Arsip Tag: borneo

Tembakan Lelaki Borneo

Tembakan Lelaki Borneo[1]

 Cerpen Anton Trianto

gambar diunduh dari situsaja.blogspot.com

Bunyi tembakan dan suara barang yang pecah terdengar nyaris bersamaan. Menggetarkan udara dan terasa membekas di gendang telinga. Menyusul di belakangnya suara berat seorang lelaki yang memaki-maki.

“Riwuuuut! Tempayanku, Riwuuut! Sontoloyo! Asu!”

Menyusul lagi di belakangnya suara banyak orang terkekeh-kekeh menggenapi parade suara gaduh di tempat itu. Sebuah tempat yang merupakan sebidang halaman belakang sebuah rumah. Tempat yang dipenuhi oleh banyak lelaki yang sedang menggendong bedil di tangannya.

Di tempat itu berdiri seorang pemuda, tubuh kecil berkulit hitam. Pemuda yang barusan saja menembak, dimaki dan ditertawakan. Namanya Riwut. Semua orang di sana menggeleng-geleng kepala atas apa yang sudah diusahakannya. Riwut pun juga terpaksa geleng-geleng kepala atas kegagalan-kegagalannya.

Mata Riwut menatap sebuah botol kosong bekas minuman keras buatan Belanda yang diletakkan di atas tumpukan karung berisi pasir. Botol kosong itu adalah sasaran latihan tembaknya sore ini. Botol kosong yang diletakkan sembilan hasta di depan ujung laras bedilnya itu, benar-benar membuat hatinya sangat jengkel.

Tujuh kali sudah peluru meletus dari moncong senapan Riwut. Namun tetap saja sasaran tembak itu bergeming di tempatnya semula. Tak bergerak barang secuil jarak pun. Peluru Riwut malah nyasar menghantam sebuah tempayan air milik majikannya yang terbuat dari tembikar. Bagian tengah tempayan itu rengkah isinya muncrat berhamburan.

Bukan hanya tempayan air yang jadi korban keganasan senapan Riwut. Sebelumnya, dahan pohon randu di belakang sasaran tembak juga berlubang ditembus peluru. Beberapa karung pasir di kiri kanan sasaran bernasib sama, bocor dicium timah panas. Sementara tiga buah peluru melesat menyapa awan, hilang entah kemana. Tak satu pun tembakan Riwut kena sasaran.

Riwut membidik lagi. Ia kembali mengatur posisi badannya. Kuda-kuda kakinya dikuat-kuatkan. Suara kokang senapan terdengar. Riwut mulai memicingkan sebelah matanya lalu menahan nafas.

“Sudah, sudah! Cukup! Kita hemat peluru!” seorang lelaki berbadan tinggi gempal mencegah dan memberikan isyarat tangan kepada Riwut agar tidak menembak lagi.

“Kau belum bisa menembak juga,” katanya pada Riwut dengan kerut di dahinya. Yang ditanya cuma bisa menjawab dengan cara memamerkan senyuman hambar dan seringai kosong.

Lelaki tinggi gempal itu melepas hembus nafas pelan, prihatin dengan kegagalan Riwut menembak. Lelaki itu adalah Cak Hasan. Dahulu Cak Hasan adalah seorang chudanco[2] PETA[3], kini ia jadi anggota BKR[4]. Cak Hasan diminta oleh Ki Kusno, untuk melatih laskar rakyat bentukannya agar bisa menggunakan berbagai senjata api hasil rampasan dari gudang senjata milik Jepang. Ki Kusno sendiri adalah majikan Riwut, orang yang memaki karena tempayan airnya pecah ditembak Riwut. Ia terkenal sebagai salah seorang jawara silat ternama di Surabaya.

“Riwut, latihan yang becus! Masa sampai hari ini kau belum juga bisa menembak!” bentak Ki Kusno dengan air muka yang geram.

Lagi-lagi Riwut hanya bisa memamerkan senyuman hambar dan seringai kosong sebagai sahutan untuk Ki Kusno. Riwut tak berani berlama-lama menatap sorot mata majikannya yang sedang kesal. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah Cak Hasan. Cak Hasan terlihat sedang memberi tanda kepada semua orang di tempat itu untuk berkumpul lebih dekat.

“Dengar semua! Kabar yang kami dapat, pasukan Sekutu yang diwakili Inggris segera akan berlabuh di Surabaya, mungkin dua tiga hari lagi. Dan seperti yang telah kita tahu, desas-desus berkembang bahwa akan ada Belanda membonceng di dalamnya. Mereka hendak kembali mengangkangi kemerdekaan kita.”

Lantang suara Cak Hasan membuat suara lain jadi bungkam. Cak Hasan memang penuh kharisma. Air mukanya yang selalu tenang dan nada bicaranya yang datar dan tegas bagai menyihir siapa saja untuk hormat dan segan padanya. Tidak terkecuali Ki Kusno yang terkenal sebagai seorang jagoan.

“Kita tidak punya banyak waktu untuk terus latihan senjata. Kita harus segera bersiap, bersiaga. Seluruh laskar rakyat diharapkan terus bekerja-sama membantu BKR.”

Cak Hasan berhenti sejenak. Bola matanya bergerak menyapu seluruh wajah lelaki yang ada di sana, lalu berhenti pada wajah Riwut. Ditatap lama oleh Cak Hasan, Riwut membuang pandangnya ke tanah.

“Bagi yang sudah mempunyai senjata, pergunakan amunisimu dengan bijaksana. Yang belum bisa menembak, usahakan segera bisa, silahkan latihan sendiri. Tapi ingat, hemat pelurumu! Mulai sekarang semuanya harus siaga, pantau setiap perkembangan dan kabar yang datang. Jalin terus komunikasi dengan BKR. Kita tahu Belanda tidak akan main-main untuk mengembalikan kekuasaannya. Paham semua?”

Semua kepala lelaki di hadapan Cak Hasan bergerak mengangguk tanda mengerti.

“Baik. Cukup sampai hari ini latihan kita.”

“Merdeka!”

“Merdeka!”

Semua orang pun bubar. Cak Hasan berpamitan kepada Ki Kusno lalu bergerak kembali ke markas BKR. Sementara Ki Kusno bergegas menghampiri Riwut.

“Riwut! Kemari!”

