Arsip Kategori: Cerbung

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #10

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 10

“Restrukturnisasi Kepolisian Tak Ada Guna” sebuah artikel di koran Debrita tulisan DR Pardomuan terbit hari ini. Dengan nama samaran Muslimin, selalu dikirim DR Pardomuan ke koran terbesar di Trieste. Beginilah caranya membantu uang saku Muslimin. Muslimin yang paling sering mengalami kekeringan kantong. Muslimin anak petani miskin akhirnya dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Selama dua tahun kuliah biaya hidupnya ditanggung secara kolektif oleh DR Pardomuan beserta beberapa kawannya. Syukurlah Muslimin tidak sebandel Tigor. Muslimin sangat mematuhi aturan dan peraturan yang diterbitkan oleh fakultasnya. Dia tidak menyia-siakan bantuan yang diberikan kepadanya. Sekali 6 bulan ayahnya datang dari kampung membawa ubi, sayur mayur menginap di ruang meditasi rumah DR Pardomuan, tak muat tidur di kamar kost Muslimin yang sangat berprihatin bersama 2 orang kawannya. Dan, kalau datang dari kamping, ayah Muslimin akan cerita banyak dengan Ibu dan Arben Rizaldi. Ibu dan Arben Rizaldi juga memberi perhatian yang besar kepada ayah Muslimin yang hidup seadanya.

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
Tulisan karya imitasi Muslimin tersebut memberikan tinjauan kritis mengenai usaha Kapoltri (Kepala Polisi Trieste) meningkatkan fungsi kepolisian Trieste dalam memberantas kejahatan korupsi, narkoba, kepolisian Trieste dalam memberantas kejahatan korupsi, narkoba, perampokan dan lain sebagainya. Jadi dalam tubuh organisasi Poltri ada tiga departemen baru yaitu : Depbranko (Departemen Brantas Korupsi), Depbrankrim (Departemen Brantas Kriminal) dan Depbrankoba (Departemen Brantas Narkoba). Padahal pada struktur Poltri yang lalu, penanganan kasus narkoba, kriminal sudah ada unit khusus dan satu unit khusus menerima pengaduan korupsi. Unit itu masih ada , tapi masih juga didirikan Depbranko, Debankrim dan Depbrankoba. Sehingga akhirnya tugas unit dan departemen Poltri tumpang tindih, tidak efisien. Sangat gemuk organisasi Poltri dalam menjalankan fungsinya. Otomatis anggaran belanja negara semakin besar dialokasikan untuk poltri. Sementara peningkatan profesionalisme polisi dalam penanganan kasus sama sekali tidak ditingkatkan. Inikan pemborosan uang Negara?. Begitulah inti tulisan (imitasi) Muslimin. Karena begitu rutinnya tulisan imitasi Muslimin, Muslimin jadi banyak dikagumi kawan-kawannya. termasuk para dosen. Sehingga banyak organisasi mahasiswa meminta beliau jadi pembicara dalam berbagai forum. Karena Muslimin tidak menguasai tulisannya sendiri (?) dia tidak pernah menerima tawaran menjadi pembicara.
Kawan-kawan FDP hanya bisa tertawa melihat Muslimin yang sering kelabakan memberi respon simpatik dari berbagai pihak akibat tulisannya di koran. “Tak penting kucing warna apa, yang penting bisa menangkap tikus. Tak perduli dengan cara apa. yang penting dapat duit, hua…ha…ha..” Muslimin hanya bisa tertawa melihat nasibnya sebagai penulis opini yang populer di koran. Hua…ha…ha…

Sikap kaum terpelajar yang getol membaca dan menulis sebenarnya tidak dimiliki Muslimin. Cita-citanya selama menjadi mahasiswa dan apabila sarjana nantinya tidak serumit obsesi Tigor maupun Mikail. Tidak pernah dia mengutamakan bacaan buku di luar buku wajib kuliah. Buku perkuliahan tetap mendapat prioritas utama agar dapat nilai tinggi dalam ujian semester. “Nanti kalau aku dilantik, pasti foto pelantikan bersama ayah ibuku dilengketkan di ruang tamu rumah kami di kampung. Dan kedua orang tuaku merasa bangga punya anak seorang sarjana di tengah-tengah keluarga kami yang tidak memiliki anak yang sarjana. Lantas aku akan melamar menjadi pegawai negeri, agar nanti punya uang pensiun. Tidak seperti pegawai swasta, ayahku akan hidup bahagia sepanjang waktu, hua..ha..ha…” Sangat lugu pikiran Muslimin. Tapi, Tigor , Mikail, Ucok dan warga FDP lainnya tetap mengasihi keluguan Muslimin. “Memang begitulah kelasnya, Apa mau dikata?” kata Dr Pardomuan.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 9

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #9

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 9
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
Waktu berjalan terus. Tak ada seorang pun manusia yang mampu menghentikan lajunya perjalanan waktu. Dan, waktu yang telah berlalu tak bisa terulang kembali. Pertemuan sore hari di rumah Susanti memberikan kemampuan Tigor dan Mikail merefleksikan persahabatan mereka. Keduanya merasa perlu mengembalikan kondisi persahabatan mereka seperti sedia kala. Tetap dengan intensitas perjumpaan yang padat sambil mengulas persoalan-persoalan filosofi untuk melengkapi kerangka berpikir konstruktif struktural. “Belakangan ini aku sudah tak pernah lagi membaca buku dan menulis opini.” Tigor menyesali hari-harinya yang terbuang dengan sia-sia.
“Aku juga sering berangan-angan belakangan ini. Mengerjakan apa saja pun aku malas,” kata Mikail. “Okelah,.. besok kujemput kau pulang kuliah. Mari kita jalan terus sampai larut malam, mengulang apa yang selama ini kita lakukan.”
Jalan bersama sampai larut malam, nonton bioskop, Tigor nginap di rumah Mikail ngobrol panjang tentang banyak hal, membuat kehangatan persahabatan mereka kembali lagi bersemi. Ibu Mikail senang sekali melihat Tigor kembali lagi sering nginap di rumah mereka. “Kemana selama ini Gor,” Ibu menyapanya. “Ingatkan Mikail supaya tetap serius menyelesaikan kuliahnya. Ibu takut penyakit lama Mikail kambuh lagi dan kuliahnya berantakan.”
“Iya,..Bu.” Tigor sudah merasa ibunya Mikail adalah ibunya juga. Karena perhatian keluarga Mikail kepada Tigor tak ada bedanya dengan ibunya sendiri. Mau mandi, mau makan atau mau tidur di kamar Mikail seenaknya saja Tigor kerjakan. Sudah macam rumah sendiri.
Acara makan pisang goreng di rumah Susanti pun rutin diselenggarakan, serta sikap Mikail menunjukan usaha-usaha mengisi suasana percintaannya bersama Susanti. Persahabatan tiga serangkai bersemi lagi.
***
Ucok ditugaskan FDP untuk mengirim proporsal ke Sabidoar Foundation. Armand dapat tugas menyusun daftar kebutuhan sekretariat dan mekanisme internal kelembagaan bersama Ucok dan Ningsih. DR Pardomuan mengurus badan hukum FDP sekaligus membuka nomor rekening Yayasan FDP. Agar (seandainya) Memorandum of Understanding bulan Juni mendatang jadi ditandatangani, persiapan institusionil FDP sudah mantap. Karena melihat latar belakang perkenalan FDP dengan Sabidaor Foundation adalah kontak person bersama direktur pelaksana Sabidaor, lantas membangun hubungan emosionil melihat kunjungan Mukurata yang terus menjalin kontak respondensinya, maka peluang FDP mendapat dukungan dana dari Sabidaor tidak diragukan lagi. Seluruh warga FDP tidak terlalu khawatir proporsal mereka ditolak oleh Sabidaor Foudation.
***
Dua bulan lagi Anita Theresia dibaptis menjadi suster, setelah 3 tahun berdiam di biara Katolik Tantangun. Tapi, perasaannya sangat gundah gulana. Perkenalannya 6 bulan yang lalu dengan pemuda Johan Niskeno kaya raya pejabat pemerintahan Trieste mengguncangkan sikapnya yang ingin mengabdikan diri seumur hidup untuk gereja katolik. Kegigihan Johan tak mengenal kata mundur sambil terus menunjukan perhatiannya yang sungguh mempersunting Anita, ternyata berhasil meluluhlantakkan hati Anita. Pada akhirnya, Anita lebih memilih menjadi istri Johan Niskeno dari pada bertahan hidup di biara. Semua pihak terpukul dan marah terhadap komitmen Anita yang goyah gara-gara Johan. Sempat juga keluarganya berhasrat membatalkan maksud perkawinannya. Tapi, berkat usaha keluarga Johan Niskeno melakukan pendekatan kekeluargaan akhirnya perkawinan mereka dibaptis di gereja kristen protestan.
Hidup gemerlapan sebagai istri Johan Niskeno yang hidup mewah, sangat berbanding terbalik dengan kehidupan biara — tidaklah membuat Anita Theresia lupa daratan —-. Karakter yang dibangun selama berada dibiara tetap dipeliharanya sampai saat sekarang ini. Hanya Mikail Pratama anaknya yang butuh perhatian khusus . Sedangkan ketiga anaknya Rini Anggelina, Yayuk Astuti dan Jimmi Rocky, sudah dapat berjalan dengan baik tanpa kontrol yang ketat dari beliau. Dan, walaupun sekarang sudah beragama kristen protestan, tapi ibu Mikail masih tetap melakukan meditasi katolik yang diajarkan di biara. Beliau sangat takut kehilangan hati nurani akibat kondisi ekonomi keluarganya yang berkelimpahan. Cinta yang tulus kepada sesama umat manusia juga dirasakan Tigor bekas anak brandalan itu: Tigor, kalau uang kiriman dari kampung belum datang dan kalau perlu uang minta sama ibu ya… Tak usah malu malu. Ibu sudah menganggap dirimu adalah anak sendiri,” Ibu berkata lembut kepada Tigor. “Iya..bu” Tigor juga sangat mengasihi ibu Mikail. Beberapa saat kemudian. “Sebenarnya ibu khawatir kalau saja dana program yang didukung Sabidaor jadi dilaksanakan. Ibu khawatir kuliah kalian jadi teganggu.” Ibu nampak cemas mendengar rencana kerja FDP.
Kalau istri DR Pardomuan dan Arben Rizaldi hanya tahu mengejek kegiatan ayahnya bersama FDP, tapi ibu Mikail memonitor segala jenis kegiatan anaknya dengan baik. Seluruh perkembangan kegiatan anaknya dipahaminya secara mendalam. “Tidak…tidak usah ibu kawatir.” Justru program kerja yang dibangun oleh FDP akan mendukung perkuliahan kami. Bahkan akan memberi kami nilai plus karena di saat kawan-kawan masih belajar teori kemasyarakatan, kami sudah mempraktekannya.” Mikail memberi argumentasi menolak pendapat ibunya. “Yah,…semoga sajalah.” Ibu lebih banyak melihat sejarah orang yang bekerja di masyarakat, sementara kalian masih ingin membuat sejarah. Percayalah terhadap ucapan ibu.” Kemudian ibu pergi kekamar meninggalkan Mikail dan Tigor makan malam. “Selamat malam,” kata ibu yang kelihatan susah.

