari itu hujan turun sangat deras dan aku ragu untuk keluar dari lobi kampus, sampai akhirnya seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun menghampiriku. Dia menawarkan sebuah payung padaku seharga dua ribu untuk sekali menyeberang jalan. Ya, ojek payung. Aku setuju dengan tawarannya. Anak itu berjalan satu meter di sampingku sambil bernyanyi nyaris berteriak seolah lagu yang dia lantunkan dapat membuat hujan ini berhenti. Aku menatap matanya yang begitu ceria. Dari mata itu aku tahu menjadi ojek payung bukanlah keinginannya. Aku melihat ada banyak cita-cita yang mulia di sana. Sungguh, dia membuatku merasakan satu ketegaran yang luar biasa.

Belum selesai aku terkagum, dia menunjukkan kekuatan kepribadiannya yang lain. Dia berlari ke sebuah warung dan kembali padaku dengan sebungkus teh hangat. Dia mengatakan bahwa tanganku bergetar di sepanjang perjalanan dan menurutnya aku bisa sakit karena terlalu lama kedinginan.

Aku menawar, “kalau begitu apa rahasiamu agar tidak sakit, sementara hujan terus membasahi tubuhmu dan itu pasti sangat dingin bukan? Beri aku satu jawaban dan aku akan menerima teh hangat ini!”

“Hmm…kau tahu batu karang? Dia dibentuk dari ombak yang besar, jadi tetesan air hujan tidak akan membuatnya hancur. Aku adalah batu karang yang tidak akan pernah sakit hanya karena kehujanan.”

Jawaban itu mengantarkan teh hangat pemberiannya ke dalam tanganku. Baiklah, dia sekarang membuatku sangat iri dengan kepintarannya dan malu karena dia benar-benar sangat kuat. Aku rasa payung yang dia sewakan padaku layak untuk dibayar mahal. Aku melanjutkan pembicaraan, ”apa aku juga bisa jadi batu karang sepertimu?”

”Ya, jika kau mau menghadapi ombak yang menyerangmu! Bisakah kau mengembalikan payungku sekarang? Aku ingin melihatmu menghadapi ombak pertamamu.”

Aku memicingkan mata menunjukkan kebingungan. Apa maksudnya dengan ombak pertamaku. Dia menunjuk semua kendaraan yang melaju dan memintaku menyeberang sendirian. Aku tertawa melihat tingkahnya tetapi aku menurut juga. Setibanya di seberang jalan, aku baru ingat bahwa aku belum membayarnya. Beruntung dia masih di sana. Aku berteriak, ”hey batu karang! Aku belum membayar sewa payungmu!”

Dia menggeleng kuat dan balas berteriak,” tetaplah tersenyum saat ombak menyerangmu dan aku akan menganggap semua ini sudah lunas!” Dia melambaikan tangannya lalu kembali menawarkan jasa sewa payung pada pejalan kaki yang lain.

Aku berjanji akan tetap tersenyum dalam keadaan apapun. Aku akan menjalani setiap hari dengan mandiri. Aku akan melewati tahun demi tahun dengan sangat kuat. Aku akan mengikuti perkuliahan dan diwisuda dengan atau tanpa sahabat. Aku tidak akan marah pada Tuhan untuk semua musibah yang menimpaku, karena aku tahu Dia ingin aku menjadi batu karang.

Tanggal 1 Januari 2013, aku move on. Aku menemukan teman-teman yang baru dan membangun hubungan yang lebih sehat dengan orang-orang di sekitarku. Aku adalah batu karang kedua setelah anak kecil yang menawarkan jasa ojek payung itu dan aku siap mengerjakan skripsiku. Selamat datang ombak keduaku!

 

*) Artikel terpilih dari weekly writing challenge (WWC) RetakanKata karya Retna Agustina.

Jangan Bersedih

Oleh Mira Seba

Aku masih tercenung di depan mama yang sedang terlelap tidur ketika tulisan ini aku buat. Perasaanku selalu terguncang setiap menjenguk mama di rumah sakit umum bagian kejiwaan. Sejak awal tahun ini mama sudah 3 kali menjalani rawat inap di bagian kejiwaan ini.

Mama adalah ibu yang relatif ‘rapuh’, mudah panik, mudah merasa khawatir terhadap apa yang belum terjadi. Perasaannya sangat peka. Keinginan yang kuat untuk melindungi orang-orang yang ia cintai – tentu saja dalam hal ini kami anak-anaknya membuat dirinya cenderung khawatir secara berlebihan bila dirinya merasa memiliki ‘kekurangan’ untuk dapat membahagiakan anak-anaknya. Hal ini terjadi ketika papa meninggalkan kami untuk selamanya setahun yang lalu. Macam-macam yang dipikirkan oleh mama. Dia khawatir tidak bisa membiayai sekolah kami, khawatir tidak bisa memberikan materi untuk kami, khawatir tidak bisa membantu menyelesaikan masalah, hingga khawatir tidak bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah Deri, adikku yang masih sekolah dasar.

Mama pun cenderung tidak bercerita kepada siapa pun kesulitan yang sedang ia hadapi meski hanya untuk menceritakan masalah yang ia miliki. Tidak juga kepadaku, anak sulungnya karena mama takut aku menjadi ‘susah’ dengan masalah yang mama miliki.

Namun aku tahu, mama sering menangis di kamar dan melamun sendirian. Mata mama sering ‘kosong’ meski sedang berada di antara kami. Aku, Risti dan Deri mengira mama terus menerus bersedih karena ditinggal papa. Keluarga kami tergolong biasa saja. Papa seorang guru SMA dan mama hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak pernah dipusingkan oleh urusan mencari uang. Papa berusaha memenuhi semua kebutuhan keuangan bagi keluarga.

Mama mengalami gangguan ‘kesedihan yang mendalam’. Selalu murung dan ia merasa lemas. Kehilangan nafsu makan. Ketika aku menerima permintaan para tetangga untuk memberikan les kepada anak-anak sekolah dasar di sekitar rumah, kesedihan mama malah semakin menjadi. Itulah awal mama dirawat di rumah sakit bagian kejiawaan. Mama mulai meracau, menyalahkan diri sendiri hingga ingin bunuh diri.

Aku tak kalah terpukul dan juga mengalami kesedihan yang mendalam. Para tetangga, keluarga, guru-guru hingga psikolog yang menangani mama justru memberikan perhatian dan dukungan yang besar kepadaku. Sekarang akulah orang yang paling ‘dewasa’ untuk mengendalikan situasi keluarga. Mereka ‘mengandalkan’ aku meski aku baru berusia 18 tahun, baru kelas 3 SMA dan mengalami kebingungan yang amat sangat dengan kondisi orang tuaku bahkan masa depanku beserta adik-adikku.

Depresi, itulah yang dialami mama. Dokter Amir dan Ibu Sofi sebagai psikiater dan psikolog yang menangani mama banyak menjelaskan gangguan depresi. Kata mereka, mama harus terus terusan diberi perhatian, dikuatkan melalui kasih sayang dan cinta yang tulus dari kami anak-anaknya karena kamilah sumber dari kegelisahan, ketakutan dan kesedihan yang mendalam pada diri mama. Lebih dari itu, aku juga ‘dikuatkan’ untuk selalu optimis, untuk ikhlas menerima apa yang terjadi dan berusaha mencari jalan keluar bila mempunyai suatu masalah.

Sama sekali tidak mudah ‘menenangkan’ hati mama, membuatnya gembira apalagi menjadi optimis. Kami berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaan sedih dan khawatir di hadapan mama. Padahal, aku sendiri begitu banyak pikiran dan mengalami kesedihan juga apalagi sehari setelah mama dirawat untuk ke-3 kalinya di rumah sakit bagian kejiwaan ini, Dani kekasihku memutuskan hubungan denganku.

Hari ini, hari ke-4 mama dirawat di rumah sakit, juga hari terakhir di penghujung tahun 2012. Hatiku sendu, menghabiskan malam tahun baru di rumah sakit dalam keadaan patah hati pula. Luar biasa, bathinku berkata tahun ini tahun yang penuh dengan pengalaman baru, tak terkatakan. Di sana ada perasaan sedih yang luar biasa namun tak akan aku ucapkan selamat tinggal padanya karena di tahun 2012 ini pula banyak pengalaman baru yang bisa memperkaya bathinku, membantu mendewasakan dan mematangkan pribadiku.

Besok adalah hari pertama di tahun yang baru. Aku masih berlinang air mata ketika bathinku bertekad, hidup harus dijalani. Aku tidak takut untuk menangis. Kata Ibu Sofi, semua orang boleh bersedih tetapi jangan terlalu sedih. Artinya kita harus berusaha untuk mengendalikannya, carilah jalan keluar dari masalah yang dihadapi agar tidak bersedih berkepanjangan. Aku akan mencari teman atau siapa saja yang dapat dijadikan teman bicara untuk ‘meringankan’ beban hati dan pikiran. Dan aku bertekad akan membantu mama mengatasi gangguan depresinya, membantu dia mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan seperti ketika masih ada alm. Papa. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Jadi tetaplah optimis.

*) Artikel terpilih dari weekly writing challenge (WWC) RetakanKata karya Mira Seba.

Ketika Aku Mencintaimu

Oleh Rizki Mulya Pratiwi

Salah satu kata pepatah yang kini berperan penting dalam perjalanan hidupku adalah “benci dan cinta memiliki perbedaan yang sangat tipis. Kalau kau terlalu mencintai seseorang, kelak kau akan sangat membencinya. Dan bila kau sangat membenci seseorang, maka kelak kau akan sangat mencintainya.”

Dulu aku sama sekali tak pernah membayangkan dapat hidup bersama Ahmad Muamar, seorang pemuda yang awalnya sangat kubenci. Beberapa tahun silam, ketika kami masih sama-sama bekerja di sebuah restoran, ia jatuh cinta padaku karena aku membuatkannya segelas teh manis. Pada waktu itu aku sama sekali tidak membayangkan bahwa ia akan jatuh cinta padaku, karena aku membuatkan minuman itu bukan untuk menarik perhatiannya, tapi karena ia temanku.