Riwut tergopoh menemui Ki Kusno. Dilihatnya sorot mata Ki Kusno belum juga berubah sedari tadi. Sorot mata kesal yang hendak menerkam wajahnya.

“Riwut, bagaimana kamu ini? Kamu serius tidak selama latihan? Sampai hari ini kau belum juga bisa menembak?”

Riwut cuma diam, matanya ke tanah.

“Musuh kita adalah Belanda, Wut! Mereka pakai bedil, meriam, dan senjata api lainnya. Kamu kira bisa menghadapi mereka hanya dengan parang, pedang dan jurus-jurus silatmu saja, hah?!”

Riwut masih diam, matanya melirik wajah Ki Kusno sejenak lalu kembali ke tanah.

“Aku tahu, kita semua belum ada yang mahir menembak. Tapi paling tidak kami bisa membidik sasaran lumayan lebih baik ketimbang kau. Tapi kau, benar-benar payah!”

Riwut tetap diam, ia merasa seperti terbenam pelan-pelan ke dalam lumpur hisap, tak kuasa membela diri. Ki Kusno diam sejenak, diamatinya raut wajah Riwut lekat-lekat. Tak tega juga akhirnya Ki Kusno melihat kesan wajah menyerah tak berdaya yang diperagakan oleh Riwut. Ki Kusno pun mengendurkan urat lehernya.

“Kau bisa jadi seorang yang amat berguna bagi perjuangan ini. Badanmu lincah, gerakmu cepat, bayangkan jika kau mampu menembak dengan baik.”

“Tak tahu aku, Ki. Sudah aku coba. Tapi tetap tak bisa,” akhirnya Riwut bersuara.

“Latihan yang becus, Riwut. Akan sangat berbahaya jika kau menembak dengan caramu itu lalu bergabung dengan laskar di garis depan perjuangan.”

Riwut mengangguk pelan. Ki Kusno kemudian pergi meninggalkan rumah sekaligus padepokan silat juga markas laskar rakyat buatannya itu. Seperti biasa, setiap senja mulai menguning, Ki Kusno harus sudah berada di sekitar gudang beras milik Koh Ah Guan. Di sana ia bertugas sebagai mandor yang mengawasi para pekerja membereskan karung-karung beras sebelum pintu gudang dikunci. Kali ini ia tak mengajak Riwut membantunya mengawasi gudang Koh Ah Guan. Riwut diperintahkan untuk menjaga markas.

Ki Kusno memang seorang centeng. Dahulu meneer-meneer[5] Belanda, para indo dan priyayi kaya sering menyewa jasa Ki Kusno. Namun sejak kedatangan Jepang, ia kini hanya melayani permintaan tauke-tauke Cina saja. Jawara silat itu sering dibayar untuk bekerja sebagai mandor perkebunan, penjaga gudang, tukang pukul, bahkan pengawal pribadi.

Menjadi centeng sewaan tentu perlu merekrut beberapa orang anak buah. Lima tahun sudah Riwut direkrut jadi anak buah Ki Kusno. Awalnya Ki Kusno bertemu Riwut di Pelabuhan Ujung. Kala itu Ki Kusno sedang disewa untuk membantu mengawasi keamanan proses bongkar muat barang kapal yang baru datang dari Rotterdam.

Sedikit terkejut Ki Kusno saat melihat ada seorang kuli baru bekerja di sana. Kemampuan kuli itu menyelesaikan pekerjaannya memukau Ki Kusno. Kuli itu mampu bergerak sangat lincah dan cepat walau sedang memanggul beban berat di pundaknya. Ia mampu menyelesaikan pekerjaannya dua kali lebih cepat dari kuli lainnya.

Dia-lah Riwut, si kuli baru itu. Seorang pemuda asal Borneo. Kuli itu tak mengerti bahasa Jawa, tapi bisa sedikit Melayu. Namun masalah bahasa tak jadi soal buat Ki Kusno, tampaknya ia sudah kepincut dengan kemampuan fisik Riwut. Akhirnya Ki Kusno menemui Riwut dan menawarkan pekerjaan sebagai anak buahnya dengan upah yang jauh lebih tinggi daripada upah kuli. Riwut pun menerima tawaran itu.

Tak butuh waktu lama, Riwut pun menjadi orang kepercayaan terdekat Ki Kusno. Selama ini tak ada satu pun tugas yang Riwut lalaikan. Semua perintah tuntas ia laksanakan. Kecuali satu perintah yang masih tersisa sekarang, belajar menembak dengan senapan.

Masih di halaman belakang markas laskar rakyatnya Ki Kusno, Riwut duduk termenung memandangi senapannya. Tangannya menyapu seluruh badan senapan, mulai dari laras, pelatuk hingga popornya. Lagi, Riwut geleng-geleng kepala. Ia tak bisa paham mengapa dirinya seperti tak berjodoh dengan senjata itu.

Diambilnya satu butir peluru dari kantung yang tergantung di sabuknya. Didekatkan peluru itu ke matanya, dilihatnya lekat-lekat. Lalu peluru itu ia dekatkan bersisian dengan moncong senapan. Entah kenapa, tiba-tiba ia ingat senjata warisan leluhurnya di Borneo.

Andai Ki Kusno menyuruhnya menembak menggunakan senjata leluhurnya itu, tentu botol kosong itu sudah terpelanting pecah. Jangankan botol, seekor harimau gila pun sanggup ia robohkan sampai mampus hanya dengan senjata tersebut. Tapi ia tak mau berlama-­lama memikirkan senjata leluhurnya itu.

Riwut kembali berdiri. Ia menata posisi dan kuda-kuda kakinya lagi. Bedil diangkat dan moncong larasnya diarahkan kembali ke botol kosong yang masih di atas tumpukan karung pasir. Senjata di-kokang, mata kirinya kembali memicing.

Suara tembakan kembali menggelepar di udara. Dahan pohon randu kembali berlubang. Botol kosong tetap diam di tempatnya. Di belakang Riwut, suara tawa mengejek kembali terdengar.

“Jangan memaksa diri, Wut! Hari sudah petang, sudah mandi sana! Botol itu juga sudah muak dengan bau badanmu!” rupanya Sudiro – anak buah Ki Kusno yang lain – mengintip dari jendela saat tembakan Riwut meletus, lalu ia tertawa.

