Cerpen Sri Utami Ningsih
Editor Ragil Koentjorodjati

“Ayah, kapan Ayah ajak Uky naik kereta?”
Itulah kalimat yang berulang kali diucapkan oleh Uky, putra kecilku yang berusia tujuh tahun. Sudah tiga bulan terakhir ini dia merengek minta diajak naik kereta karena ingin seperti teman-temannnya yang sudah pernah naik kereta. Tapi apa daya, yang bisa kulakukan hanya tersenyum, atau mengulur-ulur waktu, walaupun aku tidak tahu kapan tepatnya keinginannya itu bisa kupenuhi.
“Yah, Uky pengen naik kereta. Kapan Yah?” tanya Uky dengan pertanyaan yang sangat familiar di telingaku.
“Jangan sekarang, Uky! Keretanya lagi dipakai sama oaing banyak. Nanti kalau sepi, Ayah pasti ajak Uky naik kereta,” kataku dengan jurus menghindar yang selalu kupakai. Kata-kata itu selalu melukis semburat kesedihan pada wajah Uky. Namun kesedihan itu tak lama kemudian mengembang menjadi senyuman tulus dan polos dari seorang anak yang sangat percaya pada ucapan ayahnya. Dan hal itu secara tidak langsung membuat hatiku sakit.
Sering kulihat Uky di kamarnya, bermain dengan kereta mainannya yang terbuat dari kardus, dan ia gerakkan dengan jemarinya yang mungil. Sungguh, ingin kuwujudkan keinginannya itu. Naik gerbong kereta, menyusuri rel yang panjang, dan melihatnya tersenyum lebar. Tapi ada satu hal yang membuatku segan melakukan hal itu.
“Uky hanya minta diajak naik kereta, Mas, apa susahnya?” tanya Dinda, istriku tercinta. Wanita cantik yang tengah berbadan dua, yang kini menggantikan posisi almarhummah Ibunda Uky.
“Aku hanya takut kejadian lima tahun silam terulang lagi,” jawabku sambil menutup mata. Menutup lagi peristiwa pahit yang seharusnya sudah pudar seiring berjalannya waktu. Saat d imana berita itu datang, dan menggores kesediahan tiada akhir. Saat aku melihat daftar nama korban kecelakaan kereta api yang terguling. Dan kutemukan sebuah nama, Annisa Rahma, bidadari hidupku yang kini telah menjelma menjadi bidadari cantik di surga.
Dinda tersenyum manis dan menghampiriku dengan membawa secangkir teh yang tadi dibuatnya. “Itulah yang dinamakan takdir, Mas. Tanpa istri Mas naik kereta itu pun, memang Allah sudah menghendakinya menuju tempat yang lebih baik,” kata Dinda dengan sangat bijak.
Aku terdiam, berusaha menyerap kata-kata Dinda. Dan seketika, hatiku pun terbuka. “Kamu benar, Din. Tidak seharusnya aku menyalahkan kereta atau siapapun. Aku terlalu tidak peka dengan perhatian yang Allah berikan untukku. Maafkan aku ya? Aku jadi membuka lagi lembar masa lalu yang seharusnya sudah kututup,” kataku sambil menatap lekat-lekat paras cantik Dinda.
“Tidak apa-apa, Mas…. Terkadang kita perlu membuka masa lalu untuk belajar tentang masa depan. Dinda senang Mas sudah tenang. Jadi, Mas mau mengajak Uky naik kereta, kan?” tanya Dinda. Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman. Lalu mengelusnya penuh cinta, beserta calon adik Uky yang tengah terlelap di perutnya.
Hari-hari pun berlalu. Aku mulai bekerja lebih keras. Pekerjaan utamaku sebagai pembuat batu bata tidak cukup untuk membeli tiket kereta dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluargaku. Aku pun mencari pekerjaan tambahan sebagai pemilah kertas. Memang terlihat mudah, hanya memisahkan kertas putih dan yang berwarna. Namun pekerjaan ini cukup menyita waktuku. Tak jarang aku merasa punggungku sakit karena duduk memilah kertas semalaman. Dan paginya, aku sudah disibukkan dengan pekerjaanku membuat batu bata.
Semakin lama, kondisiku pun semakin menurun. Mungkin aku kelelahan. Dinda sudah menyuruhku untuk beristirahat dan jangan terlalu memforsir diri, namun keinginanku untuk membahagiakan Uky itu, seketika membuat sakitku berkurang. Terbayang olehku senyum Uky yang melihat kendaraan inpiannya itu. Semua itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku kembali bangkit.
Sampai suatu hari, ketika aku tengah beristirahat setelah seharian membuat batu bata, si kecil Uky datang dengan membawakanku segelas teh manis hangat. Aku segera meneguknya sampai hampir setengah gelas. Seketika penatku hilang, berganti kehangatan dari suhu teh itu dan senyum dari Uky dan Dinda. Tanpa kuduga, Uky menanyakan suatu hal yang membuatku terkejut.
“Ayah, ayah bekerja siang dan malam buat ngajak Uky naik kereta ya?”
Aku tercengang. Tak terpikirkan olehku kalau pertanyaan seperti itu akan keluar dari bibir Uky yang mungil. Aku harus menjawab apa? Aku sungguh tak mau Uky merasa bahwa dirinya adalah beban bagiku. Tegakah aku berbohong? Tegakah aku melakukan kebohongan yang sejak dulu kularang Uky untuk melakukannya?
