Padrè

Cerita KauMuda Hylda Keisya

Gambar dari shutterstockphoto.com

Risa merebahkan sebuah pigura kusam yang telah bertengger di atas televisi sejak 15 tahun lalu. Sungguh, ia tak ingin lagi melihat seringai khas wajah orang dalam pigura tersebut. Andai bisa, ia ingin mengubur sosoknya hidup-hidup sekarang juga.

“Mengapa kamu tutup pigura itu, Risa?”

Mati, ketahuan oleh Ibu! Risa langsung mengendap-endap menuju pintu depan.

“Bu, Risa pamit berangkat ekskul!” serunya cepat-cepat sambil membetulkan tali sepatu.

“Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, Risa,” sahut Ibu yang entah sejak kapan ada di belakang Risa.

“Bu,” Risa memutar badan lalu menatap dalam-dalam wajah teduh Ibunya yang telah lapuk termakan usia. “Sampai kapan Ibu menunggu orang itu kembali? Orang yang telah meninggalkan kita sejak bertahun-tahun lalu itu tak akan pulang, Bu! Tak akan!”

“Walau bagaimanapun itu Bapak kamu, Risa,” tukas Ibu, nada suaranya tetap pelan. Gurat di wajahnya ikut berkerut saat beliau bicara.

“Bukan! Itu bukan bapak Risa! Seorang bapak yang benar tak akan meninggalkan anak istrinya terlunta-lunta seperti ini,” tandasnya lalu berlari meraih sepeda gunungnya, meninggalkan Ibunya termenung sendiri.

*****

            Dalam kamus hidup Risa, semua cowok itu bullshit dan cinta itu tai kucing. Menurutnya, prinsip hidup cowok adalah habis manis sepah dibuang. Kalau sudah bosan, ya cari yang lain. Itu yang paling tak disukainya. Kurang ajar betul makhluk bernama cowok itu. Berkat lelaki pula, ia harus menyongsong hidup yang memprihatinkan. Hidup seadanya dengan mengandalkan upah ibu sebagai buruh yang tidak seberapa. Beruntung ia memiliki pekerjaan sampingan sebagai guru mengaji anak tetangganya selepas maghrib. Namun yang membuatnya tak habis pikir, ibu tak pernah lelah menanti kedatangan bapak yang telah disinyalir minggat sampai kiamat. Bahkan beberapa tetangga sempat mengakui keberadaannya berkeliaran sebagai preman pasar. Hah, masa bodoh sekali dengan orang keji itu. Sekalian saja diciduk polisi biar tahu rasa. Namun sekali lagi ya Tuhan.. tak pernah seumur hidupnya ibu membenci bapak, setelah semua luka yang telah ditorehkan padanya, tak pernah! Sebesar itukah cinta ibu kepada bapak? Cinta..cinta, memang membuat sakit jiwa.

Risa mengayuh kebut laju sepedanya mendekati gerbang sekolah sambil membatin dalam hati. Pokoknya jangan sampai aku menjadi korban seperti ibu! Mulai detik ini ia  bersumpah, tak akan ia berurusan dengan cinta! Tak sudi untuk menjalin hati dengan lelaki mana pun!

“Lalu bagaimana dengan masa depanmu? Emang kamu mau jadi lesbong?” tanya Dina menyudutkan.

“Ish, tak bakalan aku senajis itu! Mungkin hanya tak menikah seumur hidup,” sahutnya enteng.

“Lah, dunia ini kan dihuni lelaki juga. Masa kamu tak mau mengenal lelaki sama sekali?”

“Hei,” Risa menepuk bahu sahabatnya itu. “Untuk berteman dengan lelaki, it’s okay. Untuk menjalin hubungan khusus, no way!

“Usai ekskul bahasa Itali, kau ada acara tidak?” Dina mengalihkan topik.

“Hmm… kukira tidak. Kenapa?”

“Main ke Kafe Kopi, yuk.”

Risa mengangguk, menyanggupi.

*****

            “Din, hampir maghrib. Pulang, yuk!”

Mereka pun menyudahi sesi curhat. Usai membayar di kasir, mereka bergerak menuju parkiran.

“Oh, shit!

Dina menghampiri Risa yang ribut dengan sepeda gunungnya. “Kenapa, Ris? Ada masalah?”

“Nggak tahu. Tiba-tiba aja gak bisa dikayuh,” sahutnya putus asa.

“Mungkin aku bisa membantu.”

Risa sedikit terkejut mendapati seorang cowok berbekal obeng di tangannya berdiri di sisinya. Ia mengerling pada Risa, menawarkan bantuan. Akhirnya Risa membiarkan cowok itu mengutak-atik kayuh sepedanya. Kontras dengan Dina yang terkesan segan pada si cowok dengan gesture yang tak dapat dijelaskan.

Tujuh menit berselang, sepeda gunung Risa pun beres. Risa menghujani si cowok ribuan kata terima kasih.

“Ah, itu bukan apa-apa, kok,” rendahnya lalu beranjak kembali menuju kafe. Risa tak mampu berkata apa-apa lagi, ada sesuatu yang berbeda tengah dirasakannya.

“Ris, kamu sadar gak, sih?” bisik Dina usai kepergian si cowok.

“Gak tau deh, Din. Aku ngerasa.. ngerasa ada yang aneh, aku.. aku..”

“Bukan!” potong Dina. “Maksudku, kamu sadar gak sih kalo itu tadi Mas Bayu Ketua OSIS sekolah kita?”

