Cerpen Bhima Yudistira
Editor Ragil Koentjorodjati

Senja di desa Wae Sano memang menyilaukan mata, dengan keindahan latar belakang bukit-bukit kapur yang terbentang sepanjang danau belerang, di tepi barat pulau Flores. Seorang gadis, bernama Erina sudah ditakdirkan lahir di alam yang mengagumkan ini. Segalanya akan dimulai dari tanah leluhur ini, tanah penuh harapan sekaligus kebencian, tanah masa lalu sekaligus menyimpan mimpi seorang Erina, gadis Wae Sano, begitu orang biasa memanggilnya. Ia asli Flores, lahir dan dibesarkan di kampung Wae Sano, dengan kondisi yang hampir tidak terjamah manusia kota. Dengan debit air diambang batas kritis, penduduk desa hidup dalam keterbatasan yang mungkin menyebabkan separuh dari penduduk desa meninggalkan kampungnya dalam seperempat abad terakhir ini. Mereka yang mampu bertahan tinggal orang-orang tua dengan kaki kapalan karena harus menempuh jarak berkilo-kilo meter hanya untuk mendapatkan satu jerigen air bersih. Jangankan berbicara kehidupan layak, listrik pun belum dikenal di desa ini.
Anak-anak yang berangkat ke sekolah tidak membawa buku tulis dan pensil atau jenis lainnya dari keperluan normal sekolah, mereka membawa jerigen air, bayangkan kawan, jerigen air bukan lainnya. Mereka dengan semangat mendaki bukit-bukit terjal di sisi kampung, masuk ke pedalaman hutan di Lenda hingga ke tepi danau berbau asam, berlarian membawa jerigen kosong yang akan penuh terisi ketika mereka pulang sekolah. Kehidupan manusia-manusia di Wae Sano tidaklah seindah dongeng-dongeng pahlawan atau lagu-lagu yang sering dinyanyikan orang tua saat meninabobokan anak mereka. Kehidupan di Wae Sano sangat keras, dan menyakitkan.
Bukit-bukit terjal di sekeliling Wae Sano menjadi saksi kerasnya kehidupan masyarakat desa. Danau yang elok jika dilihat oleh para wisatawan tidak dapat mendatangkan kemakmuran apapun, bahkan menjadi malapetaka di setiap awal musim hujan. Debit air danau belerang yang tajam baunya perlahan bertambah, seiring dengan racun-racun berwarna kuning kehitaman yang meluap-luap di pesisir danau. “Jangan sekali-kali Kae dekati danau itu! Sebuah laknat akan menimpa setiap orang. Ya benar, danau itu keramat,” ujar Tua Golo. Keramat karena telah menelan puluhan nyawa yang mencoba untuk berenang, atau menyebrangi danau penuh lumpur kuning beracun. “Danau sial!” begitu sebut Tua Golo (adat) ketika berkeliling sekitar danau sebagai tradisi menolak segala celaka yang bisa timbul di tahun-tahun penuh hujan.
Pernah Erina seorang diri berendam di pemandian air panas di balik danau, tiba-tiba warna air berubah menjadi abu-abu penuh lumpur. Erina berteriak, untung Papa Petrus dengan sigap berlari dari rumahnya untuk menyelamatkan Erina yang mulai merasakan mati rasa di kakinya. Danau itu mengalirkan racun yang teramat berbahaya, bahkan pemburu hutan menggunakan lumpur danau untuk menjebak babi hutan, yang tewas seketika memakan daun-daunan bercampur air danau.
Erina memang bukan sembarang gadis, ia tergolong anak cerdas, di tengah penduduk desa yang kurang gizi dan air bersih, soal hitung-menghitung Erina paling pandai. Ia anak tunggal dari Papa Pedo, seorang tukang batu yang menjual keringatnya kepada pemerintah kabupaten. Batu-batu dikumpulkan mulai matahari belum terbit, hingga malam dengan penerangan lampu minyak seadanya, Ayah Erina menggali dan memukul batu kemudian menjualnya untuk perbaikan jalan antar kabupaten di Labuan Bajo. Hasil kerja kerasnya digunakan untuk membeli beras dan kecap di pasar tiap sabtu, itu pun masih berhutang sana-sini. “Yang penting kamu sekolah yang tinggi Nak, capai cita-citamu. Itu pesan bapak, jadilah perempuan seperti Kartini yang pernah Bapak baca waktu seumur kamu dulu, sayang bapak sudah tidak bisa membaca lagi,” pesan Ayah Erina. Ia peluk anaknya dengan kehangatan seorang bapak tukang batu.
