Arsip Tag: resensi buku

Agama dan Kekuatan Sosial

Resensi Budi Hastono

manifesto kaum berimanAgama adalah candu, kata Karl Marx. Pentolan penulis dan filsuf marxis ini memang menyulut berbagai macam perdebatan apalagi jika dibenturkan dengan kaum agamawan yang ortodoks atau kolot. Pada kenyataannya, jika kita lihat dari esensi keagamaan, kalimat itu memang patut sebagai kritikan tajam. Realita akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan agama dijadikan sebagai candu. Alasan seorang marx menyampaikan hal demikian adalah karena agama yang ketika itu dikonstruksikan oleh rezim kekuasaan dan elite agama, ketika diperhadapkan dengan masalah sosial yang ada, agama tidak membela masyarakat yang sedang susah. Elite agama menjadi pendukung setia otoriterianisme dan borjuisi kaum kapitalis. Hal ini diperparah elite agama yang gemar hidup glamour misalnya naik haji berkali-kali. Permenungan di atas yang menjadikan penulis terbuka matanya untuk melahap halaman demi halaman buku bertajuk “Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman”, yang dituliskan Doktor Zuly Qodir.
Zuly Qodir yang merupakan putra kota dawet ayu, banjarnegara, menulis dalam bukunya ini gambaran betapa pelik keadaan keberagamaan di negeri ini. Bagaimana tidak, agama di negeri ini telah dijadikan sebagai sebuah alat politik yang manis untuk menggandeng kekuasaan. Fenomena munculnya partai islam di negeri ini menjadi perbincangan menarik dalam buku ini. Buku yang merupakan kumpulan tulisan beliau terkait permasalahan agama dan sosial, agama dan politik, peran ormas keagaamaan yang mendominasi sampai kepada kritik gerakan keagamaan partai yang berbahaya.
Apa yang menarik? Mungkin pertanyaan ini akan muncul ketika kita akan membaca sebuah karya. Kemenarikan buku ini terdapat pada analisis yang matang sehingga setiap jengkal pernyataan berdasarkan data yang jelas, sehingga kita mampu menjamin kebenaran yang ada di dalamnya. Sebuah bab yang membahas mengenai gerakan agama yang berafiliasi dengan politik dengan berkedok dakwah namun sebenarnya hanya menginginkan kekuasaan, di mana digambarkan bagaimana posisi kelatahan masyarakat Indonesia dalam menerima setiap ideologi yang bahkan di negara asalnya dilarang. Sebagaimana dalam salah satu kalimat dalam buku ini, “ hal itu patut kita cermati dan waspadai sebab sebagai gerakan politik, retorika biasanya adalah omong kosong yang penting dapat mengelabui masyarakat yang sedang diarahkan (digiring) mengikuti ideologinya (Qodir : 102). Petikan itu tidak hanya pedas namun juga dihadirkan dengan fakta yang nyata mengenai gerakan politik yang mengatasnamakan agama melakukan tindakan membabi buta.
Bagian terpenting dari buku ini adalah bagaimana pembaca nantinya mampu menempatkan posisinya sebagai seorang yang beragama untuk menghadirkan agama dalam realitas yang tengah kita rasakan ini. Inilah tema penting yang harus ditemukan jawabannya sehingga orang beragama tidak sekedar bermimpi dan berangan-angan masa depan, tetapi penuh kepengapan karena agama bukan lagi hadir sebagai pembawa pencerahan, tetapi malah membiarkan kemungkaran sosial terus bergerilya secara bergiliran menggilas nilai-nilai universal kemanusiaan.
Agama harus ditempatkan sebagai pembela manusia bukan pembela tuhan, karena tuhan sudah tidak perlu dibela. Yang perlu dilakukan oleh agama adalah menjawab tantangan zaman mengenai kemiskinan, bobroknya pemerintahan dan ahlak utamanya. Buku ini juga akan memberikan penyadaran kepada kita untuk menjadi orang beragama yang sejatinya menjawab apa yang ada di sekitar kita, bukan menjadi agamawan yang hanya mementingkan artificial diri dalam beragama.
Penulis menghimbau untuk membaca buku ini kepada para mahasiswa atau aktivis dakwah agar mampu mengartikan agama sebagai penjawab tantangan zaman, bukan agama yang mati karena tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
 
manifesto kaum berimanJudul Buku: Gerakan Sosial Islam “ Manifesto Kaum Beriman”
Penulis: Dr Zuly Qadir
Harga: Rp. 45.000,-
Tahun: 2009
Tebal: 366 Halaman
ISBN: 978-602-8479-75-2

 

*)Peresensi merupakan mahasiswa UMS PBSID 2010. Aktif di PK IMM FKIP UMS Surakarta.