“Aku pikir ucapan Ibu tadi perlu kita renungkan dengan serius. Nampaknya dia tidak main main.” Kondisi Tigor agak tegang waktu masuk ke kamar Mikail.
“Ah! Tak usah terlalu kau pikirkan. Ibu itu kayak post power sindrom, apa yang ingin dilakukannya pada masa muda gagal semua. Mungkin akibat perkawinan dengan ayah. Mana mungkin mimpi calon seorang suster dapat terfasilitasi dalam kehidupan berumah tangga,” Mikail mencoba menganalisa sejarah hidup ibu. “Nah! Justru karena itu aku yakin analisanya tak meleset.”
Mikail pikir, beban Tigor merenungkan kata-kata ibu semakin berkurang setelah Mikail menjelaskan latar belakang ibu. Ternyata Tigor semakin percaya sama ucapan ibu.
“Mikail aku berharap skripsi sarjanaku judulnya ‘Gerakan Petani dalam Konteks Kekuatan Hukum di Trieste’. Walapun kita bikin skripsi 2 tahun lagi, tapi aku punya komitmen untuk tulis skripsi dari program FDP,” kata Tigor sambil berbaring menarik bantal. Rokok dihisapnya kuat-kuat dan, “Kapan lagi perguruan tinggi memaparkan aspirasi masyarakat kelas bawah secara orisinil dan ilmiah”.
Mikail terperanjat, dia tak sangka bahwa renungan Tigor sudah sedalam itu. “Aku dukung pikiranmu, Gor,” Mikail bersemangat. “Iya…bulan Juli mendatang aku tidak tidur di kamar kost lagi. Aku akan tidur di rumah kelompok tani yang menjalankan program kita.” Kembali lagi Mikail terkejut, “Jadi, kau tak kuliah? Nanti tak bisa ujian.” Mikail semakin khawatir membayangkan keberadaan kawannya Tigor. Sudah jenuh sekali rupanya Tigor dengan kondisi kampus. Padahal, status seorang mahasiswa sangat terhormat di tengah-tengah masyarakat Trieste. Sebuah status yang disejajarkan dengan masyarakat lapis atas. Mahasiswa adalah kaum elite di masyarakat.
“Aku hanya titip absen saja sama kawan-kawan. Karena masuk perkuliahan itu tak ada ilmunya. Lebih baik kita baca buku wajibnya di rumah. Kemudian kita singkatkan buku itu, agar intisari bukunya dapat kita pahami. Masukan dari dosen ketika kuliah sama sekali tak ada. Jadi, percuma saja kuliah isi absen.” Tigor tarik lagi rokok kreteknya sekuat tenaga. Mikail terdiam tak bisa bilang apa-apa.
“Gor,.. Melihat kedekatanmu dengan keluarga kami, maka layaklah kami turut bertanggung jawab atas perkuliahanmu di hadapan keluargamu di Pangkoper. Apa yang kami bilang ke keluargamu kalau kuliahmu gagal?”
Mikail kelihatan panik memperhatikan Tigor yang seenaknya baring sambil tetap merokok.”Tak usah khawatir, aku akan langsung sampaikan maksudku ini ke kakak Rosita Dameria. Aku yakin dengan gampang keluargaku bisa mengerti,” kata Tigor dengan tenangnya.
“Justru aku tak tahu bagaimana cara menyampaikan hal ini ke ibumu. Dia bukan basa basi mengasihi aku. Kau dibelikannya kaos t-shirt yang cantik, aku juga dapat. Kita dua sudah tak dibedakannya. Aku takut mengecewakan beliau.” Tigor buka bajunya, diambilnya celana pendek Mikail dan dinyalakannya rokok untuk kesekian kalinya. Lantas keduanya terdiam. Sebuah persoalan besar mendominasi pikiran mereka.
Biasanya mereka menghabiskan malam bersama suara tape yang tiada henti. Tapi malam ini situasi diskusi cukup serius, seolah musik tidak boleh terdengar. “Okelah..Gor, aku tidur duluan.” Mikail peluk bantal guling dan melapis tubuhnya dengan selimut tipis membiarkan Tigor berbaring dengan isapan rokok kretek. Rokok para dukun kata kawan-kawan mereka.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 8

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #8

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 8
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
Susanti gembira sekali mendengar Om-nya memelihara kontak komunikasi dengan kawan-kawannya di FDP. Sementara Tigor merasa bahwa kontak FDP dengan lembaga dana masih terlalu pagi. FDP harus menunjukkan eksistensinya bekerja di masyarakat lapis bawah, setelah itu baru layak menjalin kontak dengan lembaga dana. Armand yang sangat terobsesi untuk membiayai kuliahnya, tidak lagi mendapat subsidi dari orang tua, Arman merasa sangat riang hati. “Kalau sudah ada dukungan dana, maka kita tak perlu minta uang kuliah dari orang tua. Kita harus menjadi mahasiswa yang mandiri. Kiranya, tercapai kesepakatan FDP dengan Mukurata. Walaupun kita masih mahasiswa, tapi kita sudah menjadi orang yang profesionil bekerja di masyarakat. Sudah tak kalah dengan para dosen-dosen yang sok menggurui kita. Ha…ha..ha..” Armand tertawa sendiri membayangkan dirinya sudah menjadi orang yang profesionil.
DR Pardomuan hanya diam mendengarkan segala macam pendapat kawan-kawannya yang masih muda. Dia amati pola tingkah laku bicara kaum muda ini. Beliau cukup tekun mengamati perkembangan psykologis seluruh anggota FDP. Pernah satu waktu beliau lupa mengunci laci lemari kerjanya. Di situlah ditemukan Ucok, bahwa setiap anggota FDP punya map masing-masing. Pada map itu DR Pardomuan menuliskan segala hasil pengamatannya terhadap seluruh personil FDP. Panjang lebar dituliskannya kesan pribadinya pada setiap anggota. Ucok kagum dan terheran melihat ketekunan saudara tua mereka. Dan tak diceritakannya rahasia itu kepada orang lain. Dalam hati, Ucok berjanji akan mencontoh kebiasaan baik yang dipelihara saudara tuanya yang mengasihi mereka dengan sungguh – sungguh. Tekun menuliskan kesan apa saja yang diperoleh dalam realitas hidup sehari-hari pasti akan memampukan kita lebih tajam lagi menganalisa kehidupan sosial kemasyarakatan. Begitulah tekad mahasiswa yang tempramental itu.
“Panas panas taik ayam, sebentar lagi pasti dingin taik ayamnya.” Itulah kalimat yang sering dilontarkan Arman kalau mengejek Ucok.

Mukurata hanya dua hari di Rilmafrid. Dengan bahasa inggris yang sudah lancar, ia banyak berkomunikasi dengan DR Pardomuan dan Susanti yang menjadi juru bicara FDP. Bersama Mukurata FDP lebih banyak menghabiskan waktu membahas penulisan proporsal sesuai dengan standard Sabidaor Foundation.
“Sial! Aku tak lancar berbahasa inggris. Kalau aku lancar,pasti kutanya standard gaji yang ditetapkan Sabidaor,” kata Armand setelah pulang antarkan Mukurata ke airport.
“Dasar mata duitan,” Ningsih kesal mendengar Arman. Ibu dan Arben Rizaldi kali ini bingung menyimak pembicaran mereka. “Rupanya tamu mereka tadi adalah orang Taiwan yang akan memberikan mereka gaji bulanan,” kata Arben.
“Ah! Masyak! Dari mana mereka kenal orang itu dan kenapa pula dia mau memberi gaji kepada pendaki-pendaki gunung yang puncaknya kekonyolan?” Ibu merasa aneh. “Jangan-jangan kau salah dengar,” katanya pula pada Arben.
Sebenarnya Ibu adalah mahasiswa yang cerdas. Mery Anita namanya, dikenal sebagai kembang kampus yang banyak menarik simpatik kaum hawa. Tapi, ketika menulis skripsi, dosen pembimbingnya Drs Bachtiar Harjatmo ingin memperkosa Ibu waktu berkunjung ke rumah Drs Bachtiar Harjatmo yang ketika itu tak ada penghuni. Pulang dari rumah dosen, dibakarlah seluruh naskah skripsinya oleh Ibu. “Saya tidak mau lagi melanjutkan penulisan skripsi. Drs Bachtiar Harjatmo harus dipecat dari dosen fakultas sastra dan dijebloskan ke penjara selama 6 bulan.” Kata Ibu waktu itu. Memang sang dosen akhirnya masuk penjara sesuai dengan keinginan ibu.
Tapi, Ibu sudah tak selera lagi melanjutkan kuliah. Ibu frustasi dan hampir gila. DR Pardomuan-lah yang diminta keluarga untuk sabar tabah membujuk ibu agar memiliki gairah hidup. Intensitas jumpa yang cukup lama membuat mereka berpacaran. Kemudian menjalin mahligai rumah tangga sampai saat sekarang memiliki anak tunggal yang manja, Arben Rizaldi, sudah jadi mahasiswa semester 3 di akademi pariwisata.

“Aku sudah hampir satu jam di kantin tunggu kau.” Mikail jumpai Tigor sehabis kuliah. “Dosennya terlalu asyik memberi kuliah sehingga waktu terlewatkan setengah jam.” Lalu mereka sama sama diam menuju parkir motor. Akibat kesibukan di FDP, kedua mahasiswa ini tak punya kesempatan untuk bertamu ke rumah Susanti. Sudah lebih 2 bulan mereka tak pernah lagi menjumpai Susanti. Berkas proporsal untuk diajukan ke Sabidaor Foundation ada di ransel Mikail untuk diinggriskan Susanti. Sebentar mereka beli pisang goreng Bi Inah langganan tetap Tigor 2 tahun ini. Tapi, dekat simpang empat menuju ke rumah Susanti, ada kerumunan orang. Ada yang bawa pentungan, menggengam batu besar, buka baju muka bringas siap bertempur. Ada dua orang hanya pakai celana dalam dan kaus, badan penuh dengan bengkak. Tangan mereka diikat kuat pakai tali raffia. Mata lebam warna biru meneteskan darah kental habis dipukuli massa yang masih terkonsentrasi di tempat kejadian.
“Pak,.. ada apa Pak.” Mikail sangat ingin tahu.
“Ini dua polisi mau menangkap anak muda itu,” kata bapak setengah baya sambil tunjuk seorang anak muda. “Ketika berdiri mendekati motor anak muda itu, dari kantong celana polisi jatuh setumpuk daun kering ganja. Langsung saja anak muda yang ditangkap polisi itu memukul polisi dan berteriak memanggil semua orang yang ada di sekitar tempat kejadian.”
“Ooaaalllaahh.. mampuslah negara kita ini. Polisi pun sudah kantongi ganja. Mampuslah kita ini.” Mikail tak habis pikir, kenapa ada polisi yang ikut sindikat perdagangan ganja.