Suara tembakan meletus lagi. Peluru Riwut kembali terbang, menyapa awan lalu hilang. Sudiro tertawa lagi, bahkan lebih keras.

**

Bulan November, Surabaya porak poranda. Hampir genap dua puluh hari kekuatan tempur tentara Inggris menggilas perlawanan kota itu. Yang tersisa hanya reruntuhan pos-pos pertahanan yang berwarna legam juga sejumlah jasad dan bekas tumpahan darah para pejuang. Serangan udara, serbuan tank dan tembakan mortir Inggris sejak tanggal sepuluh telah membungkam Surabaya dalam sebuah kekalahan.

Semua front perjuangan rakyat Surabaya dipukul mundur jauh hingga ke selatan tidak terkecuali laskar rakyatnya Ki Kusno. Ki Kusno telah kehilangan banyak anak buahnya. Lebih sialnya lagi ia kini putus kontak dengan pasukan BKR pimpinan Cak Hasan.

Setelah pertahanan di Wonokromo disergap oleh tank-tank Sherman, pasukan pejuang tercerai berai mundur ke arah Gunungsari. Karena gencarnya tembakan kanon dari moncong tank, Ki Kusno dan empat anak buahnya termasuk Riwut panik lalu lari terpisah dari pasukan BKR. Mereka lari masuk ke dalam hutan yang masih merimbun tak jauh dari Kali Surabaya.

Mereka terjebak lebih dari tiga hari di dalam hutan dengan keadaan kekurangan bahan makanan. Sumber makanan kian menipis karena binatang-binatang yang bisa diburu tak terlihat lagi berkeliaran dalam hutan itu. Sementara sumber air semakin sulit dicapai karena tentara Inggris masih terus bergerak menyapu kekuatan pejuang hingga di tepian Kali Surabaya.

Ki Kusno harus memutuskan sesuatu. Diam di dalam hutan lalu kemungkinan mati kelaparan, atau terus bergerak ke timur menembus rimbunan pohon hingga sampai ke Wonocolo dengan persediaan makanan dan minuman yang tak memungkinkan. Dan pilihan terakhir adalah nekat menyelinap melewati barikade tentara Inggris di depan mereka di sekitar Kali Surabaya.

Ki Kusno lebih condong pada putusan yang nekat. Ia mengirim Riwut untuk mengintai kemungkinan dimana keberadaan pos-pos penjagaan musuh dan bagaimana gambaran peluang mereka untuk menyelinap. Riwut di suruh pergi saat langit senja telah benar-benar gelap.

Namun hingga malam kian meninggi, Riwut tak kunjung kembali. Ki Kusno dan anak-anak buahnya gusar menunggu informasi. Dengan diterangi sedikit nyala api yang membakar tumpukan ranting-ranting kecil, Ki Kusno mengajak sisa anak buahnya untuk merundingkan hal tersebut dan memutuskan rencana selanjutnya.

“Riwut belum juga kembali. Kita tak bisa menunggu lebih lama lagi. Jika malam berlalu dan terang pun datang, maka kita terpaksa menunda rencana kita. Akan sangat sulit kita menyelinap di saat cahaya sedang benderang,” resah Ki Kusno membuat suaranya kian berat.

“Bagaimana menurut kalian?” tanya Ki Kusno sembari mengamati mata anak buahnya.

“Kami.. Kami hanya menunggu perintah sampeyan, Ki,” jawab Sudiro singkat dan pelan.

“Goblok! Menunggu perintah saja bisanya kalian! Tak pernah memberi masukkan jika diminta! Asu!”

Anak-anak buah Ki Kusno tersentak akibat dibentak dengan kuat seperti itu. Mereka diam tertunduk.

“Ya, sudah. Malam ini juga kita susul Riwut. Siapkan semuanya!”

“Baik, Ki!”

Akhirnya berbekal temaram cahaya bintang dan bulan separuh serta nyala api dari sebuah suluh kecil, mereka bertiga bergerak kembali ke utara. Menembus malam dan pekatnya hutan.

**

Temaram sinar bulan separuh tak bisa mengaburkan mata seorang lelaki yang sedang mengintai seekor ular sendok yang sedang meliuk-liuk di atas tanah. Lelaki itu tampak sungguh gembira. Sudah berjam-jam mungkin ia mencari binatang ini di sekitar hutan, akhirnya ketemu juga. Pelan-pelan ia mendekat sambil mengambil sebuah benda yang tersandang di punggungnya.

Benda itu berbentuk pipa berongga yang terbuat dari kayu berwarna coklat dengan dua utas tali tambang sebagai pengikat di kedua ujungnya. Di salah satu ujung tersebut terpasang semacam mata tombak kecil yang dipaku dan diikat dengan lilitan rotan yang kuat. Panjang benda itu nyaris mencapai satu hasta setengah.

Lelaki itu mengendap-endap mendekat. Benda kayu berbentuk pipa berada di tangan kiri sang lelaki. Sementara tangan kanannya mencabut sebilah pisau yang terselip di sabuk sebelah kirinya.

Tiba-tiba sang ular menyadari kehadiran lelaki itu. Kepalanya langsung berdiri tegak lalu berbalik menghadap ke arah sang lelaki. Ular itu memasang sikap siaga. Otot-otot di sisi-sisi kepalanya mulai melebar bagai sayap burung yang mengembang. Suara desisnya menjadi-jadi.

Sang lelaki tenang-tenang saja menghadapi kemarahan ular itu. Tangan kirinya mulai menyerang dengan menusuk-nusukkan mata tombaknya ke arah kepala ular. Sementara tangan kanannya yang memegang pisau juga melakukan gerakan-gerakan mengayun seperti bersiap-siap hendak melempar.

Sang ular membalas dengan reaksi mematuk-matuk benda kayu berbentuk pipa dan mata tombaknya. Sang lelaki terus saja menyerang ular itu dengan mata tombak tersebut. Tiba-tiba, dengan sebuah hentakan tangan yang penuh tenaga, lelaki tersebut melempar pisau kecil di genggaman tangan kanannya. Pisau pun terbang lalu menembus tubuh sang ular. Ular itupun berakhir selamanya.

Setelah memastikan ular tersebut tak bernyawa lagi, lelaki itu mencabut pisau dari badan sang ular. Kemudian ia duduk bersila di atas tanah. Pisau dan benda kayu berbentuk pipa di letakkannya dekat bangkai ular. Matanya memandang dalam ke arah benda kayu berbentuk pipa tersebut. Sebuah kenangan manis sekaligus pahit pasti kembali jika ia melihat benda itu.