Sejarah “Kuasa” dan “Makna” Pakaian

Resensi Arif Saifudin Yudistira*)

inda citranindaSejarah pakaian muncul sejak manusia Indonesia mengenal budaya menenun. Dengan masuknya budaya menenun di era neolitikum itulah manusia Indonesia mengenali cara menutup tubuh mereka. Sebagaimana kita mengetahui, manusia Indonesia di masa itu, memandang pakaian masih sebagai satu pelindung dari luar seperti panas, dingin, dan lain sebagainya (I made seraya 1980-1981:16). Di masa lalu, cara berpakaian nenek moyang kita pun seperti tak jauh berbeda dengan kita, mereka menutupi tubuh mereka dengan pakaian untuk menunjukkan kelebihan dan status sosial mereka.

Pakaian memiliki sakralitas tersendiri bagi kaum bangsawan, istana, yang itu berlaku hingga saat ini. Pakaian dikhususkan, tidak boleh sembarangan kawula desa atau rakyat memakai pakaian para raja atau kaum bangsawan. Kuasa “pakaian” ini menunjukkan identitas hingga kini, misalnya ketika kita jumpai pakaian kebesaran di keraton-keraton dan bangsawan di Yogyakarta dan di Solo. Pakaian mereka memiliki ciri khusus, seperti aksesoris, ikat pinggang, penutup kepala dari emas, hingga tongkat. Dari sanalah kita mengetahui pakaian di kalangan kerajaan atau bangsawan memiliki fungsinya sendiri baik pada upacara resmi keraton, upacara yang sifatnya kerakyatan, dan upacara-upacara lainnya. Nuansa etis dan sistem keraton yang ketat dalam tata budaya dan sistem adat ini barangkali bisa dilacak sebagai simbolisasi kuasa keraton yang mengadopsi nilai-nilai barat dan eropa yang dipadukan dengan nilai-nilai jawa. Kita bisa menemui ini pada kesaksian perempuan jawa yang ada di buku “Prajurit Perempuan Jawa”(2011).

Melalui buku busana jawa kuna ini, Inda Citraninda menunjukkan kepada kita, bahwa kita memiliki khasanah budaya dan kekayaan arkeologi yang begitu tinggi di dalam artefak-artefak peradaban kita. Kita bisa menemui ini pada candi misalnya, Inda Citraninda membuka mata kita semua, bahwa simbolisasi, kuasa, dan fungsi pakaian yang melekat pada tubuh tak sekadar berfungsi sebagai penutup tubuh semata melainkan memiliki implikasi pada bagaimana strata atau kelas sosial itu muncul. Penelitian ini tak hanya memberikan sumbangsih penting bagaimana membaca masa lalu nenek moyang kita yang ada pada relief candi Borobudur, tetapi juga sebagai pijakan bagaimana membaca fenomena pakaian di manusia modern. Hal ini tampak pada bagaimana lingkungan istana kita memakai pakaian yang bermiliar-miliar rupiah untuk upacara resmi kenegaraan hingga pakaian sehari-hari. Melalui harga dan bentuk pakaian kenegaraan itulah, ternyata negara atau dalam hal ini pemerintah masih memakai logika kuno di negeri ini yang dulu dipakai nenek moyang kita. Pakaian seorang raja mesti berbeda dengan kawula, pakaian seorang rakyat jelata harus beda dengan pakaian presidennya.

Antara Kuasa dan Keadaban

Kita mengenali pakaian di masa kini pun menjadi mode dan industri yang menjanjikan. Kelas sosial, gengsi, hingga eksistensi pun muncul, bahkan kini pakaian seperti menjadi budaya popular yang kerap membawa kontroversi dan polemik. Pakaian pun dimanfaatkan oleh dunia hiburan dan dunia kapitalisas modern untuk menyihir anak-anak muda kita ikut dan tak berdaya di mata trend, mode dan model pakaian yang dipakai para selebriti kita. Pakaian pun seperti semakin jelas menunjukkan sebagai alat untuk meningkatkan popularitas dan ketenaran para selebriti kita. Dengan gaya pakaian terbaru, pakaian “sexy” mereka menyihir dan membentuk opini publik melalui tayangan gosip, infotainment dan sebagainya. Pakaian di dunia modern pun seperti tak menunjukkan keadaban kita.

Inda Citraninda mengulas bagaimana pakaian dalam relief karmawibhangga di bagian bawah candi Borobudur. Pakaian dalam relief karmawibhangga menunjukkan berbagai kelas sosial yang ada. Kelas pekerja, kawula desa, hingga pakaian dewa-dewi. Pakaian di relief itu pun menunjukkan bahwa peradaban manusia di masa itu tak memandang pakaian yang ringkas sederhana sebagai unsur dari pornografi sebagaimana sekarang ini. Pakaian sederhana dan ringkas difahami sebagai fakta sejarah dan fungsi pakaian. Tapi justru di masa itulah, kelas sosial sudah mulai melekat pada identitas pakaian yang mereka pakai.