“Ah.., syukurlah kalian datang, aku sudah rindu mendengar kalian bertengkar.”
Susanti menyambut mereka dengan piring di tangan. Susanti sudah tahu, pasti mereka datang membawa pisang goreng.
“Iya,..kami juga rindu juga sama kau. Kami sudah tak pernah lagi nonton bioskop bersama. Otomatis tak ada topik pertengkaran kami.”
“Aku pun tak pernah lagi nginap di rumah Mikail.” Tigor juga tersenyum menyambut Susanti.
Kesan terhadap kedatangan Mukurata serta membayangkan keberadaan FDP menangani program yang didukung oleh Sabidaor menjadi topik hangat sore ini.
“Ah, si Mikail ini, namanya saja pacarku. Hanya datang malam minggu. Itu pun hanya sebentar. Tak pernah ada suasana romantic,” Susanti kesal.
Si Mikail hanya menundukan kepala pertanda mengaku kesalahannya di hadapan Susanti dan Tigor. Kondisi mereka sore ini agak tegang juga gara-gara pernyataan Susanti yang merasa status pacaran tak pernah dinikmatinya bersama Mikail. Setelah diam beberapa saat Tigor dengan lembut buka bicara,” Susanti, kalau bisa 2 hari ini proprsal kita sudah siap diinggriskan.”
Masih lemas Susanti menjawab Tigor,” Mudah-mudahan bisa. Soalnya seminggu ini aku janji membantu Evi, kawanku ngerjakan tugas kuliah.”
Suasana yang diharapkan cerah ceria ternyata berubah menjadi tegang dan kaku. Susanti memang sudah lama memendam rasa jengkelnya melihat tingkah laku Mikail yang tak punya perhatian untuknya.

bersambung…


Kisah Sebelumnya: Bagian7

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #7

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 7

Dengan lancar Tigor memberikan pengantar diskusi mereka di ruang meditasi, markas besar FDP. Tanggapan-tanggapan gencar diutarakan oleh peserta diskusi. Sebenarnya sebuah pertemuan ilmiah tidak resmi sedang berlangsung dengan hangat. Bahkan, Ucok, anak sastra Zatingon, berani mengklaim bahwa forum mereka jauh lebih bermutu daripada rancangan para petinggi perguruan tinggi. Segala landasan teori yang selalu dimamah biak peserta diskusi tertumpah pada acara forum perdana tahun 1981. Sehingga, Armand anak fakultas sosial politik Rilmafrid yang bertugas menjadi notulen gelagapan menjalankan tugasnya. Sementara Tigor lunglai segera membaringkan tubuh sehabis diskusi. Di hirupnya rokok gudang garam kretek sekuat tenaga. “Aku takut, kalau kita terlalu intens berdiskusi, maka kemampuan kita berintegrasi di tengah-tengah rakyat miskin akan terganggu. Kita tak tahu lagi bahasa rakyat, karena sudah terlalu banyak istilah ilmiah di kepala kita,” Tigor mengoceh. Dia sudah tak perduli entah siapa yang mendengar ucapannya. Dan, dalam kesunyian, suara Armand bernyanyi:…Lelah …lelah hati ini…menggapai hatimu… Mungkin maksudnya menyindir si Tigor yang sudah tak kuasa lagi berpikir. Mereka berdua memang selalu saling sindir menyindir tanpa rasa dendam. Hubungan interpersonal antar Armand dan Tigor dapat juga dikatakan pencipta suasana segar di FDP.
“Untunglah ada Arman dan Tigor sehingga stres saya bisa hilang.” Muslimin anak fakultas pertanian Rilmafrid tersenyum lega. Ucok juga merasa hal yang sama dengan Muslimin. Ucok memang agak temperamental, dia selalu khawatir kalau saja Tigor dan Arman berkelahi gara-gara beda pendapat yang runcing. Tapi, selama 2 tahun perjalanan mereka, belum pernah terjadi kekhawatiran Ucok. Semuanya berjalan lancar dan menyegarkan. Semuanya berdampak positif untuk perkembangan FDP. Apalagi kadang-kadang Susanti datang bersama kawannya Ayong mewarnai forum mereka yang sangat minim perempuan.

Sekitar 3 bulan berpisah dengan DR Tumpak Parningotan, siang itu suratnya datang ke markas besar FDP. Kebetulan Ningsih dan pacarnya Dedi Kantingan sedang berada di tempat. Segera dibaca mereka surat tersebut.

Kepriano, 23 Febuari 1981

Kepada Yth : Teman – Teman
di
Ruang Meditasi

Salam Pembebasan,

Terus terang saya sangat terkesan berjumpa dengan teman-teman di Rilmafrid. Saya merasa komitmen yang teman-teman miliki sudah sangat kuat. Sudah siap tempur untuk melawan kezaliman penguasa negara kita, Trieste. Sedangkan saya di Kepriano belum pernah bertemu dengan kawan-kawan yang punya perhatian besar terhadap gagasan perubahan sosial. Mereka terlarut oleh watak komsumtif yang dikampanyekan oleh penguasa negeri ini. Itu makanya (sebenarnya) saya iri hati melihat solidnya kawan-kawan yang tergabung dalam FDP. Sementara saya sudah hampir patah arang.

Dua minggu yang lalu, kebetulan di gereja datang tamu dari lembaga dana meninjau program-program gereja kami yang mereka dukung. Salah seorang tamu itu adalah warga negara Taiwan yang bekerja di lembaga dana Sabidaor Fundation. Sebuah lembaga dana yang bersedia memberi dukungan untuk gerakan bawah tanah. Saya tak mengerti kenapa dia bisa ikut hadir dalam kunjungan Ichbenlip Foundation Belanda. Lembaga dana yang siap sedia mendukung program dengan visi transformatif.

Malamnya tanpa diketahui oleh pihak lain, Mukutara (orang Jepang yang jadi warga negara Taiwan) datang berkunjung ke rumah saya.
Dikatakannya Sabidaor Foundation secara rahasia sedang mencari kontaknya di Trieste.
Agar ada jaringan kerjanya di negara kita. Sabidaor sama sekali tidak tertarik membangun jaringan dengan lembaga-lembaga formal. Justru watak organisasi seperti FDP-lah yang menjadi pusat perhatiannya. Dan, saya sudah mempromosikan FDP sekaligus berikan alamat FDP kepada Mukurata.
Mungkin, pertengahan Maret mendatang, Mukurata akan berkunjung ke FDP. Kiranya kerja sama FDP dan Sabidaor terjalin dengan baik

Selamat bekerja dan sukse selalu
Salam dari keluarga saya untuk seluruh warga FDP

jabat erat

tumpak parningotan

“Tak ditulis gelar kesarjanaannya. Namanya pun seluruhnya pakai huruf kecil,” kata Ningsih sehabis membaca.
“Yah,…mungkin itu simbol kesederhanaan jiwanya.” Kantingan memberi respon simpatik kepada pacarnya Ningsih.
Sore hari sudah semua anggota FDP bergembira hati membaca surat tersebut. Surat Tumpak Parningotan membuat FDP merancang acara apa yang patut disajikan apabila Mukurata datang berkunjung. Kedatangan tamu asing seperti ini adalah pengalaman perdana FDP. FDP sama sekali tidak pernah menjalin kontak dengan lembaga dana. Walaupun DR Pardomuan secara pribadi sering juga dikunjungi oleh kawan-kawannya semasa kuliah di Uni Sovyet.
“Mudah-mudahan Mukurata dapat menuntun kita memformulasikan program FDP lebih permanen lagi,” Ucok berharap.
“Yah,..kita harus lebih profesionil lagi bekerja di tengah-tengah rakyat,” Arman menimpali. Surat yang dikirim pakai kilat khusus tiba di tangan FDP tanggal 25 Febuari. Berarti kita masih punya waktu 2 minggu lagi untuk memikirkan acara-acara untuk menyambut Mukurata.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 6

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #6

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 5
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
“Ada empat jenis gerakan sosial yang dikenal sejak dunia ini diciptakan Sang Khalik Semesta Alam. Pertama sering disebut dengan istilah Karitatif. Sebuah gerakan sosial yang ditujukan kepada fakir miskin atau korban bencana alam. Memberi sumbangan baju, makanan, susu dan lain sebagainya. Inilah gerakan sosial yang paling genit. Oleh sebab itu, acara seperti ini diselenggarakan oleh para ibu. Lengkap dengan baju seragam, mendengarkan kata sambutan, tepuk tangan, doa bersama dan bersalam-salaman, berfoto-foto. Setelah mengumbar berjuta ungkapan saling mengasihi sesama mahkluk Tuhan, rombongan meninggalkan korban muka sayu lemah lunglai. Sementara wajah anggota rombongan kembali lagi segar bugar. Mereka telah menyelesaikan sandiwara satu babak. Hua…ha…ha…”
Suasana jadi meriah dibuat Pdt DR Tumpak Parningotan. Diteguknya kopi yang masih hangat, kemudian dilanjutkannya bicara.
“Kedua adalah gerakan sosial Transformatif. Seluruh perangkat organisasi yang sudah ada dalam sebuah komunitas tidak aktif menyelenggarakan program yang sudah disusun. Program membutuhkan sebuah panitia penyelenggara yang membentuk organisasi baru. Biasanya program yang disusun adalah hal-hal yang berkaitan dengan teknologi tepat guna, ternak ayam, arisan babi atau membuat kolam ikan, pertukangan secara aktif partisipatif. Melibatkan anggota masyarakat sebanyak-banyaknya, agar perasaan memiliki program dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat.”
Mikail sibuk menulis segala ucapan penting yang didengarnya. Dia yakin bahwa dari catatan-catatan kecil itu akan berhasil menuliskan tugasnya membuat pengantar diskusi pada Forum Diskusi Pelangi.
“Berikutnya, gerakan sosial Reformatif. Program yang disusun tak banyak beda dengan apa yang diprogramkan oleh gerakan sosial transformatif. Tapi, dalam gerakan sosial reformatif, tidak membangun organisasi baru. Reformatif memperbaharui organisasi yang sudah ada dalam masyarakat untuk melaksanakan program yang sudah disusun. Harus atas izin restu para petinggi-petinggi desa.”
“Saya pikir gerakan sosial transformatif dan reformatif adalah gerakan sosial yang malu-malu kucing. Tidak menyentuh persoalan-persoalan structural,” Kata Tigor dengan perasan kesal.
“Sudah diam kau dulu!! Oke ..Pak lanjutkan Pak,” Mikail merasa terganggu menyimak pelajaran oleh karena suara Tigor.