Benda kayu berbentuk pipa tersebut adalah salah satu bagian dari senjata warisan leluhurnya. Karena senjata itulah ia pernah berbangga hati memiliki seorang ayah. Ia bangga karena ayahnya didaulat sebagai prajurit yang paling lihai menggunakan senjata tersebut.

Kenangan manis itu kembali. Ia ingat masa kanak-kanak hingga remajanya dihabiskan dengan belajar menggunakan senjata itu. Ia masih ingat betapa sabar ayahnya mengajarkan seluruh kemampuan yang ia miliki.

Namun segera kenangan pahit menyusul di belakang kenangan manis itu. Ia tentu tak lupa, dengan senjata itu juga ia pernah membunuh seorang manusia. Selembar nyawa anak tetua adat melayang di tangannya hanya karena perkara cinta. Lalu ia lari dari tanah kelahirannya di Borneo, menghindari hukum adat yang sudah pasti menghendaki dirinya juga mati.

Senjata warisan leluhurnya itu tidak boleh tidak pasti akan mengantar kembali semua kenangan dari tanah kelahirannya. Sumpit, demikian senjata itu dikenal. Senjata asli suku-suku dayak di Borneo. Senjata yang racunnya mampu merobohkan seekor harimau gila sekalipun.

Sebenarnya lelaki itu enggan melihat sumpit lagi. Tapi entahlah, dia sendiri bingung mengapa senjata itu juga turut serta ia bawa saat memutuskan menyeberang ke tanah Jawa. Wajah seorang ayah yang selau membayang dalam sumpit itulah yang mungkin membuat ia tak kuasa meninggalkan sumpit itu di tanah kelahirannya.

Sesaat kemudian lelaki itu tersadar dan buru-buru ingin melepaskan diri dari kenangan-kenangan itu. Ia menarik pikirannya dari bayangan-bayangan masa lalu melalui tarikan nafas yang berat dan dalam. Seluruh kenangan tentang tanah Borneo ditiupnya jauh-jauh seiring hembusan nafas yang dilepaskannya. Ia tak mau lagi melihat masa lampau.

Saat ini yang paling penting bagi lelaki itu adalah perintah majikannya. Dan saat ini ia ingin bertindak lebih jauh dari apa yang diperintahkan. Oleh karena itu ia mencari ular untuk diambil bisanya.

Tangan lelaki itu kemudian merogoh sebuah kantong kecil terbuat dari kulit yang tergantung di sisi kanan sabuknya. Ia mengeluarkan semacam tabung kecil kemudian membuka tutupnya. Di dalam tabung itu ada gumpalan sesuatu yang tampak telah mengering dan keras. Bau tak sedap menyeruak keluar.

Inilah racun racikan ayahnya. Racun ini adalah pelengkap agar sumpit menjadi senjata yang sanggup membunuh sebuah sasaran hidup. Karena telah lama tidak digunakan, cairan racun itu menggumpal dan mengering. Namun lelaki itu tahu, dengan mencampur ramuan racun itu dengan beberapa tetes bisa ular dan air ludah, racun tersebut tak lama kemudian akan kembali mencair dalam bentuk yang kental.

Lelaki itu kemudian mengambil bangkai ular. Ia menyayat daging dekat taring-taring ular dengan pisau. Selanjutnya ia meremas kepala ular tersebut tepat di dekat gigi taringya. Cairan putih kemerahan terlihat keluar menetes dari sela-sela gigi-gigi taring ular lalu masuk ke dalam tabung. Setelah cukup banyak bisa ular yang tertampung, lelaki itu segera meludahi tabung tersebut beberapa kali lalu mengaduk-aduk isi tabung tersebut. Gumpalan racun pun perlahan mencair.

Lelaki itu selanjutnya mengeluarkan tujuh buah damek. Damek adalah anak sumpit, benda yang merupakan bagian paling penting dari senjata sumpit. Laksana peluru pada senapan atau anak panah untuk busurnya, demikianlah damek berperan. Benda tersebut terbuat dari bilah bambu yang di potong tipis dan diraut hingga meruncing salah satu ujungnya. Sementara ujung yang lain ditempeli bulu-bulu angsa di sekelilingnya. Lelaki itu mencelupkan damek satu persatu secara perlahan dan berulang-ulang hingga dirasa cukup. Lalu ia biarkan racun pada permukaannya mengering oleh tiupan angin.

Lelaki itu memandangi damek-damek itu. Ia telah memutuskan untuk menggunakan sumpit lagi setelah bertahun-tahun lamanya ia tinggalkan. Ia jadi ingat hari di mana ia didatangi sebuah firasat yang menggerakkan dia untuk membawa serta sumpit dalam pertempuran. Dan pada hari itu, markas laskar rakyatnya Ki Kusno habis dihancurkan oleh serangan udara Inggris. Mungkin malam inilah hikmah dari firasatnya hari itu, pikir lelaki tersebut. Ia berhasil menyelamatkan senjata warisan leluhurnya dari serangan udara sehingga bisa digunakan untuk memperlancar rencananmya keluar dari hutan malam ini.

Sebuah rencana di luar rencana majikannya telah ia susun. Ia sengaja hendak mengejutkan majikannya. Sekaligus mengejutkan tentara Inggris yang sebelumnya telah diintainya di tepian Kali Surabaya dekat sebuah jembatan kecil yang sudah hancur dan runtuh ke aliran kali.

**

Ki Kusno, Sudiro dan dua orang lainnya menahan nafas sejenak dari balik semak rumput yang tinggi. Di depan mereka, terlihat sebuah pos penjagaan yang didirikan oleh tentara Inggris. Pos itu dijaga oleh tujuh hingga sepuluh orang. Rencana untuk menyelinap melewati tentara Inggris kini sepertinya terlihat sangat mustahil.

“Bagaimana ini, Ki? Mereka lebih banyak dari kita!” bisik Sudiro kepada Ki Kusno.

Ki Kusno cuma diam. Entah sedang berpikir atau sedang tenggelam dalam kebingungannya.

