kumcer mengenang

Mengenang Kenangan Masa Kecil

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*

kumcer mengenangDengan tampilan sampul yang sekilas mampu mengalihkan pandangan calon pembaca dari beberapa deretan buku yang tersedia. Serta pemilihan judul pun menjadi salah satu keunikan tersendiri, menciptakan kolaborasi pada kesan cerita masa lalu yang kini tinggal menjadi sebuah kenangan saja.

Masa SD yang ditempuh selama 6 tahun atau kurang, bahkan tak mengelak ada pula yang lebih dari 6 tahun, menjadikan masa ini sebagai dimensi kehidupan yang menjadi dasar hidup hingga kini. Masa awal sebagai akar diri tumbuh membangun karakter sebagai manusia. Menggambarkan bahwasannya begitu urgent-nya bagaimana roda perjalanan SD terlewati, serta sederetan peristiwa yang menjadi kenangan. Para lakon di dalamnya paham betul akan masa-masa itu, masa di mana seseorang tumbuh sebagai sosok yang sudah harus tersingkirkan karena latar belakang keluarga yang miskin. Tumbuh menjadi pujangga karena kekaguman atas sesama teman sebayanya. Bahkan tumbuh seakan-akan menjadi sosialis yang mengajarkan solidaritas kepada sesama teman, yang kelak dalam kehidupan sekarang menjadi dasar dalam memahami pluralisme.

“Masa kecil menjadi masa yang sangat penting dan perlu digarap dengan seksama, masa kecil menjadi fondasi terbentuknya karakter dan budi pekerti seseorang”. Begitulah tulisan Aji Wicaksono dalam Nostalgia Masa Kecil. Semakin kuat fondasi yang telah terbangun, akan semakin kokoh pulalah bangunan selanjutnya. Anak kecil juga merupakan sosok manusia, ia memiliki perasaan dan emosi yang masih bertumbuh sehingga perlu dibina dan diarahkan. Untuk itulah diperlukan peran serta orang tua, masyarakat dan sekolah. Orang tua menjadi kunci utama pembentukan karakter anak.

Buku kumpulan 25 cerpen yang terangkum dalam satu buku “mengenang…” tak hanya menjadi bukti dokumentasi atas kenangan pribadi di waktu kecil. Bahkan di masa itulah tumbuh pemahaman akan rasa solidaritas, masa penuh dengan kerjasama dan kebersamaan. Masa SD menjadi masa yang kebanyakan didominasi dengan belajar kelompok, begitulah kiranya yang dialami oleh Budiawan Dwi Santoso dengan Merah Celanaku, Putih Bajuku. Kegiatan rutinitas menjadi hal-hal yang dominan untuk diingat. Upacara bendera, senam pagi, bahkan berjalan mengendap-endap memasuki ruang kelas ketika telat dan tak bisa mengikuti kegiatan rutin pun menjadi kenangan tersendiri.

Dua puluh lima (25) judul cerpen mewakili kisah masa kecil yang telah terlewati. Dua puluh lima judul cerpen dengan 25 penulis, sekaligus sebagai sutradara. Di sisi lain merekalah pemeran dari jalannya narasi itu. Mereka mampu melibatkan pembaca untuk menikmati dan menyatu dengan kisah yang diceritakan, sehingga kita seakan-akan diajak untuk melihat gambaran masa lalu sebagaimana ia menggambarkannya dalam cerita di buku ini. Masing-masing penulis berhasil mendiskripsikan dan mengulas cerita masa kecil hadir di mata pembaca.

Tersurat dalam buku ini cerita tentang pergaulan masa kecil/keakraban dengan sesama anak yang tidak pernah membedakan antara juragan dan bawahan serta faktor perbedaan agama yang tidak pernah menjadi masalah. Yang ada dalam permainan adalah berbagi dan bertukar peran karena giliran, itu lebih karena pilihan atau menang kalah pingsut, bahkan prinsip negosiasi sudah diaplikasikan dalam proses berlangsungnya permainan. Pembagian ini bukan karena faktor agama/peranan ekonomi. Inilah pelajaran hidup yang berhasil dimunculkan Sanie B Kuncoro peroleh dari kampung tempat tumbuhnya. Dan di kemudian masa, pengalaman inilah yang menjadi dasar ia dalam memaknai pluralisme.

Keaktifan, kesombongan bahkan pengalaman akan cinta menjadi bumbu tersendiri dalam alur narasi ini. Pengalaman mengagumi sosok teman sebaya menjadi hal yang tabu sekaligus lucu. Pembaca diajak tertawa, karena yang ada di sini adalah perasaan kagum yang diekspresikan lewat kenakalan.

Jika kita menjadi penonton sebuah pertunjukan wayang, maka sang dalang mampu menunjukkan sisi lain dari masa-masa alur cerita perwayangan. Selain yang kita lihat tentang kesenangan, akan kita dapati makna lain dari pertunjukannya. Sang dalang seolah-olah menunjukkan adegan gara-gara yang membuat penonton sontak terkejut. Sebagaimana dikisahkan dalam buku ini, ada beberapa alur kisah yang menyiratkan termarginalkannya sang lakon. Munculnya tragedi ketidaksetaraan dalam hubungan antar manusia karena latar belakang materi, seorang berpotensi mendapatkan perlakuan lebih baik karena lebih berdaya ekonominya. Realitas gara-gara yang dihadirkan sang dalang menunjukkan pada kita bahwa dimensi ini membawa pada pengenalan dunia yang materialistis, pada kesadaran kelas.

Sungguh ironis melihat beberapa fenomena yang harus menjadikan anak-anak emas ini kehilangan sebagian senyum nikmatnya dunia pendidikan serta pupusnya rasa nikmat melahap buku. Sekolah menjadi suatu hal yang dipertanyakan kualitasnya karena tak mampu menghasilkan beras bagi keluarga. Di dalam kelas mereka dibuai dengan iming-iming kesejahteraan, namun jangankan membeli beras, untuk membeli buku, mereka sangat kerepotan.

Latar belakang keluarga menjadi faktor penentu teman mana yang pantas. Anak-anak sekolah dipaksa untuk memahami kelas-kelas sosial masyarakat. Batasan ini sekarang malah semakin jelas dengan adanya kelas atau sekolah eksklusif.

Kumpulan cerpen ini mengingatkan kepada pembaca bahwa sejarah bangku SD yang telah berganti, jika dahulu kita akrab dengan lagu lir-ilir ataupun bintang kecil serta deretan mainan tradisional. Kini telah berganti menjadi lagu-lagu bergenre cinta yang semestiny untuk mereka yang dewasa. Hal ini menyebabkan anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang sering berimajinasi dengan kegalauan jiwa. Permainan karet diiringi dengan celotehan sesama anak kini sirna berganti dengan deretan status di situs jejaring sosial.

“Mengenang kenangan masa kecil” menjadi sebuah nostalgia romantis sekaligus mengharukan. Bagaimana tidak? Sekilas kita mengenang masa-masa kecil kita dengan berbagai cerita asyiknya. Berpetualang menyusuri sungai, seakan-akan menjadi nahkoda yang handal, asyik berimajinasi dengan alam pikiran penuh fantasi. Namun, kenangan itu akan segera tergantikan dengan keharuan ketika melihat realitas yang terjadi sekarang. Permainan-permainan tradisional yang menjadi penghibur sekaligus wahana pembentukan karakter anak telah hilang. Apakah hilangnya tradisi ini disebabkan dampak dari modernitas?

Menjadi sebuah keprihatinan ketika pancasila tak terkenang dalam sanubari. Namun memang begitulah kenyataan yang ada kini, pancasila yang sarat dengan nilai keagungan kini hanya tinggal tulisan. Sebagaimana disuratkan dalam buku ini “Pancasila menjadi milik umum, dilahirkan orde lama, diasuh dan dibesarkan orde baru, namun dibuang sebagai wacana bungkus kacang oleh pasca-reformasi.” Nasib pancasila selanjutnya tergantung pada kita kaum-kaum muda, bila kita hanya diam saja, itu sama saja dengan membiarkan kemandegan yang terjadi saat ini.

“Mengenang…” menjadi salah satu buku kumpulan 25 cerpen dengan masing-masing ceritanya yang menimbulkan kekaguman, keheranan bahkan kemirisan. Di sisi lain buku ini juga mengisyaratkan pentingnya masa SD sebagai fondasi dalam menjalani kehidupan. Begitulah kiranya kita patut dan perlu membaca buku ini untuk menghadirkan kembali masa SD, masa kanak-kanak yang penuh akan nilai solidaritas.

 

kumcer mengenangJudul Buku: mengenang…
Penulis : Kumpulan 25 Penulis
Editor: Bandung Mawardi
Penerbit: Jagad Abjad
Tahun: 2012
Tebal: 172 halaman
Harga: Rp. 25.000,-
ISBN: 978-979-1032-73-5

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi UMS Angkatan Tahun 2010. Aktif mengembangkan Komunitas 3 Pena Buku (K3PB)

5 tanggapan untuk “Mengenang Kenangan Masa Kecil”

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s