Hari sudah jam 7 malam. Di jalan raya tampak sebuah truk besar sesak dengan orang-orang miskin berikat kepala sambil berteriak- teriak menandaskan tenaga mereka yang sudah habis terkuras. Mereka baru pulang dari unjuk rasa ke gedung DPR. Mereka adalah petani miskin yang menuntut DPR agar mendesak pemerintah agar harga dasar pupuk tidak jadi dinaikkan. Tekanan hidup berbiaya tinggi belakangan ini tidak mungkin membuat petani sanggup membeli pupuk jika sudah naik harganya.
“Pasti usaha petani miskin akan mengalami jalan buntu, walaupun mereka sudah habiskan energi ke DPR. Nanti malam pasukan bawah tanah militer, polisi dan preman akan melacak pentolan-pentolan demonstrasi. Dan, secara perlahan tapi pasti, gerakan petani akan semakin melemah.” DR Pardomuan memberi komentar menghentikan uraian DR Tumpak Parningotan.
Dalam menyambut tahun 1981 ini, negara Trieste berada pada kondisi penuh kesesakan. Harga-harga kebutuhan keluarga setiap hari naik membumbung tiggi. Jumlah penduduk miskin akan meningkat secara drastis karena inflasi besar-besaran. Beberapa mantan aktifis mahasiswa yang sangat vocal menghujat negara 10 – 15 tahun yang lalu, sekarang diangkat menjadi menteri. Menjadi pemimpin tertinggi departemen. Prof DR Ir Setiaditis menjadi menteri keuangan. Padahal ketika masih mahasiswa beliau pernah di penjara 2 tahun. DR Fatilda wanita jiwa besi yang keras kepala diangkat menjadi menteri perdagangan.
“Mereka semua alumni Eropa Barat yang menjadi bonekanya kapitalisme di Trieste” DR Pardomuan tertunduk lemas setelah membaca koran.
“Sebentar lagi kita makan malam bersama, ya..,” DR Tumpak melanjutkan,” mari kita persilahkan DR Tumpak Parningotan melanjutkan uraiannya.”
“Baiklah, tadi kita sudah sampai ke jenis ketiga gerakan sosial. Jenis keempat inilah yang paling prinsip, terkenal dengan sebutan gerakan sosial yang radikal revolusioner. Garis massa adalah kekuatan utama dalam gerakan ini. Kaum intelektual yang kesadaran kelasnya tinggi, akan datang dan hidup bersama rakyat tertindas. Melakukan bunuh diri kelas. Dan, secara non formal terus menerus menggugah rakyat miskin untuk semakin kritis melihat realitas kehidupanya. Dan, bangkit melawan segala bentuk penindasan.”
“Nah..! Inilah yang namanya gerakan kiri habis,” Mikail gembira mendengar kalimat DR Tumpak.
“Iya…, dengan cara inilah revolusi industri dilawan oleh kaum proletariat beberapa abad yang lalu,” DR Pardomuan menambahkan keterangan.
DR Tumpak dengan senyum mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Muslimin tampak bingung menyimak pembicaraan. Tak berapa lama kemudian, “Sudahlah,..istri saya sudah siapkan makanan untuk kita.” Lalu mereka bangkit berdiri menuju rumah utama.
“Mari…mari Pak, seadanya saja ya…Pak,” Ibu mempersilahkan tamunya duduk di meja makan. Kemudian istri DR Pardomuan ke dapur menjumpai Arben yang sudah menantinya. Lantas, mereka berdua cekikikan,”Hi…hi..hi..” Cekikikan itu sama sekali tak kedengaran. Hanya ada suasana dan perasaan lucu melihat bentuk-bentuk manusia aneh penghuni dunia antah brantah di Rilmafrid.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 5

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #5

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 5
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
“Tigor.., tak usah kau bingung. Nanti aku jumpakan kau dengan Om (adik mamaku) yang doktor teologi,” kata Susanti, “beliau mungkin nasibnya persis sama dengan DR Pardomuan.
Tigor tersentak. “Persis sama? macam mana maksudmu?” Mikail juga terkejut mendengar ucapan Susanti.
“Gagasannya tentang pelayanan jemaat sering ditentang oleh pendeta-pendeta. Tapi, dia tak perduli, dia tetap berkotbah dan selalu mendapat simpatik dari jemaat. Dia tidak mengundurkan diri dari hirarki gereja. Jadi tidak macam DR Pardomuan yang meninggalkan perguruan tinggi.” Susanti tampaknya kenal betul dengan Om-nya yang doktor teologia.
“Sekarang dia tugas di mana?” Tampak hasrat Mikail ingin jumpa dengan Om-nya Susanti.
“Oh,…dia tugas di Propinsi Kepriano. Bulan ini akan datang berkunjung ke sini, karena ada keponakannya yang melangsungkan perkawinan. Kalian todong saja dia untuk diskusi panjang, Pasti dia bersedia,” kata Susanti sambil berdiri menuju dapur membuat minum untuk Tigor dan Mikail.
“Okelah kalau begitu. Segera kirim surat untuk beliau mengatakan maksud kita kalau Om itu datang ke sini.” Tigor lega, beban beratnya tak dipikul oleh dirinya sendiri. Sudah ada Om-nya Susanti yang bersedia membantunya memikul beban berat tersebut.
Keluarga DR Pardomuan adalah orang kaya berat sejak tujuh keturunan sebelumnya. Sehingga, profesi dosen yang ditinggalkannya tidaklah menggangu biaya hidup keluarga. DR Pardomuan sekarang hidup dari bunga deposito bank setiap bulan warisan keluarga. Beliau berhasrat juga berjumpa dengan bapak Pendeta DR Tumpak Parningotan (Om-nya Susanti). Di ruang meditasi samping rumah utama DR Pardomuan, Tigor sampaikan kabar baik dari Susanti. Setelah mendengar kabar baik itu, DR Pardomuan mengalihkan pembicaraan. “Sekarang ruang meditasi kita masih sunyi dikunjungi orang. Mungkin masih sibuk dengan urusan tahun baru bersama keluarga. Tapi, saya khawatir tahun ini semakin berkurang anggota FDP,” kata DR Pardomuan.
“Ah..! tak usah khawatir Pak,..kapal tetap bisa berjalan walaupun hanya tinggal nahkodanya saja di dalam kapal.” Mikail memberi semangat DR Pardomuan. “Forum kita harus tetap berjalan walaupun hanya tinggal kita bertiga anggotanya.” Mikail melanjutkan ucapannya.
“Ah.., sudahlah. Tolong tutup pintunya, aku mau latihan pernafasan,” kata Tigor kepada Mikail.
Duduk layaknya seorang pendeta Budha dengan mata terpejam, Tigor mulai latihan pernafasan. Sementara DR Pardomuan dan Mikail duduk di teras depan menikmati kopi hangat sore hari. Sedangkan istri DR Pardomuan, sedang kedatangan tamu, mengintip mereka dari jendela rumah utama. Sang tamu adalah ibu tetangga yang merasa heran melihat kegiatan mereka.
“Apa mereka tak capek dengan cara hidup yang sangat serius,” kata sang tamu.
“Saya pun heran dan sering kesal melihat suami saya menghabiskan hari-harinya hanya untuk meditasi sepanjang waktu. Tapi, saya tak kuasa melarang suami saya, karena saya yakin batinnya tersiksa melihat realitas perguruan tinggi yang sangat bobrok. Makanya saya biarkan saja dia heboh melayani kedua murid setia yang goblok ini. Hua…ha…ha….” Mereka tertawa melihat DR Pardomuan dan Mikail sedang ngobrol serius. “Anak saya, saya larang mengikuti kegiatan ayahnya. Saya takut nanti anak saya sudah puas hidup seadanya seperti ayahnya. Untuk apa hidup seadanya kalau kesempatan hidup mewah masih terbuka lebar. Hua…ha…ha..” Kembali lagi istri DR Pardomuan tertawa puas.
Arben Rizaldi, anak tunggal DR Pardomuan, muncul dari kamar. Rupanya dia dari tadi mendengar isi pembicraan ibunya dengan ibu tetangga. “Semua anak muda sedang mendaki gunung yang puncaknya berbeda,” katanya. “Ada yang puncak gunungnya hidup kaya berlimpah ruah. Ada yang puncak gunungnya hidup seperti selebrity. Tapi, tak ada anak muda mendaki gunung yang puncaknya “kekonyolan” seperti Tigor dan Mikail. Hua..ha..ha..” Sekarang ketawa mereka bertiga semakin deras. DR Pardomuan dan Tigor tak sadar bahwa mereka menjadi objek pembicaraan. Sekaligus objek bahan tertawaan. Mereka tetap saja dengan muka ketat berbeban berat mendiskusikan soal-soal yang mendasar dalam hidup ini.
Tibalah waktunya Pendeta DR Tumpak Parningotan berada di rumah Susanti. Hanya basa basi sebentar saja, Tigor langsung undang tamu penting tersebut berkunjung ke rumah DR Pardomuan. Bukan ke rumah utama, tapi ke ruang meditasi.
“Inilah gubuk tempat kami selalu berkumpul,” kata Mikail merendah.
“Seperti rumah sendiri, mau makan atau minum tinggal ambil dari rumah utama. Mau bermalam bermeditasi atau bermalas-malasan sendirian juga boleh nginap di sini. Biasanya kami ada 6- 7 orang yang sering ke sini,” sambung Tigor.
“Ah… sebuah tempat yang menyenangkan. Saya rasa aura saya dingin bahagia berada di sini. Kiranya ini pertanda bahwa kita dapat berkawan dalam tempo yang panjang. Kiranya pula, itulah harapan kita bersama.” Dari bahasa serta intonasi suara yang lembut dan kalimat-kalimat yang dipakai Pendeta DR Tumpak Parningotan kelihatan jelas sekali dia adalah rohaniawan yang rendah hati.
Ibu dan Arben Rizaldi anak sulung DR Pardomuan kembali lagi melakukan kebiasaan mereka. Mengintip kegiatan sambil menyimak ucapan-ucapan gerombolan ayahnya di ruang meditasi.
“Kok macam pengusaha kaya raya tamu mereka sekali ini,” kata Ibu.
“Mungkin mereka sudah mulai sadar bahwa hanya Yesus Kristus saja yang bisa hidup dengan makan roti saja. Sedangkan manusia biasa butuh baju yang cantik, makanan yang lezat di tempat yang bergengsi,” Arben tampak terkejut melihat tamu mereka.
“Ah! mana mungkin orang-orang yang sudah keras membatu seperti mereka dapat merubah falsafah hidupnya.” Ibu membantah Arben Rizaldi.
“Atau mungkin mereka sedang menghasut orang kaya raya supaya meninggalkan kekayaannya dan ikut bergabung bersama mereka yang sudah gila.”
“Huuss !! .. diam kau! Mari kita dengar isi pembicaraan mereka.”
Lalu Ibu dan Arben diam senyap mengkonsentrasikan kupingnya untuk mendengar isi percakapan ayah dan tamu barunya.
“Saya tidak percaya kerajinan orang ke gereja sebagai jaminan orang bisa masuk ke kerajaan Allah,” kata Pendeta Dr Tumpak Parningotan. Mendengar ucapan tersebut Arben segera memberi komentar “Oh..rupanya pakaian dan penampilannya saja seperti pengusah kaya raya. Ternyata isi kepala tamu baru itu sama gilanya dengan mereka. Hi…hi…hi…” Suara sayup volume rendah kedengaran lembut. Kemudian ibu dan Arben meninggalkan tempat, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sudah lelah kuping ibu dan Arben mendengar nada-nada suara kaum pemberontak norma sosial.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 4