Di tengah-tengah kebingungan dan rasa cemas Ki Kusno dan anak buahnya, tiba-tiba terdengar jeritan dari salah satu tentara Inggris. Seorang tentara Inggris terhuyung-huyung memegangi lehernya lalu roboh. Kelojotan sebentar sebelum diam untuk selamanya. Tentara Inggris yang lain tersentak lalu berteriak-teriak memberi tahu rekannya yang lain untuk siaga.

Kini giliran pihak musuh yang dihantui kebingungan dan rasa cemas karena diserang dengan tiba-tiba. Belum sempat mereka tahu apa yang terjadi dan siapa yang menyerang mereka, tiba-tiba satu lagi tentara Inggris terjungkal roboh lalu mengelepar mati. Tanpa suara tembakan, tanpa terlihat siapa yang menyerang, satu persatu tentara Inggris jatuh bertumbangan.

Ki Kusno dan anak buahnya terbelalak menyaksikan pemandangan tersebut. Bingung, tak tahu apa yang terjadi. Tiga orang tentara Inggris yang tersisa perlahan langsung mengambil gerakan mundur dari pos penjagaan. Air muka ketakutan jelas tampak di wajah mereka.

Melihat keadaan itu, Ki Kusno berinisiatif mengambil kesempatan untuk menyerang sisa-sisa tentara Ingris tersebut. Setelah memberi aba-aba perintah kepada anak buahnya, Ki Kusno langsung saja menghamburkan tembakan ke arah tiga orang tentara Inggris yang masih dalam kebingungan dan ketakutan.

Tak lama kemudian baku tembak pun terhenti. Tiga orang tentara Inggris meregang nyawa dengan lubang peluru yang menganga di bagian tubuh mereka masing-masing. Ki Kusno dan anak buahnya keluar dari persembunyian mereka.

“Kita berhasil, Ki!” teriak Sudiro girang.

“Ya. Terima kasih untuk hantu hutan yang telah membantu kita membunuh Inggris-Inggris sontoloyo ini,” sahut Ki Kusno.

Bulu kuduk Sudiro dan teman-temannya sejenak meremang berdiri. Hantu? Mungkinkah yang melakukannya hantu, demikian pikir mereka. Tiba-tiba dari arah sebelah kanan terdengar suara seorang lelaki yang memanggil-manggil mereka. Sontak Ki Kusno dan anak buahnya terkejut lalu bersiap hendak menembak. Namun begitu melihat siapa yang datang mereka menurunkan moncong senjata masing-masing lalu berseru.

“Riwut!”

“Kau yang melakukan semua ini?”

Lelaki yang barusan muncul mengangguk-angguk sembari tersenyum.

“Hebat, Kau! Bagaimana kau melakukannya?” tanya Ki Kusno.

“Dengan sumpit, Ki.” Jawab Riwut singkat sambil menunjukkan senjatanya dengan bangga.

Akhirnya sisa-sisa laskar rakyat itu meneruskan perjalanan mereka keluar dari hutan dan berharap dapat melakukan kontak kembali dengan pejuang-pejuang lainnya. Namun belum lima ratus meter mereka meninggalkan pos penjagaan tentara Inggris yang mereka hancurkan tadi, tiba-tiba terdengar rentetan suara tembakan dari sebuah senapan mesin.

Ki Kusno, Sudiro dan dua anak buah lainnya terpelanting tewas bermandi darah. Beruntung Riwut sigap melompat dan lari menyelamatkan diri dan bersembunyi. Tak lama kemudian muncul seorang tentara Inggris memeriksa jasad-jasad korbannya. Menyadari salah satu bidikannya lepas, tentara Inggris itu lantas kembali memasang sikap siaga dengan senapannya lalu perlahan bergerak memburu korbannya yang lolos.

Dari jarak seratus meter, Riwut melihat tentara Inggris itu semakin mendekat ke arah persembunyiannya. Riwut kebingungan. Ia tak bisa lagi menggunakan sumpit karena semua damek telah habis terpakai. Tak ada pilihan lain selain menggunakan senapannya untuk menembak tentara Inggris itu.

Riwut mulai membidik dari tempat persembunyiannya. Sebuah tembakan terdengar membelah udara malam. Tentara Inggris itu roboh. Riwut melongo menatap senapannya. Kali ini ia tepat mengenai sasarannya hanya dengan sekali tembak. Ia girang bukan kepalang.

***


Catatan:

[1] Borneo adalah nama lain dari Kalimantan. Istilah Borneo dipakai pada zaman kolonial Belanda

[2] Chudanco adalah salah satu istilah kepangkatan pada tentara PETA. Chudanco artinya kepala regu.

[3] PETA (Pembela Tanah Air) adalah milisi (pasukan) yang dibentuk oleh pemerintahan kolonial Jepang di Indonesia dengan tujuan mempertahankan Indonesia dari serangan sekutu

[4] BKR (Badan Keamanan Rakyat) adalah sebuah organisasi ketentaraan yang dibentuk oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1945 yang merupakan cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia.

[5] Meneer = Tuan

Kembali ke Hindia Belanda

Puisi John Kuan

merah putih compang camping
gambar diunduh dari gerrilya.file.wordpress.com

Terbang satu setengah jam, aku tiba di Hindia Belanda
topi demang masih di kepala, baju safari belum dibasuh,
lars kompeni ada bercak darah, campur getah tanaman paksa.
Api liar masih membakar akar rumput, sunda kelapa adalah pokok tua,
sudah lama henti berbuah, tinggal janur kuning masih melambai.

Naik kereta api satu hari satu malam, aku tiba di Hindia Belanda
Nusantara terbaring lemah, di leher Jawa bengkak, di pinggang Borneo
tertikam, wajah Sumatra ada luka bakar, sayatan Celebes bernanah
kaki Papua siap diamputasi. Terlalu pengap, aku buka jendela, kemiskinan
berkeluyuran, di sini kelaparan dan penyakit sering bersua mesra
senapan dan peluru mengokang ke arah wajah ingatan.