“Ayah… Uky nggak usah naik kereta nggak apa-apa kok.Kata teman-teman Uky, tiket kereta itu harganya mahal. Mendingan uangnya buat adik bayi aja,” kata Uky lagi. Lidahku semakin kelu untuk berucap. Aku tak tahu harus berkata apa. Yang dikatakan Uky adalah benar. Usia kandungan Dinda sudah menginjak 7 bulan. Apakah aku harus menangguhkan keinginan kecil Uky?
Dengan sikap keibuan, Dinda menghampiri Uky. Dia bukan hanya seperti ibu, namun juga sosok teman dekat bagi Uky. “Uky tenang aja. Adik bayi punya rezekinya sendiri dari Allah. Rezeki yang datang sekarang adalah rezeki buat Uky. Allah pasti tahu kalau Uky pengen banget naik kereta. Jadi, semahal apapun tiket kereta, kalau Allah sudah berkehendak, pasti pasti bisa. Asal Uky mau mensyukuri apa yang dikasih Allah buat Uky.”
Mata Uky kembali berbinar, seakan menemukan cahaya harapannya. Perlahan senyumnya terkembang dari bibir mungilnya. “Uky janji, Uky akan berterima kasih terus sama Allah. Biar Allah mau naikin Uky ke kereta!” kata Uky dengan lantang. Matanya semakin berbinar menatap harapan.
Setelah kurasa uangku cukup, kupenuhi keinginan Uky itu. Untung saja sejak seminggu kemarin, aku mendapat pesanan batu bata yang cukup banyak. Jadi, aku masih ada simpanan untuk keperluan mendadak. Kini, aku dan Uky berada di sini. Tempat orang-orang berlalu-lalang mengejar waktu. Ada pula yang tengah tersedu melepas kepergian orang tersayangnya. Peluit-peluit yang bersahutan, suara rel yang berderik, derap langkah orang-orang yang terburu-buru, menjadi musik tersendiri di telinga kami. Seakan kami tengah terlibat dalam kesibukan besar di tempat ini.
“Ayah, kereta ini hebat ya? Kalau udah gede, Uky mau bikin kereta api yang panjaaang banget. Terus, Uky mau jadi masinisnya. Ntar tiketnya Uky gratisin deh, biar orang-orang yang pengen naik kereta kayak Uky nggak perlu bingung nyari uang,” kata Uky sambil menatap kereta yang melintas kencang di depannya.
Aku diam-diam tersenyum melihat kebahagiaan Uky. Hatiku tak henti-hentinya bersyukur melihat keinginan anakku hampir terwujud. Sebentar lagi, hanya perlu menunggu waktu.
“Uky, kita beli tiketnya dulu yuk?”
“Uky di sini aja yah, Uky mau lihat kereta!” kata Uky sambil mencari tempat duduk. Sebenarnya enggan aku meninggalkannya seorang diri di tengah keramaian ini. Namun saat kulihat Uky sedang duduk tenang sambil menatap kereta impiannya itu, hatiku jadi tak tega untuk tak mengizinkannya menungguku di sini. Aku akan secepatnya kembali.
Loket tiket kereta ternyata sudah penuh sesak. Antriannya sangat panjang. Bahkan ada yang nekat mendorong-dorong. Kumaklumi, ini adalah long weekend. Pastinya banyak yang ingin segera bertegur sapa dengan keluarga di kampung halaman. Atau setidaknya hanya melepas penat setelah lama berkutat dengan keseharian. Diam-diam aku bersyukur tidak membawa Uky ke sini. Tak dapat kubayangkan tubuh kecilnya terdorong orang-orang yang tidak sabaran itu.
Hampir 20 menit aku berdiri, dan akhirnya tibalah giliranku. Aku segera memesan 2 tiket, dan menyelesaikan transaksi itu dengan cepat. Aku tak ingin Uky bosan menungguku di sana.
“Eh, ada yang terserempet kereta!” kata seseorang, diikuti langkah cepat orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi. Aku pun segera ke sana. Kulirik tempat duduk yang tadi dihuni Uky, sudah kosong! Hatiku berkecamuk. Berbagai pikiran negatif bertebaran di otakku. Kusibak orang-orang yang berkerumunan itu, mencoba mencari sosok si kecil Uky yang kuharap baik-baik saja. Kulihat sebuah tas mungil yang tak asing bagiku, tas Uky! Dengan sosok Uky di sampingnya. Dan dalam keadaan….
***
Hari ini akhirnya datang. Di saat kubisa melihat Uky naik kereta. Namun bukan dengan senyum gembira seperti yang selama ini diinginkannya. Melainkan dengan wajah kaku dan senyum terakhirnya yang abadi.
“Uky, kupenuhi keinginanmu, Nak. Keinginanmu untuk naik kereta. Bahkan dengan kereta yang dihias cantik dengan bunga-bunga. Apa kau senang sekarang, Nak? Kau sudah naik kereta sekarang. Bahkan aku sendiri yang kini menjadi masinisnya. Dengan kereta terindah ini, aku akan mengantarmu, menuju tempat yang paling indah, di sisi-Nya.”