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #4

Cerita Bersambung Martin Siregar

Bagian 4

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
Pada awal tahun 1981 negara Trieste membuka lowongan kerja menjadi pegawai negeri. Seluruh instansi pemerintah menerima surat lamaran kerja dari masyarakat umum untuk ujian duduk di birokrasi pemerintahan. Mulai dari ijazah Pendidikan SMA, Sarjana Muda, Sarjana serta Master dan Doktor dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah pusat sampai ke daerah.
Tigor, Mikail dan DR Pardomuan pada akhir 1980 sudah memprediksi kebijakan negara ini. Sehingga mereka tak begitu heran melihat seluruh lapisan masyarakat berbondong-bondong membeli map, melegalisir ijazah, foto kopi berkas lamaran, mencetak pas foto dan lain lain, dan lain lain. Sebuah kesempatan emas untuk hidup bermalas-malasan dapat gaji buta dan bisa korupsi sebagai pegawai negeri adalah incaran penduduk negara Trieste. “Dasar Negara Pegawai” Kata Tigor di atas motor bergoncengan dengan Mikail.
Memang Forum Diskusi Pelangi (FDP) yang dibentuk DR Pardomuan pada acara Diskusi Tutup Tahun bulan Desember yang lalu mengambil tema: “Trieste akan Menjadi Negara Pegawai”. Cukup hangat diskusi tersebut pada waktu itu. Semua pihak yang hadir sangat pesimis di Trieste dapat terwujud negara yang demokratis dan menjunjung tinggi keadilan di tengah-tengah masyarakat. Omong kosong test ujian pegawai negeri yang akan berlangsung dinilai secara objektif. Sebelum ujian dilaksanakan, sudah banyak anak pejabat militer, pengusaha dan pejabat negara yang menitipkan nama anaknya maupun nama anak orang lain yang berani memberikan uang sogok. Jangan harap anak rakyat terlantar dapat lulus menjadi pegawai negeri posisi menengah ke atas. Pasti anak orang terlantar selalu menjadi pegawai negeri dengan status rendah. Karena posisi-posisi penting pegawai negeri sudah digarap oleh anak-anak penguasa status quo Trieste. Dan, hampir dapat dipastikan bahwa anak-anak mereka yang menjadi pegawai negeri akan meniru watak korupsi orang tuanya.

Watak kerajaan-kerajaan yang ada di bumi pertiwi Trieste berabad abad yang lalu sangat kaku dengan sistem feodalismenya. Oleh sebab itu untuk mengekang suara-suara dari hati nurani masyarakat sipil yang menuntut keadilan, watak feodalisme tersebut harus dipertahankan dalam birokrasi pemerintahan. Agar pemegang tampuk pemerintahan negara dari sejak dulu dapat mempertahankan status kekuasaannya sampai sekarang, tanpa gangguan dari kekuatan pihak oposisi. Apalagi penguasa negara dilindungi kekuatan militer yang terus dipelihara dengan baik. Selalu siap sedia melakukan intimidasi secara brutal di tengah-tengah masyarakat. Sebagai konsekuensinya, korupsi kolusi dan nepotisme menjadi karakter budaya pemerintahan yang saat sekarang ini semakin berurat berakar di negara Trieste. Dokumentasi Forum Diskusi Pelangi tentang hal ini cukup rapi. Ketekunan program investigasi dan penelitian tentang kasus-kasus pelanggaran demokratisasi oleh negara dapat dipertahankan secara ilmiah dan berkesinambungan.
Forum Diskusi Pelangi hadir di Rilmafrid atas prakarsa DR Pardomuan. Doktor antropologi yang diperolehnya dari Universitas Uni Sovyet tahun 1978. Karena DR Pardomuan sering berdebat panjang dengan sesama dosen di Universitas Sandiega alumni Eropa Barat. Bahkan beberapa kali perdebatan itu hampir berakhir dengan pertikaian fisik. DR Pardomuan pernah juga dua kali diinterogasi oleh polisi akibat argumentasinya tentang ilmu antropologi dinilai bernuansa komunis. Wajar saja, karena beliau adalah alumni Universitas Uni Sovyet.
“Para doktor alumni Eropa Barat sarat dengan ideologi kapitalisme”. “Dan mereka terlalu memaksakan gagasan mereka di dunia perguruan tinggi” Padahal belum tentu pikiran Eropa Barat itu sesuai dengan karakter budaya di negara kita, Trieste” Inilah argumentasi DR Pardomuan kalau ditanya alasannya mengundurkan diri dari universitas ternama itu.

Pemahaman DR Pardomuan tentang wacana ilmu-ilmu sosial dan penguasaannya mengenai selera kaum muda terhadap ilmu pengetahuan, membuat gairah Tigor dan Mikail terus menjalin kontak dengannya. Tigor dan Mikail berhasil mengumpulkan kawan-kawan mereka dari Universitas Rilmafrid dan Universitas Zatingon dari berbagai fakultas untuk mendirikan FDP. Tentunya kawan kawan yang tidak mau dicemari oleh watak komsumtif dunia pendidikan di negara Trieste.
Pada acara forum diskusi perdana bulan Januari tahun 1981, ditetapkan temanya adalah : Strategi Pengembangan Masyarakat. Tigor ditugaskan menyiapkan 4-5 lembar tulisan untuk sekedar bahan pengantar diskusi. Betapa beratnya tugas ini diemban Tigor, tapi kalau ditolak maka Tigor merasa akan kehilangan kesempatan untuk melatih diri menulis karya ilmiah. Gara gara tugas berat inilah Tigor hanya setengah hati merayakan Natal dan Tahun Baru. Ia sibuk mengumpulkan buku-buku referensi. Tapi, sampai minggu pertama Januari tak sebuah kata pun dapat ditulis. Dia bingung tujuh keliling.