Setengah mati mengayun selangkah, aku tiba di Hindia Belanda
sejarah dicuci antiseptik tinggal sayup-sayup pedih, setelah mimpi
Indonesia Raya membalikkan tubuh, bom rakitan menggantikan obor
meledakkan legenda-legenda tua jadi serpihan berita, hijau zamrud pudar
dan kian pudar, hingga tinggal sebuah bilangan negosiasi perdagangan karbon,
sebatang nyiur melambai di dalam saluran National Geographic :
One thousand places you have to visit before you die.
Kapitalisme berdesah basah di hutan hujan perawan:
[ Borneo, hari sudah gelap
kami bantu kau nyalakan setitik lampu! ]

Habiskan enam puluh tujuh tahun, aku tiba di Hindia Belanda
bankir dunia menggorek sisa nasi sayur kemanusiaan di sela gigi palsunya
dengan selembar transaksi, menyetor hak asasi manusia ke dalam rekening
bank dunia, kurs jadi sebuah perang, seuntai zamrud khatulistiwa tertutup rapat
di dalam tas kerja, bersama telepon genggam, sebuah pesan pendek peradaban,
membangunkan secercah cahaya fajar rindu purba kampung halaman.
Terbang satu setengah jam, tidak lebih tidak kurang, pas tegak
jadi patung perunggu, seperti sudah bosan terus menunjuk
arwah leluhur yang tidak menemukan pintu.

Betapa Jauhnya Indonesia

Cerpen Mohamad Ridwan
Editor Ragil Koentjorodjati

jalan jauh
ilustrasi dari 2.bp.blogspot.com

Saat  masih kecil aku tidak mengenal Indonesia. Dan setiap kali aku tanyakan tentang Indonesia tiada satu pun orang yang mengenalnya. Tapi pamanku bilang di  Indonesia itu rumahnya tinggi-tinggi dan menggapai langit. Di sana jika berjalan tidak perlu mengandalkan kaki, orang-orangnya bisa berjalan sambil duduk dan bernyanyi. Masih menurut pamanku, di sana cuacanya sanget aneh. Meski di luar hawanya begitu panas tapi di dalam ruangan akan terasa dingin. Sementara untuk makan mereka tidak perlu menanam padi, atau tanaman lainnya untuk kemudian di jual. Mereka dapat uang dengan duduk menghadap kotak aneh dengan gambar bergerak-gerak.

Tapi menurut Samuel, Indonesia  tidak seindah seperti yang dikatakan pamanku. Indonesia adalah tempat pembunuh. Mereka tidak berburu binatang seperti yang kami lakukan di desa pamilin di tengah belantara Kalimantan. Tapi mereka berburu manusia. Bukan saja menggunakan Mandau atau sumpit, mereka  menggunakan benda aneh berbentuk kelamin laki-laki yang bisa mengeluarkan benda bulat yang terbuat dari timah tapi panas. Bahkan Samuel juga bercerita jika kakaknya dibunuh oleh orang Indonesia saat berada di sana.

Saat aku Sekolah Dasar ibu guru Maria menjelaskan bahwa Indonesia adalah Negara kaya yang luas dan memiliki beragam suku dan budaya. Mereka hidup rukun dan bergotong royong seperti kehidupan di kampung ini. Sebuah kampung yang di kepung belantara Kalimantan, tempat di mana aku bisa bermain dengan otan dan waowao, serta berburu burung tiung untuk aku latih bicara seperti manusia. Dan ibu Maria juga mengatakan bahwa kampung Pamilin adalah wilayah Indonesia.  Tapi aku meragukannya,  karena di sini aku tidak menemukan rumah yang tinggi mencakar langit seperti kata pamanku. Aku juga tidak pernah melihat manusia membunuh manusia seperti kata Samuel. Hanya saja ibu Maria menjelaskan jika di Indonesia juga ada gereja.

“Ibu Maria! indonesia itu apa?” tanyaku lugu pada saat itu.

”Indonesia itu adalah negara kita, tanah air kita, tempat kita dilahirkan.”

“Indonesia itu jauh ya Bu?”

“Indonesia ada di sini, ada di hati kita seperti tuhan Yesus berada di hati kita.”

Begitulah tanyaku terus menerus karena ingin tahu apa itu Indonesia. Namun semakin Ibu menjelaskan tentang Indonesia, semakin aku mengerti jika Indonesia itu jauh. Jauh berbeda dengan bayanganku, juga jauh berbeda dengan keadaan di sini.

Pada buku yang aku baca, di Indonesia anak sekolah pakai seragam merah putih sementara aku dan teman-temanku tidak. Di Indonesia  ada lampu pijar yang bisa menyala siang dan malam sementara di sini tidak pernah ada lampu pijar kecuali saat aku menginap di rumah teman Ibu di Emplanjau sebuah kota kecil di Malaysia. Itupun karena kami kemalaman untuk pulang ke Pamilin setelah menjual beberapa karung gabah. Sementara di luar hujan sangat deras sehingga jalan menuju kampung tidak mungkin lagi untuk dilewati.

Setelah umurku lima belas tahun aku diajak teman ayahku untuk merantau di kota Kuching. Kota itu benar-benar menakjubkan. Rumah-rumah yang tinggi menggapai langit dan orang-orang  masuk dalam sebuah peti yang  mampu bergerak sendiri. Mirip seperti yang dikisahkan pamanku. Tapi  aku hanya mengagguminya dan tidak berbicara apa-apa. Aku malu jika Kai Apu teman ayah dan anak-anaknya mengejekku sebagai orang kampungan. Apalagi setelah aku bertanya pada anak gadis Kai Apu yang bernama Margaret itu.

“Apakah tempat ini adalah indonesia seperti yang dikatakan pamanku?”

“Ha ha ha……………..,” seketika Margaret tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang dia pikirkan. Aku berprasangka ia menertawakan ketololanku.

“Mico, ini adalah kota Kuching di Malaysia. Sedangkan yang berasal dari Indonesia adalah kamu,” terangnya yang semakin membuatku tidak mengerti.

Akhirnya aku berlaku sewajarnya seperti yang dicontohkan oleh orang yang ada di sekitarku. Aku bekerja seperti mereka,  mengangkat karung-karung kain  dari atas truk ke dalam pasar. Kemudian ada orang yang memberiku upah. Aku panggil dia Cik Lan dan Koh Yap, mereka sangat baik dan mengizinkan aku tinggal di rumahnya. Mereka adalah majikanku yang umurnya dua kali umur ibuku dan memiliki anak seumuran kakakku. Aku panggil dia Nona Mey.