Risa menggeleng tanpa dosa. Dina menepuk jidatnya sendiri.

“Tau gak, Mas Bayu itu orang cool, pendiam, dan disegani satu sekolah. Beruntung banget kamu sempat ditolong dia.”

*****

            TEET! TEET!

Ah.. our superhero is coming! Dongeng mata pelajaran fisika yang sedari tadi memenuhi otak langsung menguar. Siswa-siswi pun berhamburan keluar.

“Kamu istirahat kemana?” tanya Dina.

“Aku lagi pengen ke perpus, Din. Kali aja ada buku baru,” ujar Risa sembari membenahi buku-buku pelajarannya.

“Aku ikut,” seru Dina akhirnya. Keduanya pun meninggalkan kelas. Saat di koridor..

“Hai, kamu cewek yang kemarin, ya?”

Srett! Dunia bagai berhenti berputar dan es melingkupi jagat raya. Mas Bayu! Tuhan.. kenapa tubuhnya mendadak lemas begini?

“Eh, iya, ada apa Kak Bayu?” hanya kalimat itulah yang mampu ia lontarkan.

Mas Bayu menyunggingkan senyum.Maniiis sekali! “Aku lupa menanyakan sesuatu kemarin. Namamu siapa?”

“Risa, Kak. Triasa Ekantari.”

“Mau ke mana, nih?”

“Ke perpus aja, kok. Ini bareng sama Dina.”

Tampang Mas Bayu malah bersemangat. “Nah, kebetulan aku juga mau kesana. Kita bisa berangkat bersama, kan?”

Risa mengangguk. Saat posisi Mas Bayu selangkah di depan, Dina berbisik di telinga kiri Risa. “Kamu gak bakalan suka Mas Bayu, kan? Soalnya diam-diam aku suka dia.”

*****

            Apa ini pertanda Risa menaruh hati pada Mas Bayu? Ah.. tak mungkin! Bukankah ia telah bersumpah pada dirinya sendiri untuk tidak berurusan dengan cowok? Tapi dia kan berbeda, bisik hati kecilnya. Risa gamang. Lagipula apa ia tega melukai hati Dina, sahabatnya sendiri, dengan menginginkan Mas Bayu?

Sore ini Risa menghabiskan waktu di Taman Apsari ditemani sepeda gunungnya demi memburu inspirasi untuk tugas bahasa Indonesia mengarang cerpen. Eh, yang ia dapatkan malah perang batin sejak pertemuannya dengan Mas Bayu. Mas Bayu.. Mas Bayu, kenapa harus kamu?

“Sendirian aja disini?”

Alamak, hampir saja jantung Risa copot dikejutkan oleh suara.. Mas Bayu! Bagaimana dia bisa disini? Ia pun mengambil tempat di sisi Risa.

“Aku temani, ya?”

Risa hanya mengangguk, tak tahu harus berkata apa lagi. Sedang Mas Bayu malah menatapnya lekat.

“Dari tadi kok diem? Jangan bilang kalo kamu sungkan sama aku, ya. Aku tahu benar reputasiku dikenal sebagai anak pendiam dan tak aneh-aneh, tapi itu membuatku sedikit tak nyaman dalam berkomunikasi dengan orang lain. Selalu saja mereka terkesan sungkan. Padahal aku tak berbeda dengan mereka,” curhatnya panjang.

“Ngh.. kalo aku kan gak terlalu kenal Kak Bayu,” kata Risa membela diri.

“Kamu beda, Ris,” ucap Mas Bayu tiba-tiba menyimpang dari topik. “Kalo di sekul, cewek-cewek yang gak aku kenal itu selalu heboh tiap ada aku. Emang aku kenapa?”

“Ya, mereka kan menganggap Kak Bayu itu berwibawa, cool, … jadinya gitu deh,” komentar Risa ngasal.

“Nah itu dia. Kamu gak seperti mereka. Tiap kali ada aku, kamu malah kayak gak pernah kenal aku. Bukannya sombong, mestinya kamu tahu aku, kan,” ujarnya dengan tatapan mata makin merasuk. Hah, belum tahu dia kalo Risa aja baru kenal Mas Bayu kemarin! Kalo dia tahu mungkin bakal epilepsi.

“Ris, kamu bawa sepeda, kan? Ikut aku, yuk!”

“Ha? Kemana?”

“Ada deh pokoknya. Ayo!”

Lantas keduanya menaiki sepeda masing-masing. Risa berkendara di belakang Mas Bayu sampai sepeda Mas Bayu terhenti di depan sebuah rumah yang cukup mewah. Mas Bayu memasuki rumah itu dan menyuruh Risa membawa serta sepedanya.

“Ini rumahku, Ris,” terang Mas Bayu tanpa diminta. “Masuklah dulu.”

Risa memasuki ruang tamu dan duduk pada sofa empuk berwarna pastel. Tak lama kemudian Mas Bayu muncul bersama seseorang yang entah tak begitu asing bagi Risa.

“Ini ayahku.”

DHARRR! Risa menatap Mas Bayu tak percaya dan orang itu bergantian. Orang itulah sosok dalam pigura kusam yang tak pernah bergeser dari tempatnya, tetap di samping televisi. Yang hingga kini masih dinanti oleh ibunya.

Padrè.[1]


[1] Bahasa Italia yang berarti ayah

 

 

Hylda Keisya adalah siswa Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Nurul Ummah Mojokerto.

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s