bersambung…

*)Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid

Kisah Sebelumnya: Bagian 3

Cerita Bersambung Yang Lain

Cerita Bersambung: Tunangan #Tamat#

Cerita Anton Chekhov
Alih Bahasa RetakanKata

kasih tak sampai
Ilustrasi dari 3_bp_blogspotdotcom1
Musim gugur telah berlalu, dan musim dingin juga telah pergi. Nadya mulai rindu dan setiap hari berpikir tentang ibu dan neneknya. Dia juga memikirkan Sasha. Surat-surat dari rumah terasa baik dan lembut, seolah-olah semua kejadian masa lalu telah diampuni dan dilupakan. Pada bulan Mei, setelah ujian, dia berangkat pulang ke rumah dalam keadaan sehat dan semangat yang tinggi, dan berhenti sejenak di Moskow untuk melihat Sasha. Sasha masih sama dengan tahun sebelumnya, jenggot yang sama dan rambut acak-acakan, mata yang sama -indah dan besar- dan dia masih mengenakan mantel serta celana panjang kanvas yang sama. Tetapi ia tampak tidak sehat dan khawatir. Ia tampak lebih tua dan lebih kurus, dengan batuk yang terus menerus, dan untuk beberapa alasan hati Nadya terpukul dengan warna kelabu dan tampang Sasha yang seperti orang asing.
“Ya Tuhan, Nadya telah datang!” katanya, dan tertawa riang. “Gadisku tersayang!”
Mereka duduk di ruang percetakan yang penuh dengan asap tembakau, berbau kuat, gerah dengan tinta India dan cat. Kemudian mereka pergi ke kamar Sasha, yang juga berbau tembakau dan penuh dengan jejak meludah; dekat Samovar dingin berdiri sebuah piring pecah dengan kertas gelap di atasnya. Beberapa lalat terkapar mati di atas meja dan di lantai. Semua itu menunjukkan bagaimana Sasha mengatur kehidupan pribadinya dengan cara jorok, dan hidup bagaimanapun, mengucapkan kenyamanan adalah penghinaan. Dan jika ada yang mulai bicara dengannya tentang kebahagiaan pribadinya, kehidupan pribadinya, kasih sayang baginya, ia tidak akan mengerti dan hanya akan tertawa.
“Semua baik-baik saja, segala sesuatu yang telah berlalu, telah kembali berjalan baik,” kata Nadya buru-buru. “Ibu datang menemuiku di Petersburg pada musim gugur, ia mengatakan bahwa Nenek tidak marah. Nenek hanya masuk ke kamarku dan membuat tanda salib di dinding.”
Sasha tampak ceria, tapi ia terus batuk, dan berbicara dengan suara serak, dan Nadya terus memandangi dia, tidak dapat memutuskan apakah dia benar-benar sakit parah atau hanya berpura-pura.
“Sasha sayang,” kata Nadya, “kamu sakit.”
“Tidak, ini tidak masalah. Aku memang sakit, tapi biasa saja…”
“Oh, Sayang!” seru Nadya, dalam nada agitasi. “Mengapa kamu tidak pergi ke dokter. Mengapa kamu tidak merawat kesehatanmu? Sayangku, Sasha sayang…,” katanya, dan air mata mengalir keluar dari matanya dan entah mengapa tiba-tiba bayangan Andrey Andreitch dengan wanita telanjang dan vas, muncul di benaknya beserta semua masa lalu yang tampaknya sekarang sudah menjauh seperti masa kecilnya. Lalu ia mulai menangis karena Sasha terlihat tidak lagi baru, tidak semenarik dan berbudaya dengan tahun sebelumnya.
“Sasha sayang, kamu sangat…, sangat sakit … Aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu tidak begitu pucat dan kurus. Aku sangat berhutang budi kepadamu. Kamu tidak akan dapat membayangkan berapa banyak yang telah kamu lakukan buatku, Sashaku yang baik! Kenyataannya hanya kamulah orang terdekat dan terkasih bagiku.”
Mereka duduk dan berbicara, dan sekarang, setelah Nadya menghabiskan musim dingin di Petersburg, Sasha, karya-karyanya, senyumnya, dan segala sesuatu yang ada padanya seperti berkata tentang sesuatu yang ketinggalan zaman, kuno, sesuatu dari masa lalu dan mungkin sudah mati dan dikuburkan.
“Lusa, aku akan turun ke Volga,” kata Sasha, “kemudian minum koumiss. Maksudku minum koumiss. Seorang teman dengan istrinya akan pergi denganku. Istrinya seorang wanita yang indah; Aku selalu berusaha membujuknya untuk pergi ke universitas yang kuinginkan. Aku ingin ia mengubah hidupnya.”
Setelah berbicara, Sasha mengantar Nadya ke stasiun. Sasha membawa serta teh dan apel, dan ketika kereta mulai bergerak, Sasha melambaikan sapu tangannya ke arah Nadya, tersenyum, dan bisa dilihat bahkan dari getar kakinya, Sasha terlihat sakit -sangat sakit- dan tidak akan hidup lama.
Nadya mencapai kota asalnya pada tengah hari. Perjalanan pulang dari stasiun terasa bagai siksaan yang mendera dirinya. Begitu jauh dan rumah-rumah terlihat kecil seperti sedang jongkok; tidak ada orang, tidak ada siapa pun yang ditemui kecuali seorang pianis Jerman dalam mantel berkarat. Dan semua rumah tampak terkubur debu. Nenek, yang tampak menua, tetapi tetap gemuk dan sederhana seperti biasa, melempar lengannya memeluk Nadya, menyandarkan wajahnya di bahu Nadya dan menangis untuk waktu yang lama. Nadya tidak mampu membebaskan dirinya dari pelukan yang merobek dirinya. Nina Ivanovna tampak jauh lebih tua dan tampak layu, tapi pakaian ketat berenda masih lekat di tubuhnya dan berlian berkedip di jarinya.
“Sayangku..,” katanya, gemetar seluruh tubuhnya, “sayangku!”
Kemudian mereka duduk dan menangis tanpa berbicara. Ini adalah bukti bahwa ibu dan nenek menyadari bahwa masa lalu telah hilang dan pergi, tidak pernah kembali, mereka sekarang tidak memiliki posisi dalam masyarakat, tidak ada prestise seperti sebelumnya, tidak berhak untuk mengundang pengunjung, dan semua itu seperti -ketika di tengah-tengah mudahnya hidup ceroboh, polisi tiba-tiba mendobrak pintu di malam hari dan mencari pencuri, dan ternyata kepala keluarga telah menggelapkan uang atau memalsukan dokumen- dan selamat tinggal kemudahan hidup ceroboh untuk selama-lamanya!
Nadya naik ke atas dan melihat tempat tidur yang sama, jendela yang sama dengan tirai putih naif, dan di luar jendela ada taman yang sama, renta dan berisik, bermandikan sinar matahari. Dia menyentuh meja, duduk dan tenggelam dalam pikiran. Dan dia harus makan malam yang baik dan minum teh kaya krim yang lezat. Tetapi ada sesuatu yang hilang, ada rasa kekosongan di kamar dan langit-langit yang menggantung rendah. Pada malam hari ia pergi tidur, menutupi dirinya dan untuk beberapa alasan, tampaknya dia menjadi lucu terbaring di tempat tidur yang nyaman dan sangat lembut.
Tidak berapa lama kemudian Nina Ivanovna datang, duduk sebagai orang yang merasa bersalah duduk, takut-takut memandang Nadya.
“Nah, katakan padaku, Nadya,” dia bertanya setelah beberapa saat, “kau puas? Cukup puas?”
“Ya, ibu.”
Nina Ivanovna bangun, membuat tanda salib di atas Nadya dan jendela.
“Aku telah beragama, seperti yang kamu lihat,” katanya. “Lagipula aku belajar filsafat sekarang, dan aku selalu berpikir dan berpikir …. Dan bagiku, banyak hal telah menjadi sejelas siang hari. Bagiku, tidak ada yang lebih diperlukan dalam hidup selain bahwa hidup harus terus berjalan seolah-olah kita melewati sebuah prisma.”
“Katakan padaku, ibu, bagaimana kesehatan Nenek?”
“Dia tampak baik-baik saja. Ketika kamu pergi waktu itu dengan Sasha dan telegram darimu datang, Nenek jatuh di lantai saat dia membacanya. Selama tiga hari ia berbaring tanpa bergerak. Setelah itu dia selalu berdoa dan menangis. Tapi sekarang.. dia baik-baik lagi.”
Nina Ivanovna berdiri dan berjalan sekitar ruangan.
“Tik-tok,” ketukan penjaga malam terdengar di kejauhan. “Tik-tok, tik-tok ….”
“Di atas semua yang diperlukan dalam hidup adalah bahwa hidup harus terus berjalan seolah-olah kita melewati sebuah prisma,” katanya, “dengan kata lain, bahwa hidup dalam kesadaran berarti menganalisis hidup menjadi elemen-elemen yang paling sederhana, menjadi tujuh warna utama, dan setiap elemen harus dipelajari secara terpisah.”
Apa yang dikatakan Nina Ivanovna semakin tidak terjangkau dan ketika dia pergi, Nadya tidak mendengar, karena dia sudah tertidur.
Mei berlalu; Juni datang. Nadya sudah terbiasa berada di rumah. Nenek menyibukkan diri dengan Samovar, menghela desah dalam. Di malam hari Nina Ivanovna berbicara tentang filosofi hidupnya dan dia masih saja tinggal di rumah seolah dalam situasi yang buruk, dan harus pergi ke Nenek untuk setiap pengeluaran yang dibutuhkan. Ada banyak lalat di rumah, dan langit-langit tampak menjadi lebih rendah dan lebih rendah. Nenek dan Nina lvanovna tidak lagi keluar jalan-jalan karena takut bertemu Bapa Andrey dan Andrey Andreitch. Nadya berjalan di sekitar taman dan jalan-jalan, melihat pagar abu-abu, dan tampaknya, segala sesuatu di kota itu menjadi tua, ketinggalan zaman dan hanya menunggu hari baik untuk berakhir, atau awal dari sesuatu yang muda dan segar. Oh, andai saja sesuatu yang baru, andai kehidupan yang cerah datang lebih cepat – kehidupan di mana seseorang dapat menatap langsung nasibnya dengan berani, mengetahui bahwa ada sesuatu yang benar, menjadi bahagia dan gratis! Dan cepat atau lambat, kehidupan seperti itu akan datang. Saatnya akan tiba ketika rumah Nenek, yang mana hal-hal begitu diatur, -seperti empat pelayan hanya bisa hidup dalam satu ruang kotor di bawah tanah -. Saatnya akan tiba ketika rumah yang tidak lagi punya jejak tetap dan dilupakan, tidak ada yang akan mengingatnya. Dan satu-satunya hiburan bagi Nadya adalah olok-olok anak-anak sebelah, ketika ia berjalan di kebun, mereka mengetuk pagar dan berteriak: “tunangan, sudah tunangan!”
Surat dari Sasha tiba dari Saratov. Dalam tulisan tangan menari bahagia ia mengatakan kepada mereka bahwa perjalanannya di Volga telah meraih sukses, tetapi dia telah menjadi agak sakit setibanya kembali di Saratov. Ia telah kehilangan suaranya, dan sudah dua minggu terakhir di rumah sakit. Nadya tahu arti semua itu, dan dia mulai kewalahan dengan firasat bahwa sesuatu telah terjadi. Firasat yang menjengkelkan dan pikiran tentang Sasha yang terancam bahaya menjadi begitu banyak, tidak seperti sebelumnya. Nadya merasakan gairah kerinduan pada kehidupan, rindu untuk berada di Petersburg, dan persahabatannya dengan Sasha begitu terasa manis, namun sesuatu tiba-tiba terasa menjauh dan begitu jauh! Dia tidak tidur sepanjang malam, dan di pagi hari duduk di jendela, mendengarkan. Dan pada kenyataannya dia mendengar suara-suara di bawah ruangannya; Nenek, sangat gelisah, bertanya ke sana kemari dengan pertanyaan yang cepat. Kemudian seseorang mulai menangis. Ketika Nadya turun, Nenek berdiri di sudut, berdoa di hadapan gambar suci dan wajahnya penuh air mata. Sebuah telegram tergeletak di meja.
Untuk beberapa saat Nadya mondar-mandir dalam ruangan, mendengarkan tangisan Nenek, kemudian dia mengambil telegram dan membacanya. Telegram yang mengabarkan bahwa pagi sebelumnya Alexandr Timofeitch, atau lebih sederhana, Sasha, diumumkan telah meninggal di Saratov.
Nenek dan Nina lvanovna pergi ke gereja untuk menyiapkan pelayanan berbela sungkawa, sementara Nadya terus berjalan mondar-mandir di kamar dan berpikir. Dengan jelas Nadya mengakui bahwa hidupnya telah berubah total dan berjungkir balik sesuai keinginan Sasha; bahwa -di sini –dia asing, terisolasi, tidak berguna dan bahwa segala sesuatu di sini adalah tidak berguna baginya; bahwa semua masa lalu telah tercabik darinya dan menghilang seolah dibakar dan abunya disebar kepada angin. Dia pergi ke kamar Sasha dan berdiri di sana untuk sementara waktu.
“Selamat tinggal, Sasha Sayang,” pikirnya, dan dalam benaknya, hamparan ketakjuban hidup baru yang lebar, luas, dan -bahwa hidup masih tidak jelas dan penuh misteri-, mengulurkan tangan dan menenggelamkannya.
Dia naik ke lantai atas, ke kamarnya sendiri untuk berkemas, dan pagi berikutnya mengatakan selamat tinggal kepada keluarganya, dan dengan penuh semangat kehidupan ia meninggalkan kota – ke tempat ia seharusnya tinggal selamanya.

Catatan:
koumiss: sejenis minuman hasil fermentasi dan beragi.

Baca Kisah Sebelumnya: Cerita Bersambung: Tunangan (6)

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #3

Cerita Bersambung Martin Siregar

Bagian 3.
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Saling memberi apresiasi terhadap karya sastra khususnya karya Mario Puzo serta mendiskusikannya sepanjang malam adalah alat perekat persahabatan Tigor dan Mikail. Apalagi sehabis nonton film-film Itali bertema spionase, pastilah Tigor sampai harus tidur di rumah Mikail guna memperbincangkan film-film tersebut. Lantas, pada sore hari sehabis kuliah parkir di rumah Susanti menceritakan segala hasil diskusi mereka sambil makan pisang goreng. Susanti akan sangat bahagia apabila Tigor dan Mikail berebut bercerita tentang proses diskusi mereka. Kedua lelaki itu sangat mengasihi Susanti, walaupun dengan intensitas yang berbeda. Dan, secara tidak langsung Susanti merasa ilmu pengetahuannya banyak bertambah akibat diskusi kedua kawan akrabnya yang kutu buku itu.
Bukan, berarti Tigor tidak menghargai suasana pribadi yang perlu dinikmati pasangan Mikail dan Susanti. Pada moment-moment tertentu, Tigor tak hadir dalam perjumpaan mereka. Walaupun tak bisa dipungkiri Mikail selalu kena marah Susanti karena menyediakan malam minggunya untuk Tigor, menomorduakan dirinya sebagai pacar kekasih hati Mikail.

Di pinggir pantai dengan pondok kecil muat dua orang sengaja disediakan penduduk setempat untuk para wisatawan yang ingin pacaran. Sambil makan nasi campur ikan bakar atau digoreng, para wisatawan dapat seenaknya bermesraan tanpa gangguan kiri kanan. Di tempat itulah Mikail dan Susanti menghabiskan malam minggunya 2 bulan yang lalu. Santapan ikan lele bakar yang dicolekan ke sambel pedas ditemani sayur selada mentah kesukaan pasangan ini telah lama habis. Susanti duduk berbaring di pangkuan Mikail yang duduk bersila sambil membelai-belai rambut Susanti. Sementara, Susanti mengelus-elus wajah Mikail dalam kondisi sedang naik birahi. Tak ada buaya yang menolak bangkai. Tak ada lelaki menolak perempuan yang sudah pasrah. Maka, dengan gelora membara Mikail hajar bibir Susanti dengan penuh gairah. Respon Susanti tentulah lebih dahsyat lagi. Tak kedengaran suara mereka selain suara mendengus kesesakan nafas. Aaa..ah…aaa.. Tangan Mikail mulai menjalar ke paha Susanti ketika bibir mereka semakin ganas beradu. Tangan Susanti merangkul erat pinggang Mikail, ketika tangan Mikail sudah meraba celana dalam Susanti dengan penuh nafsu birahi. Tiba – tiba AH!! Mikail setengah teriak, “Aku janji sama Tigor malam ini mau ke rumah Dr Pardomuan.” Mikail bergegas keluar dari pondok kecil menuju motor mereka. Susanti sangat keberatan, “Apa kau bisex? Kan janji dengan Tigor bisa ditunda karena kita dapat suasana yang enak malam ini. Jangan-jangan kaujanji bermesraan dengan Tigor.” Susanti marah besar. Dan sepanjang jalan ngebut digoncengan Mikail, Susanti terus menerus merepet marah besar atas kepanikan Mikail membawa motor.
“Jangan ngebut!” Susanti membentak keras. Tapi Mikail tak perduli, sepeda motor dipacu tetap dengan kecepatan tinggi, kembali menuju kota Rilmafrid.
Akibat insiden itu, cinta yang sedang bersemi antar mereka hampir saja putus. Susanti sangat keberatan terhadap Mikail yang merusak suasana mereka gara-gara Tigor. Bila saja Tigor tidak turun tangan membujuk hati Susanti yang sudah membatu, kisah cinta antar Mikail dan Susanti pasti berakhir. Dan sejak saat itu Tigor tak berani membuat janji dengan Mikail apabila malam minggu tiba.

bersambung…

*)Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Kisah Sebelumnya: Bagian 2

Cerita Bersambung Yang Lain

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #2

Cerita Bersambung Martin Siregar

Bagian 2.
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Bbrrraaakkk …!! Brrraaakkk… !!! pintu kedai tuak Saut Hasudungan ditendang keras preman mabok menggenggam pisau belati jam 3 subuh. “Anjing !!! kemana kausembunyikan adikmu itu.” Bardo, preman pelabuhan, membentak Saut yang baru selesai membereskan kedai tuaknya. Tanpa menjawab, Saut langsung menghujam kepala Bardo dengan parang tajam yang terletak di meja tuak yang baru bubar. Hujanan parang Saut sangat brutal dan histeris sampai 3 kali. Kedua kawan Bardo langsung menggerek Bardo terkulai ke sepeda motor, mereka lari terbirit birit membawa Bardo ke rumah sakit. Depan pintu masuk kedai tuak itu penuh berlumuran tetesan darah kental Bardo. “Nang…cepat bersihkan darah ini.” Saut Hasudungan panggil istrinya. Kemudian dia dengan langkah tenang, wajah tanpa emosi, menuju kamar mandi membersihkan kedua tangan bekas darah hasil membacok Bardo. Tingkah laku seorang god father adalah karakter yang menonjol dalam diri Saut Hasudungan. Resiko belakangan yang penting orang yang bikin persoalan segera dituntaskan.

Ternyata, Tigor terlibat dalam pembakaran pukat harimau bersama nelayan pinggir pantai. Lima orang nelayan yang ditangkap mengaku bahwa perancang pembakaran pukat harimau itu adalah Tigor. Dan, dua hari polisi bersama preman gagal mencari Tigor sejak perisitiwa pembakaran pukat harimau itu. Tak seorang pun tahu.
Tiga hari kemudian pintu rumah Pak Kurus diketuk lembut jam 2 subuh. “Pak…Pak..buka pintu Pak.” Terdengar suara berbisik sayup. “Siapa itu?” Pak Kurus menuju pintu. Rupanya Tigor, naik motor matikan mesin dan berlahan masukkan motor mati lampu. “Aku mau bawa ijazah SMP dan beberapa pakaian. Di sini sudah tak aman. Aku lanjut SMA di Rilmafrid bersama Kak Dameria. Oke ..ya Pak?” Tigor pamit.
“Hati hati kau,” Pak Kurus ucapkan selamat jalan.
Begitulah dinginnya sikap keluarga Pak Kurus menghadapi kasus kriminal yang menimpa keluarga. Saut Hasudungan,Ibu Kurus, Pak Kurus, Rosita Dameria tak repot mengatasi persoalan berat yang dialami Tigor.
Sangat mencolok perbedaannya dengan sikap keluarga kaya raya mapan aristokrat di kota-kota besar. Mereka sudah hidup dengan nikmat bahagia setiap hari, seakan tak kekurangan sesuatu apapun dalam hidupnya. Oleh sebab itu seluruh anggota keluarga akan sangat gampang terganggu oleh masalah-masalah ringan. Mendapat persoalan kecil saja, para keluarga mapan aristokrat itu sudah panik gelagapan. Heboh bukan main. Seluruh energi dikerahkan keluarga untuk mengatasi persoalan sepele. Tidak setenang keluarga Pak Kurus.

Atas bantuan keluarga, Rosita Dameria dengan mudah mendaftarkan adiknya, Tigor, ke SMA Triyatna pinggir kota Rilmafrid. Dan, dengan mudah pula Tigor menyesuaikan diri di sekolah tersebut. Seolah olah tidak ditimpa persoalan serius di Pangkoper. Tapi, keberadaan sekolah Tigor di Pangkoper sangatlah berbeda dengan SMA Triyatna di Rilmafrid. Sengaja Pak Naldo, paman mereka, memilih SMA berkualitas untuk keponakannya dengan harapan agar Tigor tidak bergaul liar lagi seperti di Pangkoper. Harapan keluarga tercapai. Selama tiga tahun menyelesaikan pendidikan SMA Triyatna, Tigor tinggal bersama keluarga Pak Naldo. Segala tata tertib disiplin ketat rumah tangga yang digariskan oleh Pak Naldo dipatuhi dengan baik. Itu makanya Tigor tertempa menjadi anak yang pintar. Dan, lolos seleksi menjadi mahasiswa fakultas hukum Universitas Sandiega di Rilmafrid yang terkenal sangat selektif menerima mahasiswa baru. Guna menghemat biaya transportasi dan agar lebih efisien bergerak, Tigor harus angkat kaki dari rumah Pak Naldo setelah menjadi mahasiswa. Kamar indekos dekat kampus adalah rumah pondokannya.

***
“Mikail Pratama, kau harus kuliah di kota Rilmafrid. Harus di kota ini!” kata sang ayah tegas kepada Mikail Pratama. Mikail Pratama hanya tunduk diam terpaku mendengar titah sang ayah. “Ayah sudah capek menghadapi kau selama SMA. Kalau saja kau lakukan kasus kasus yang sama di kota lain, pasti kau akan dihabisi oleh preman.” Ayah melanjutkan nasihatnya kepada anak tengah mereka Mikail Pratama.
Memang wajar sang ayah berkata begitu. Karena selama SMA, Mikail sudah entah berapa kali diselamatkan oleh ayahnya. Masih 3 bulan duduk di kelas satu SMA, Mikail sudah terlibat penjualan narkoba. Karena polisi masih dengan mudah dapat disogok, maka Mikail tidak jadi dipenjara. Masih kelas satu SMA. Empat bulan setelah kasus penjualan narkoba, Mikail sudah tertangkap lagi dalam kasus pelecehan sexual. Pembantu rumah tangga mereka yang bahenol tiba-tiba hamil. Kembali lagi ayah terpaksa merogoh kantong untuk melarikan si pembantu rumah tangga agar tidak menuntut Mikail. Kasus perkelahian massal antar anak SMA, kebut kebutan di jalan, kasus tabrak lari dan narkoba, terus menerus menghiasi hidup Mikail selama SMA. Padahal 2 orang kakak Mikail dan seorang adik laki-lakinya hidup teratur, sangat santun terhadap kedua orang tuanya.
“Entah kenapa pula si Mikail bisa seperti ini.” Ibu pusing tujuh keliling menghadapi anak laki-lakinya. Rini Anggelina anak sulung keluarga, kakak Mikail, sedang menempuh pendidikan musik di Jerman. Yayuk Astuti anak kedua mendapat bea siswa dari Unversitas Steinbeki Fakultas Antropologi. Sedangkan Mikail Pratama tak akan menjadi mahasiswa apabila sang ayah tidak menyogok dekan Fakultas Ekonomi Universitas Zatingon di kota Rilmafrid.
Sedangkan anak bungsu mereka Jimmi Rocky cerdas layaknya si kakak, Rini Anggelina, tak banyak menyita pikiran keluarga dalam menempuh kehidupan ini.