Setelah tinggal dua tahun  bersama keluarga itu aku menjadi sangat akrab dengan Nona Mey. Diam-diam ia mengajari aku menyetir mobil dan mendaftarkanku ke sebuah sekolah berseragam. Sekolah itu adalah sekolah lanjutan khusus yang belajar pada malam hari. Karena umurku saat itu sudah tujuh belas tahun sementara Nona Mey tidak lagi mau aku panggil Nona. Ia minta dipanggil Mey saja.

Selama sekolah, aku bekerja di siang hari sebagai sopir keluarga Koh Yap. Tapi aku lebih sering  menghantarkan Nona Mey yang semakin sibuk mengurusi bisnis plasmanya. Dan saat itu pula aku juga semakin tahu mengenai Indonesia. Indonesia adalah negara tetangga Malaysia. Mereka sering berkonflik. Orang  Indonesia sering mengumbar ganyang Malaysia sebagai bentuk kekecewaan terhadap tentara Malaysia yang suka menangkap nelayan Indonesia di selat Melaka. Mereka benci perlakuan majikan asal malaysia yang menyiksa pembantu rumah tangga  bahkan juga mereka sangat tidak suka pada klub sepak bola Malaysia yang mereka rasa curang dalam memenangkan pertandingan.

Meski kata orang kampung Pamilin adalah bagian dari Indonesia, tapi selalu saja aku menganggap kampung kelahiranku itu begitu jauh dari Indonesia. Orang kampung Pamilin memandang orang malaysia  sebagai kawan sementara orang Indonesia sulit jangkauannya. Bahkan semua kebutuhan orang Pamilin dipenuhi dari Malaysia, apalagi tentara Diraja Malaysia tidak seseram seperti menurut orang Indonesia. Mereka justru sering membantu memperbaiki jalan menuju Pamilin, sementara tentara Indonesia tidak aku tahu apa pekerjaannya.

“Nona, saya hendak pulang sejenak,” aku mengutarakan pamitku pada Nona Mey untuk pulang ke kampung setelah mendapat sesuatu kabar.

”Pulang ke Indonesia?” tanya dia

“Bukan.., saya hendak pulang ke Pamilin,” jawabku ringan tapi Nona Mey justru tersenyum, bahkan menurutku dia menahan tawa. Kemudian ia mengangguk mengizinkan.

“Cepatlah kembali lagi, aku semakin sibuk hari-hari ini.”

“Baik Nona.”

Setelah dua hari perjalan darat aku tiba di Pamilin. Setelah dua tahun aku tinggal, keadaan tanah lahirku begitu porak poranda. Seolah terkena musibah atau bencana. Rumah-rumah sebagian hancur. Sementara belantara di sekeliling desa sudah hampir sirna karena telah terbakar dan hangus.

Tapi aku mencoba bersikap biasa saja, karena mungkin inilah yang di ceritakan Agustinus saat tiba di Kuching kemarin. Ia bercerita tentang musibah yang menimpa kampung dan memporakporandakannya. Kemudian aku ingat ibu dan ayahku yang tinggal di tabing tengah kampung di samping gereja. Dan di hari minggu seperti ini mereka pasti berada di gereja yang sedang ramai kebaktian. Maka  aku langsung memutuskan menuju gereja.

Tapi belum sampai halaman gereja, aku dapati penduduk  sudah bergerak beriringan meninggalkan gereja. Padahal ini masih pukul 09.00, biasanya kebaktian selesai pukul 11.00.  Namun yang paling aneh di antara orang yang berjalan beriringan menuju pohon besar  itu terdapat beberapa orang membawa Mandau dan kampak.  Sedangkan Romo Yosep justru berada di barisan paling belakang. Maka aku segera mengikuti barisan itu dan menuju Samuel yang aku lihat berjalan di samping Romo.

Setelah bergabung di barisan, aku mencium tangan romo dan berjabat tangan dengan Samuel.

“Apa yang terjadi?” tanyaku pada Samuel.

“Penduduk hendak menumbangkan pohon malapetaka itu.”

“Pohon malapetaka?”

“Iya, pohon itu sumber malapetaka,” jawabnya.

Samuel juga bercerita jika mula dari malapetaka itu ada pada pohon itu. Karena pada suatu hari ada seseorang dari Indonesia datang di kampung. Ia membawa benda kotak kecil yang bisa menyala-nyala. Dengan kotak kecil yang disebutnya telepon seluler itu ia berbicara sendiri di bawah pohon. Dan katanya hanya di bawah pohon itu ia bisa berbicara dengan dunia luar yang ia sebut sebagai Jakarta, Surabaya dan Samarinda. Katanya ia akan mengundang teman-temannya ke sini pada suatu hari yang telah ditentukan.

Di hari yang telah ditetapkan itu penduduk desa mengadakan upacara penyambutan dengan tarian dan makanan yang jarang sekali mereka nikmati sendiri. Tapi ternyata sambutan itu tidak pernah memberi apa-apa. Dan kedatangan orang Indonesia itu juga tidak membawa berkah apa-apa, malah mereka membawa malapetaka bagi kami. Mereka meminta penduduk kampung meninggalkan Pamilin pada hari yang telah ditentukan. Tapi penduduk tidak bersedia diusir begitu saja dari tanah kelahirannya oleh orang yang bahkan belum pernah mengenal Pamilin sebelumnya.

Mengantisipasi tantangan pengusiran itu beberapa orang atas persetujuan pemimpin adat menggeser patok perbatasan antara Republik dan Kerajaan. Mereka menggeser patok lebih dekat dengan wilayah Republik sehingga wilayah kerajaan bertambah beberapa kilometer persegi. Itu dilakukan agar Republik tidak menghancurkan hutan itu juga, hutan tempat hidup beragam binatang dan tumbuhan. Maka binatang yang hidup di selatan kampung digiring menuju arah kerajaan daripada mereka kehilangan rumah dan mati sia-sia di hari yang telah ditentukan.

“Hari ini adalah hari yang ditentukan itu, para pemburu manusia akan mengusir dan membunuh kita,” ucap Samuel mengakhiri kisahnya.

“Tenanglah anakku, Tuhan tidak akan membiarkan ini terjadi,” tiba tiba Romo berbicara. Ia menyesalkan arogansi orang Indonesia yang sebelum meratakan kampung ini ternyata telah lebih dulu memusnahkan hutan dan membakarnya. Mereka akan membuka lahan untuk dijadikan kebun sawit dan kami adalah hama bagi perkebunan itu kelak jika tidak dibinasakan.