Ia mulai meneleponku tiap malam, membuatkanku minuman di pagi hari, sampai akhirnya ia menyatakan perasaan cintanya padaku. Aku tak pernah menyalahkan rasa cintanya, karena mencintai adalah hak semua orang. Tapi ia mulai menuntut alasanku ketika aku katakan bahwa aku tak mencintainya. Aku hanya menyukainya sebagai teman baik.

Ia terus memaksaku agar aku mencintainya dan itu membuat aku sangat membencinya. Aku tak bisa memaksakan hatiku untuk mencintai orang yang tak aku cintai. Aku mencari alasan untuk menolaknya. Seminggu kemudian aku mengatakan padanya bahwa aku sudah bertunangan dengan orang yang dijodohkan ayahku. Aku sampai harus menyewa seorang teman untuk aku kenalkan sebagai tunanganku di depan Amar.

Lambat laun ia tahu kalau aku berbohong. Ia mulai menuntutku lagi untuk menerima cintanya. Aku benar-benar merasa tertekan dibuatnya. Karena tak tahan lagi, aku menjanjikan waktu tiga bulan. Barangkali saja tiga bulan ke depan aku bisa mencintainya. Tapi kenyataan berkata lain. Aku malah jatuh cinta pada pemuda lain bernama Ikhsan.

Janji adalah hutang, dan hutang harus dilunasi. Mau tak mau aku harus menerima cinta Amar. Aku pun mulai mencoba menjalani hubungan dengannya dan mengesampingkan perasaanku pada Ikhsan. Baru seminggu menjadi pacarnya, aku sudah tidak kerasan. Ia terlalu protektif bagiku yang hobi jalan-jalan. Aku mulai membesar-besarkan kesalahan-kesalahan kecilnya. Setelah dua minggu aku bertahan, aku pun memutuskan hubungan kami.

Seminggu setelah aku putus dengan Amar, aku menjalani hubungan dengan Ikhsan yang ternyata juga mencintaiku. Aku tahu, pasti itu sangat menyakiti hati Amar. Bahkan beberapa temanku mencap aku brengsek karena menyakiti hati Amar. Tapi pada waktu itu aku tak pedulikan apa pun, karena aku sedang jatuh cinta dan sedang terbang mengangkasa menuju nirwana cinta. Lima bulan kemudian aku resign dari restoran dan banting stir jadi penjaga toko yang gajinya sangat pas-pasan. Sebagai seorang perantau, dengan gaji setengah dari gaji lama, hidupku jadi serba kekurangan. Di saat aku terpuruk, Ikhsan malah meninggalkanku. Ia lebih memilih jabatannya daripada aku. Aku luntang-lantung, hilang arah, kerjaanku mulai berantakan, juga hidupku mulai tak karuan.

Empat bulan setelah putus dari Ikhsan, aku dapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan dan mulai menata hidupku kembali. Saat itu aku merasa sangat kesepian. Hati kecilku berharap Amar kembali. Aku baru menyadari bahwa hanya dia yang mencintaiku dengan tulus. Sikap protektifnya kepadaku adalah salah satu caranya mencintaiku. Di setiap sholatku aku memohon pada Tuhan agar memberikanku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku pada Amar. Jika Amar sudah sangat membenciku dan tak tersisa lagi cinta untukku, aku harap ia masih bisa memaafkanku.

Setiap ada telepon atau SMS bernomor asing masuk ke Hp-ku, aku akan berharap itu Amar. Sampai akhirnya ia benar-benar meneleponku seminggu sebelum hari ultahku. Baru kali itu aku merasa sangat bahagia sekaligus lega menerima telepon darinya. Aku segera meminta maaf dan mengatakan padanya bahwa ternyata aku membutuhkannya. Aku sangat beruntung karena Amar masih mencintaiku, katanya meskipun ia mencoba membenciku, ia tak pernah bisa melakukannnya.

Lagi-lagi sikap protektif dan tempramentalnya membuatku jengah. Ia juga sangat egois. Ia mau mengkritik tanpa mau dikritik orang lain. Akhirnya untuk kedua kalinya aku putus dengan Amarku.

Tiga bulan kemudian ia datang lagi dan meminta maaf kepadaku. Aku – yang mungkin telah ditakdirkan Tuhan untuk melabuhkan hatiku padanya – pun memaafkannya. Pada malam itu ia mengatakan bahwa ia tak ingin kehilangan aku lagi dan berniat untuk mempersuntingku. Aku bahagia mendengarnya. Aku tak  pernah memikirkan ini sebelumnya. Selamat tinggal masa lalu, karena awal tahun 2013 ini aku akan menikah dengan Amar dan memulai kehidupan baru bersamanya. Aku bersyukur dulu sangat membencinya hingga sekarang aku sangat mencintainya dan tak ingin kehilangan dia sampai nanti maut yang mengambilnya dariku.

*) Artikel terpilih dari weekly writing challenge (WWC) RetakanKata karya Rizki Mulya Pratiwi.

Hello 2013, Goodbye 2012!

Oleh Erlinda Sukmasari Wasito

Sebentar lagi kita akan meninggalkan 2012 dan memasuki 2013. Tahun yang menyenangkan dan penuh gelombang. Tahun yang membuat saya tumbuh dan berkembang. Dua belas bulan, 52 minggu, dan 365 hari yang terasa singkat adalah bukti betapa saya menikmati hidup. Betapa cepat waktu bergulir. Hingga ketika akan melepas 2012, banyak kenangan indah yang tersimpan dalam memori.

Salah satu pengalaman paling menakjubkan di tahun 2012 adalah saat saya dan tim membuat film dokumenter berdurasi 15 menit dengan tema kebudayaan lokal. Ini terjadi di semester dua kuliah saya di jurusan Komunikasi Diploma IPB. Saya yang tidak punya pengalaman membuat film apalagi terlibat dalam sebuah pembuatan film langsung didapuk sebagai sutradara. Jangan ditanya bagaimana perasaan saya. Jelas bangga. Teman-teman satu tim memberikan kepercayaan yang luar biasa pada saya.

Film kami berjudul “Bekasi Bukan Betawi”. Dalam film ini kami menyoroti kehidupan Teh Eem Bilyanti dan keluarganya sebagai seniman yang memperjuangkan eksistensi kebudayaan Bekasi. Kami mengikuti kemanapun Teh Eem melangkah. Mulai dari mengurus anaknya yang masih bayi, melatih tari anak-anak di sanggar di halaman rumahnya, hingga mengantar anak didiknya mengikuti lomba tari. Tak kalah dengan sang putri, ayah Teh Eem yang seorang dalang dan ibunya yang sinden masih giat melaksanakan pertunjukan dari panggung ke panggung.

Saya terpesona. Akibat tugas pembuatan film ini, saya tidak hanya mendapat kesempatan menjadi seorang sutradara. Mata saya pun menjadi terbuka. Karena seperti kebanyakan orang awam lainnya, dulu saya berpikir kesenian yang dimiliki Bekasi sama saja dengan Betawi. Padahal Bekasi bukanlah Betawi. Bekasi memiliki ciri khasnya sendiri.

Selain misi mendapat nilai yang bagus, saya dan tim pun terdorong ingin mengangkat kisah perjuangan Teh Eem dan keluarganya agar dapat diapresiasi lebih banyak orang. Dengan memutar film itu di kelas, di depan dosen dan mahasiswa lain, saya ingin menunjukkan “Ini lho Bekasi. Bekasi juga punya seni.” Hasilnya luar biasa. Decak kagum mewarnai pemutaran film kami. Meski hasil penyuntingannya masih standar dengan berbagai kekurangan di sana sini, saya dan tim cukup berbangga hati.

Kini, menyambut 2013, saya akan segera menginjak semester empat. Di semester empat nanti saya akan kembali mendapat tugas membuat film. Hal itu membuat saya senang. Saya sangat ingin melakukan reuni, mengerjakan film bersama tim yang lama. Saya bersyukur pernah dipertemukan dan ditakdirkan mengerjakan proyek bersama mereka. Tim saya adalah orang-orang yang luar biasa, tidak banyak mengeluh, mau bersusah-susah, dan pekerja keras.

Jadi, apa saja keinginan saya di 2013? Pertama, saya ingin kembali membuat film bersama tim, terutama dengan editor. Sebab kami sudah sangat kompak dan saling memahami isi pikiran masing-masing. Kedua, saya ingin UAS berjalan dengan lancar. Saya ingin mengalami peningkatan dalam hal akademik. Ketiga, saya berharap acara yang saya dan teman-teman buat tanggal 3 Januari nanti sukses besar. Acara tersebut dibuat oleh Aksi Event Organizer, yaitu 31 orang mahasiswa yang tergabung dalam 1 kelas praktikum. Acara tersebut bernama Sparteen, akronim dari Sport and Art for Teen. Terdiri dari kompetisi 3 on 3 Basketball, Modern Dance, dan Rally Photo. Tentu, lagi-lagi, proyek sebesar ini dibuat untuk pengambilan nilai.

Tentu semua orang menginginkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Begitu pula dengan saya. Saya juga mengharapkan hal-hal baik untuk mengisi sepanjang 2013. Namun, bukankah tidak ada yang namanya hal baik jika tidak ada hal buruk? Saya tidak mau memiliki daftar resolusi terlalu panjang. Saya hanya akan berusaha memaksimalkan kemampuan dan daya juang. Beginilah indahnya hidup.

*) Artikel terpilih dari weekly writing challenge (WWC) RetakanKata karya Erlinda Sukmasari Wasito, Mahasiswi Institut Pertanian Bogor.

Rintik Gerimis Februari

Cerita KauMuda Nihayatun Ijaji
Editor Ragil Koentjorodjati

gerimis menyapu tangis
gambar diunduh dari 1.bp.blogspot.com

Rintik mengalun dengan indah seindah roda lara yang berputar dengan cepat. Kadang terbesit dalam akal ini untuk menyudahi saja seperangkat lara yang nampak makin akrab dengan hidupku. Tapi, ah… Tuhan pasti membenciku seandainya itu terjadi.

Rintik hujan malam ini rupanya mampu membasahi sudut-sudut hatiku yang gersang. Tapi, luka itu terasa semakin sakit dibuatnya. Betapa tidak, luka yang entah kapan bisa mengering ini terus menerus terkoyak tanpa kutahu apa yang bisa kulakukan agar bisa mengobatinya. Kutatap langit kosong itu. Tak ada kerlip di sana. Yang ada hanya rintik hujan yang makin merembas kian dalam di hatiku, membuatku terus menangis meraung-raung dengan keras, meski dalam hati saja.

”Marwah,“ suara berat ibu sejenak mengganti irama rintik hujan. Bukan aku pura-pura tak mengerti rasa khawatir ibu yang makin menggunung tiap harinya terhadapku yang sudah berhari-hari tak sebiji pun nasi bisa masuk ke dalam kerongkonganku, tapi, sungguh nasi segunung pun tak akan mampu memberiku tenaga saat ini.

“Aku telah lupa akan lapar Bu.” Kubalas panggilan ibu dengan senyuman.

“Istirahatlah dulu,” suara ibu melemah. Aku mengangguk

Di kamar inipun rintik itu masih mengalun, mungkin takkan bisa berhenti sebelum denyut jantung ini berhenti pula. Mata ini tak mampu terpejam barang sekejap pun. Hanya bayangan lelaki itu yang terlihat ketika kututup mataku. Senyum indah itu mata elang itu, renyah tawanya itu. “Tuhan sepertinya aku tak mampu lagi hidup dibuatnya,” ratapku.

Esok pun tiba semangkuk bubur ayam dan segelas susu cokelat hangat nampak manis di meja kamarku. Setiap pagi ia selalu hadir. Aku tahu ini perbuatan ibu, ibu tak pernah letih merayuku makan tapi ah…..terasa berat kusantap sarapan itu. Rasanya seperti mengangkat berton-ton besi saat kuingin membuka mulutku untuk menyantapnya. Kubiarkan bubur dan susu itu mendingin, mungkin sampai berembun, beku sebeku hatiku. Sosok ibu hadir tiba-tiba di kamar.

“Tolong Marwah makanlah dulu walau hanya satu suap,” pinta ibu, menusuk rongga-rongga dadaku. Mata ibu nampak makin berkaca. Oh..wajah keriputnya mulai terlihat jelas, ingin kuelus. Semoga ibu tak merasakan apa yang aku rasakan, lalu tubuh kurus ibu dengan segera memelukku. Tuhan, ini jelas hangat yang sama kurasa saat tubuhnya merangkulku nyaman yang luar biasa hingga buatku merinding.

“Ibu mohon kepadamu Marwah, segeralah hentikan semua ini. Lanjutkanlah hidupmu. Jangan berlarut-larut dengan kesedihanmu dan jangan kau jadikan lukamu sebagai teman akrabmu. Ia bisa hadir namun juga bisa hilang Marwah. Ibu benar-benar sudah tak sanggup lagi melihat keadaanmu saat ini. Ibu sudah sangat letih. Marwah tolong hentikan…!!!”

Bahuku terasa basah dengan hujan air mata ibu. Aku masih membisu sebisu angin yang makin mongering.

“Aku tak sanggup untuk melanjutkan hidupku ini, Ibu,” isakku dalam hati.

“Kalau kau tetap seperti ini, Marwah, Ibu berjanji demi malam yang kian nampak pekat ini, Ibu berjanji akan mengikuti apapun yang kau lakukan. Kalau kamu lupa akan makan, Ibu pun takkan makan sesuap nasi pun, tak berbicara sepatah kata pun, mengurung diri, menangis tanpa air mata semuanya. Marwah semua yang kau lakukan saat ini akan ibu lakukan juga.” Air mata Ibu dan air mataku seolah berlomba derasnya. Tapi aku masih terdiam, rasanya keluh tak mampu berkata apapun.

“Baiklah Marwah, kalau kamu tetap diam berarti kamu setuju, kamu setuju ibu punya jiwa mati sepertimu, lupa dengan warna dunia, khilaf dengan nikmat Tuhan dan ini yang terakhir Ibu ucapkan, Ibu menyayangimu bahkan lebih besar dari cintanya dan cinta yang manapun jua.”

Aku tercengang. Ibupun berlalu.

“Tapi…..Ibu…,” suara itu keluar juga dari mulutku. “Jangan Ibu,” tangisku akhirnya pecah juga. Ibu berbalik dan memelukku lagi. “Jangan Bu, maafkan aku yang membuatmu berduka sampai sedemikian rupa. Aku memang bodoh Bu. Aku tak berguna. Harusnya aku tak lupa akan cintamu yang kuat itu Bu. Tapi Bu, aku telah berdosa. Aku benar-benar pendosa.”

“Tidak Marwah. Ibu selalu memaafkan apapuin salahmu tapi ibu mohon lanjutkan hidupmu lagi. Tersenyumlah, berlarilah, tertawalah, Marwah. Tak ada pertemuan yang abadi begitupun perpisahan. Lupakan Helga, ia telah di sisiNya dan biarkan dia tenang di sisi Allah.”

Aku masih terkurung dengan luka yang kubuat sendiri. Bukan hanya kehilangan Helga yang mebuat jiwaku mati seperti ini, tapi Helga tak hanya meninggalkan cintanya untukku, dia juga meninggalkan buah cinta kami yang tengah tumbuh di rahimku. Kesalahan itu terjadi dua jam sebelum Helga meninggalkanku untuk selama-lamanya, sebelum ia menabrak sudut pembatas setelah mengantarku pulang. Jalan aspal yang basah dan licin seusai diguyur rintik gerimis. Aku berdosa. Aku khilaf.

“Tapi…..Bu…, aku hamil!” kata laknat itu keluar juga dari mulutku

Dan tak mampu berkata lagi. Aku menyesal, hancur. Jiwaku telah mati dan tinggal penyesalan serta luka ini saja yang masih hidup.

 

*)Nihayatun Ijaji, seorang aquarius kelahiran 2 Februari.  Untuk lebih mengenalnya bisa mengontak via fb Nayha Boriel Ogura Neinfu atau via telp 087727197687

Kisah Lamalera

Cerita Rikardus Miku Beding

kisah lamalera
ilustrasi diunduh dari http://www.myshofiya.files.wordpress.com

Saat semua orang terlelap tidur dalam dekapan dinginnya malam, baik di pantai maupun di rumah, aku dan saudaraku, Anderas Soge, harus bangun meneguk segelas kopi dan sebatang rokok koli sembari aku sibuk menyiapkan perlengkapan untuk berlayar di tengah lautan pagi ini. Ibuku Khatarina Kneo Tapoona sibuk menyiapkan bekal. Sebelum berangkat, kami sempatkan diri untuk melihat foto dinding almarhum Baba Benediktus H. Beding sambil mengucap dan berdoa selalu,“Bapa jaga grie kame liko lapak kame di kre kme.” Ada sebuah semburan semangat yang kami dapatkan setelah melakukan itu, karena semangat kerja almarhum tak kan pernah dilupakan.
Kebahagiaan yang kami dapatkan setelah pulang melaut bukanlah banyak tidaknya hasil laut yang kami dapatkan. Tapi… rasa bahagia itu muncul manakala dari kejauhan kami  sudah melihat wajah seorang ibu yang menyambut kami dengan senyum manis dan manja untuk menyambut kami. Semangat almarhum (BH), semangat kami, semakin terpatri dalam hati. Kami bertambah bahagia saat kami dan ibu berjibaku memilih ikan untuk dijual. Aku bahagia  dan bangga sekali memiliki sesosok ibu yang sabar dan penyayang. Berkali-kali ucapan syukur aku panjatkan kepada Tuhan yang telah memberi aku seorang ibu  yang sangat peduli pada anak-anaknya
“Senyum, ekspresi manusia untuk mengungkapkan suka maupun duka. Namun senyum yang satu ini saya katakan  lebih super dari kata Mario Teguh.”

Dilema

Puisi Alvino Aryo Nugroho

Bimbang temani dalam jiwa yang sesak akan tanya
terus bertanya di antara waktu yang berputar singkat
aku dan cintanya . . terambang di tengah ketakutan akan sebuah kebenaran
aku takut akan kenyataan, ia takut untuk mengungkapkan . .

Aku mengendap di antara malam yang berbisik sunyi
tergopoh melangkah penuh kegontaian
berpijak diri seperti sebuah angan yang takkan menjadi realita . .
hatiku seperti sepi, karena fikir selalu berusaha untukku menebak sebuah mimpi

Aku sudah di tengah-tengah lautan hujan badai. .
angin tak mengizinkan ku kembali . .
tapi melangkah jauh ke depan, juga kenyataan untukku mati . .

masihku terduduk dalam buaian lamunan perih
hati ini selalu menjerit akan kebebasan sebuah cinta,
ia berteriak melafalkan arti sejati,
tapi sebenarnya hanya mengingkari sebuah luka . .
yang digores perlahan . . dibuat indah agar tak terasa pilu . .

aku benar-benar ragu . .
seperti sebuah embun yang takut terjatuh dari helaian hijau kehidupan . .
takut murninya ternodai hitam tanah kenistaan . .

masihku mengelak dalam kata manis terselubung
yang padahal hanya lari dari kenyataan sakit . .
tersenyum hanya hiasan latar sarat makna
yakinkan dirinya bahwa ku tak apa ..

aku punya pertanyaan untukku . .
masih sanggupkah aku merangkai perjalanan ini?
atau aku palingkan saja jalan panjang ini?

dan aku punya pertanyaan untuknya . .
buang jauh-jauh dirinya?
atau aku yang keluar dari cerita ini?

Padrè

Cerita KauMuda Hylda Keisya

Gambar dari shutterstockphoto.com

Risa merebahkan sebuah pigura kusam yang telah bertengger di atas televisi sejak 15 tahun lalu. Sungguh, ia tak ingin lagi melihat seringai khas wajah orang dalam pigura tersebut. Andai bisa, ia ingin mengubur sosoknya hidup-hidup sekarang juga.

“Mengapa kamu tutup pigura itu, Risa?”

Mati, ketahuan oleh Ibu! Risa langsung mengendap-endap menuju pintu depan.

“Bu, Risa pamit berangkat ekskul!” serunya cepat-cepat sambil membetulkan tali sepatu.

“Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, Risa,” sahut Ibu yang entah sejak kapan ada di belakang Risa.

“Bu,” Risa memutar badan lalu menatap dalam-dalam wajah teduh Ibunya yang telah lapuk termakan usia. “Sampai kapan Ibu menunggu orang itu kembali? Orang yang telah meninggalkan kita sejak bertahun-tahun lalu itu tak akan pulang, Bu! Tak akan!”

“Walau bagaimanapun itu Bapak kamu, Risa,” tukas Ibu, nada suaranya tetap pelan. Gurat di wajahnya ikut berkerut saat beliau bicara.

“Bukan! Itu bukan bapak Risa! Seorang bapak yang benar tak akan meninggalkan anak istrinya terlunta-lunta seperti ini,” tandasnya lalu berlari meraih sepeda gunungnya, meninggalkan Ibunya termenung sendiri.

*****

            Dalam kamus hidup Risa, semua cowok itu bullshit dan cinta itu tai kucing. Menurutnya, prinsip hidup cowok adalah habis manis sepah dibuang. Kalau sudah bosan, ya cari yang lain. Itu yang paling tak disukainya. Kurang ajar betul makhluk bernama cowok itu. Berkat lelaki pula, ia harus menyongsong hidup yang memprihatinkan. Hidup seadanya dengan mengandalkan upah ibu sebagai buruh yang tidak seberapa. Beruntung ia memiliki pekerjaan sampingan sebagai guru mengaji anak tetangganya selepas maghrib. Namun yang membuatnya tak habis pikir, ibu tak pernah lelah menanti kedatangan bapak yang telah disinyalir minggat sampai kiamat. Bahkan beberapa tetangga sempat mengakui keberadaannya berkeliaran sebagai preman pasar. Hah, masa bodoh sekali dengan orang keji itu. Sekalian saja diciduk polisi biar tahu rasa. Namun sekali lagi ya Tuhan.. tak pernah seumur hidupnya ibu membenci bapak, setelah semua luka yang telah ditorehkan padanya, tak pernah! Sebesar itukah cinta ibu kepada bapak? Cinta..cinta, memang membuat sakit jiwa.

Risa mengayuh kebut laju sepedanya mendekati gerbang sekolah sambil membatin dalam hati. Pokoknya jangan sampai aku menjadi korban seperti ibu! Mulai detik ini ia  bersumpah, tak akan ia berurusan dengan cinta! Tak sudi untuk menjalin hati dengan lelaki mana pun!

“Lalu bagaimana dengan masa depanmu? Emang kamu mau jadi lesbong?” tanya Dina menyudutkan.

“Ish, tak bakalan aku senajis itu! Mungkin hanya tak menikah seumur hidup,” sahutnya enteng.

“Lah, dunia ini kan dihuni lelaki juga. Masa kamu tak mau mengenal lelaki sama sekali?”

“Hei,” Risa menepuk bahu sahabatnya itu. “Untuk berteman dengan lelaki, it’s okay. Untuk menjalin hubungan khusus, no way!

“Usai ekskul bahasa Itali, kau ada acara tidak?” Dina mengalihkan topik.

“Hmm… kukira tidak. Kenapa?”

“Main ke Kafe Kopi, yuk.”

Risa mengangguk, menyanggupi.

*****

            “Din, hampir maghrib. Pulang, yuk!”

Mereka pun menyudahi sesi curhat. Usai membayar di kasir, mereka bergerak menuju parkiran.

“Oh, shit!

Dina menghampiri Risa yang ribut dengan sepeda gunungnya. “Kenapa, Ris? Ada masalah?”

“Nggak tahu. Tiba-tiba aja gak bisa dikayuh,” sahutnya putus asa.

“Mungkin aku bisa membantu.”

Risa sedikit terkejut mendapati seorang cowok berbekal obeng di tangannya berdiri di sisinya. Ia mengerling pada Risa, menawarkan bantuan. Akhirnya Risa membiarkan cowok itu mengutak-atik kayuh sepedanya. Kontras dengan Dina yang terkesan segan pada si cowok dengan gesture yang tak dapat dijelaskan.

Tujuh menit berselang, sepeda gunung Risa pun beres. Risa menghujani si cowok ribuan kata terima kasih.

“Ah, itu bukan apa-apa, kok,” rendahnya lalu beranjak kembali menuju kafe. Risa tak mampu berkata apa-apa lagi, ada sesuatu yang berbeda tengah dirasakannya.

“Ris, kamu sadar gak, sih?” bisik Dina usai kepergian si cowok.

“Gak tau deh, Din. Aku ngerasa.. ngerasa ada yang aneh, aku.. aku..”

“Bukan!” potong Dina. “Maksudku, kamu sadar gak sih kalo itu tadi Mas Bayu Ketua OSIS sekolah kita?”

Risa menggeleng tanpa dosa. Dina menepuk jidatnya sendiri.

“Tau gak, Mas Bayu itu orang cool, pendiam, dan disegani satu sekolah. Beruntung banget kamu sempat ditolong dia.”

*****

            TEET! TEET!

Ah.. our superhero is coming! Dongeng mata pelajaran fisika yang sedari tadi memenuhi otak langsung menguar. Siswa-siswi pun berhamburan keluar.

“Kamu istirahat kemana?” tanya Dina.

“Aku lagi pengen ke perpus, Din. Kali aja ada buku baru,” ujar Risa sembari membenahi buku-buku pelajarannya.

“Aku ikut,” seru Dina akhirnya. Keduanya pun meninggalkan kelas. Saat di koridor..

“Hai, kamu cewek yang kemarin, ya?”

Srett! Dunia bagai berhenti berputar dan es melingkupi jagat raya. Mas Bayu! Tuhan.. kenapa tubuhnya mendadak lemas begini?

“Eh, iya, ada apa Kak Bayu?” hanya kalimat itulah yang mampu ia lontarkan.

Mas Bayu menyunggingkan senyum.Maniiis sekali! “Aku lupa menanyakan sesuatu kemarin. Namamu siapa?”

“Risa, Kak. Triasa Ekantari.”

“Mau ke mana, nih?”

“Ke perpus aja, kok. Ini bareng sama Dina.”

Tampang Mas Bayu malah bersemangat. “Nah, kebetulan aku juga mau kesana. Kita bisa berangkat bersama, kan?”

Risa mengangguk. Saat posisi Mas Bayu selangkah di depan, Dina berbisik di telinga kiri Risa. “Kamu gak bakalan suka Mas Bayu, kan? Soalnya diam-diam aku suka dia.”

*****

            Apa ini pertanda Risa menaruh hati pada Mas Bayu? Ah.. tak mungkin! Bukankah ia telah bersumpah pada dirinya sendiri untuk tidak berurusan dengan cowok? Tapi dia kan berbeda, bisik hati kecilnya. Risa gamang. Lagipula apa ia tega melukai hati Dina, sahabatnya sendiri, dengan menginginkan Mas Bayu?

Sore ini Risa menghabiskan waktu di Taman Apsari ditemani sepeda gunungnya demi memburu inspirasi untuk tugas bahasa Indonesia mengarang cerpen. Eh, yang ia dapatkan malah perang batin sejak pertemuannya dengan Mas Bayu. Mas Bayu.. Mas Bayu, kenapa harus kamu?

“Sendirian aja disini?”

Alamak, hampir saja jantung Risa copot dikejutkan oleh suara.. Mas Bayu! Bagaimana dia bisa disini? Ia pun mengambil tempat di sisi Risa.

“Aku temani, ya?”

Risa hanya mengangguk, tak tahu harus berkata apa lagi. Sedang Mas Bayu malah menatapnya lekat.

“Dari tadi kok diem? Jangan bilang kalo kamu sungkan sama aku, ya. Aku tahu benar reputasiku dikenal sebagai anak pendiam dan tak aneh-aneh, tapi itu membuatku sedikit tak nyaman dalam berkomunikasi dengan orang lain. Selalu saja mereka terkesan sungkan. Padahal aku tak berbeda dengan mereka,” curhatnya panjang.

“Ngh.. kalo aku kan gak terlalu kenal Kak Bayu,” kata Risa membela diri.

“Kamu beda, Ris,” ucap Mas Bayu tiba-tiba menyimpang dari topik. “Kalo di sekul, cewek-cewek yang gak aku kenal itu selalu heboh tiap ada aku. Emang aku kenapa?”

“Ya, mereka kan menganggap Kak Bayu itu berwibawa, cool, … jadinya gitu deh,” komentar Risa ngasal.

“Nah itu dia. Kamu gak seperti mereka. Tiap kali ada aku, kamu malah kayak gak pernah kenal aku. Bukannya sombong, mestinya kamu tahu aku, kan,” ujarnya dengan tatapan mata makin merasuk. Hah, belum tahu dia kalo Risa aja baru kenal Mas Bayu kemarin! Kalo dia tahu mungkin bakal epilepsi.

“Ris, kamu bawa sepeda, kan? Ikut aku, yuk!”

“Ha? Kemana?”

“Ada deh pokoknya. Ayo!”

Lantas keduanya menaiki sepeda masing-masing. Risa berkendara di belakang Mas Bayu sampai sepeda Mas Bayu terhenti di depan sebuah rumah yang cukup mewah. Mas Bayu memasuki rumah itu dan menyuruh Risa membawa serta sepedanya.

“Ini rumahku, Ris,” terang Mas Bayu tanpa diminta. “Masuklah dulu.”

Risa memasuki ruang tamu dan duduk pada sofa empuk berwarna pastel. Tak lama kemudian Mas Bayu muncul bersama seseorang yang entah tak begitu asing bagi Risa.

“Ini ayahku.”

DHARRR! Risa menatap Mas Bayu tak percaya dan orang itu bergantian. Orang itulah sosok dalam pigura kusam yang tak pernah bergeser dari tempatnya, tetap di samping televisi. Yang hingga kini masih dinanti oleh ibunya.

Padrè.[1]


[1] Bahasa Italia yang berarti ayah

 

 

Hylda Keisya adalah siswa Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Nurul Ummah Mojokerto.