Arsip Tag: tertawa

Setapak Jejak Tukang Kebun

Puisi John Kuan

jejak
gambar dari http://gaedegambarist.blogspot.com

I
Lalu sampai di atas tebing tertutup bunga

matahari, berbaring, kejutkan seekor chukar
lebih awal tiba, kutunjuk gunung jauh berkata
pesona awan, lihat mata air menetes
Dengar! Suara pohon ditebang.

Kita dengar sepanjang hari pohon roboh

musim sedang dimulai, hutan berbenah hijau
Siapa akan melewati istana megah, melewati sejuta
pilar Romawi Kuno dan pedang dan tombak?
Melihat serigala gunung menjelma, lalu jadi manusia
mengarungi lautan ke tepi pantai kuning emas
——— agar sendiri ada sedikit nostalgia
ketika arus pasang berbuih datang

Kau pun tertawa, katamu, namun kita hanya

berbaring di sini, di atas tebing tertutup bunga
matahari, dan hanya bisa menerka bagaimana tenang
menjadi tua, mata air menetes, lewati bebatuan
cadas, di sini kita hidup api, berburu, basuh badan
mendengar suara pohon roboh di jauh

II

Buka pintu kuil, terperanjat warnamu

gunung dan ngarai, setetes telaga memantul
genta tua ketuk selaput waktu, dan aku hanya
seorang kelana putus dawai, suka nyanyi
kisah di malam sebelum benteng runtuh
kereta kuda melesat ke tepi sungai api kemah

Kita kadang juga berbincang sampai ombak laut

prajurit-prajurit gugur di tanah jauh, zirah menyimpan
dingin dataran tinggi, ujung baju melekat biji-biji gandum
kening pecah cahaya dan hampa, siapakah di malam
sebelum benteng runtuh berdoa? Siapakah tangan
melingkar seuntai japamala? Siapakah berselimut jubah
takdir membaca sutra? Sudah berapa kaki
dari permukaan laut, kau bertanya
rambut kacau bahu bergetar

Lain kali bertemu kau lagi, semestinya di kota tua

tropis, saat itu sudah dataran rendah, jangan sebab tiada cinta
duduk di atas kursi rotan di sisi akuarium ikan mas
cuma bicara tentang angin kabut England
selat, lampu, tiang layar, dan arah angin
Lain kali bertemu kau lagi, singkirkan musim hujan
kota kecil, biarkan matahari jemur kolam air mancur
jalanan, bangku taman, kaleng bir, elang berputar

Puisi-puisi Ragil Koentjorodjati #5

1. Ketika Malam
 
Cinta-cinta bersandar,
di gigir bening,

sungai cintamu.

mengalir,
begitu hening.

2. Kita mencinta, seperti tak mencinta

Lama,
seperti selamanya.
-tanpa kata, -tanpa bicara.

Diam ini,
terlalu dalam, -teramat dalam.
hingga batas, -tanpa batas.
-tanpa henti, -tanpa tepi.

Letihmu lelah,
lelahku letih.
Kita mencinta, seperti tak mencinta.

Teronggok bagai batubatu,
yang tenggelam makin dalam.
-dalam diam, -dalam dalam.

Diam ini, seperti selamanya.

gambar diunduh dari http://ismimei.files.wordpress.com
gambar diunduh dari http://ismimei.files.wordpress.com

3. Perahu Kertas

Seharusnya kita tidak terkejut,
bila musim hujan datang sedikit lebih cepat,
atau sedikit lebih lambat.
Perahu kita akan mengapung,
begitu hening, begitu tenang,

Dua atau tiga nelayan cukup membuat bahagia,
seorang memancing nila, yang lain menyiapkan penggorengan,
masa bodoh dengan semua hal yang tidak masuk akal.
Dari balik jendela bambu, kita bahagia bersama mereka.
Biasanya engkau tidak tahan untuk tidak campur tangan,

Sungai menggelora, menerabas akar bunga bakung,
air tumpah ruah,
Nelayanmu menangis, engkau pun menangis,
Perahu kita kandas,
kembali terurai menampilkan harga makanan yang tak mampu kita beli.
Lain waktu, itu mengajarimu melipat daun pisang membuat payung.

: kita buat satu lagi, kataku

Kita tertawa, memayungi perahu dan nelayan kita,
menyusuri sungai entah sejauh apa,
begitu mudahnya lapar terlupa,
begitu sulitnya bertahan pada bahagia.

Hujan yang datang sedikit lebih cepat, atau sedikit lebih lambat,
Tidak pernah mengejutkan hati yang bahagia.