Perjalanan kehidupan membuat Ayah Erina sadar, bahwa profesi tukang batu akan segera tergantikan oleh mesin-mesin pemecah batu pesanan kabupaten. Ia bergumam, “Tenaga tua ini segera akan punah, ya Tuhan, harus kerja apa lagi untuk hidup, mengapa hidup begitu penat dan berat seperti ini?” Terkadang Erina mengintip ke dalam kamar ayahnya ketika melihat ayahnya menangis, meratapi tembok-tembok rumahnya yang hampir rubuh. Erina terlahir dari keluarga serba kurang, namun semangatnya tinggi, ia rela menghabiskan waktu tanpa bermain hampir 10 tahun dari waktu hidupnya.
Pulang dari sekolah, Erina mengambil alat pemukul kemiri, lalu membuka karung goni berisi kemiri milik pamannya. Erina diupah per kilogram lima ratus rupiah, tidak pernah naik mulai dari dulu ia pertama kali mencoba membantu pamannya menjadi kuli pecah kemiri. Ibu Erina sudah lama meninggal akibat wabah disentri yang tidak jelas kapan datang dan hilangnya. Ketika bercerita soal ibu Erina, Papa Pedo hanya mengumpat danau belerang yang terkutuk itu, menuduh danau itu penyebab malapetaka hilangnya nyawa Ibu Erina. Walaupun dokter keliling sudah menjelaskan kepada penduduk, bahwa disentri bukan disebabkan karena belerang, tetap saja Ayah Erina tidak percaya, bahkan sekali waktu dokter keliling yang ditugaskan langsung dari Dinas Kesehatan Kabupaten dibentaknya dengan sumpah serapah karena menurutnya dokter itu menyebarkan kebohongan tentang disentri.
Danau yang tidak pernah menghasilkan ikan apapun itu selalu dikutuk oleh penduduk ketika salah seorang diantara mereka meninggal, sakit jantung, ginjal, bahkan tertabrak truk, tetap saja danau itu yang disumpah telah membawa kematian. “Oh. Betapa bodohnya penduduk desa ini, semoga Tuhan memberi kesempatan belajar untuk anak-anak yang tertular penyakit bodoh orang-orang tua itu. Ya Tuhan selamatkanlah anak-anak, aku tidak peduli dengan manusia-manusia kolot sok pintar di desa ini!” Hanya itu yang bisa Pastur Maksimus gumamkan ketika ia mendapati berbagai macam tingkah aneh penduduk ketika meratapi kematian saudara atau teman dekatnya.
Sebulan sudah sejak Ayah Erina tidak mendapatkan pesanan memecah batu untuk perbaikan jalan karena dana kabupaten untuk membeli batu guna memperbaiki jalan dihentikan, anggarannya digunakan untuk membeli mesin pemecah batu yang baru. Waktu mendengar kabar datangnya rencana pembelian mesin itu, ayah Erina segera meloncat dari tempat tidurnya jam dua malam, berlarian seperti orang kesetanan, menyumpah di tepi danau, “Mati kau Danau sial! Terkutuk!”
Ya, gejala orang frustasi, mungkin ia terkena sakit gila pikir penduduk yang terganggu tidurnya akibat teriakan-teriakan ayah Erina. Di jalan ia berteriak-teriak, “Habis sudah kae, habis sudah!” Penduduk mungkin sudah terbiasa mendengar orang tiba-tiba berteriak sambil berlarian di jalan-jalan kampung, kalau bukan ada festival desa, kemungkinan kedua, ada orang gila.
Tua Golo malam itu berkumpul di rumah Pastur Eman, sambil membawa oleh-oleh buah-buahan yang biasa diberikan kepada Pastur sebelum memulai jamuan rohani di minggu pagi. Tua Golo bercerita tentang peristiwa tadi siang yang menimpa Papa Pedo. Ia dengan miris bercerita tentang malangnya kehidupan ayah satu anak itu setelah pemerintah kabupaten tidak membutuhkan tenaganya lagi. “Dua puluh lima tahun sudah ia bekerja menjadi tukang batu, bayangkan Bapa, 25 tahun! Dan sekarang pekerjaan satu-satunya hilang sudah! Nasib benar Kae Pedo!” seru Tua Golo yang bersemangat bercerita tentang malapetaka hari ini. “Lalu, apa kita masih mengumpat pada danau yang membawa celaka itu?” kata Pastur sambil tertawa. “Tentu itu bukan maksud saya Bapa, tapi mungkin danau itu malapetaka juga, lain waktu aku akan menyumpahi danau itu! Sekarang kita harus menolong Kae Pedo mendapatkan pekerjaan. Menurut Bapa bagaimana?” Pastur terdiam sebentar berhenti tertawa sambil melihat mata bulat Tua Golo yang berapi-api memikirkan satu penduduk kampungnya yang baru saja menjadi pengangguran. “Itu yang saya tunggu Tua Golo, kebetulan saya punya kawan di Jakarta, ia kerja jadi tukang bangunan, mungkin Kae Pedo bisa bantu-bantu sedikit.” Secercah harapan muncul di mata Tua Golo, “Baiklah besok saya sampaikan, tolong Bapa bantu atur ya, saya tidak mau penyakit gilanya Kae Pedo menular ke penduduk lain, bencana! Bencana benar itu Bapa! Kasihan juga Erina harus menanggung beban berat, ia sudah banyak berkorban Bapa!”
Setelah berusaha menghibur ayah Erina, Tua Golo memberikan informasi pekerjaan dengan penghidupan yang lebih baik di kota Jakarta. Banyak pemuda yang bekerja di Jakarta setelah lulus sekolah menengah di desa ini, lalu bertaruh nasib menjadi tukang bangunan atau juru parkir di Jakarta. “Ah.. aku memang belum tau Jakarta, tapi aku yakin d isana lebih baik, dan di sana juga tidak ada danau pembawa sial seperti di sini, Semoga kau mendapatkan kerja di sana, aku sudah atur dengan Bapa, apa yang bisa kami bantu, mungkin uang seperlunya dan bekal makanan hingga kau tiba di Jakarta.” Kemudian ayah Erina menatap Tua Golo sambil matanya berkaca-kaca, “Kau memang pemimpin desa, kau bahkan tidak pernah berutang budi padaku, aku yang akan mengingat kebaikanmu dan desa ini, aku berjanji Kae!” Sambil meminum kopi, kemudian ayah Erina memanggil Erina, “Nak, kau sudah besar sekarang, sudah gadis pula, Bapak ingin cari kerja di Jakarta, kau teruslah sekolah, setiap bulan Bapak kirim uang untuk sekolahmu, jangan putus atau kau gunakan untuk membeli barang yang tidak perlu! Ingat! Sekolah! Itu yang utamanya, Mau kau jadi seperti Bapak?” Erina hanya terdiam. Ayah Erina menyadari bahwa keputusan untuk pergi ke Jakarta dan meninggalkan anak gadisnya di desa merupakan hal yang harus dilakukan.
Setahun berlalu..
Sudah tiga bulan Erina tidak mendapatkan kabar dari ayahnya, di mana ia sekarang atau bagaimana kesehatannya. Kiriman uang pun berhenti, Erina hanya membantu menjadi penjaga toko kelontong milik Tua Golo di sudut pasar Lenda. Ia bertanya pada setiap orang yang baru kembali dari Jakarta di terminal pasar Lenda, “Ada yang tau bapak? Pedo namanya, tinggi dan berkumis, dengan tanda bekas luka di dahinya, pernahkah Kae melihat?” sambil ditunjukkan foto ayahnya. Tak satu pun yang tahu keberadaan ayahnya. Selama ini ayahnya hanya menelpon untuk mengetahui kabar Erina dan menanyakan apakah uang kirimannya telah sampai ke tangan Erina, tanpa menyebutkan alamat tempat dia kini tinggal di Jakarta.
Didesak oleh situasi yang membuat hatinya cemas, akhirnya Erina mengambil sisa uang di amplop wesel berwarna biru kiriman terakhir ayahnya sebelum kabar ayahnya tidak terdengar lagi. Dibuka amplop itu dan terdapat selembar kertas, mungkin berisi alamat rumah pikir Erina, ternyata ia tersentak, itu semacam surat pesan yang biasa ditulis oleh orang yang sangat dekat dengan kematian.
Ananda Erina,
Surat ini bukan untuk dijawab, simpanlah baik-baik, dan jagalah. Berikan kepada anakmu kelak…
Apa menurutmu kebahagiaan yang paling ingin Bapak rasakan? Bapak ingin sekali lagi melihat kau dipangku oleh ibumu dalam dekapan yang penuh hangat. Kini aku hanya seongok manusia yang tidak pantas kau panggil Bapak. Aku sudah gagal, gagal di dalam kehidupan ini, uang yang kukirimkan ini, mungkin uang Bapak yang terakhir. Simpanlah baik-baik. Ingat pesan Bapak yang selalu terucap, tapi jangan pernah kau bosan mendengarnya Nak, Bapak ingin kau sekolah setinggi-tingginya, jadilah manusia bebas, lakukan apa saja yang kau inginkan Nak dengan ilmumu, jadilah manusia-manusia yang punya harapan!
Hidup bukan untuk menangisi kesedihan, hidup untuk melawan, melawan nasib yang menidurkanmu Nak, nasib yang berkuasa atas hidupmu. Lawan Nak! Lawan! Kau harapan bapak yang terakhir!
Ttd.
Ayah seorang “putri penantang nasib!”
Setelah membacanya, Erina menangis terisak-isak, “Di mana bapak sekarang? Tegakah melihat aku sendiri di sini? Pulang Pak. Erina ingin bersama Bapak.”
Satu bulan telah berlalu sejak wesel terakhir dikirim ke Erina, berisi uang Rp.500.000,-. Teringat akan foto ayahnya yang ia letakkan di bawah bantal, sewaktu-waktu ia ingin menangis, ia lihat foto ayahnya untuk membangunkan semangat yang hampir runtuh. Gadis belia kini tanpa siapa-siapa, tanpa apa-apa, dan hidupnya hanya menunggu dipinang oleh pemuda desa, itu pun jika beruntung mendapatkan pemuda yang ingin menikahinya. Mungkin dijadikan istri ketiga sudah bersyukur.
Sejak saat itu Erina tidak percaya lagi akan adanya doa, ia tidak lagi pergi ke gereja seperti yang pernah ia lakukan dulu. Tuhan baginya tidak pernah ada, kalaupun ada, Tuhan hanyalah gambaran akan nestapa dan rasa sedihnya. “Tuhan tak mampu menjawab doaku. Aku Erina dan aku ingin menjadi manusia-manusia bebas seperti yang bapak bilang dulu,” gumam Erina di dalam hati.
Sudah setahun semenjak surat terakhir bapak, Erina sangat ingin pergi ke Jakarta, berusaha menemukan tempat tinggal terakhir ayahnya, di surat weselnya tercantum alamat pengirimnya yang mungkin saja mengarahkan Erina kepada ayahnya yang sangat ia rindukan. Berangkatlah Erina dengan uang secukupnya, dari Wae Sano ke Jakarta membutuhkan waktu 4 hari pelayaran dan bisa mencapai waktu 1 minggu jika pelabuhan sape di Bima terpaksa ditutup karena tingginya ombak membuat kapal membatalkan jadwal normalnya.
Erina akhirnya sampai di kota Jakarta, kota dengan bayangan-bayangan aneh, wanita-wanita malam di sepanjang stasiun Senen dengan rok mini menjajakan cinta semalam, dan pedagang-pedagang asongan di sekitar Pasar Senen membuat mata Erina berputar-putar mencari nama jalan yang sulit untuk diingatnya, jalan Kampung Rambutan no.3, Pasar Senen seperti yang tertulis di belakang wesel pos berwarna biru. Akhirnya Erina menemukan rumah dengan pintu cat hijau, dan pagar setinggi lutut. Setelah bertanya pada tetangga, ternyata rumah itu memang pernah dijadikan tempat tinggal tukang bangunan yang sedang mengerjakan proyek perumahan tak jauh dari situ. Kini dada Erina berdebar-debar, berharap ia masih bisa mencari alamat tinggal ayahnya, setidaknya jika ayahnya sudah tiada ia masih bisa menemukan tempat ayahnya dikubur. Senja semakin gelap, Erina terpaksa mencari tempat penginapan, sekalian makan, pikirnya. Ada sebuah rumah yang bertuliskan “menerima tamu” tak jauh dari stasiun Pasar Senen. Ia sendirian masuk ke dalam rumah itu, dengan uang seadanya ia memesan satu kamar dengan kipas angin. Hmm ini murah, Jakarta tidak seperti dugaanya dulu, semua begitu mahal, dan orang-orangnya brutal. Ternyata Jakarta sangat ramah dengan tempat penginapan yang murah, “apa mungkin aku sedang beruntung?”. Ia rebahan di atas kasur kemudian tertidur.
Esoknya ketika bangun ia meraba-raba tas yang seingatnya tadi malam di simpan di dalam lemari. Hilang semua. Hilang tak tersisa, beserta uang dan amplop wesel biru dan foto ayahnya. Ia bertanya kepada penjaga penginapan yang tidak tahu menahu masalah tas yang hilang di dalam kamar malah membentaknya dengan kasar. “Maaf Mbak, tapi itu salah lu sendiri ga hati-hati naroh tas di dalam lemari yang ga dikunci, barang hilang gue ga bisa tanggung jawab, lo urus sendiri! Sekarang lo mau bayar pake apa nih?” Dengan nada mengancam ibu penjaga malah menagih uang sewa kamar kepada Erina. Dengan bingung Erina tidak bisa melakukan apa-apa, lalu bu Retno menunjuk rumah di depannya sambil berkata “Udah, mending lo sekarang cari kerja di situ, bantu cuci-cuci piring, atau ngapain deh yang penting ntar lo balikin uang sewa ya! Sana kerja!”
Sebulan sudah semenjak Erina tiba di Jakarta, kini ia menyewa kamar di rumah bu Retno, dan sehari-hari penghasilannya hanya cukup untuk membayar uang sewa dan makan nasi sayur secukupnya bahkan terpaksa berhutang. Ia terjebak, tapi tak bisa apa-apa. “Sekarang aku bekerja mencuci piring, kukumpulkan uangku sedikit demi sedikit untuk mencari rumah ayah,” besar harapan Erina untuk bertemu kembali dengan ayahnya.
Di hari yang panas itu, Erina sedang mengerjakan mencuci piring seperti biasa, kini ia bertugas membersihkan kamar-kamar kosong di lantai dua gedung yang gelap penerangannya. Ketika membersihkan kamar di pojokan, tiba-tiba Erina tersentak hingga ia hampir terjatuh. Di dalam kamar itu ada sosok laki-laki yang dikenalinya, sedang berdua dengan wanita dalam kondisi yang tak layak. Segera ia memekik, “Ayah?” Pria yang sedang asyik berduaan dengan wanita tersebut kemudian berbalik badan dan setengah telanjang ia menarik selimutnya, “Siapa kau?”
“Aku Erina, kaukah Papa Pedo?” seru Erina secara spontan
Dengan keadaan yang aneh itu pria tadi menjawab, “Ah, Anakku,” sambil matanya berkaca-kaca seolah tidak percaya.
“Apa yang sedang Ayah lakukan?” tanya Erina
“Tidak anakku, mari kukenalkan dengan teman Ayah,” sapa hangat ayah Erina
Pertemuan singkat ini bukanlah momen yang diharapkan oleh Erina, aneh, tak terduga dan membuat pikirannya berputar-putar, lutut Erina langsung lemas, “Benarkah ia Ayah yang Erina kenal? Yang ia cari selama ini? Atau aku sedang bermimpi?” gumam Erina.
Sambil memakai baju, pria yang memang ayah Erina berkata, “Mendekatlah anakku, aku takut sekali menghadapi Jakarta. Aku ingin kita pulang ke kampung lagi, menyumpahi danau Wae Sano yang telah membawa laknat kepada tanah leluhur kita. Mari anakku, bukan tempatmu di sini,” sambil ia berusaha memeluk Erina.
Erina tidak menangis sedikitpun, ia masih belum percaya pria setengah telanjang yang beberapa menit yang lalu sedang tidur dengan wanita entah dari mana kini memanggilnya lembut “Mari pulang Anakku”. Pria yang dulu menjadi teladan hidupnya, kini begitu asing.
Di tengah-tengah hiruk pikuk Jakarta, Erina dan Ayahnya keluar dari kamar itu, sambil berpengangan tangan, dengan latar gedung tempat Erina bekerja sebulan ini, di kamar penuh tanda tanya itu tertulis “Panti Pijat Sinar Melati”.