Keluarga sangat heran melihat perubahan yang mendadak pada diri Mikail setelah menjadi mahasiswa. Sama sekali tidak berminat keluar dari rumah setelah pulang kuliah. Mikail sibuk belajar. Berkurung berlama-lama di dalam kamar membaca pelajaran mata kuliah dan berbagai buku ilmu pengetahuan lainnya. Hingga pada suatu sore Mikail berkata, “Ayah,.. agar aku lebih efisien, lebih baik kendaraanku, mobil ini, diganti saja sama sepeda motror?”
Betapa herannya Ayah mendengar pernyataan Mikail. Karena, status sosial yang tinggi sebagai pejabat elite pemerintahan ada 3 mobil pribadi dan sebuah mobil dinas parkir di garasi mobil mereka. Beberapa kali media massa meributkan kasus korupsi yang menimpa ayah Mikail sebagai pejabat Badan Perancang Pembangunan Nasional. Tapi, tetap saja lolos dari jebakan penjara. Mungkin karena kecerdasannya membagi kue hasil korupsi untuk atasannya di kantor pusat pemerintahan Trieste, membuat beliau tidak pernah menjadi terdakwa di pengadilan.
Sekedar memancing, sang ayah ajukan pertanyaan kepada Mikail,” Ah !! apa kau mau ngebut ngebutan lagi naik motor? Dan, perkuliahanmu berantakan lagi?”
Dengan muka serius Mikail berharap, “tidak..tidak Ayah. Aku menemukan duniaku di fakultas ekonmi. Hanya sekedar agar efisien gerakku setiap hari dan bensin jauh lebih irit”.

Keluarga semakin aneh melihat perubahan Mikail setelah dibelikan motor. Berpakaian necis setiap hari, tidak merokok lagi dan tidak banyak bicara. Dari Jimmi Rokcy, keluarga mendengar informasi tentang keberadaan Mikail. Ternyata Mikail sedang menjalin percintaan dengan Susanti, anak Fakultas Hukum Universitas Sandiega. Mungkin Susanti yang menganjurkan Mikail agar memberhentikan kebiasaan merokok.
“Syukurlah…, sejak SMA kita anjurkan Mikail agar tidak merokok. Tak pernah dihiraukan si Mikail. Nah, sekarang gara-gara pacaran dia berhentikan kebiasaan merokok. Syukurlah.” Si Ibu mengelus dada merasa lega melihat perubahan kongkrit pada diri anaknya, Mikail.
Susanti, anak pengusaha terkenal di Rilmafrid yang sebenarnya adalah kawan dekat ayahnya Mikail. Tapi, hal ini tak pernah terungkap dalam percintaannya dengan Susanti. Mereka sama sama merahasiakan hal ini di hadapan kedua orang tua mereka. Justru, kedekatan hubungan Susanti dengan Tigor kawan sekuliahannya membuat Mikail berkawan akrab dengan Tigor. “Jangan pula kau anggap aku rivalmu merebut hati Susanti ya.. Mikail!” Tigor terus terang kepada Mikail.
“Hua..ha..ha..Kalau kau cinta sama Susanti sudah sejak awal kuhajar kau Hua..ha..ha..,” Mikail hanya berguyon menanggapi Tigor.

bersambung…

*)Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Kisah Sebelumnya: Bagian 1

Cerita Bersambung Yang Lain

Cerita Bersambung: Tunangan (6)

Cerita Anton Chekhov
Alih Bahasa RetakanKata

kasih tak sampai
Ilustrasi dari 3_bp_blogspotdotcom1
Taksi telah datang. Dengan topi di kepala dan mengenakan mantel, Nadya naik ke lantai atas untuk, sekali lagi, menatap ibunya dan barang-barang miliknya. Dia berdiri sejenak di kamarnya, di samping tempat tidurnya yang masih hangat, membayangkan dirinya sendiri sebelum kemudian perlahan-lahan mengalihkan perhatian ke ibunya. Nina Ivanovna masih tertidur, senyaman tidur di kamarnya. Nadya mencium ibunya, merapikan rambutnya, berdiri diam selama beberapa menit kemudian berjalan perlahan-lahan ke bawah. Saat itu hujan lebat. Pengendara taksi dengan penutup kepala terbuka, berdiri di pintu masuk, tersiram hujan.
“Tidak ada ruang untukmu, Nadya,” kata Nenek, yang seperti seorang pelayan sedang membantu majikannya menempatkan barang bawaan Nadya dalam bagasi. “Ide macam apa melihat dia pergi dalam cuaca seperti ini! Lebih baik kamu tinggal di rumah. Betapa penuh kebaikan dalam hujan ini!”
Nadya mencoba mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa. Sasha membantu Nadya masuk ke dalam taksi dan menutupi kakinya dengan karpet. Lalu ia duduk di sampingnya.
“Semoga kalian beruntung, Tuhan memberkati!” Nenek menangis seiring langkah-langkah menjauh. “Pikirkan untuk menulis surat kepada kami dari Moskow, Sasha!”
“Ya Nek, selamat tinggal.”
“Semoga Ratu Surga menjaga kalian!”
“Oh, cuaca macam apa ini!” kata Sasha pula.
Inilah saatnya Nadya mulai menangis. Sekarang jelas baginya bahwa dia pasti pergi, meski sulit dipercaya ketika ia mengatakan selamat tinggal kepada Nenek, dan ketika ia melihat ibunya.
Selamat tinggal kota! Dan dia tiba-tiba teringat semuanya: Andrey dan ayahnya, rumah baru dan wanita telanjang dengan vas. Semua itu tidak lagi menakutkannya dan tidak lagi menjadi beban, selain tampak naif dan sepele serta semakin tertinggal jauh. Dan ketika mereka masuk ke gerbong kereta api dan kereta mulai bergerak, semua masa lalu yang begitu besar dan serius, menyusut menjadi sesuatu yang kecil, dan masa depan yang lebar besar, yang hingga saat itu hampir tidak diperhatikan mulai membentang di depannya. Hujan menimbulkan bunyi gemeratak di jendela kereta. Tidak ada yang bisa dilihat selain ladang hijau, telegram dengan gambar burung melintasi kabel. Dan sukacita membuatnya menahan napas, dia berpikir tentang kebebasan, berpikir tentang belajar, dan ini adalah seperti apa yang seharusnya dilakukan di usianya yang lalu, terpanggil sebagai Cossack merdeka.
Nadya tertawa dan menangis dan berdoa sekaligus.
“Semua akan baik-baik saja,” kata Sasha, tersenyum. “Ini baik-baik saja.”

bersambung…

Baca cerita sebelumnya Cerita Bersambung: Tunangan (5)

Torsa Sian Tano Rilmafrid*

Cerita Bersambung Martin Siregar

Bagian 1.
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Tigor memang sudah sangat acap hidup dalam kondisi yang menegangkan. Anak polisi yang tinggal di pinggir pantai penuh dengan berbagai kasus kriminal penyelundupan barang antar Negara, menempa dirinya bermental baja keras tidak cengeng. Bapaknya termasuk polisi bermoral. Tidak seperti kawan-kawan sejawatnya. Walaupun polisi berpangkat rendah, tapi bisa saja hidup mewah sejahtera kaya raya, karena dengan gampang menawarkan diri menjadi pelindung para toke-toke penyelundup yang memasukan barang ilegal dari Melano ke negara Trieste. Bapak Tigor hidup seadanya, tidak mau jadi kaki tangan penyelundup hingga sering dituduh oleh sejawat maupun keluarganya sendiri dengan sebutan : Bapak Sok Moralis. Ia sama sekali tidak tergiur ikut dalam kancah kaki tangan penyelundupan antar negara.
Ketika abang sulung Tigor tamat dari SMA, secara mendadak Bapaknya minta pensiun dini. “Lebih baik aku berladang menanam semangka dan mangga golek, daripada sekantor dengan manusia manusia bejat di kantor polisi busuk itu” kata Pak Kurus. Maka sejak Tigor SMP kelas 2 catur wulan 2 tahun 1975, di tanah leluhur Pak Kurus, bapak kandung Tigor menghabiskan hari-harinya bersama istri tercinta. Bertani seperti ketika mereka masih muda.
Tentulah pelabuhan bebas Pangkoper harus menciptakan kondisi kota yang mampu memfasilitasi kebutuhan para pelaku berbagai jaringan penyelundupan. Seluruh kota penuh sesak dengan tempat-tempat hiburan semarak kegemerlapan malam, ramai gadis penghibur para pelaku bisnis penyelundupan. Tempat semua pihak yang terlibat bercokol setiap malam melakukan transaksi sambil menikmati hiburan. Mulai dari preman kelas kambing peminum tuak murah sampai kelas mafia kaliber puluhan milyar, tentara dan polisi pangkat rendah sampai ke tingkat perwira tinggi berkeliaran memenuhi seluruh sudut kota Pangkoper.
Kota Pangkoper semakin semarak lagi, karena di kota yang sama itu para nelayan penangkap ikan dalam jumlah besar juga melakukan transaksi. Paling sedikit setiap bulan terjadi pembunuhan sesama nelayan dan pembakaran pukat harimau oleh nelayan tradisonil. Berbagai asal usul daerah tempat tinggal nelayan berkecamuk hiruk pikuk di tengah laut saling sikut menyikut berlomba menangkap ikan.
Oleh sebab itu dengan mudah ditebak, bahwa Pangkoper pastilah sebuah kehidupan kota yang penuh dengan kasus-kasus kekerasan kriminal sadistis. Demi untuk menyelamatkan barang selundupan mobil mewah, elektronika, narkoba, sampai dengan penyelundupan mainan anak-anak berharga murah, adalah penyebab utama dari pertikaian antar anak manusia sepanjang waktu di kota Pangkoper.
Saut Hasudungan, abang sulung Tigor, memang ditawarkan Pak Kurus untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Tapi, sebagai tindakan protes terhadap bapak kandungnya yang sok moralis itu, Saut Hasudungan lebih memilih sebagai pengusaha kedai tuak. Walaupun dia sadar, kehidupannya kelak kemudian hari pasti lebih sejahtera apabila menerima tawaran bapaknya masuk ke perguruan tinggi.
Sedangkan adiknya, Rosita Dameria, tamat SMA tahun 1977 kebetulan berotak encer dengan senang hati menyambut tawaran bapaknya untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di ibukota propinsi Rilmafrid. Sebuah perguruan tinggi ternama di negara Trieste. Anak bungsu keluarga itu adalah Tigor, sama sekali tidak tertarik dengan pola hidup kedua orang tuanya yang menghabiskan waktu bercocok tanam sepanjang hari.
Tapi, walaupun begitu, moral bapaknya yang dituduh sok moralis, secara utuh lengket di dalam jiwa Tigor. Tigor tidak merokok apalagi minum minuman keras berpesta pora narkoba seperti kawan-kawan sebayanya. Kegemarannya sepulang sekolah adalah ngobrol dengan para nelayan di rumah gubuk pinggir pantai. Melalui dialog intens, Tigor dengan tekun menguras segala informasi tentang kehidupan para nelayan yang miskin papa sengsara. Dan, ikut menghujat pejabat negara yang terus menerus melindungi pukat harimau dan segala bentuk penyelundupan di pelabuhan bebas Pangkoper tempat Tigor dilahirkan. Kebiasaan Tigor berikutnya adalah membaca novel. Seluruh novel karangan Mario Fuzo bertema intelijen dan kehidupan mafia Italia sudah habis digarapnya.

bersambung…

*)Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’