“Apa yang bisa kita lakukan?” tanyaku di saat pohon meranti itu mulai roboh. Rebahannya menimpa rerimbunan pohon yang lebih kecil dan menghancurkannya. Seiring ranting yang bercerai berai penduduk justru mengangis tersedu. Sementara gemuruh mulai terdengar dari balik rerimbunan hutan, suaranya mengaum-aum menyeramkan.

“Pergilah kembali ke Kuching, datangilah tempat yang disebut stasion telefision dan kabarkan cerita ini. Sementara kami akan tetap bertahan di sini mempertahankan tanah ulayat kami,” perintah Kai Albertinus pemimpin adat Pamilin.

“Segera pergi sebelum malapetaka besar itu benar-benar datang!” perintah Kai itu sekali lagi. Mendengar perintahnya aku segera berlari kepada ayah dan ibu. Aku memeluk mereka erat dan mengajaknya ikut pergi.

“Pergilah sendiri Nak, Ayah dan Ibu lebih baik mati  mempertahankan tanah leluhur ini. Apalagi kami memang sudah pantas mati sebab usia sudah senja. Dan kau yang masih perkasa berjuanglah di luar. Masa depanmu masih cemerlang.”

Ujar ayahku meminta aku untuk tidak ikut bertahan di sini melainkan harus meninggalkan tempat ini sebagaimana pemuda seperti Agustinus, Yama serta remaja seumuranku lainnya.

“Pergilah anakku, kabarkan pada dunia tentang apa yang mereka sebut Indonesia.”

Maka sesegara mungkin aku berlari menjauh bersama Samuel. Kami berlari menuju gua walet di atas bukit yang dari sana kami bisa melihat Pamilin dengan jelas. Dengan jelas kami melihat truk besar, tank , dan mobil besar menerjang kampung serta merobohkan pohon-pohon dan rumah penduduk. Kemudian orang-orang berbadan tinggi dan berseragam loreng yang disebut Samuel sebagai pemburu manusia keluar dari dalam truk dan tank serta langsung memberondong seluruh penduduk kampung dengan senjatanya. Samar-samar aku dengar umpatan mereka.

“Dasar penghianat negara, penggeser patok perbatasan, menghina kedaulatan.”

Tapi seiring angin berhembus dan hujan turun berlahan kemudian melebat suara itu jadi menghilang. Begitupun gambarnya. Sementara Samuel masih saja bergumam,“ orang Indonesia, pembunuh sesama manusia.”

Melihat kondisi Samuel yang kurang stabil kejiwaannya karena kembali mengenang bagaimana kakaknya dibantai di kota Sampit beberapa tahun lalu, aku mengajaknya masuk ke dalam gua sarang wallet. Hawa dingin di luar segera menjadi hangat. Aku pun tidur pulas karena masih lelah melakukan perjalanan dari Kuching ke Pamilin. Namun begitu bangun aku sudah tidak melihat Samuel di sampingku seperti semula. Aku segera berlari keluar gua.

Di luar gua matahari telah mengintip di balik bukit karena ternyata pagi telah menjelang, kabut tipis pun mulai tersibak oleh hangat sinarnya. Begitu pun kabut yang menutupi pemandangan  Pamilin dari atas bukit. Seiring kabut yang tersibak berlahan-lahan, tampak kampung itu telah menjadi merah. Sungai-sungainya pun ikut menjadi merah dan pohon juga memerah. Burung gagak mulai terbang mengitari kampung . Di salah satu sudutnya masih ada manusia berseragam loreng dan di bagian lain mesin pemotong telah menumbangkan beberapa pohon.

Tanpa pikir panjang, juga tanpa berpikir tentang Samuel aku segera berlari menuruni bukit sambil mengingat perintah pemimpin adat untuk kembali ke Kuching dan mengabarkan tragedi ini di stasiun telefision. Aku kembali menembus hutan namun tidak berani menengok kampung Pamilin yang telah menjadi kampung merah.

***

Seperti biasa, cuaca kota Kuching terasa begitu panas. Tapi rupanya tidak sepanas hatiku. Sudah beberapa media cetak dan telefision yang aku temui tapi mereka tidak bersedia menanggapi kabar yang aku ceritakan. Meski awalnya mereka sangat antusias dan saling memandang tapi begitu mereka menelpon seseorang pasti kemudian mereka menolak memberitakan ceritaku atas tragedi yang menimpa Pamilin dan penduduknya.

“Maaf Tuan, kami tidak bisa memberitakan kisah anda. Kami takut akan terjadi konflik komunal yang lebih besar di negeri anda seperti yang terjadi di Kota Sampit beberapa tahun lalu.”

Begitulah kira-kira jawaban mereka kepadaku sebelum kemudian kami berjabat tangan. Senyum mereka mengembang seperti bunga cubung yang membuatku makin pusing dengan tingkah mereka.

Ketika harapanku pupus dan pikiranku kacau karena putus asa, media terakhir yang aku kunjungi menyarankan aku agar melapor ke NGO Lingkungan hidup. Dan dari NGO itu,  aku mendapat informasi bahwa media tidak bersedia memberitakan kisahku bukan karena takut konflik komunal yang akan terjadi. Karena mereka tidak berkepentingan terhadap konflik itu.  Mereka takut memberitakan kisahku  karena di balik perusakan hutan di Kalimantan pada umumnya dan pembantaian di kampungku pada khususnya ada perusahaan plasma kelapa sawit asal Malaysia. Dan biasanya perusahaan itu memiliki andil dalam hiruk pikuk media dalam negeri. Maka sangat wajar jika media takut memberitakan ceritaku karena akan sangat berpegaruh bagi kelangsungan hidup media mereka.

Tapi ada  satu hal yang membuatku terkejut dan begitu kecewa bahkan tidak ada dalam bayanganku sebelumnya. Ternyata  di balik pembantaian di Pamilin ada perusahaan kelapa sawit milik Nona Mey. Majikanku sendiri yang baik dan bersedia menyekolahkanku hingga setingkat SMA bahkan bersedia membiayai kuliahku .

Meski dengan kekacauan dan kegalauan yang berkecamuk di benaku.  Tanpa media aku menulis kisah ini. Kisah tentang betapa jauhnya Indonesia.

 

*) Penulis adalah mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya.