Arsip Kategori: Resensi

Bersahabat dengan Dunia Sekitar

Resensi Film – RetakanKata

kemah kepanduan
gambar diunduh dari wikipedia

Ingin tontonan yang menghibur sekaligus mendidik? Daddy Day Camp barangkali cocok menjadi teman Anda menikmati saat rehat di rumah bersama keluarga. Film yang disutradarai Fred Savage ini mengangkat tema pendidikan anak yang dikemas dalam film komedi. Film berdurasi 90 menit ini dipenuhi adegan kocak juga menggelikan. Lucunya lagi, film produksi TriStar Picture ini tercatat masuk dalam film box office dengan pendapatan lebih dari $ 19 juta dan menggondol banyak penghargaan antara lain aktor terburuk, sutradara terburuk, gambar terburuk dan skenario terburuk. Nah lho?
Adalah Charlie Hinton, seorang pengusaha tempat pengasuhan anak, berencana untuk mengisi liburan musim panas bagi anak tunggalnya. Bincang-bincang dengan sahabatnya, Phil, mereka sekeluarga akhirnya sepakat untuk mengirim anak-anak mereka ke perkemahan musim panas. Pada dasarnya Charlie tidak setuju anaknya dilepas di alam. Selain karena pengalaman buruk masa kecilnya saat berkemah, ia tidak menyukai anak tanpa perlindungan di alam terbuka. Mendidik anak bukan berarti harus melepas anak berhadapan dengan bahaya, begitu pendapatnya.
Pendapat tersebut tentu ada benarnya. Namun di sisi lain, seorang anak juga harus dididik untuk mandiri serta bersosialisasi. Kemah pada liburan musim panas adalah saat yang tepat untuk mengajak anak bersosialisasi sekaligus menempa anak untuk tidak menjadi sosok individualis. Hal itulah yang dingin ditanamkan oleh Buck Hinton, sang Kakek, dan Kim Hinton, istri Charlie.
Perdebatan tidak terlalu lama. Kesepakatan harus dijalankan. Sebagai seorang ayah, ia tidak ingin memberi contoh buruk pada anaknya, Ben Hinton. Maka berangkatlah Charlie dan Phil ke tempat perkemahan Driftwood, tempat di mana Charlie kecil berkemah. Alangkah terkejut mereka ketika mendapati Camp Driftwood sudah tidak aktif lagi, tergerus camp baru milik Warner yang menawarkan berbagai permainan modern di alam semacam balap mobil. Dan Warner sedang berencana untuk menghancurkan Camp Driftwood. Uncle Morty, pemilik Camp Driftwood, sudah kehabisan dana untuk mempertahankan bumi perkemahannya. Semua hancur terbengkalai dan tempat pendidikan kepanduan itu tidak memiliki harapan lagi. Situasi bertambah panas ketika Charlie mengetahui bahwa Warner adalah anak yang mengalahkannya pada Olimpiade antar Camp. Terbakar emosi, Charlie justeru beralih rencana mengambil alih kepemilikan Camp Driftwood.
Kekonyolan demi kekonyolan terjadi. Niat baik Charlie menolong Uncle Morty membuahkan kesulitan di kemudian hari. Uncle Morty tidak memberitahunya jika Camp Driftwood telah dijadikan jaminan hutang yang hampir jatuh tempo. JIka hutag tidak dapat dilunasi, maka maka seluruh harta Charlie akan dilelang sebagai pelunasan hutang. Dengan negosiasi yang alot, akhirnya Charlie diberi perjanjian: jika dapat mendatangkan 30 anak pada perkemahan musim panas, seluruh harta termasuk Camp Drifwood tidak akan disita.
Posisi Charlie semakin terjepit. Untung istrinya, Kim Hinton, dengan penuh totalitas mendukung usaha-usaha Charlie meskipun sang suami tampak seperti pengecut. Kim meminta bantuan Buck untuk menghidupkan Camp Driftwood sebab hanya itu satu-satunya cara menyelamatkan diri dari kehancuran keluarga. Cerita semakin menarik ketika usaha Buck dan Charlie mendapat gangguan sabotase dari Warner. Siapa yang akan menang, tentu sangat mudah ditebak.
Sebagai film ringan bagi remaja dan anak-anak, film ini juga patut ditonton orang tua. Kekonyolan dan komedi sebagai pemikat pemirsa muda, mengandung pesan-pesan moral yang dapat dicerna jika anak menonton didampingi orang tua. Nilai-nilai integritas, kekompakan sebuah tim, mengakui kelebihan dan kelemahan diri sendiri dan orang lain yang ditunjukkan selama berada di bumi perkemahan adalah pesan-pesan yang membutuhkan penjelasan dari orang tua. Dirilis tahun 2007, film ini tetap relevan untuk masyarakat Indonesia yang tengah gandrung dengan gadget dan minim pendidikan kepanduan.

kemah kepanduan
gambar diunduh dari wikipedia

Judul Film: Daddy Day Camp
Sutradara: Fred Savage
Bintang: Cuba Gooding, Jr., Lochlyn Munro, Richard Gant, Tamala Jones
Distribusi: TriStar Picture
Release: Agustus 2007
Durasi: 93 menit
 
 
Artikel Resensi Lain:
witchblade
Sang Penebus
Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba
Kisah Seorang Putri Naga
Menyerukan Kembali Pentingnya Ijtihad

BAH!

Resensi Anggie Maharani

Ini adalah buku ketiga Martin Siregar. Buku pertama “Istriku” Kumpulan Cerpen Unkonvensionilm Jilid I (2003)”, langsung laris manis habis terjual. Buku terbit atas dukungan program kerjasama Ikatan Penerbit (IKAPI) Kalbar dengan Ford Foundation. Terbitnya buku ini mendorong Martin Siregar semakin mencintai kegiatan menulis. Sempat rutin menulis opini dan komentar pada surat kabar Suaka Pontianak tahun 2004. Dan selalu menulis makalah, refleksi, fiksi dan mencicil cerpen tuk diterbitkan. Sebenarnya naskah cerpen sudah tuntas naik cetak 2005. Tapi buku:”Kawan Kentalku Bason” Kumpulan Cerpen Unkonvensinil Jilid II, baru dapat diterbitkan tahun 2007 atas dukungan Members of The Camp Connection Medan. Buku kedua punya nasib yang sama dengan buku pertama. Laris manis laku terjual lewat gaya jual perkawanan model indi.Hadirnya facebook membuat Martin Siregar semakin terpacu, Sangat produkti menulis fiksi opini renungan yang disebarluaskan di kalangan perkawanan facebook. Naskah buku:”Kumpulan Renungan Singkat Unkonvensinil”. Sebenarnya sudah bisa diterbitkan tahun 2010. Kembali lagi Martin Siregar mengalami hambatan untuk menerbitkan buku ini. Dan, atas dukungan “gerombolan unkonvensinil” (**)buku ini terbit september 2012.

Diawali kata penghantar dari Pay Jarot Sujarwo Pontianak dan Jemie Simatupang Medan (keduanya perwakilan gerombolan unkonvensionil), buku langsung membahas Wacana Unkonvensionil yang sampai sekarang belum terformulasi dengan baik dan benar. Bab II Bertutur tentang:”Dunia Tulis Menulis”. Pada kesempatan ini Martin Siregar mengaku bahwa sejak zaman dahulu kala dihimbau untuk menulis. Tapi dia tidak memperdulikan dan baru bertobat mulai giat menulis ketika berumur 41 tahun, Nilai filosofi menulis, kegagalan membentuk kelompok, serta perdebatan hal ikwal unkonvensinil dipaparkan pada Bab II

Setelah itu Martin Siregar memberikan tinjauan kritis mengenai kehidupan ummat beragama. Kemunafikan, dan penyimpangan dogmatika/teologia agama ditelanjangi Martin Siregar pada …Bab III:”Perspektif Teologia”. Buku ini mengalir lancar karena pada Bab IV”Aku dan Kehidupan” menceritakan konflik bathin maupun kisah manis sejarah linear kehidupannya menyusuri garis matahari. Banyak pesan yang bisa memandu pembaca menghadapi kehidupan yang pincang. Selanjutnya Bab V:”Kisah Tentang Kawan Kawan” Realitas kehidupan sehari hari, kepincangan sosial, sosok sahabat muda yang kerja untuk perubahan sosial, pergumulan dalam gerakan sosial, dikupas tuntas pada bab ini.

Buku diakhiri dengan Bab VI:”Lampiran”.Jemie Simatupang menceritakan pengalaman Martin Siregar mengorganeser kelompok anak pedesaan korban Tsunami di Meulaboh Aceh Barat. Selanjutnya, cerita tentang keunikan yang dirasakan Budi Rahman melihat karakter bohemian acuh tak acuh sahabat tuanya Martin Siregar. Muchin cerita soal gaya Martin Siregar desak dan terror orang agar selalu menulis dengan gaya hasut PKI. Iphiet Safitri Rayuni kawan muda Martin Siregar ikut menulis. Semula Iphit pikir orang gendut Martin Siregar adalah kaki tangan intelijen yang nyusup ke aksi mahasiswa (1998). Tapi pada akhirnya mereka berkawan akrab saling curhat walaupun berjauhan. Pada lampiran ada juga tulisan kawan lama Martin Siregar. Yayak Yatmaka (sekaligus ilutrator dan cover buku ini) kartunis dan buron orde baru yang sampai sekarang masih membandel Hua…ha…ha.., menuliskan kesan tentang kawan kentalnya Martin Siregar.

Yah,..Buku ini berenergi menuntun kita semakin tajam melihat realitas kehidupan, walau dengan bahasa yang ringan santai. Tapi, memberi pesan yang sangat mendalam.

(**) Gerombolan Unkonvensionil: Merupakan kelompok kecil yang terus menerus mempertebal kecintaan terhadap kegiatan menulis dan usaha menerbitkan buku. Tidak patuh terhadap tata bahasa baku bahasa Indonesia. Lebih tertarik mempergunakan bahasa yang gampang dimengerti daripada bahasa Indoensia yang baik dan benar. Selalu bertutur tentang hiruk pikuk kehidupan sehari hari sebagai sarana menjernihkan mata hati sidang pembaca. Dan, berharap dapat memberi konstribusi untuk perubahan sosial dalam arti sesungguhnya.

Judul: BAH! :Kumpulan Renungan Singkat Unkonvensionil
Karya Tulis : Martin Siregar
Design Cover dan ilustrasi gambar : Yayak Yatmaka
Lay out : Pay Jarot Sujarwo
Tebal : xvi + 294 Halaman

*)Anggie Maharani adalah Pemerhati sastra Sanggau Kalbar.

Catatan:

Harga Eceran: Rp.70.000 (belum termasuk ongkos kirim di luar pontianak)
Transfer No. Rekening :

Bank Mandiri Sanggau 146 – 00 – 0652365 – 3 atas nama Martin Siregar
atau
Bank BCA no rekening: 0291465781 atas nama PY. Djarot Sujarwo

Bagi pemesan di luar pontianak, yang berminat membeli ongkos kirim 20.000 rupiah. dan jika sudah transfer, harap alamat pengiriman dikirim ke inbox Pay Jarot Sujarwo atau Martin Siregar, atau SMS ke 085750568003 atau 081256918507

Kehidupan dalam Bingkai Kesederhanaan

Resensi Riza Fitroh K*)

“Pergilah ke mana kau harus pergi, tapi jangan sampai keadaan mendesakmu untuk melakukan apa pun yang sedang kau lakukan. Kau harus melakukannya karena kau memang memutuskan untuk itu. Jangan biarkan orang lain mendikte jalan hidupmu.”

            
syafii maarifSyafii tumbuh menjadi salah satu anak Muhammadiyah yang siap mengabdi dimanapun demi tanah airnya. Dengan berbekal kesederhanaan dan kemauan yang teguh, ia mampu melewati setiap rintangan yang didepannya. Karier pertama dimulai dengan menjadi guru sekolah dasar di Lombok Timur. Namun kerinduan yang terpendam selama 5 tahun kembali membawanya ke kampung halamannya di Sumpur Kudus.

Kesejukan alami dan keasrian yang belum terjamah teknologi modern menjadi daya tarik tersendiri bagi Lombok. Sesaat Pi’i-nama panggilan syafii- merasa berada di tempat kelahirannya kembali. Di lombok dia mengajar sekolah dasar dengan 4 kelas yang dikelompokkan berdasarkan umur dan mereka akan masuk kelas dengan bergantian. Dengan segera syafii menyukai murid-muridnya yang berwajah polos. Saat menatap wajah merek, ia bertekad, bahwa beberapa dari wajah mereka yang dilihatnya ini harus melanjutkan pelajaran ke sekolah yang lebih tinggi, mencencang awan, meraih langit.

Dua bulan berjuang sendirian dipulai ini, mencoba mencintai ilmu pasti yang tak disukainya. Pi’i tak menghiraukan kehidupan sosialnyam ia tak memperhatikan ketika beberapa wanita di desa itu meliriknya dan berusaha menarik perhatian sang guru alim tampan ini. Ia berkonsentrasi pada apa yang harus dikerjakannya, dan ia melakukannya dengan sepenuh hati.

Ditengah konsentrasinya di daerah perantauan, ditengah semangatnya para muridnya, tataannya jatuh pada munaris, sang orator cilik. Munaris maju kedepan dengan penuh percaya diri dengan wajah berseri-seri, muli berbicara mengenai penerapan islam dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan apa yang diperintahkan dalam Alquran selama di sekolah dan di rumah. Itulah gambaran semangat anak didik Pi’i saat lomba pidato.

Sebelas bulan kebersamaannya dengan masyarakat Kampung Pohgading menjadi purna, dan Syafii mulai mengalami pa yang dirasakan santoso-teman seperjuangannya yang telah pulang ke kampung halaman-. Kerindun akan kampung halamannya terasa dahsyat, tempatnya dibesarkan dan membuai diri dalam kelembutan kasih sayang. Ia mengabarkan kepulangannya kepada Pak halifah, saudagar kaya di padang, untuk mengabarkan bahwa ia akan menginap di tempatnya selama sehari sebelum melanjutkan perjalanannya e Sumpur Kudus.

Bulan Maret 1957 Syafii menatap laut luas didepannya. Dua puluh dua tahun sudah terlewati dengan hampir lima tahun merantau, akhirnya ia pulang ke kampungnya. Setelah kapal lautna berlabuh, ia menuju rumah pak halifah dengan menenteng keranjang bawang merah. Sesampainya dirumah Pak Halifah yang kelak menjadi keluarganya, ia disambut dengan hangat oleh keluarga saudagar kaya itu. Tingkah laku Nurkhalifah gadis 13 tahun, putri ketig Sarialam -lip sapaannya- yang sangat lugu tak membuat Syafii berpikir panjang. Tidak ada yang dipikirkan dalam benaknya saat itu, bahwa wanita itu akan memainkan bagian penting dalam hidup Syafii.

Taun 1958. Perjuangan rakyat Sumatra barat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dilakukan dalam pemahaman mereka yang bertentangan dengan Presiden Soekarno, di bawah pimpinan Letkol Ahmad Husein semakin panas, dan akhirnya terputuslah hubungan para perantau Minang di Jawa dengan kampung halaman mereka. Saat itu Syafii berusia du puluh tiga tahun. Pertama-tama yang dilakukan adalah berpikir untuk melanjutkan sekolah tingkat enam Mua’limin Yogyakarta. Syafii berembuk dengan teman-temannya yang bernasib sama mereka semua masih ingin melanjutkan pendidikan dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti kelas persiapan masuk Universitas Tjokroaminoto.

Di Surakarta ini Syafii bersama Masiak, Hamid dan Talman menyewa sebuah tempat indekos mahasiswa. Untuk berhemat mereka menawarkan untuk menolong tante Nani sang pemilik kos, dengan memotong kebun setiap minggu dan mengepel lantai kos setiap pagi demi mendapatkan sewa kamar kos yang lebih murah.

Langkah pertama yang mereka lakukan adalah mendaftar di Universita Tjokroaminoto. Mereka tidak menemui banya kesulitan. Kelas persiapan yang diselenggarakan adalah persyaratan dan berfungsi hanya sebagai jembatan agar mereka dapat masuk ke universitas. Langkah berikutnya adalah berusaha menyambung nyawa agar tetap bernapas di bumi, khususnya di Surakarta: mencari pekerjaan.

Syafii menjadi pengajar mengaji bagi Saidah, gadis lim belas tahun yang menaruh harapan pada Syafii, Ia putri pak Lenggogeni seorang juragan kerajinan Surakarta. Yang sebelumnya ia menganggap bahwa dia akan mengajar anak laki-laki. Syafii merasa janggal harus mengajari seorang perempuan. Ia bukan seseorang yang anti kesetaraan gender. Hanya saja, ia sering merasa canggung berhadapan dengan wanita. Selama ini ia selalu bergaul dengan laki-laki.

Syafii mengambil pendidikan di kelas persiapan dan menenpuh ujian. Ia yakin telah mengerjakan ujiannya dengan baik. Tante nani sedang duduk-duduk di depan rumah dan melihat kedatangan Syafii dengan wajah serius. Dan keadaan ini membuat Tante Nani menyapanya. Dari perbincangan keduannya, akhirnya Syafii memperoleh pekerjaan baru setelah purna mengajar saidah yang tak terpikirkan lagi olehnya. Ia bekerja pada juragan tukang besi namanya Dalga. Beberapa bulan berlalu dan Syafii diangkat menjadi mandor, ia bertahan hidup, namun kuliahnya tidak.

Hidup sebagai perantauan membuat Syafii memegang prinsip bahwa prinsip hidup memang tidak boleh mudah dipatahkan. Dan kerinduan akan kampung halaman pun kembali dirasakannya. Payakumbuh, 1962, diseberang sana Etek Bainah sedang memikirkan keadaan Pi’i, dissampingnya ada Ismael Rusyid, keduannya terlibat perbincangan serius akan Pi’i. Perbincngan mengenai sebuah perjodohan antara Pi’i dan Lip, gadis lincah yang ditemuinya saat singgah di rumah saudagar kaya di Padang, pak halifah.

Bagi Syafii sekolah bukan saja menjanjikan sebuah pekerjaan yang lebih baik di masa depan., namun ia merasa bahwa berpengetahuaan sebanyak-banyaknya adalah sesuatu yang harus dilaksanakannya. Syafii dijodohkan dengan Lip, ia sosok wanita berjiwa sosial meski hidup dalam kecukupan yang lebih. Ia menyadari dirinya sangat pencemburu, bahkan apabila ada hal kecil yang kurang beralasan pun, ia dapat menjadi cemburu.

 Setelah itu Syafii harus kembali ke Surakarta, sejak ssat itu ula kabar tak sedap tentang Syafii terdengar ditelinga sang tunangan-Lip-. Dikabarkan Syafii telah memiliki satu anak, dan hal ini membuat Lip kian bersedih setelah kepergiann Sarialam-Ibundanya-. Syafii mengisi hari-harinya dengan kuliah, membaca di perpustakaan, menulis skripsi, pergi ke Pasar Pon naik kereta menuju Baturetno untuk mengajar di STPN, mengajar di sekolah Surakarta, dan satu kegiatan lagi: menulis surat pada Lip, menceritakan apa yang dilakukannya, menceritakan buah pikirannya, menceritakan perjuangannya.

Sumatra Barat, 5 februari 1965, sebuah catatan penting dalam kehidupan Syafii terukir pada hari itu dalam sebuah relief hidup yang berwujud akad nikah. Syafii Maarif, berdiri dengan gagah, memakai pakaian yang didominasi warna hitam dengan taburan sulaman emas dan kain songket bertaburan emas dengan ornamen khas Padang dan keris, menandatangani akad nikahnya. Disana Lip telah menunggu kedatangannya, wanita yang disandingkan menjadi istrinya itu memiliki sebuah aura kuat dan ketegasan yang tidak mudah ditaklukkan yang membuatnya merasa tertantang.

Syafii kembali merantau dengan membawa istrinya, meninggalakan kehidupan nyaman yang selama ini dijalani Lip. Diperantauan dari hari ke hari Lip makin gelisah, ia merasa tidak nyaman terus-terusan berada di kontrakan suaminya ditambah dengan kecemburuannya pada suaminya ini. Akhirnya Syafii memutuskan untuk mengambil program doktoralnya di FKIS-IKIP Yogya.

Dalam perjalanannya memasuki program doktoral di FKIS-IKIP tak semudah yang dibayangkan. Ia harus berhadapan dekan pembantu dekan FKIS-IKIP, Drs. Lafran Pane, yang merupakan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dengan pertolongan beberapa orang mulia yang menemaninya maupun memberikan surat rekomendasi. Hingga akhirnya ia dapat diterima dengan bantuan Onga Sanusi Pane, seseorang yang membawanya ke tanah rantau pertama kali.

Sementara untuk biaya kuliahnya, Syafii menerima bantuan dari halifah. Di kotagede, Syafii menghabiskan waktu dengan menimba ilmu dari Profesor Kahar. Ia juga melakukan dialog agama dan intelektual dengannya. Seiring dengan berjalannya waktu, Syafii sering diminta menjadi khatib di masjid Kotagede dan masjid Perak-tempat alm. Kiai Amir, yang pernah menjadi majelis tarjih PP Muhammadiyah.

Tahun 1965 menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Syafii dan Lip, mereka akan memiliki buah hati dalam beberapa saat lagi. Bagi Syafii kelahiran adalah sebuah anugerah yang datang dalam kemasan kebahagiaan, harapan, dan konsekuensi.

30 september 1965, terjadi peristiwa G30S/PKI yang juga merupakan puncak peristiwa yang menuntun pada pergantian Soekarno sebagi presiden pada Soeharto. Pada waktu itu terjadi berbagai kejadiaan besar yang mengguncangkan tatanan negara. Kehidupan ekonomi masyarakat, termasuk kehidupan ekonomi Syafii dan Lip mengalami ujian yang berat, dan Syafii pun terbelenggu dengan keadaanya-tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan calon ayah, lagi pula ia masih kuliah. Kesulitan ekonomi sedang mengalami masa puncak.

Syafii tidak dapat banyak berperan bagi masyarakatnya dan berbela rasa karena kantong pertahanannya pun sedang menipis. Kekuatannya sebagai seorang laki-laki, kepala keluarga, dan cendekiawan sedang diuji dan dengan merangkak, menyeret berbagai beban berat di pundaknya, ia berusaha terus bertahan. Ia menyimak dan berkomentar dengan aktif di kampung, namun tidak dapat sampai turut berjuang kecuali secara konsep, bahwa ia memeras otak dan keringat ersama rakyat kecil yang juga berpayah lelah mengisi perutnya-berjuang untuk sekadar bertahan hidup.

Pada awal tahun 1966 terjadi demonstrasi di mana-mana. Tuntutan Tritura (Tri tuntutan Rakyat) meminta pemerintah membubarkan PKI, membersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan menurunkan harga dan meningkatkan perbaikan ekonomi. Sementara itu perut Lip mulai membesar. Akhirnya, pada bulan Maret 1966, saat Syafii baru pulang dari tempat kuliah, ia melihat Lip mengejag kesakitan sambil memegang perutnya. Dengan keringat mengalir deras, Syafii berlari untuk memanggil becak, kemudiaan menggotong istrinya ke Pusat Kesehatan muhammadiyah.

Anak pertama mereka bernama Salman, seorang anak yang tampan dan manis sekali. Syafii dan Lip menyadari akan kesehatan yang memburuk pada putra pertamanya ini, hingga akhirnya Lip memutuskan untuk mebawa Salaman ke Padang, agar memperoleh perawatan yang lebih baik sembari menunggu keadaan syafii membaik.

Pada saat anak dan istrinya berada di padang, syafii diangkat menjadi pegawai negeri dengan jabatan asisten Perguruan tinggi dengan gaji 868 rupiah sebulan, dan ia diberi tugas mengajar Sejarah indonesia kuni, dan Sejarah Islam pada Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah UII (Universitas Islam Indonesia).

Kehidupannya mulai lancar dan kini Syafii mulai dapat menabung untuk anak dan istriya. Pada awal bulan Februari 1967, ia mengetahui bahwa mereka baik-baik saja, karena Lip mengirimnya paket dengan catatan dari Lip. Pertengahan semester, Syafii bermaksud menjemput Lip dan anaknya, namun niat itu diurungkan sampai tutup semester. Hingga akhirnya menjelang akhir tahun, saat itu musim penghujan yang dingin. Tiba-tiba Syafii menerima telefon dari Lip dengan nada sendu di kantor Suara Muhammadiyah, ia meminta untuk dijemput, ia akan menyusulnya kembali.

Syafii pun merasakan kerinduan yang memuncak pada keluarganya. Sudah waktunya mereka kembali bersama. Tabungannya sudah cukup memadai dan universitas sedang libur semester. Hal pertama yang dilihatnya di pelabuhan setelah kapalnya merapat adalah istrinya yang memakai pakaian hitam. Hati syafii langsung memberikan tanda bahaya. Sesuatu telah terjadi. Namun ia tak melihat kedatangan lip dengan buah hatinya. Ismael yang menemani Lip menyatakan bahwa anaknya sudah lemah, ia meninggal tanggal 21 november 1967. Begitu pilunya hati Syafii yang belum sempat melihat dan merawatnya kembali. Terselip dalam dirinya sebuah kesakitan yang melebihi sebuah penghakiman yang ingin dijatuhkan orang padanya.

 Buih-buih ombak mencium pantai kemudian berlalu dalam rangkaiaan waktu dan irama music sendu mengiring langkah-langkah berat perjuangan hidup yang bagai tak kunjung lalu…..

Ia merintih pilu, merasa paku menusuk kalbu, dan mendakwa hati yang menjadi kelu…..

Namun nurani itu tahu……..

Sebuah kejujuran hati dan imannya pada sang Illahi mengerti… dan memberinya kekuatan untuk bangkit berdiri…..

sekalipun dalam sepi,

syafii maarifJudul buku: Si Anak Panah (BERDASAKAN KISAH BUYA SYAFII MAARIF)
Penulis: Damien Dematra
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Harga : Rp. 50.000
Tahun: 2010
Tebal: 260 halaman
ISBN: 978-979-22-5812-7

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi Semester IV Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba

Resensi Thomas Utomo

IKHTISAR
Selama ini, Orang Rimba atau suku-suku yang hidup di pedalaman kerapkali diidentikkan sebagai kumpulan manusia yang barbar, primitif, biadab, bodoh, dan sederet labeling negatif lainnya. Permukiman yang jauh di pedalaman, seolah-olah membenarkan stigma yang telanjur melekat bahwa mereka antiperubahan dan mengisolasi diri dari perkembangan zaman yang semakin modern. Hal inilah yang memunculkan rentangan jarak yang terlampau jauh antara Orang Rimba dengan Orang Terang—orang-orang yang bermukim di luar pedalaman. Di satu sisi, Orang Rimba bersikap apriori dan menganggap Orang Terang sebagai perusak alam, penipu, pembawa malapetaka dan kutukan. Di sisi lain, seperti tidak ada upaya dari Orang Terang untuk membantu memberdayakan Orang Rimba yang semakin termarginalkan oleh arus zaman yang semakin kompetitif dan terus bergerak. Kesan yang justru muncul, terjadi semacam pembiaran, terutama oleh para birokrat, agar Orang Rimba tetap bodoh dan terbelakang, sehingga mudah dibohongi, seperti saat terjadi transaksi jual-beli hasil hutan, perjanjian batas wilayah, tata kelola hutan, dan pembalakan liar.
Butet Manurung, seorang gadis Batak lulusan FISIP UNPAD, merasa tergugah untuk berkontribusi memberdayakan Orang Rimba melalui jalur pendidikan. Mula-mula, ia bekerja pada WARSI (Warung Informasi Konservasi) sebagai fasilitator pendidikan bagi Orang Rimba di Cagar Biosfer Bukit Duabelas (sekarang Taman Nasional Bukit Duabelas). Sebagaimana pepatah tak ada laut yang tak bergejolak, begitu pula yang dialami Butet dalam upayanya membelajarkan Orang Rimba. Ia dituduh sebagai misionaris, pembawa malapetaka dan kutukan, diintimidasi cukong pembalakan, mengalami malnutrisi, bahkan nyaris dibunuh oleh seorang perempuan rimba karena dicurigai hendak merebut suaminya. Butet sempat bimbang akan tantangan pekerjaan yang dengan sadar dipilihnya sendiri. Lebih-lebih karena tekanan ibunya yang menginginkan ia keluar dari pekerjaan yang dianggap aneh dan tidak menjanjikan masa depan. Namun seperti kata Leonardo da Vinci, “Rintangan tak dapat menghancurkanku.  Setiap rintangan akan menyerah pada ketetapan hati yang kukuh,” Butet akhirnya sadar dan percaya, inilah jalan yang Tuhan tunjukkan kepadanya untuk berbuat, untuk berjuang.
Agar dapat memahami karakter Orang Rimba dan mendapat kepercayaan mereka, ia menolak tinggal di tenda atau pondok yang disediakan WARSI. Ia lebih memilih tinggal bersama Orang Rimba dan memakan apa pun yang mereka suguhkan, termasuk daging yang lazimnya diharamkan oleh Orang Terang. Rupanya, keputusan Butet tersebut menjadi jalan pembuka kepercayaan dari Orang Rimba.
Berbeda dengan Yusak—fasilitator pendidikan WARSI sebelumnya, yang meninggal karena malaria, Butet tidak menawarkan pendidikan kepada Orang Rimba. Sebaliknya, ia berbuat sedemikian rupa agar Orang Rimbalah yang memintanya memberikan pendidikan. Misalnya, saat Orang Rimba tengah menyanyikan 30 baris lagu rimba, Butet merekamnya dalam tape recorder, kemudian mencatatnya. Ketika ia dengan mudah melafalkan lagu rimba sambil membaca catatannya, Orang Rimba terheran-heran dan bertanya, bagaimana ia bisa begitu mudah melakukannya, sementara ia baru saja mendengarkan lagu rimba tersebut? Butet pun bersenang hati menjelaskan fungsi tape recorder dan menulis. Kali lain, Butet menggambar aneka binatang hutan dan memberi keterangan dengan bahasa rimba di bawahnya. Atau memamerkan buku cergam dan dongeng untuk anak-anak, yang kemudian diamati secara kagum dan antusias oleh Orang Rimba. Hal itu yang terus disusul kesempatan-kesempatan lain, semakin menumbuhkan minat Orang Rimba, utamanya anak-anak, untuk mempelajari hal-hal yang menurut mereka menakjubkan. Namun, Butet tetap bergeming, diam menunggu, hingga akhirnya mereka berujar, “Ibu, beri kami sekolah!”
Tidak mudah membelajarkan Orang Rimba. Awalnya, proses KBM dilakukan di rumah transmigran asal Jawa yang bermukim di luar pedalaman Bukit Duabelas. Hal ini disengaja demi menghindari kemarahan orang-orang tua rimba yang masih saja beranggapan pendidikan akan mengubah adat atau agama mereka dan mendatangkan malapetaka.
Seiring berjalannya waktu, jumlah siswa Butet semakin bertambah.  Beruntung, ia akhirnya diperbolehkan mengajar di dalam hutan setelah orang-orang tua rimba yakin, bahwa pendidikan tidak akan mengubah adat atau agama mereka, sebaliknya justru akan membantu mereka dalam bekerja. Contohnya, mereka akan bisa menghitung juga mengalikan jumlah uang yang seharusnya didapat dari menjual hasil hutan, sehingga mereka tidak dapat ditipu lagi oleh Orang Terang, seperti pada tempo-tempo yang lampau.
Dari para siswa yang mula-mula, Butet lalu memilih dua di antaranya yang dirasa paling pandai, ialah Linca dan Gentar, yang didaulat menjadi asistennya dalam mengajar. Mereka bertiga kemudian berpindah dari satu rombong (kelompok) ke rombong lain di pedalaman Bukit Duabelas untuk memenuhi panggilan mengajar di banyak tempat. Dalam perjalanan itulah, Butet menemui berbagai pengalaman menarik, misalnya terkait pembelajaran calistung: meskipun beberapa Orang Rimba mengaku sudah paham mengenai angka dan operasi hitung, namun saat dihadapkan pada soal operasi hitung bersusun, mereka kerap salah mengerjakan, seperti ini:
18
25 +
313
Rupanya mereka mengerjakan operasi hitung dari kiri ke kanan seperti saat menulis atau membaca huruf. Juga, kebiasaan Orang Rimba yang mengucapkan kata dengan huruf akhir S menjadi Y, dan sebaliknya. Contoh, kata “BAS” akan dibaca “BAY”, sementara kata “BAY” dibaca “BAS”.
Selama bekerja pada WARSI, Butet mendapat gaji Rp 500.000,00 per bulan. Dengan gaji yang begitu kecil, toh ia tetap bertahan, lantaran kecintaannya pada orang-orang rimba yang sudah mendarah-daging. Namun setelah hampir empat tahun bekerja, ia semakin sadar, ternyata WARSI hanya menjadikan Orang Rimba sebagai obyek penelitian semata. Prioritas utama WARSI ialah konservasi hutan, dengan mengesampingkan sama sekali peran Orang Rimba sebagai penghuni dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pedalaman Bukit Duabelas. Kekecewaan ini, ditambah kekecewaan-kekecewaan lain akibat kebijakan WARSI yang lebih kerap merugikan Orang Rimba, akhirnya membuat Butet memutuskan hengkang dari WARSI. Bersama teman-teman satu pemahaman dan cita-cita, ia kemudian mendirikan SOKOLA; Kelompok Pendidikan Alternatif bagi Masyarakat Adat.
Masalah baru timbul; pendirian SOKOLA tidak didukung pendanaan yang memadai. Para pendiri SOKOLA pun berpencaran, sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sempat didera putus asa, Butet berusaha melupakan cita-citanya melanjutkan sokola (sekolah) bagi orang-orang rimba. Namun, seperti kata Paulo Coelho, “Kalau kamu sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, maka seluruh alam akan menolongmu!”  Pada Maret 2004, ia mendapat penghargaan Woman of the Year dari Anteve (ANTV) atas kiprahnya memberdayakan Orang Rimba di pedalaman Bukit Duabelas, Jambi melalui jalur pendidikan. Hadiahnya uang sebesar Rp 20.000.000,00. Dengan uang itu ditambah dana lain dari sebuah yayasan, ia dan teman-teman kembali berkumpul dan bisa melanjutkan cita-cita yang sempat tertunda.
Pada 13 April 2005, SOKOLA dilegalkan dengan akta notaris dengan status perkumpulan.  Sampai sekarang SOKOLA masih eksis dan terus berkembang merambah daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Aceh, Flores, Makassar, Maluku, dan Bulukumba.

TEKNIK PENULISAN
Sokola Rimba secara karakter dapat disebut memoar bernuansa diary, yang digarap sedemikian rupa dengan tetap mempertimbangkan latar yang kuat serta plot maju yang rapi. Sudut pandang yang digunakan adalah akuan, yaitu penulis sebagai narator yang bersenyawa dengan isi tuturan. Gaya bahasanya santai dan segar, yang sekaligus merepresentasikan pikiran dan kepribadian sang penulis.

KEUNGGULAN
Oleh karena dituturkan tangan pertama, artinya penulis sebagai orang yang mengalami dan menyaksikan langsung, maka isi buku sangat meyakinkan. Lebih-lebih karena bahasa yang digunakan penulis cenderung denotatif, santai, segar, dan tidak berbelit-belit. Dalam hal ini, pembaca akan dapat menebak bahwa penulis bukanlah tipikal perempuan sentimentil yang gemar merumitkan masalah dan mengungkapkan isi hati secara mendayu-dayu. Sebaliknya, pembaca akan menemukan sisi maskulinitas seorang perempuan yang lebih suka menyikapi masalah secara sederhana dan mengedepankan akal sehat.
Hal lain yang patut dipuji adalah penyuntingannya yang rapi dan teliti. Dari halaman muka sampai akhir buku, nyaris tidak ditemukan salah ketik atau pun susunan bahasa yang janggal—meskipun bahasa yang digunakan adalah semibaku.
Yang lebih menarik, buku yang dicetak menggunakan kertas HVS ini, dilengkapi dengan 25 foto berwarna mengenai aktivitas SOKOLA (termasuk foto profil penulis) hasil dokumentasi SOKOLA dan pihak-pihak lain. Juga dua peta lokasi rombong dan ladang Orang Rimba, dokumentasi WARSI. Kesemuanya amat menarik pandang.

KANDUNGAN NILAI
Dikaitkan dengan fungsi buku bagi pembacanya, Sokola Rimba mengandung sejumlah nilai berharga seperti; Pertama, nilai spiritual. Setelah membaca Sokola Rimba, pembaca akan memperoleh informasi yang memberikan kepuasan batin, seperti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan; perlukah Orang Rimba beragama, akankah pendidikan mengubah adat-istiadat dan keyakinan mereka, bagaimana pandangan Orang Rimba mengenai modernisasi, dan sebagainya lagi.
Kedua, nilai pendidikan. Sokola Rimba merupakan rekam jejak pengalaman Butet Manurung belajar bersama Orang Rimba, karena itulah buku ini sangat layak dibaca oleh calon guru, guru, atau siapa pun yang tertarik dengan masalah pendidikan. Dengan membaca Sokola Rimba, pembaca akan mengetahui tantangan KBM di dalam rimba, kendala-kendalanya, hambatan peserta didik saat mengikuti proses KBM, rintangan-rintangan yang justru datang dari birokrat, dan sebagainya lagi. Melalui pengalaman membaca tersebut, pembaca akan mendapat informasi yang mencerahkan, yang memberikan gagasan atau inspirasi mengenai bagaimana baiknya pendidikan itu.

SUBSTANSI
Budaya Orang Rimba
Kelompok Orang Rimba tersebar di kawasan hutan Bukit Duabelas yang memiliki luas lebih dari 60.000 hektar. Nama Bukit Duabelas, sama sekali tidak berkaitan dengan jumlah bukit yang ada di hutan. Hanya yang jelas, hutan ini merupakan barisan bukit yang oleh Orang Rimba disebut setali bukit. Hutan ini meliputi tiga kabupaten di Propinsi Jambi, yaitu Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Muaro Tebo, dan Kabupaten Sarolangun.
Menurut survei WARSI pada tahun 1997, populasi Orang Rimba di pedalaman Bukit Duabelas sebanyak 1.300 jiwa, yang terbagi dalam 11 rombong (kelompok), yang masing-masing rombong dipimpin oleh temenggung (kepala kelompok). Tiap rombong terdiri dari sejumlah bubung (keluarga), yang kemudian dapat terbagi menjadi beberapa pesaken (rumahtangga). Biasanya tiap rombong disebut berdasarkan nama sungai besar di dekat tempat mereka bermukim.
Meskipun kepala rombong dijabat laki-laki, namun sistem yang dianut oleh Orang Rimba adalah matriarkat, yakni istri mempunyai kedudukan lebih tinggi dalam rumahtangga. Istri berhak memerintah, bahkan menghardik suami, sementara suami tidak diperbolehkan membantah, apalagi marah. Sedari kecil mula, laki-laki dididik untuk mengekang hawa nafsu—apa pun bentuknya.  Sebaliknya hal ini tidak berlaku bagi perempuan. Orang Rimba lebih suka memiliki anak perempuan daripada anak laki-laki, karena sebegitu menikah, anak laki-laki harus tinggal di rumah keluarga istrinya dan tidak boleh meninggalkan rumah lebih dari enam hari. Namun begitu, laki-laki diperbolehkan melakukan poligini dan mengumpulkan istri-istrinya di bawah satu atap.
Di antara tradisi yang dianut Orang Rimba adalah melangun, yaitu berkelana meninggalkan tempat tinggal karena ada anggota rombong atau kerabat yang meninggal. Tujuannya untuk melupakan kesedihan, membuang sial, atau menghindari kutukan. Waktu melangun bisa berkisar enam bulan sampai tujuh tahun, tergantung seberapa besar pengaruh orang yang meninggal semasa masih hidup.
Secara umum, Orang Rimba amat teguh menganut adat-istiadat. Mereka percaya pelanggaran terhadap adat-istiadat akan mendatangkan malapetaka dan kutukan dari dewa-dewa yang bersemayam di bebukitan. Oleh karena itulah, mereka membatasi pergaulan dengan Orang Terang, sebab mereka meyakini pergaulan dengan Orang Terang akan mempengaruhi dan mengacak-acak adat-istiadat mereka, yang selanjutnya mendatangkan kemurkaan dewa-dewa. Selain percaya kepada yang Mahatinggi yang mereka sebut dewa, mereka juga percaya akan keberadaan jin dan setan, yang kesemuanya diyakini bersemayam di bebukitan.
Pakaian Orang Rimba, baik laki-laki maupun perempuan adalah cawat. Namun akibat interaksi dengan Orang Terang yang mau tidak mau tidak dapat terhindarkan, sekarang ini tidak sedikit Orang Rimba yang mengenakan celana, kaos, atau kemeja dalam keseharian. Akan tetapi, tradisi tidak mengenakan penutup payudara bagi perempuan yang sudah menikah masih tetap dilakukan. Ini semata-mata demi efektivitas kegiatan menyusui bayi yang lahir hampir setiap tahun.
Seperti kebanyakan manusia di belahan dunia lain, Orang Rimba juga menyukai sastra, dalam hal ini ialah syair atau pantun (lisan). Kegiatan bersyair biasa dilakukan kapan pun dalam suasana macam apa pun, seperti malam hari, hendak memanjat pohon, mengobati orang sakit, dan merayu perempuan.
Tradisi bahasa Orang Rimba adalah bahasa lisan. Setelah adanya sokola, barulah mereka mengenal dan mengetahui bahasa tulis, juga bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan.
Sebenarnya, bahasa rimba yang digunakan di pedalaman Bukit Duabelas, hampir serupa dengan bahasa Melayu-Indonesia. Barangkali karena letak Propinsi Jambi yang berada tepat di sebelah selatan Propinsi Riau, daerah asal-muasal bahasa Indonesia. Jadi meskipun pergaulan dengan Orang Terang terbatas, diyakini pastilah ada pengaruh tertentu dari Orang Terang kepada Orang Rimba. Menariknya, dalam percakapan menggunakan bahasa rimba yang terdokumentasikan dalam buku ini, ditemukan sejumlah bahasa atau kata yang mirip bahasa Jawa. Sebut sebagai contoh: dulur, bae, dan seketi.  Dalam bahasa rimba, kata dulur berarti saudara. Kemungkinan besar kata ini berasal dari bahasa Jawa ngoko (atau mungkin bahasa rimbalah yang mempengaruhi bahasa Jawa), yaitu sedulur, yang juga memiliki arti serupa. Begitu juga kata bae dan seketi, yang masing-masing berarti saja dan sakti, baik dalam bahasa rimba maupun bahasa Jawa.
Matapencaharian Orang Rimba adalah berburu dan berladang. Hanya sejumlah kecil dari komunitas Orang Rimba yang menjadi kaki-tangan cukong pembalakan. Masalahnya, Orang Rimba membuka ladang baru dengan cara membakar hutan terlebih dahulu. Sementara pembalakan yang terjadi semakin menggila, tanpa mengindahkan keseimbangan alam. Orang Rimba yang tidak memiliki kemampuan baca-tulis tidak mampu berbuat banyak menghadapi pembalakan tersebut. Akibatnya, keberadaan Orang Rimba semakin terdesak masuk ke dalam hutan.

Pandangan Orang Rimba terhadap Orang Terang
Secara umum, Orang Rimba memandang buruk Orang Terang. Menurut mereka, Orang Terang adalah penipu, perusak alam, pembawa wabah penyakit, atau pembawa sial. Itulah sebabnya Orang Rimba membatasi interaksi dengan Orang Terang.  Hal ini dapat dimengerti. Dari pengalaman interaksi dengan Orang Terang, kerapkali Orang Rimba nyata-nyata ditipu Orang Terang, tetapi sayangnya mereka tidak bisa membuktikan penipuan tersebut, karena ketidakmampuan mereka dalam hal baca-tulis.
Pandangan Orang Terang terhadap Orang Rimba
Orang Terang memiliki sebutan tersendiri bagi Orang Rimba ialah Orang Kubu, yang berarti bodoh, kotor, primitif, kafir, atau arti lain yang senada. Sebenarnya kata ini berasal dari bahasa Orang Rimba itu sendiri, yang justru dipakai oleh Orang Terang untuk mencemooh identitas Orang Rimba. Ditambah lagi, para wartawan yang meliput aktivitas Orang Rimba, kerapkali melakukan pemberitaan secara keliru. Gambaran Orang Rimba yang diekspos kepada dunia luar seringkali adalah gambaran atas kehidupan pesimis Orang Rimba, bahwa Orang Rimba itu patut dikasihani, karena tersiksa dengan tekanan dunia luar terhadap hutannya. Jarang sekali ditampilkan sudut optimis Orang Rimba seperti keceriaannya, keberdayaannya, atau kearifan budayanya.  Padahal segi-segi positif itu ada. Image pesimis yang selama ini diberitakan media, akhirnya membuat Orang Rimba jadi ikut mengasihani dirinya sendiri. Orang Rimba seakan-akan digiring agar mereka mengakui “kepesimisan” mereka. Sebaliknya, orang luar yang mengaku peduli dan ingin menolong, justru membuat Orang Rimba tampak lebih tidak berdaya lagi. Jadi tidak aneh bila kemudian Orang Rimba menjadi terpengaruh dan hanya berharap uluran bantuan dari pihak luar saja, tanpa adanya keinginan memberdayakan diri sendiri.

Orang Rimba dan Perubahan Zaman
Pada bulan Agustus tahun 2000, Cagar Biosfer Bukit Duabelas diubah statusnya menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas. Luas area yang semula 32.000 hektar, kini berubah menjadi 60.500 hektar. Namun sebenarnya, perubahan status dan luas area itu tidak memberi pengaruh yang berarti bagi peningkatan kualitas hutan, karena kenyataannya luas area yang dimaksud lebih merupakan luasan batas patok saja.
Menurut penelitian, kerusakan hutan di Indonesia adalah sekitar 3.800.000 hektar per tahun. Diperkirakan, setiap harinya ada beribu-ribu buldoser yang beroperasi secara ilegal, padahal satu buldoser bisa menghabiskan 30 pohon besar.  Belum lagi pembalakan pohon-pohon secara ilegal dengan menggunakan gergaji chain-saw.
Hal itulah yang barangkali membuat WARSI—sebagai LSM lokal yang berkedudukan di Jambi—merasa ikut bertanggung jawab untuk mengkonservasi hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas yang semakin lama semakin gundul.  Salah satu caranya dengan mengampanyekan habitat Orang Rimba yang terancam, dengan mengundang para wartawan media cetak dan televisi untuk meliput aktivitas keseharian Orang Rimba dan keadaan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas. Sayangnya, liputan tersebut didramatisasi sedemikian rupa, sehingga merupakan artifisial belaka. Orang Rimba dan Butet Manurung dipaksa untuk melakonkan adegan-adegan bahkan dialog-dialog yang telah diskenariokan wartawan dengan pihak WARSI, tanpa meminta persetujuan atau pendapat Orang Rimba dan fasilitator pendidikan terlebih dahulu. Kali lain, WARSI membawa sejumlah Orang Rimba  ke sana ke mari menemui pihak-pihak yang dianggap mampu memberi pengaruh untuk mendukung kebijakan atas Bukit Duabelas. Kendati demikian, dalam pertemuan-pertemuan tersebut, Orang Rimba seakan-akan hanya menjadi pajangan saja, karena tidak diberi kesempatan guna mengutarakan kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri.
Di sisi lain, dalam keadaan permukian Orang Rimba yang semakin memprihatinkan, Orang Terang menawarkan konsep hidup di luar hutan dengan agama baru dan nafkah dari hasil kebun kelapa sawit kepada Orang Rimba. Tentu saja perkebunan kelapa sawit tersebut akan menggunakan lahan milik Orang Rimba itu sendiri.
Berkat bujukan tersebut, semakin banyak saja Orang Rimba yang dengan rela hati menjual ladang-ladang mereka kepada Orang Terang. Hasilnya penjualan tersebut mereka gunakan untuk membeli sepedamotor, yang ternyata dibeli hanya untuk dielus dan dipandangi saja, karena mereka tidak bisa mengendarainya. Orang Rimba tidak sadar bahwa sebenarnya mereka hanya menjadi obyek, baik obyek penelitian atau obyek bagi kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik.

Pendidikan bagi Orang Rimba
Pendidikan menjadi solusi utama untuk memperoleh keterampilan guna menghadapi realitas sosial dan perubahan zaman. Dengan adanya pendidikan, Orang Rimba akan bisa memberdayakan dirinya sendiri. Mereka akan mampu mewakili diri serta menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri, tanpa perlu bantuan pihak lain di luar mereka sebagai perantara. Dengan pendidikan pula, Orang Rimba akan dapat memosisikan dirinya di tengah persoalan yang menderanya, serta bisa mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang matang, sehingga mereka tidak akan mengalami penipuan oleh pihak luar.

KESIMPULAN
Pendidikan adalah solusi utama untuk memberdayakan Orang Rimba. Tentu saja pendidikan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan, adat-istiadat, keadaan masyarakat, dan kondisi lingkungan tempat tinggal Orang Rimba. Mengenai konservasi hutan, Orang Rimba merupakan bagian tidak terpisahan dari hutan itu sendiri. Dengan pendidikan, Orang Rimba akan bisa menjadi subyek bagi konservasi hutan, karena merekalah yang lebih tahu keadaan dan kebutuhan hutan yang sesungguhnya daripada orang di luar hutan.
Juga dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Orang Rimba tentu berlainan dengan kebudayaan Orang Terang, sebagimana kebudayaan antardaerah di Indonesia yang juga berlainan. Perbedaan tersebut tidak perlu diseragamkan, karena justru akan membunuh kemajemukan budaya nasional Indonesia. Kebudayaan Orang Terang sebaiknya bukan menjadi teladan, tapi menjadi perbandingan. Kebudayaan Orang Rimba sudah bagus begitu untuk dilanjutkan dan dikembangkan. Kalau pun ada kekeliruan atau kekurangan dalam Orang Rimba, sepatutnya Orang Terang tidak menjadikannya sebagai sasaran cemoohan apalagi penipuan, melainkan perlu melakukan pendekatan persuasif agar kehidupan Orang Rimba semakin berkembang ke arah yang lebih baik.

Judul   :  Sokola Rimba
Penulis:  Butet Manurung
Editor:  Dodi Yuniar
Penerbit:  INSIST Press, Yogyakarta
Ukuran:  15×21 cm
Tebal:  xvi+252 halaman
ISBN:  979-3457-83-X
Harga:  Rp 38.000,00

*Thomas Utomo bekerja sebagai guru SD Laboratorium Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Tulisan-tulisannya dimuat di Annida, Suara Muhammadiyah, Radar Banyumas, Nikah, Fatawa, dll. E-mail totokutomo@ymail.com. Telepon (0281) 5730489.

Sejarah “Kuasa” dan “Makna” Pakaian

Resensi Arif Saifudin Yudistira*)

inda citranindaSejarah pakaian muncul sejak manusia Indonesia mengenal budaya menenun. Dengan masuknya budaya menenun di era neolitikum itulah manusia Indonesia mengenali cara menutup tubuh mereka. Sebagaimana kita mengetahui, manusia Indonesia di masa itu, memandang pakaian masih sebagai satu pelindung dari luar seperti panas, dingin, dan lain sebagainya (I made seraya 1980-1981:16). Di masa lalu, cara berpakaian nenek moyang kita pun seperti tak jauh berbeda dengan kita, mereka menutupi tubuh mereka dengan pakaian untuk menunjukkan kelebihan dan status sosial mereka.

Pakaian memiliki sakralitas tersendiri bagi kaum bangsawan, istana, yang itu berlaku hingga saat ini. Pakaian dikhususkan, tidak boleh sembarangan kawula desa atau rakyat memakai pakaian para raja atau kaum bangsawan. Kuasa “pakaian” ini menunjukkan identitas hingga kini, misalnya ketika kita jumpai pakaian kebesaran di keraton-keraton dan bangsawan di Yogyakarta dan di Solo. Pakaian mereka memiliki ciri khusus, seperti aksesoris, ikat pinggang, penutup kepala dari emas, hingga tongkat. Dari sanalah kita mengetahui pakaian di kalangan kerajaan atau bangsawan memiliki fungsinya sendiri baik pada upacara resmi keraton, upacara yang sifatnya kerakyatan, dan upacara-upacara lainnya. Nuansa etis dan sistem keraton yang ketat dalam tata budaya dan sistem adat ini barangkali bisa dilacak sebagai simbolisasi kuasa keraton yang mengadopsi nilai-nilai barat dan eropa yang dipadukan dengan nilai-nilai jawa. Kita bisa menemui ini pada kesaksian perempuan jawa yang ada di buku “Prajurit Perempuan Jawa”(2011).

Melalui buku busana jawa kuna ini, Inda Citraninda menunjukkan kepada kita, bahwa kita memiliki khasanah budaya dan kekayaan arkeologi yang begitu tinggi di dalam artefak-artefak peradaban kita. Kita bisa menemui ini pada candi misalnya, Inda Citraninda membuka mata kita semua, bahwa simbolisasi, kuasa, dan fungsi pakaian yang melekat pada tubuh tak sekadar berfungsi sebagai penutup tubuh semata melainkan memiliki implikasi pada bagaimana strata atau kelas sosial itu muncul. Penelitian ini tak hanya memberikan sumbangsih penting bagaimana membaca masa lalu nenek moyang kita yang ada pada relief candi Borobudur, tetapi juga sebagai pijakan bagaimana membaca fenomena pakaian di manusia modern. Hal ini tampak pada bagaimana lingkungan istana kita memakai pakaian yang bermiliar-miliar rupiah untuk upacara resmi kenegaraan hingga pakaian sehari-hari. Melalui harga dan bentuk pakaian kenegaraan itulah, ternyata negara atau dalam hal ini pemerintah masih memakai logika kuno di negeri ini yang dulu dipakai nenek moyang kita. Pakaian seorang raja mesti berbeda dengan kawula, pakaian seorang rakyat jelata harus beda dengan pakaian presidennya.

Antara Kuasa dan Keadaban

Kita mengenali pakaian di masa kini pun menjadi mode dan industri yang menjanjikan. Kelas sosial, gengsi, hingga eksistensi pun muncul, bahkan kini pakaian seperti menjadi budaya popular yang kerap membawa kontroversi dan polemik. Pakaian pun dimanfaatkan oleh dunia hiburan dan dunia kapitalisas modern untuk menyihir anak-anak muda kita ikut dan tak berdaya di mata trend, mode dan model pakaian yang dipakai para selebriti kita. Pakaian pun seperti semakin jelas menunjukkan sebagai alat untuk meningkatkan popularitas dan ketenaran para selebriti kita. Dengan gaya pakaian terbaru, pakaian “sexy” mereka menyihir dan membentuk opini publik melalui tayangan gosip, infotainment dan sebagainya. Pakaian di dunia modern pun seperti tak menunjukkan keadaban kita.

Inda Citraninda mengulas bagaimana pakaian dalam relief karmawibhangga di bagian bawah candi Borobudur. Pakaian dalam relief karmawibhangga menunjukkan berbagai kelas sosial yang ada. Kelas pekerja, kawula desa, hingga pakaian dewa-dewi. Pakaian di relief itu pun menunjukkan bahwa peradaban manusia di masa itu tak memandang pakaian yang ringkas sederhana sebagai unsur dari pornografi sebagaimana sekarang ini. Pakaian sederhana dan ringkas difahami sebagai fakta sejarah dan fungsi pakaian. Tapi justru di masa itulah, kelas sosial sudah mulai melekat pada identitas pakaian yang mereka pakai.

Kini, dunia modern barangkali perlu bercermin pada kajian Inda Citraninda, bahwa pakaian dan tubuh tak semestinya dijadikan eksploitasi dan objek dari media, kamera, hingga budaya patriarchal melalui stereotype “pornografi”. Sebab di masa lalu, kita memahami dan mengenali pakaian wanita yang sederhana dan menampakkan payudara dan bagian atas mereka dengan kondisi yang biasa dan sewajarnya. Selain itu, kajian Inda Citraninda “Busana Jawa Kuna” ini setidaknya memberikan satu pandangan jelas kepada kita semua pada makna dan kuasa pakaian.

Kuasa dan makna pakaian sebagai simbol status sosial itu sudah ada sejak jaman jawa kuno sebagaimana yang diungkap Pigeaud ada empat kelas sosial di masa itu yakni kaum penguasa, agama, orang biasa dan budak (Th.Pigeaud,1958:195). Sejarah kuasa dan makna pakaian di negeri ini pun sudah begitu lama, ia menunjukkan perkembangannya hingga kini. Buku ini setidaknya memberikan satu simpulan besar, bahwa pakaian adalah identitas, kelas-sosial yang melalui uang dan harga itulah pakaian menunjukkan kuasanya pada kita semua.

inda citranindaJudul buku                             : Busana Jawa Kuno
Penulis                                     : Indra Citraninda Noerhadi
Penerbit                                   : Komunitas Bambu
Hal                                            : 120 halaman
ISBN                                         : 978-602-9402-16-2
Harga                                      : Rp 50.000,00
Tahun                                      : Juli, 2012

*)Penulis adalah Mahasiswa UMS, Pegiat Bilik Literasi Solo

Sebuah Alasan Mengapa (Kita) Harus Menulis

Resensi Riza Fitroh Kurniasih

“Syarat untuk menjadi penulis ada tiga,
yaitu menulis, menulis, menulis.” (Kuntowijoyo)

eko prasetyoBuku yang masih begitu segar untuk dinikmati, sebuah buku motivasi karangan Eko Prasetyo. Cocok bagi para pemula yang sedang terjun dalam dunia tulis menulis ataupun bagi mereka yang telah sukses berkarir di dunia tulis menulis untuk tetap berkarya.

Menulis sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan hal ini sudah dilakukan oleh nenek moyang kita jauh sebelum mengenal buku dan alat tulis. Menjadi pertanda bahwa aktivitas menulis bukanlah hal yang baru, dan menulis pun dapat dimulai dengan apa saja yang ada di depan kita.

Buku dengan judul Kekuatan Pena ini terbagi menjadi 3 (tiga) bagian utama, yaitu; Catatan Pertama: Meretas Motivasi, Catatan kedua: Budaya Baca, dan Catatan ketiga: Suksesor. Pembagian subtema menjadi tiga bagian menjadikan pembaca lebih mudah dalam mengikuti alur yang dimunculkan.

Pada Bagian Pertama mengulas seputar bagaimana motivasi untuk memulai dalam menulis. Pemunculan realita yang dialami oleh beberapa pemula juga dimunculkan di dalam bagian ini, sehingga diharapkan para pembaca termotivasi untuk memulai menuliskan apa saja yang kita rasakan. Dalam buku ini dikisahkan bahwa seorang pelacur pun juga menulis, baginya menulis merupakan lahan yang potensial untuk digarap. Lebih dari itu menulis juga tidak harus identik dengan pendidikan yang tinggi. Segudang manfaat diperoleh dari kegiatan menulis ini, baik menulis opini maupun karangan sejenisnya. Menulis sebagai upaya membebaskan ide yang kita miliki.

Tak perlu berkecil hati ketika tulisan kita belum dimuat. Dengan tidak termuatnya tulisan tersebut kita mempunyai kesempatan untuk melihat dan membaca ulang tulisan kita. Mengoreksi dan berkonsultasi kepada yang lebih berpengalaman untuk perbaikan tulisan. Ketrampilan menulis menjadi indikasi kemajuan sebuah bangsa yang terpelajar. Menulis menjadi sarana untuk mencatat/merekam ssebuah peristiwa bersejarah, meyakinkan akan sebuah fakta, memberitahukan akan sebuah informasi dan mempengaruhi demi sebuah cita-cita. Hal ini hanya dapat terwujud dengan baik jika seseorang dapat menyusun dan mengutarakan pikirannya dengan jelas.

Dalam sebuah tulisan dengan judul “Menjaring Ide”, terdapat sebuah pesan yang mengungkapkan “kalau kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Untuk mampu menyusun dan mengutarakan pikirannya dengan jelas hal utama yang paling penting adalah menjaring ide. Seorang yang berprofesi sebagai jurnalis dituntut untuk selalu mengembangkan kreatifitasnya, ide tidak oleh kering.

Eko Prasetyo menyadari akan hal ini, dalam buku ini ia menyebutkan bahwa langkah pertama untuk menjaring ide adalah kita cukup membawa buku tulis kemana pun kita pergi. Kedua memperbanyak membaca, dan yang ketiga adalah banyak mengobrol hal-hal positif. Setelah ide-ide tertulis dalam buku catatan kita tinggal menuangkan ide-ide ini ke dalam sebuah tulisan. Kita cukup menuliskan apa yang kita bayangkan.

Pada catatan kedua tentang budaya baca. Kita akan menjumpai sebuah fakta yang mengejutkan tentang negara kita, Indonesia. Pada tahun 2003, United Nations Development Programme (UNDP) menempatkan Indonesia pada urutan ke-112 di antara 174 negara. Sedngkan pada 2005 turun di urutan 117 di antara 177 negara, angka ini menunjukkan fakta adanya penurunan. Jika dibandingkan dengan negara sedang berkembang lainnya, bahkan di ASEAN sekalipun, kemampuan membaca (reading literacy) anak-anak Indonesia sangat rendah.

Pada tahun 1992, International Association for Evaluation (IEA) dalam sebuah studi memperoleh hasil bahwasannya kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar kelas IV pada 30 negara di dunia menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-29. Posisi ini setingkat dengan Venezuela yang menempati peringkat terakhir. Hal ini didasarkan pada kondisi pasif tentang kurangnya gairah dan kemampuan para peserta didik untuk mencari, menggali, menemukan, mengelola, memanfaatkan dan mengembangkan informasi.

Pada bagian terakhir dari buku ini, catatan ketiga dengan tema suksesor, memuat secara eksklusif sekelumit orang-orang yang sukses dari hobinya. Eko Prasetyo menuangkan sebuah fakta kesuksesan dalam buku ini, tercatat per edisi 24 april-21 mei 2008 dalam majalah Adil menuliskan lima nama penulis terkaya di Indonesia. Tempat pertama diisi oleh Andrea Hirata, penulis tetralogi laskar pelangi, yang meraup keuntungan Rp. 2,5 miliar. Kemudian disusul oleh Habiburrahman El Shirazy-penulis novel laris ayat-ayat cinta-yang mendapatkan penghasilan Rp. 1,5 miliar. Berikutnya berturut-turut Nana Kinoysan, Asma Nadia, dan Helvy Tiana Rosa.

Kekayan materi bukanlah yang menjadi tujuan utama. Kekayaan yang diperoleh bisa berupa kepuasan seperti yang diperoleh oleh Helvy Tiana Rosa yang rajin menyumbangkan royaltinya untuk kegiatan sosial. Dengan menulis ternyata manfaat tidak hanya bermanfaat untuk kita, tetapi orang lain juga menikmati hasilnya.

Satu-satunya motivasi Toni Morrison adalah “Bila anda ingin sekali membaca sebuah buku tetapi belum ada yang menuliskannya, Anda harus menulis buku itu.” Tak ada lagi kata untuk tidak menulis, membaca menjadi akar dari terciptanya budaya menulis, membaca dan menulis menjadi sebuah aktivitas yang perkembangannya beriringan.

eko prasetyoJudul Buku      : Kekuatan Pena
Penulis             : Eko Prasetyo
Penerbit           : PT Indeks, Jakarta
Tahun              : 2012
Tebal               : 164 halaman
Harga              : Rp. 35.000,-
ISBN               : 979-062-328-3

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi UMS Angkatan Tahun 2010. Aktif mengembangkan Komunitas 3 Pena Buku (K3PB)

Fragmen Masa Lalu dalam Bingkai Masa Kini

Resensi Achmad Asranur Arifin

Prisca PrimasariPenulis Indonesia yang menulis cerita tentang orang Indonesia dengan setting Indonesia itu biasa. Yang lebih istimewa penulis Indonesia yang mampu menulis cerita dengan tokoh-tokoh orang asing dengan setting di luar negeri. Ini yang dapat dilakukan oleh Prisca Primasari, penulis muda dari Surabaya, dalam novel Éclair ini. Prisca dapat menghadirkan detail setting, suasana dan karakter tokoh dengan baik. konflik ditampilkan dengan wajar dengan penyelesaian yang elegan. Tidak mengherankan novel Éclair ini dicetak ulang sampai tiga kali.

Tokoh-tokoh cerita terdiri dari kelas menengah borjuis-aristokrat berdarah Rusia modern. Pandangan hidup, kegemaran, cita rasa dan pola perilaku mereka tercermin dalam aksi dan gerak emosi para tokoh. Katya, Sergei, Livher, Kay, Stephanyc dan Claudine berdarah Rusia atau blasteran Rusia-Perancis. Satu-satunya tokoh non-Rusia yang ditampilkan Prisca adalah Miss Fuyu Yukiya dari Jepang yang tinggal di Surabaya.

Latar cerita berpindah-pindah antara St. Petersburg, New York, Paris dan Surabaya. Alur cerita berjalan maju (progresif) dengan beberapa kali kilas balik untuk memperjelas keadaan yang sekarang dialami para tokohnya. Uniknya penulis menampilkan setting waktu  yang khas seperti dua minggu, sepuluh hari, lima hari atau dua hari sebelum pernikahan Katya dan Sergei, lengkap dengan lokasi tempat kota berlangsungnya adegan.  Keseluruhan setting waktu berlangsung pada bulan September 1997. Pada bulan itu pula Katya dan Sergei melangsungkan pernikahannya di St. Petersburg, Rusia. Satu-satunya setting waktu yang berbeda dipakai pada epilog, dua belas tahun setelah semua yang terjadi, di St. Petersburg, Desember 2009 di mana tokoh Lhiver akan menikah.

Penyajian detail obyek yang mendukung cerita sangat lengkap dan hampir tidak ada cela. Hal ini menyangkut sastra dunia, terutama yang berwujud puisi dari para penyair Inggris, Rusia, Perancis, Amerika dan Indonesia. Juga mengenai musik klasik, seni lukis impresionis, dan seni kuliner bercita rasa tinggi, teristimewa éclair. Semua obyek melambangkan kegemaran kelas menengah akan benda-benda itu.

Penulis juga menguasai sejarah Rusia dengan baik. Ini tercermin dengan pengaitan cerita dengan sejarah runtuhnya Kekaisaran Rusia zaman Tsar Nicholas II dengan tokoh antagonisnya Rasputin. Tokoh utama Katya (Ekaterina Fyodorov) harus menghadapi sisa-sisa pengikut Rasputin yang merasa dendam atas keterlibatan kakek Katya yang menyebabkan Rasputin dihukum. Kebenaran kisah ini di dunia nyata tentu tidak layak dipertanyakan. Penulis fiksi bebas membuat imaginasi dan referensi atas cerita yang digarapnya.

Cerita dimulai dengan persiapan Katya dan Sergei di St. Petersburg, Rusia. Kita menduga jalan cerita dan gambaran suasan seperti pada roman Anna Karenina-nya Leo Tolstoy. (Tampaknya penulis amat mengagumi sastrawan besar Rusia ini sehingga dia merasa perlu mengutip mutiara kata Tolstoy pada setiap peralihan bagian cerita) Ternyata Katya mendapatkan tugas membantu sahabatnya, Claudine di New York yang sedang menghadapi kesulitan besar. Suami Claudine, Kay, dituduh melakukan pembunuhan terhadap Tatiana, seorang pattisier yang membawakan acara masak di televisi. Dengan kepiawaiannya Katya dapat membantu polisi menemukan sang pembunuh yang sebenarnya dan kemudian membebaskan Kay.

Setting cerita pun berpindah ke Surabaya, Indonesia. Livher, adik Kay,  yang mengalami kekecewaan berat memilih Indonesia untuk melupakan kepahitan hidup yang pernah dialaminya di Rusia dan menjadi pengajar bahasa di salah satu universitas terkenal di Surabaya . Di sini Livher bertemu Miss Fuyu, seorang keturunan Jepang yang belajar bahasa Inggris pada Livher. Ternyata Fuyu juga berbakat memasak dan dapat membuat éclair yang nikmat. Katya mendapatkan tugas untuk menemui Livher dan membujuknya agar mau kembali ke Rusia dan tinggal bersama  dengan saudara dan kawan-kawannya. Livher sendiri menaruh dendam pada Katya, Kay dan Stephanyc yang dianggap menyebabkan bencana menimpa hidup keluarga Livher dua tahun sebelumnya. Dengan pendekatan yang dilakukannya Katya dapat membawa Livher kembali ke Rusia.

Livher membenci dan sukar memaafkan tiga orang yang dianggap menyengsarakan hidupnya yaitu Katya, Kay dan Stephanyc. Bencana kebakaran telah menghancurkan rumah orang tua Livher. Dalam peristiwa itu Mr. dan Mrs. Olivier, orang tua Kay dan Livher tewas terbakar. Demikian pula Aoife, anak angkat Livher, yang terpanggang hidup-hidup. Hal ini disebabkan kakaknya, Kay, bersahabat dengan Katya dan dua bersaudara Sergei dan Stephanyc. Gerombolan itu mengincar Katya dan orang-orang yang dekat padanya. Mereka hendak menghabisi Kay dan Stephanyc yang kebetulan saat itu tidak berada di rumah. Sebagai pelampiasan dendam tidak menemukan yang dicari gerombolan sisa pengikut Rasputin itu pun meledakkan rumah orang tua Kay.

Livher merasa terpukul telah kehilangan orang-orang yang sangat dicintainya. Stephanyc juga merasa bersalah sampai menderita depresi berat. Stephanyc, sang pattisier yang piawai membuat éclair itu, menderita sakit parah yang kemudian akan merenggut nyawanya. Hanya Sergei dan Kay yang dibiarkan tetap berpikiran waras. Bersama Katya, mereka dapat menyadarkan kembali Livher dan memaafkan masa lalunya. Giliran berikutnya adalah menyelesaikan masalah yang dihadapi Katya.

Katya mengusung beban masa lalu sepanjang hidupnya. Dia siap menghadapi resiko apa pun. Ayah Sergei, Valentin, menceritakan kronologi cerita masa lalu itu pada Sergei saat menghadiri kremasi kematian Fyodor Dmitreviech. Ayah Fyodor, Dmitry Ivanov adalah seorang detektif pada masa akhir kekaisaran Rusia. Dia dapat mengungkap keterlibatan Rasputin, dukun sakti yang pernah dekat dengan kalangan istana, dalam pencurian medali emas Tsar Nicholas II. Medali itu sedianya akan diberikan pada puteri Tsar, Maria Nikolayevna.   Rasputin pun dihabisi oleh suruhan Tsar.

Revolusi Rusia 1917 mengakhiri masa kekaisaran Romanov hanya selang satu bulan setelah Tsar menghadiahkan medali emas yang sangat berharga itu pada Maria. Seluruh keluarga istana tumpas dihukum oleh massa rakyat. Hanya Maria yang berhasil menyelamatkan diri dan memberikan medali emas itu pada Dmitry Ivanov. Medali emas itu disimpan di tempat rahasia dan kemudian diwariskan pada anak Dmitry, Fyodor, agar dipelihara baik-baik. Sisa pengikut Rasputin tidak tinggal diam dan selalu mengancam hidup Fyodor berpuncak pada pembunuhan Fyodor dengan bahan beracun. Peristiwa itu terjadi dua tahun sebelum pernikahan Katya dan Sergei.

Medali emas itu diwariskan pada puteri Fyodor, Ekaterina Fyodorov atau Katya. Perempuan cantik yang masih muda ini kemudian menjadi sasaran tembak gerombolan Rasputin. Beberapa kali percobaan pembunuhan berhasil dielakkan Katya.

Peristiwa Sergei ikut ayahnya Valentin menghadiri pemakaman Fyodor Dmitreviech itu menjadi awal pertemuan Sergei dan Katya. Secara perlahan tumbuh benih-benih cinta di antara Katya dan Sergei yang berakhir dengan pertunangan. Sebelum hari pernikahan tiba Katya terlibat sejumlah pengalaman di New York dan Surabaya. Katya dibantu Sergei dapat menemukan keberadaan medali emas itu. Ternyata medali emas itu disimpan di rumah puteri Rasputin, Matryona. Medali diserahkan kepada pemerintah Rusia yang bersedia memberikan jaminan keamanan yang lebih ketat pada Katya. Gerombolan pengikut Rasputin dapat digulung aparat keamanan.

Sebenarnya medali emas itu turun-temurun diwariskan pada penguasa Rusia sejak zaman Peter I yang menghadiahkannya pada isterinya, Tsarina Catherine the Great. Ada tulisan yang terukir di sana dalam bahasa Rusia dan Jerman sebab Catherine memiliki darah Jerman. Krasivaya devushka, Ich werde dich immer beschutzen (Beautiful young woman, I will always protect you) menjadi simbol bahwa Peter I akan selalu melindungi isterinya. (hal. 195) Tulisan pada medali itu menunjukkan bahwa yang berharga sebenarnya bukanlah medalinya, tetapi orang yang memilikinya. Pasti itu pula yang dikatakan Tsar Nicholas ketika dia memberikan medali itu kepada puterinya. Juga yang dikatakan Fyodor kepada Katya.

Sergei mau berkorban apa saja untuk melindungi dan membela Katya meskipun nyawa taruhannya. Dia mencintai kekasihnya yang hidupnya selalu berada dalam ancaman musuh. Katya sendiri meskipun merasa dirinya cukup kuat dan tegar, tidak ingin dikasihani, menyambut bantuan dari orang yang mencintainya dengan tulus. Sergei siap mendampingi dan melindungi Katya di mana pun sampai kapan pun sambil menatap masa depan gemilang.

Kebahagiaan mereka ternoda oleh kematian Stephanyc, adik Sergei, akibat penyakit kronis yang dideritanya. Sebelum kematian Stephanyc Miss Fuyu diboyong dari Surabaya ke Rusia untuk belajar dan mencoba resep baru éclair ciptaan Stephanyc. Semua orang yang mengenal Stephanyc bersedih kehilangan orang yang mereka sayangi dan kagumi itu. Pernikahan Sergei dan Katya pun terasa kurang lengkap tanpa kehadiran Stephanyc meskipun sebelumnya dia telah minta izin pada kakaknya tak bisa mengikuti prosesi upacara pernikahan itu.

Pada setiap bagian cerita éclair, makanan khas dari Perancis yang popular di seluruh dunia ini dihadirkan dan menjadi pengait antar bagian. Éclair menjadi makanan internasional yang dijumpai dan disukai semua orang di Rusia, Perancis, Amerika dan Indonesia. Salah satu bahan pembuat éclair yaitu kakao berasal dari Lampung. Penulis menggambarkan cara pembuatan éclair berikut cara penyajiannya. Terdapat tiga orang chef yang memiliki kepandaian membuat éclair yaitu Stephanyc Snegov, Tatiana Andreyeva seorang koki keturunan Rusia yang menetap di New York dan Miss Fuyu Yukiya.

Cerita menarik dan dramatis. Barangkali kalau ada yang tertarik dapat mengangkat cerita ini ke layar lebar seperti halnya cerita-cerita karya Leo Tolstoy yang pernah difilmkan. Meskipun setting waktu hanya satu bulan tetapi selama itu terdapat pengalaman di berbagai tempat dengan kilasan balik ke masa silam yang mempengaruhi masa kini. Nilai persahabatan dan kasih sayang sangat dihargai dalam cerita ini. Meskipun sebenarnya Stephanyc dan Livher juga menyukai Katya, mereka menganggap Sergeilah yang paling pantas mendapatkan cinta dan bertunangan dengan Katya.

Bahasa mengalir dan padat meskipun alur agak rumit pada bagian tengah. Memasuki bagian akhir barulah tersingkap masalah yang membelit hidup Katya dan mempengaruhi hidup semua orang. Makanan éclair terlalu ditonjolkan dan tidak memberikan kesempatan pada jenis makanan lain untuk diperbandingkan. Ada ilustrasi gambar yang menyegarkan. Sayang tidak ada gambar yang dapat memuaskan hasrat pembaca yang penasaran seperti apa rupa dan wujud éclair itu. Tetapi hal ini tidak mengurangi bobot literasi dan artistik cerita ini.

Sampul depan cukup memikat mata yang melihat pertama. Tetapi tulisan di sampul belakang dengan huruf tegak bersambung agak sukar dibaca kecuali dengan seksama. Layout buku  tertata dengan baik. Jenis kertas dan jenis tulisan yang bagus menjadikan kita nyaman menikmati tulisan halaman demi halaman. Secara keseluruhan novel ini amat berharga dan dapat menambah wawasan sosial budaya kita. Terlalu sayang apabila dilewatkan begitu saja.

Prisca PrimasariJudul buku    : Éclair, Pagi Terakhir di Rusia
Penulis          : Prisca Primasari
Penerbit        : Gagas Media, Jakarta
Cetakan        : Ketiga, 2012
Tebal             : 234 halaman

 

 

*)Achmad Asranur Arifin, lahir dan tinggal di Sleman Yogyakarta. Seorang pembaca dan penikmat buku. Beberapa tulisan resensinya dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Dapat dihubungi lewat email aarifin_73@yahoo.com, facebook Achmad Arifin dan HP 081802718845

Danau Toba, Perancis dan Sitor

Resensi Arif Saifudin Yudistira

ibuMengapa cerpen menjadi satu cara untuk mengusik perasaan-perasaan manusia?. Karena disanalah letak karya sastra dipertaruhkan dalam hal membagi dunia imajinasi dan dunia realitas. Cerpen adalah jembatan bagi kita memahami dan mengarungi kehidupan yang serba luas ini. Pengarang meski ia tak selalu bicara dirinya,tapi pikirannya itulah yang membuat ia bergerak dalam karya sastra. Ia bersama karya sastra menyatu. Bila pramodya sadar betul dengan metode mistikumnya dalam membuat karya, maka sitor lebih bergerak pada cerpen yang meski singkat tapi ia adalah teks yang tak berhenti. Sitor pandai mengolah bahasa dan setiap kosakata yang menunjukkan betapa ia menekuni khazanah, kajian mendalam, pengamatan yang jitu hingga penulisan yang luar biasa sebelum membuat cerpen. A teeuw menyebut sitor ia menguasai bahasa Indonesia dengan cara yang kadang-kadang luar biasa.

Misal pada cerpennya Fonteny Aux Roses.  Mendengarkan kata itu kita bisa terbayang-bayang tentang perempuan perancis, atau sekilas kita bisa menemui perancis. Dan kita pun tak menyangka nama tempat di perancis bisa dihubungkan ke dalam penguasaan cerita yang meluas. JJ rizal menyebut ini sebagai awal eksistensialisme sitor. Kematian diramu sedemikian mesrahnya, kematian dikemas sedemikian hebatnya dengan permainan ingatan. Ingatan sitor itulah yang membawa kita pada penjelajahan nama-nama tempat, suasana, hingga pada kemampuannya mengemas “tokoh” pada ingatan masa lampaunya. Ia bergerak lihai dan mencoba tidak lurus-lurus dalam bercerita meski pelan. Keunggulan bahasa itulah yang dimanfaatkan sitor dengan memadukan pengalaman ketika ia di perancis dengan menceritakan memori kematian dengan satu gambaran sederhana dan menyenangkan. Ini kita temui di cerpen Fontenay aux Roses yang ditutup dengan kata kunci yang indah : “surga adalah rindu”.

Kemampuannya mengemas ingatan, kenangan dan juga deskripsi peristiwa yang jitu itu pun ada dalam cerpennya “Gerbera”. Ia menutup cerpennya dengan menutup perasaannya pula dengan kalimat sederhana yang mengakhiri ingatannya pula tentang perempuan yang ia kagumi. Di timur fajar memerah. Memerah gerbera. Gerbera. Masihkah bunga mekar di lereng-lereng gunung?. Besok aku hraus terbang ke barat.

Dunia barat

             Dunia barat dalam gambaran cerpen sitor begitu tak sederhana. Ia mengalami dan menyelami betul dunia barat itu ketika ia setahun tinggal di paris pada tahun 1952-1953.  Perjalanan di barat ia salami di tahun 1950 hingga tahun 1953. Selama itu pula ia mengenali belanda, dan perancis sebagai kota yang memberinya ilham dan inspirasi di dalam membuat karyanya. Disebutkan setelah ia pulang dari perancis ia mengukuhkan posisinya sebagai sastrawan dengan menulis puisi, menulis cerpen, naskah drama, keirikus, penerjemah dan pengajar. Meski demikian cerpen-cerpennya yang dihasilkan tak banyak. Tapi di dalam cerpen itulah ia membuktikan kemampuannya sebagai sastrawan yang patut mendapat tempat di dunia international dan negerinya sendiri. Cerpen “kereta api international” dan cerpen “ Peribahasa Jepang” disebut patut masuk dalam cerita antology barat sebagaimana yang dikatakan A teeuw.

Paris membawa inspirasi dan kenangan dalam Cerpen salju di paris. Cerpen ini membawa kita pada suasana perancis dengan hawa berbeda. Ia lebih menonjolkan tempat dan suasana daripada perasaan tokoh.  Sedang cerpen cinta pertama adalah cerpen yang menunjukkan betapa tak mengenakkannya cinta pertama dirasakan oleh gadis perancis. Jarak membawa pada perpisahan meski sebenarnya percintaan itu memungkinkan. Ia menempatkan tokoh pemuda Indonesia ini sebagai pihak jantan, dengan kemampuan menolak cinta si gadis perancis. Dan kelihaian sitor inilah yang menjadi kelebihan sitor dalam memadukan tokoh, identitas, cerita hingga pada kemampuannya menarasikan perasaan-perasaan tokoh.

             Begitupun cerpen peribahasa jepang yang menarasikan identitas yang seperti sudah menyatu, antara keakraban dan betapa tingginya budaya jepang, tapi juga menggambarkan betapa perempuan jepang di deskripsikan dengan indah oleh sitor melalui konflik yang ada pada si gadis. Hingga pada kenangan tokoh pria Indonesia yang membawa ingatannya pada gadis jepang tersebut. Tanpa adanya pengetahuan, dan kemampuan dan data yang bagus tentang jepang, ia tak mungkin membolak-balikkan alur ceritapada imajinasi tempat, perasaan tokoh dan pertautan yang cukup intim antara tokoh dua negara tersebut.

Tanah Lahir

            Meski ia pernah melakukan perjalanan ke barat, ia pernah mengalami “ketegangan dramatik’ seperti yang diungkapkan pengamat sastera Martin Heinschke, ia tak menghilangkan dengan begitu saja ingatan tentang tanah airnya. Ia kental dengan adat batak, di sebelah barat pantai danau toba di lembah gunung Pusuk Buhit. Ingatan itu dituangkan dengan jeli di cerpen “Perjamuan Kudus” dan “kehidupan Daerah Danau toba” .

Perjamuan kudus menceritakan pemeberontakan sitor akan kondisi zending yang membawa pada pelarangan adat masyarakat setempat.  Ia menggambarkan ini di akhir ceritanya dengan menutup upacara terlarang yang digambarkan dengan Pusuk puhit yang merupakan upacara yang aneh dan tidak lazim  di masyarakat batak. Di cerpen  “Kehidupan Daerah Danau toba” ia ingin menjelaskan betapa kepribadian sitor tampak pada bagaimana kehidupan toba tak mempersoalkan perkara muslim maupun Kristen. Ia ingin menegaskan bahwa perkara agama tak menghalangi manusia berhubungan dan bergaul di masyarakat.

Kumpulan cerpen ini memiliki nilai penting di dalam kesusasteraan dunia karena menunjukkan betapa pentingnya relasi antara pengarang dengan dunia realitas di sekelilingnya. Inspirasi itulah dan kerja kreatif itulah yang ditunjukkan Sitor situmorang yang menghasilkan beragam cerpen yang menarik yang tak hanya mengangkat persilangan budaya, sosok kekosongan jiwa, hingga pencarian spiritual dan cinta. Lengkap sudah buku ini sebagai sebuah penyajian riwayat salah satu karya sitor yakni dalam bentuk cerpen. Sekaligus sebagai penyair ia mampu untuk mengolah dan melepaskan bahasa puitisnya dengan bahasa jiwanya. Hingga cerpen-cerpennya tak sekadar hidup, membawa jiwa kita terbang, hingga menyelami peristiwa hingga semua yang digambarkan oleh penulis dalam cerpen. Disanalah letak kerja kreatif dan keunggulan cerpen sebagai salah satu karya sastra kita. Sitor mampu meletakkan bahasa pada tempatnya, pada kebebasannya dan ia tak mau terjerat terlampau jauh kesana. Tiga peristiwa dan tempat penting dalam cerpen ini tak lain adalah Danau toba yang merupakan biografi pengarang dan kelahirannya, kemudian gunung merapi atau Jogjakarta, dan perancis. Ketiga tempat itu mendasari pengalaman yang erat dan menarik bagi pengarang sebagai jejak laku dan jejak kata.

Tanda seru sitor setidaknya mengingatkan kepada kita bahwa sebagai seorang sastrawan dan penulis yang memiliki etos dan kerja spiritualitas dan kerja literasi yang membawa misi bahwa diri, pribadi, lingkungan dan kemanusiaan adalah hal yang tak bisa dilepaskan dan disuarakan dari seorang pengarang. Kejujuran itulah yang dibawa sitor untuk memasuki dunia imajinasi dan dunia cerita yang mampu mengusik dan menggerakkan kita akan kesadaran lingkungan dan juga ketergerakan batin kita melihat berbagai fenomena dan peristiwa di dalamnya. Sitor mampu mengangkat isu kemerdekaan, perjuangan, cinta kasih, hingga kekosongan jiwa yang lembut dan juga silang budaya ketika ia berada di luar negeri. Kesemua itu tentu tak jauh beda dengan metode pram yang mengandalkan mistikum-nya. Sitor memiliki mistikum nya sendiri hingga ia mampu menggerakkan bahasa sebagai sesuatu yang elastic, manis, tapi tak berlebihan. Semua itu ada dalam cerpen-cerpen yang ia olah. Meski cerpen masa lampau dengan karakter yang sedikit, tapi jalan cerita, kekhasan cerita hingga makna cerita tak bisa ditinggalkan begitu saja dari cerpen-cerpen Sitor situmorang. Sitor telah menunjukkan sifat dan jiwanya yang penuh dengan etos intelektual, kejujuran dan kemanusiaan. Setidaknya cerpen ini adalah buktinya.

Kumpulan cerpen sitor dalam ibu pergi ke surga ini setidaknya menunjukkan betapa sitor adalah sastrawan yang tak hanya lengkap dengan kepribadian yang kuat, tapi juga lihai membawa suasana, konflik dan pengamatan yang kuat pada masanya. Ibu pergi ke surga setidaknya memberikan penegasan kembali meski baru 23 cerpen seumur hidup sitor, sitor telah berhasil memadukan danau toba, perancis dan kepribadian yang mengukuhkan dia sebagai sastrawan Indonesia dan patut di perhitungkan dunia.

ibuJudul buku:  Ibu pergi ke surga
Penulis : Sitor situmorang
Penerbit: Komunitas bambu
Hal: 218 halaman
ISBN: 979-3731-88-5
harga: Rp.55.000,00
tahun: januari 2011

Kisah Seorang Putri Naga

Resensi Riza Rahmah Angelia

Patricia C. WredeSebuah novel fiksi terjemahan karya Patricia C.Wrede ini termasuk jenis roman yang penuh aksi dan humor. Novel dengan genre remaja yang berjudul Tantangan Naga ini mengulas banyak kisah-kisah inspiratif fantasi yang mampu mempengaruhi para pembaca untuk menikmati imajinasinya masing-masing. Novel yang diadaptasi oleh Fahmy Yamani dari novel asli terbitan Harcourt Publishers, Florida pada tahun 1990 dengan judul Dealing with Dragons: The Enchanted Forest Chronicles ini merupakan novel petualangan yang telah mendapat banyak pujian dari para pembaca di seluruh dunia.

Dalam roman ini, dikisahkan tentang kehidupan seorang putri raja yang dipandang abnormal oleh sekelilingnya, karena selalu bersikap yang tidak pantas di kalangan bangsawan. Putri Cimorene, putri bungsu di kerajaan besar yang terletak di sebelah timur Pegunungan Pagi, Linderwall. Kegemaran dan sikap putri Cimorene yang sangat berbeda dengan keenam kakaknya, membuat Raja dan Ratu Linderwall kesulitan untuk memberi pendidikan bak putri kepadanya. Berawal dari kesukaannya mencari gara-gara hingga menyukai pelajaran memasak, bermain pedang dan sihir, membuatnya mendapat julukan abnormal. Padahal Raja dan Ratu Linderwall telah mempersiapkan beberapa guru dan pengasuh untuk mengajarinya menari, menyulam, menggambar, membungkuk hormat di depan pangeran dan cara berteriak ketika diculik oleh raksasa.

“Hal tersebut sangatlah membosankan”, keluh putri Cimorene setiap mendapat teguran dari ibunya yang takut kalau saja tidak ada seorang pangeran pun yang akan melamar putri Cimorene, karena tingkahnya yang dikenal liar, keras kepala, juga memiliki rambut kepang berwarna hitam pekat dan tubuhnya tidak berhenti untuk bertambah tinggi tentunya inilah alasan bahwa putri Cimorene  sangat berbeda dari beberapa putri raja lainnya. Begitupun ketika putri Cimorene mengeluhkan keadaannya kepada ibu peri, bukannya mendukung putri Cimorene, ibu perinya malah membuat putri Cimorene semakin kesal bila berdebat dengannya.

Mendengar itulah ibu peri segera melakukan sesuatu, semata untuk masa depan putri Cimorene. Putri Cimorene mendapat kabar buruk untuk dirinya dan kabar baik untuk kedua orang tuanya juga ibu perinya bahwa dia akan dijodohkan dengan pangeran tampan berambut keemasan, bermata biru, anak dari kerajaan Sathem, dekat pegunungan yang pernah ditemui putri Cimorene sebelumnya ketika diajak orang tuanya menonton pertandingan di kerajaan Sathem tersebut.

Penolakan yang dilakukan putri Cimorene tentang pesta pertunangannya dengan pangeran kerajaan Sathem yang bernama pangeran Therandil, sama dengan penolakannya terhadap kegiatan yang membuat dirinya bosan. Tentangan yang dilakukan putri Cimorene sama sekali tidak merobohkan keinginan ayah dan ibunya. Akhirnya, ia mendapatkan sebuah cara yang cukup mengerikan, yang diberitahu oleh seekor kodok yang ia temui di kolam saat itu. “Pergilah ke jalan utama di luar kota dan ikuti terus menjauhi pegunungan. Setelah beberapa lama, kamu akan menemukan sebuah pondok emas, dikelilingi pepohonan perak berdaun zamrud. Lanjutkan perjalananmu dan jangan singgah di pondok itu, dan jangan menjawab kalau ada yang memanggil dirimu dari dalam pohon tersebut. Teruslah  berjalan sampai kamu menemui sebuah gubuk. Dekati pintunya dan ketuklah tiga kali, lalu jentikkan jari-jarimu dan masuklah ke gubuk itu”, saran kodok yang membuat putrid Cimorene pergi dari kerajaan pada tengah malam untuk menjalankan saran tersebut.

Di gubuk itulah awal perkenalan putri Cimorene dengan para bangsa naga, dan putri Cimorene menobatkan dirinya untuk menjadi putri naga. Para naga pun terkejut mendengar permintaan penobatan putri Cimorene tersebut, baru kali ini mereka mendengar ada seorang putri yang ingin ditawan dengan cuma-cuma oleh bangsa naga. Salah seorang naga betina pun menyetujui keinginan putri Cimorene itu dan memulai hari-harinya dengan pelayanan putri Cimorene yang sangat membuat hatinya puas. Keahlian Cimorene untuk memasak, bersih-bersih rumah, menguasai bahasa Latin, dan mantra sihir membuat dirinya sangat berguna untuk  naga Kazul, yang memiliki gua cukup luas untuk tempat tinggal mereka berdua dan menyediakan berbagai gua dari mulai dapur, perpustakaan, hingga tempat penyimpanan harta karun naga yang kini berhak diatur oleh putri Cimorene seorang. Pelajaran pedang pun membuat dirinya terselamatkan dari para pangeran yang ingin menyelamatkannya, karena menurut tradisi, pangeran yang menyelamatkan seorang putri tawanan bangsa naga, berhak menikahi putri tersebut setelah mengalahkan seekor naga itu. “Kau tidak akan bisa mengalahkan naga pemilik gua ini. Sebelum kau menantang naga Kazul ini, kau harus berhadapan dengan putri naganya dulu, yaitu aku!” teriak putri Cimorene sembari mengacungkan pedang ketika menemui beberapa pangeran yang ingin menyelamatkannya.

Begitupun dengan kedatangan pangeran Therandil yang tidak hanya sekali, karena tekadnya tidak bisa membantah keinginan ayahnya tentang pertunangannya dengan putri Cimorene dari Linderwall. Kesabaran putri Cimorene pun habis seketika karena kedatangan para pangeran yang dianggap mengganggu pekerjaannya di gua Kazul, sehingga ia mendatangi penyihir yang bernama Morwen. Morwen dikenal baik oleh Kazul. Setelah mendapat mantra dan beberapa cara dari penyihir itu, Cimorene pun berhasil membuat jalur, agar tidak ada manusia yang mampu melaluinya, termasuk para pangeran yang dianggap sok hebat oleh putri Cimorene. Jalur yang dilalui harus menempuh pegunungan dan rintangan lainnya. Di tebing pegunungan itulah putri Cimorene ditemui oleh seorang penyihir yang tidak disukai oleh para bangsa naga, yaitu penyihir Zemenar mantan Raja Naga yang mana sekarang dipimpin oleh Raja Tokoz.

Zemenar yang pernah menemui Cimorene, dan mengetahui tempat kediaman Cimorene karena tawaran putri yang polos itu akan kunjungannya membuat Zemenar dan anaknya memiliki kesempatan bagus karena bisa memasuki gua milik naga yang memiliki perpustakaan lengkap tentang beberapa mantra yang dicarinya selama ini. Mendengar kunjungan itu, Kazul dan Morwen terkejut dan hampir menyalahkan putri Cimorene. Namun, kecerdasan yang dimiliki putri Linderwall ini mengurungkan niat keduanya, yaitu mengetahui apa yang dicari Zemenar ketika meminta putri Cimorene untuk mengizinkannya memasuki perpustakaan. Zemenar sempat membaca buku mantra yang juga dibaca oleh putri Cimorene dan putri Cimorene sangat hafal dengan halaman yang dibaca Zemenar.

Kedatangan tiga putri cantik yang menggunakan mahkota dan gaun anggun, yang tentu saja mereka adalah tawanan naga yang tidak sengaja menjadi tawanan bangsa naga, berbeda dengan putri Cimorene. Mereka bertiga lebih lama menjadi tawanan naga daripada putri Cimorene, sehingga mereka sangat penasaran dengan putri baru yang sangat nyaman menghabiskan waktunya di dalam gua itu. Putri Cimorene pun menceritakan sebabnya dia berada disini kepada putri Keredwel dari kerajaan Raxwel, kini tawanan naga Gornul yang mengerikan, putri Halanna dari kerajaan Poranbuth, kini tawanan naga Zareth, dan putri Alianora dari Duchy di Toure on Marsh, tawanan naga Woraug. Mereka bertiga sangat tidak menyangka mengetahui sikap putri Cimorene yang begitu berani dan menghalangi banyak pangeran untuk menolongnya, itu semua membuat ketiganya yang baru didatangi beberapa pangeran sangatlah iri. Akhirnya, kedatangan pangeran Therandil yang membuat putri Cimorene heran dengan ketangguhannya melawan rintangan di jalur baru yang dibuatnya itu membuahkan perbincanganka, “Aku sudah bilang, aku tidak ingin diselamatkan oleh pangeran siapapun, dari manapun. Kalau begitu, daripada kau kemari tanpa membawa hasil apa-apa, lebih baik kau menyelamatkan Keredwel di gua naga sebelah sana. Kau pun akan menikahi seorang putri, ya walaupun bukan dari Linderwall. Tapi, aku yakin ayahmu akan bangga dengan seorang putri yang kau selamatkan itu”, usul Cimorene, Therandil pun berpikir sejenak dan menyetujuinya.

Tak lama kemudian, putri Alianora pun menjadi akrab menghabiskan waktu berdua bersama putri Cimorene. Putri Alianora fikir kehidupan putri Cimorene bersama naga betina lebih baik ketimbang kehidupannya selama ini tinggal bersama Woraug, naga jantan yang menurutnya semakin hari perlakuannya semakin tidak bisa diduga saja, pernah ketika sore hari putri Halanna datang ke guanya. Sepertinya saat itu emosi Woraug pun terlihat sedang tidak terkendali sehingga tiba-tiba saja Woraug mengeluarkan percikan-percikan apinya dan membuat Halanna menjerit ketakutan. Mendengar kesedihan putri Alianora, putri Cimorene pun berusaha menghiburnya dan menceritakan kepada Kazul yang lebih mengetahui sifat Woraug. Alhasil, Kazul pun mendukung ide putri Cimorene untuk mempelajari mantra penangkal hembusan api naga, putri Cimorene pun mulai mencari bahan-bahan yang dibutuhkan sesuai buku petunjuk yang ia temui di perpustakaan gua Kazul. Mantra tersebut pun berhasil dilakukan dengan bantuan putri Alianora.

Hal menarik rasa keingintahuan putri Cimorene dan putri Alianora ketika penjelajahannya menuruni gua api malam demi mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk mantranya itu, mereka sempat bertemu Antorell (anak Zemenar) yang sedang memetik bunga langka di lembah tersebut dan hanya bisa ditemui di titik tempat dia berpijak saja. Dari kecurigaan itulah, putri Cimorene menceritakannya kepada Kazul dan Morwen. Masalah yang datang dari pengaduan putri Cimorene menjadi cukup rumit, banyak kejanggalan yang terjadi di dunia para penyihir. Ditambah dengan kematian Raja Tokoz yang tidak dapat disangka apa penyebabnya.

Banyak sekali teka-teki yang membuat kita penasaran untuk mengungkapnya dalam kisah hutan pesona ini, hutan teraneh nan ajaib di dunia penyihir dan bangsa naga yang tidak mampu dilewati oleh manusia. Ada apakah di balik hutan pesona itu? Lalu, siapakah dalang dibalik kematian Raja Tokoz yang tentunya dengan dalih untuk mendapatkan gelar raja naga? Bagaimana kelanjutan petualangan putri Cimorene dan naganya? Tentunya kisah ini diakhiri dengan happy ending, namun masih meninggalkan teka-teki di benak pembaca. Imajinatif yang dimiliki Patricia inilah yang mampu membawa pembaca kepada khayalan yang amat luar biasa, cerita penuh mistis, keajaiban yang tidak dapat kita temukan di dunia nyata. Penulis seri “Hutan Pesona” ini mampu menciptakan fantasi yang hidup dalam fikiran para pembaca. Novel dengan ilustrasi yang sangat mewakili isinya ini, ditambah dengan warna hijau alami yang dapat menyegarkan fikiran para pembaca mampu membuat para readers terlena, akan tetapi jangan khawatir! Karena Patricia masih menyuguhkan readers dengan novel yang masih mengisahkan hutan pesona yang tentunya lebih memiliki  jenis roman yang kuat. So, untuk para penggemar cerita fantasi, tidak akan menyesal membaca “Tantangan Naga” ini.

Patricia C. WredeJudul buku: Tantangan Naga
Pengarang: Patricia C. Wrede
Penerjemah: Fahmy Yamani
Penerbit: Kaifa
Jenis Buku: Novel fiksi terjemahan
Cetakan: I, Agustus 2004
Tebal: 297 halaman

Sang Penebus; I Know It Must True

Resensi Wilibrodus Wonga

novel bestseller
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com

“Kalau kau adalah saudara waras dari kembar identikmu yang menderita skizofernia, hal paling sulit dalam masalah menyelamatkan dirimu sendiri adalah darah yang ada di tanganmu, ketidaknyamanan melihat mayat yang mirip denganmu terbaring di bawah kakimu. Dan jika kau berusaha bertahan hidup dan sekaligus menjadi penjaga saudaramu karena kau berjanji pada ibumu yang sekarat maka katakan selamat tidur dan selamat datang tengah malam. Ambil buku dan bir. Biasakan diri melihat senyum ompong Letterman yang absurd, atau langit-Lngit kamarmu, atau mencari-cari gelombang radio sekenanya. Ini adalah pengalaman seorang insomnia tak berTuhan. Pengalaman saudara kembar yang tak gila yang berhasil menghindari penyimpangan biokimia.” (Bab 3; alinea pertama.)

Seperti dikatakan Glamour, novel ini merupakan Les Miserables abad dua puluh. Aspek kegilaan, kemarahan, kasih sayang dan penebusan dengan indahnya dijadikan satu paket oleh wally Lamb serta dinarasikan tanpa putus sehingga emosi pembaca akan ikut hanyut bersama karakter-karakter dalam novel ini.

Novel ini mengisahkan tentang konflik fraternal yang melibatkan dua saudara kembar; Thomas dan Dominick. Mereka lahir dengan beda waktu enam menit, namun yang menarik adalah Thomas terlahir pada desember pukul 23.57 tahun 1949 sementara saudaranya pada januari pukul 00.03 tahun berikutnya. Mereka membagi paruh awal dan paruh akhir abad dua puluh. Ibu mereka yang meninggal karena kangker payudara pada 1987 digambarkan sebagai wanita pemalu berbibir sumbing yang selalu menangkupkan satu tangan di daerah mulut sumbingnya setiap kali dia tersenyum. Sejak kecil, kedua kembar tersebut tidak mengenal ayah kandung mereka dan menghabiskan seluruh masa kecil dalam cengkeraman sang ayah tiri; Ray. Oleh seorang ayah angkat yang pemarah dan seorang ibu berbibir sumbing yang pemalu, Thomas dan Dominick bertumbuh dengan caranya masing-masing. Sejak kecil, Thomas sudah menjadi anak kesayangan Ibu mereka. Bagi Ma, Thomas seekor kelinci karena manis sebagai teman bermain, sementara Dominick seekor monyet karena rajin. Di masa depan, Dominick akan mengingat masa kanak-kanak mereka sebagai masa penuh penuh konflik keluarga yang timbul oleh sikap kejam Ray pada Thomas dan kebencian Dominick pada Ray sekaligus kemarahan pada ibunya yang tidak pernah sanggup membalas kekasaran Ayah angkatnya.

Pada suatu titik tertentu, salah satu dari kedua saudara kembar tersebut akhirnya harus menerima kenyataan bahwa saudaranya menderita skizofrenia. Seiring dengan itu, kegelapan-kegelapan mulai membayangi kehidupan salah satu yang waras. Disitulah elemen-elemen lain yang membuat novel ini mengalir seperti puisi mulai bermunculan.

Wally Lamb membuat sebuah novel dengan karakter orang pertama yang sangat manusiawi. Tokoh pertama Aku-an yang diperankan oleh Dominick penuh dengan kepedihan dan kemarahan yang sulit disamarkan. Perasaan bahwa dia adalah seorang yang lolos dari penyimpangan biokimia seperti yang dialami Thomas tidak melegakannya. Sebaliknya justru menumpuk beban sebagai penjaga ‘belahan’-nya yang gila. Terlebih lagi, Dominick telah berjanji kepada Ma, bahwa dia akan menjaga Thomas. Dia akan memastikan kelinci ibunya tetap aman.

Novel ini melenakan sejak halaman pertama. Beberapa saat setelah membaca, saya merenung sejenak tentang kehidupan orang-orang yang terlahir kembar. Di lain kisah yang pernah saya baca, mereka itu menakjubkan, sulit terpisahkan, memiliki kelebihan indra yakni empati; dan saya membayangkan betapa asyiknya kalau saya terlahir kembar. Keren rasanyakalau memiliki seseorang yang adalah cermin dirimu! Tetapi novel ini seolah menampar saya pada tepat awal bab ke-3. Itu merupakan narasi yang merisaukan bahkan sebelum pembaca mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Memiliki saudara kembar yang menderita skizofernia sedikit bisa diterima selama kita berhasil mengawasinya selama ini, namun sangat menakutkan setelah dia memutilasi tangannya sendiri di sebuah perpustakaan. Dan kita bahkan bisa ikut gila bila si penderita dengan sangat yakin mengatakan bahwa tindakannya itu semata kehendak Tuhan.

Waktu itu, hubungan antara Amerika dan Timur Tengah sudah tegang dan presiden Bush mengumumkan bahwa konflik itu sendiri mungkin tidak bisa dihindari lagi. Suatu hari, Thomas duduk seorang diri di pojok perpustakaan dan berdoa. Dia yakin dirinya adalah utusan Tuhan untuk meyakinkan Amerika agar menghentikan pertikaian. Sebagai bukti pengorbanannya dan kegilaannya, dia memotong telapak tangannya sendiri dengan pisau upacara Gurkha milik Ray. Thomas tampaknya tidak kesakitan sehingga Dominick harus menelan kemarahannya sendiri. Memendam kemarahannya untuk dirinya sendiri.

Selain pengkarakteran yang kuat, Novel Sang Penebus juga kaya akan tokoh-tokoh yang sulit dilupakan. Sebelum kematiannya, Ma memberikan Dominick sebuah manuskrip yang ditulis oleh Ayahnya. Jauh-jauh hari kemudian, saat membaca kembali kisah kakeknya, Dominick menyadari bahwa kakeknya tersebut tidak hanya sekedar legenda seorang lelaki dari sisilia yang berhasil menjadi kaya di tanah Amerika. Dia adalah lelaki yang membuat Dominick membencinya sekaligus mencintainya. Tokoh-tokoh lain pun bermunculan. Disinilah munculnya uraian tentang cinta dan perjuangan, nafsu dan dosa, sihir dan Tuhan. Sekali lagi Wally Lamb membuat larutan yang membius dari aspek-aspek tersebut. Misterius  tetapi ringan. Mengalir tetapi pedih dan penuh amarah. Manuskrip yang ditulis sang kakek mengisahkan tentang seorang lelaki sisilia yakni dirinya sendiri yang telah meninggalkan Italia dan mulai hidup baru dari awal di tanah Amerika. Hidup berdampingan dengan orang Indian dan lelaki ini berhasil membuat sejarah untuk dirinya sendiri serta menciptakan legenda keluarga. Namun jiwanya penuh dengan amarah. Dia telah menghina Tuhan dan hidup mengutukinya. Dia menikahi seorang istri yang telah mencintai lelaki lain, lalu mereka hidup serumah bersama teman wanita istrinya yang disebutnya sebagai muka monyet. Betapa dia membenci si muka monyet dan ingin membunuhnya, tetapi ternyata wanita tersebut memiliki sejarah gelap di belakangnya. Juga sihirnya. Anak lelaki dari kakek Dominick lahir dan meninggal sementara yang hidup hanyalah anak perempuannya yang berbibir sumbing; Ma. Kemalangan berikutnya akhirnya merenggut nyawa nenek Dominick saat Ma masih sangat belia.

Di sela-sela konflik yang timbul dalam manuskrip, si penulis novel menyisipkan kilas balik-kilas balik yang ditutur dengan pola yang sangat halus. Sebuah masa lalu yang dipilin kembali sehingga tidak terasa membosankan dalam karya ini. Di sana ada kisah masa remaja antara Dominick, Thomas, Leo dan Ralph Drinkwater. Ralph adalah seorang Indian serta memiliki seorang kembar pula. Persahabatan terjalin antara tiga orang tersebut yang tidak sportif terhadap Ralph. Lahir sebagai seorang Indian membuat Ralph sulit untuk disukai, dia bahkan menjadi lebih tertutup setelah kematian saudari kembarnya yang dramatis. Persahabatan mereka yang tidak adil terhadap Ralph ini nyaris terjadi sepanjang hidup mereka seandainya rasa ingin tahu Dominick terhadap ayah kandungnya tidak kesampaian.

Kisah cinta serta konflik lainnya akan melibatkan Dessa, Joy dan Angie. Kemarahan dalam diri Dominick telah membuat dessa pergi dari hidupnya. Cintanya pada Dessa membuat Dominick semakin menderita, bahkan saat dia telah hidup serumah dengan Joy dia masih akan selalu membayangkan Dessa. Hubungan suami istri Leo dan Angie akan membawa pembaca pada kisah asmara Thomas yang gagal. Selain itu, kepribadian Joy yang ganjil juga akan semakin menyemarakan karakter dalam novel ini.

Menjelang akhir cerita, Wally Lamb menyuguhkan lagi sebuah babak dimana sihir mengambil peran dalam novelnya. Disinilah, kenyataan tentang kehidupan dua saudara kembar yang selalu pedih tersebut terkuak. Inilah mengapa Thomas harus mati demi Dominick dan Drinkwater yang satu harus mati demi saudara kembarnya. Semua bermula saat seekor kelinci disihir jadi dua oleh wanita dalam kehidupan kakeknya, dan oleh Dominick sendiri dua kelinci tersebut disatukan kembali oleh wanita sihir yang sama.

Tetapi seperti buku-buku lain, novel ini juga belum terlalu sempurna. Terdapat sebuah penyelesaian masalah yang menurut saya kurang valid dan menggugah setelah sebuah perjalanan kisahnya yang luar biasa. Aspek mistis dalam novel ini yakni sihir yang semula dalam cerita kakek Dominick sangat menarik, ternyata berakhir terlalu cepat. Wally Lamb meringkaskan pertemuan antara Dominick dengan sang penyihir sebagai sebuah kebetulan, padahal akan lebih menarik bila dibuat sebuah konflik lain saat Dominick berusaha menemukan sang penyihir. Mengingat bahwa penyihir tersebut telah hidup selama tiga generasi sejak kakeknya, rasanya terlalu dipaksakan jikalau pertemuan mereka dibuat secara kebetulan. Bukankah sihir tersebut telah berpengaruh pada kehidupan dua anak kembar? Lalu mengapa penulis kurang tajam dalam menyelesaikan konflik antara sihir dan kehidupan tersebut? Selain itu, Wally Lamb hanya menyebut sihir dan Tuhan secara berdampingan, namun hingga akhir cerita tidak pernah ada narasi atau penjelasan tentang hubungan antara keduanya.

Namun, terlepas dari pandangan saya tentang penyelesaian masalah sihir yang kurang memuaskan, novel ini tetap menjadi salah satu yang terbaik. Wally Lamb dan bukunya telah masuk dalam kategori New York’s Bestseller serta menuai beragam pujian dari banyak media cetak. Salah satu pujian datang dari New Orleans Time-Picayune:”Buku yang murah hati dan berjiwa besar. Ini adalah kisah setiap orang, pencarian mistis, kisah tentang penciptaan jati diri, Wally Lamb adalah seorang suhu.” Ya, novel setebal ini seharusnya menguras energi pembaca, tetapa keahlian bercerita sang penulis mampu membuat pembaca akhirnya menyadari bahwa ceritanya berakhir terlalu cepat.

novel bestseller
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com

Judul   buku: Sang Penebus; I Know It Must True

Pengarang: Wally Lamb

Penerbit: Qanita

Tahun Terbit: Cetakan I, November 2007; 1460  halaman

Mengenang Kenangan Masa Kecil

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*

kumcer mengenangDengan tampilan sampul yang sekilas mampu mengalihkan pandangan calon pembaca dari beberapa deretan buku yang tersedia. Serta pemilihan judul pun menjadi salah satu keunikan tersendiri, menciptakan kolaborasi pada kesan cerita masa lalu yang kini tinggal menjadi sebuah kenangan saja.

Masa SD yang ditempuh selama 6 tahun atau kurang, bahkan tak mengelak ada pula yang lebih dari 6 tahun, menjadikan masa ini sebagai dimensi kehidupan yang menjadi dasar hidup hingga kini. Masa awal sebagai akar diri tumbuh membangun karakter sebagai manusia. Menggambarkan bahwasannya begitu urgent-nya bagaimana roda perjalanan SD terlewati, serta sederetan peristiwa yang menjadi kenangan. Para lakon di dalamnya paham betul akan masa-masa itu, masa di mana seseorang tumbuh sebagai sosok yang sudah harus tersingkirkan karena latar belakang keluarga yang miskin. Tumbuh menjadi pujangga karena kekaguman atas sesama teman sebayanya. Bahkan tumbuh seakan-akan menjadi sosialis yang mengajarkan solidaritas kepada sesama teman, yang kelak dalam kehidupan sekarang menjadi dasar dalam memahami pluralisme.

“Masa kecil menjadi masa yang sangat penting dan perlu digarap dengan seksama, masa kecil menjadi fondasi terbentuknya karakter dan budi pekerti seseorang”. Begitulah tulisan Aji Wicaksono dalam Nostalgia Masa Kecil. Semakin kuat fondasi yang telah terbangun, akan semakin kokoh pulalah bangunan selanjutnya. Anak kecil juga merupakan sosok manusia, ia memiliki perasaan dan emosi yang masih bertumbuh sehingga perlu dibina dan diarahkan. Untuk itulah diperlukan peran serta orang tua, masyarakat dan sekolah. Orang tua menjadi kunci utama pembentukan karakter anak.

Buku kumpulan 25 cerpen yang terangkum dalam satu buku “mengenang…” tak hanya menjadi bukti dokumentasi atas kenangan pribadi di waktu kecil. Bahkan di masa itulah tumbuh pemahaman akan rasa solidaritas, masa penuh dengan kerjasama dan kebersamaan. Masa SD menjadi masa yang kebanyakan didominasi dengan belajar kelompok, begitulah kiranya yang dialami oleh Budiawan Dwi Santoso dengan Merah Celanaku, Putih Bajuku. Kegiatan rutinitas menjadi hal-hal yang dominan untuk diingat. Upacara bendera, senam pagi, bahkan berjalan mengendap-endap memasuki ruang kelas ketika telat dan tak bisa mengikuti kegiatan rutin pun menjadi kenangan tersendiri.

Dua puluh lima (25) judul cerpen mewakili kisah masa kecil yang telah terlewati. Dua puluh lima judul cerpen dengan 25 penulis, sekaligus sebagai sutradara. Di sisi lain merekalah pemeran dari jalannya narasi itu. Mereka mampu melibatkan pembaca untuk menikmati dan menyatu dengan kisah yang diceritakan, sehingga kita seakan-akan diajak untuk melihat gambaran masa lalu sebagaimana ia menggambarkannya dalam cerita di buku ini. Masing-masing penulis berhasil mendiskripsikan dan mengulas cerita masa kecil hadir di mata pembaca.

Tersurat dalam buku ini cerita tentang pergaulan masa kecil/keakraban dengan sesama anak yang tidak pernah membedakan antara juragan dan bawahan serta faktor perbedaan agama yang tidak pernah menjadi masalah. Yang ada dalam permainan adalah berbagi dan bertukar peran karena giliran, itu lebih karena pilihan atau menang kalah pingsut, bahkan prinsip negosiasi sudah diaplikasikan dalam proses berlangsungnya permainan. Pembagian ini bukan karena faktor agama/peranan ekonomi. Inilah pelajaran hidup yang berhasil dimunculkan Sanie B Kuncoro peroleh dari kampung tempat tumbuhnya. Dan di kemudian masa, pengalaman inilah yang menjadi dasar ia dalam memaknai pluralisme.

Keaktifan, kesombongan bahkan pengalaman akan cinta menjadi bumbu tersendiri dalam alur narasi ini. Pengalaman mengagumi sosok teman sebaya menjadi hal yang tabu sekaligus lucu. Pembaca diajak tertawa, karena yang ada di sini adalah perasaan kagum yang diekspresikan lewat kenakalan.

Jika kita menjadi penonton sebuah pertunjukan wayang, maka sang dalang mampu menunjukkan sisi lain dari masa-masa alur cerita perwayangan. Selain yang kita lihat tentang kesenangan, akan kita dapati makna lain dari pertunjukannya. Sang dalang seolah-olah menunjukkan adegan gara-gara yang membuat penonton sontak terkejut. Sebagaimana dikisahkan dalam buku ini, ada beberapa alur kisah yang menyiratkan termarginalkannya sang lakon. Munculnya tragedi ketidaksetaraan dalam hubungan antar manusia karena latar belakang materi, seorang berpotensi mendapatkan perlakuan lebih baik karena lebih berdaya ekonominya. Realitas gara-gara yang dihadirkan sang dalang menunjukkan pada kita bahwa dimensi ini membawa pada pengenalan dunia yang materialistis, pada kesadaran kelas.

Sungguh ironis melihat beberapa fenomena yang harus menjadikan anak-anak emas ini kehilangan sebagian senyum nikmatnya dunia pendidikan serta pupusnya rasa nikmat melahap buku. Sekolah menjadi suatu hal yang dipertanyakan kualitasnya karena tak mampu menghasilkan beras bagi keluarga. Di dalam kelas mereka dibuai dengan iming-iming kesejahteraan, namun jangankan membeli beras, untuk membeli buku, mereka sangat kerepotan.

Latar belakang keluarga menjadi faktor penentu teman mana yang pantas. Anak-anak sekolah dipaksa untuk memahami kelas-kelas sosial masyarakat. Batasan ini sekarang malah semakin jelas dengan adanya kelas atau sekolah eksklusif.

Kumpulan cerpen ini mengingatkan kepada pembaca bahwa sejarah bangku SD yang telah berganti, jika dahulu kita akrab dengan lagu lir-ilir ataupun bintang kecil serta deretan mainan tradisional. Kini telah berganti menjadi lagu-lagu bergenre cinta yang semestiny untuk mereka yang dewasa. Hal ini menyebabkan anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang sering berimajinasi dengan kegalauan jiwa. Permainan karet diiringi dengan celotehan sesama anak kini sirna berganti dengan deretan status di situs jejaring sosial.

“Mengenang kenangan masa kecil” menjadi sebuah nostalgia romantis sekaligus mengharukan. Bagaimana tidak? Sekilas kita mengenang masa-masa kecil kita dengan berbagai cerita asyiknya. Berpetualang menyusuri sungai, seakan-akan menjadi nahkoda yang handal, asyik berimajinasi dengan alam pikiran penuh fantasi. Namun, kenangan itu akan segera tergantikan dengan keharuan ketika melihat realitas yang terjadi sekarang. Permainan-permainan tradisional yang menjadi penghibur sekaligus wahana pembentukan karakter anak telah hilang. Apakah hilangnya tradisi ini disebabkan dampak dari modernitas?

Menjadi sebuah keprihatinan ketika pancasila tak terkenang dalam sanubari. Namun memang begitulah kenyataan yang ada kini, pancasila yang sarat dengan nilai keagungan kini hanya tinggal tulisan. Sebagaimana disuratkan dalam buku ini “Pancasila menjadi milik umum, dilahirkan orde lama, diasuh dan dibesarkan orde baru, namun dibuang sebagai wacana bungkus kacang oleh pasca-reformasi.” Nasib pancasila selanjutnya tergantung pada kita kaum-kaum muda, bila kita hanya diam saja, itu sama saja dengan membiarkan kemandegan yang terjadi saat ini.

“Mengenang…” menjadi salah satu buku kumpulan 25 cerpen dengan masing-masing ceritanya yang menimbulkan kekaguman, keheranan bahkan kemirisan. Di sisi lain buku ini juga mengisyaratkan pentingnya masa SD sebagai fondasi dalam menjalani kehidupan. Begitulah kiranya kita patut dan perlu membaca buku ini untuk menghadirkan kembali masa SD, masa kanak-kanak yang penuh akan nilai solidaritas.

 

kumcer mengenangJudul Buku: mengenang…
Penulis : Kumpulan 25 Penulis
Editor: Bandung Mawardi
Penerbit: Jagad Abjad
Tahun: 2012
Tebal: 172 halaman
Harga: Rp. 25.000,-
ISBN: 978-979-1032-73-5

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi UMS Angkatan Tahun 2010. Aktif mengembangkan Komunitas 3 Pena Buku (K3PB)

Menyerukan Kembali Pentingnya Ijtihad

Resensi Arif Saifudin Yudistira*)

Bila kamu melakukan ijtihad dan benar maka kamu mendapatkan pahala senilai dua, sedang bila ijtihadmu salah maka kamu akan mendapat pahala satu. Sedang tak ada dosa dalam ijtihad.

allah, liberty and loveBegitulah kiranya agama sudah menganjurkan kita melakukan ijtihad. Ijtihad dimaknai memperjuangkan dan mencari kebenaran, untuk mencapai perubahan. Dalam konteks sekarang, agama berubah menjadi sosok yang mandek, stagnan dan tidak mampu menghadapi realitas jaman yang sudah sebegitu cepat dan rusak.

Betapa islam sendiri kemudian tak mampu menghadapi teror yang melanda sejak terjadinya 9/11. Peristiwa itu seperti meruntuhkan bangunan, hingga membangkitkan stereotype yang aneh. Islam itu teroris, islam itu kejam dan islam adalah bom dan kekerasan. Irshad Manji mengawali ceritanya dengan gambaran demikian. Ia ingin menolak stereotype itu. Islam tidak demikian, islam mesti keluar dari stigmatisasi ini. Islam mesti kembali ke islam sebenarnya yakni islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Pesan itu yang kini tegas dan layak disuarakan oleh Irshad Manji. Ia tak ingin mendengar lagi islam seperti di media massa yang identik dengan tiga kengerian yakni pengeboman, pemenggalan, dan darah.

Manji tak hanya ingin menegaskan bahwa, kenapa takut melakukan tafsir dan menjadikan iman itu melampaui teks saja. Kita tak tahu siapa yang memegang otoritas kebenaran, karena kebenaran hanya dipegang oleh Tuhan saja. Maka dari itu, orang-orang yang merasa memegang otoritas kebenaran dan menghakimi penafsiran yang lain itulah yang menurut Irshad justru menyimpang. Betapa Allah sudah memberikan kebebasan sebebas-bebasnya pada umatnya.

Integritas

Tanpa adanya kebebasan untuk berpikir dan berekspresi tidak mungkin ada integritas baik dalam diri maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu, prasyarat dari integritas tak lain adalah kebebasan berpikir dan berekspresi. Menyikapi beragamnya ekspresi dan aneka ragam pemikiran itulah dialog menjadi jembatan dan media untuk menghindari konflik. Tak ada persoalan yang mestinya tak dapat diselesaikan, dialog mampu menjangkau dan mencapai yang lebih dari yang sebelumnya. Sikap dialog dan kebebasan berekspresi inilah yang seringkali membuat orang justru ditentang oleh kelompok atau sekte keagamaan lain. Dialog dilupakan, sedang kesempitan berpikir justru lebih dikedepankan. Akhirnya, jalan untuk menjembatani perbedaan jadi tak ada.

Integritas, menurut Irshad dalam buku Allah, cinta dan kebebasan, adalah fondasi yang mesti dibangun. Integritas bisa melampaui dinding dan tembok keagamaan. Bagian dari integritas itu misalnya menentang hukum rajam hingga mati. Hingga hukum pancung, hukum yang mengerikan dan kejam itu tentu saja akan kita sepakati bila sesuai konteksnya. Akan tetapi, bila kita melihat kasus di Arab Saudi yang seringkali melakukan hukuman pancung yang ternyata lebih banyak korban yang justru dipancung daripada pelaku asusila sebut saja kisah pembantu Indonesia (tki) yang sering mengalami hal itu. Maka hukum pancung mesti ditinjau kembali, di sinilah pentingnya ijtihad. Ijtihad jelas tidak meninggalkan nalar dan pikiran kita.

Integritas adalah bagaimana kita menempatkan Tuhan dalam kehidupan kita. “Tuhan bisa menjadi nurani anda, pencipta anda, atau gabungan keduanya yang sungguh memesona yang dikenal sebagai integritas”(xxvi). Maka dari itu, membangun integritas mesti dijalani dari hakikat kesadaran diri bahwa kita melampaui dari apa yang kita bisa. Agama adalah sarana, sedang bagaimana kita mempraktekkan agama dan mencapai kesempurnaannya itulah yang mesti kita laksanakan. Oleh karena itu, Irshad menyarankan kita untuk lebih menghilangkan identitas kita  dan menunjukkan integritas kita.

Relatifitas Budaya

Kita seringkali tak bisa menempatkan antara seberapa besar posisi budaya dan posisi agama dalam kehidupan sehari-hari kita. Orang tua kita sering mengajarkan “jangan berani padaku, niscaya engkau masuk neraka”, maka ketika kita menjawab “suruh saja Tuhanmu memasukkan aku ke nerakanya”. Jawaban semacam itu dinilai melanggar nilai-nilai agama. Maka agama tiba-tiba jadi sesuatu yang mencekam dan menerkam kita. Agama menjadi topeng kedirian kita.

Maka ketika melihat budaya yang ada di negeri ini, yang sudah lebih jauh berada daripada agama yang masuk di negeri kita, kita seringkali bersikap ekstrem terhadap kebudayaan yang ada. Atau sebaliknya ketika budaya yang ada di Arab yang mengekang masyarakatnya – utamanya perempuan- membelenggu mereka. Maka budaya lebih cenderung dianggap sebagai agama.

Oleh karena itu, budaya itu relatif dan tidak sakral. Ketidaksakralan budaya ini yang mesti dijelaskan. Budaya itu cipta dan karsa manusia, jika kita melebih-lebihkan budaya daripada agama, maka yang terjadi yakni perebutan kekuasaan tafsir keagamaan. Akhirnya agama pun dijalani dengan membabi buta dan identik dengan kekerasan dan juga permusuhan. Adat kehormatan sudah ada sebelum islam. Jika kita bertahan pada budaya dengan mengatasnamakan islam, maka kita sama saja menyembah apa yang manusia -bukan tuhan- ciptakan! Bukankah itu disebut menyembah berhala?(99)

Dengan buku ini, Irshad tak hanya menjelaskan bagaimana pentingnya mengembangkan integritas, karena dengan integritas itu pula ia berharap dapat membangkitkan para umat agama yang merasa takut berbicara tentang agama dan tentang kebenaran. Buku ini pun mengajak kita, bahwa agama mesti disandingkan dengan iman. Iman tidak melarang eksplorasi, dogmalah yang melarang. Secara intrinsik dogma terancam oleh pertanyaan-pertanyaan. Sementara iman menerima pertanyaan-pertanyaan karena iman meyakini bahwa Tuhan yang maha pengasih bisa menghadapi semua itu (xx).  Terakhir buku ini sebagaimana dalam pembuka setidaknya menyerukan pesan penting yakni pentingnya mengubah amarah menjadi aspirasi. Mengapa eskpresi kemarahan berbagai orang yang merupakan ekspresi keagamaan kita tidak kita jadikan aspirasi untuk membangun dunia yang lebih baik?

allah, liberty and loveJudul buku: Allah, Cinta dan Kebebasan
Penulis: Irshad Manji
Penerbit: Rene book
Tebal: 352 halaman
ISBN: 978-602-19153-4-9
Harga: Rp.69.900,00

*) Penulis adalah Mahasiswa UMS, mengelola kawah institute Indonesia

Catatan:

Download Buku Allah, Liberty and Love, GRATIS.