Kini, dunia modern barangkali perlu bercermin pada kajian Inda Citraninda, bahwa pakaian dan tubuh tak semestinya dijadikan eksploitasi dan objek dari media, kamera, hingga budaya patriarchal melalui stereotype “pornografi”. Sebab di masa lalu, kita memahami dan mengenali pakaian wanita yang sederhana dan menampakkan payudara dan bagian atas mereka dengan kondisi yang biasa dan sewajarnya. Selain itu, kajian Inda Citraninda “Busana Jawa Kuna” ini setidaknya memberikan satu pandangan jelas kepada kita semua pada makna dan kuasa pakaian.

Kuasa dan makna pakaian sebagai simbol status sosial itu sudah ada sejak jaman jawa kuno sebagaimana yang diungkap Pigeaud ada empat kelas sosial di masa itu yakni kaum penguasa, agama, orang biasa dan budak (Th.Pigeaud,1958:195). Sejarah kuasa dan makna pakaian di negeri ini pun sudah begitu lama, ia menunjukkan perkembangannya hingga kini. Buku ini setidaknya memberikan satu simpulan besar, bahwa pakaian adalah identitas, kelas-sosial yang melalui uang dan harga itulah pakaian menunjukkan kuasanya pada kita semua.

inda citranindaJudul buku                             : Busana Jawa Kuno
Penulis                                     : Indra Citraninda Noerhadi
Penerbit                                   : Komunitas Bambu
Hal                                            : 120 halaman
ISBN                                         : 978-602-9402-16-2
Harga                                      : Rp 50.000,00
Tahun                                      : Juli, 2012

*)Penulis adalah Mahasiswa UMS, Pegiat Bilik Literasi Solo

Pengumuman Lomba Menulis Resensi RetakanKata 2012

RetakanKata – Terima kasih kepada sahabat RetakanKata dan rekan-rekan mahasiswa yang telah berpartisipasi aktif dalam sayembara ‘menulis resensi buku’ di Blog RetakanKata.

Dan berikut ini diumumkan nama penulis dan resensi yang terpilih sebagai resensi terbaik pertama, kedua dan ketiga.

  1. Sang Penebus; I Know It Must True, karya Wilibrodus Wonga.
  2. Kisah Seorang Putri Naga, karya Riza Rahmah Angelia.
  3. Danau Toba,Perancis, dan Sitor, karya Arif Saifudin Yudistira

Hadiah untuk para pemenang adalah sebagai berikut:

  • Pemenang I mendapat pulsa sebesar Rp100.000,00 ditambah buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012.
  • Pemenang II mendapat pulsa sebesar Rp 50.000,00 ditambah buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012.
  • Pemenang III mendapat buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012.

Kepada para pemenang diharapkan segera mengkonfirmasi lewat email dengan mengirimkan alamat tujuan untuk pengiriman buku dan nomor telpon genggam yang akan diisi pulsa. Pastikan nomor telpon genggam yang dicantumkan aktif sebab RetakanKata akan menghubungi anda dengan nomor 085958551155 untuk memastikan pengiriman pulsa jarak jauh.

Semoga pengumuman ini dapat memacu gairah menulis para sahabat RetakanKata dan rekan-rekan mahasiswa di seluruh penjuru Nusantara untuk tetap aktif berkarya. Bagi sahabat yang karyanya belum terpilih untuk dimuat di blog RetakanKata, tidak perlu berkecil hati. Sahabat RetakanKata dan rekan-rekan mahasiswa dapat mengikuti sayembara berikutnya.

Selamat mengikuti sayembara berikutnya! Salam membaca dan menulis!

Lomba Menulis Resensi Buku

one day writing
Ilustrasi dari ioneday.blogspot.com

Kabar RetakanKata – Ingin mendapat buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012: Hari Ketika Seorang Penyihir Menjadi Naga? Ikuti saja lomba menulis resensi di Blog RetakanKata.Sesuai dengan yang telah diumumkan melalui funpage RetakanKata di facebook, maka untuk bulan Juli ini, Blog RetakanKata kembali mengadakan lomba menulis berhadiah. Kali ini lebih seru lagi, sebab hadiah dan pemenangnya diperbanyak. Jika sebelumnya kami hanya memilih dua pemenang, maka pada acara lomba kali ini, kami akan memilih tiga pemenang. Hadiahnya pun semakin menarik. Dan yang paling penting, lomba ini tetap gratis!

Lomba menulis kali ini dikhususkan untuk menulis RESENSI BUKU dengan ketentuan lomba sebagai berikut:

  1. Kamu dapat mengirim naskah lombamu sebanyak-banyaknya.
  2. Tentu saja karya yang dikirim dilampiri dengan kartu identitas (KTP/KTM/SIM/Kartu Pelajar atau Pasport Indonesia) dan alamat email atau nomor handphone yang mudah dihubungi.
  3. Resensi adalah karya asli, bukan saduran, bukan jiplakan dan belum pernah dipublikasikan.
  4. Buku yang diresensi berupa buku fiksi.
  5. Resensi ditulis pada kertas A4 dengan menggunakan huruf Times New Roman, font 12, dengan spasi 1,5 margin 3 cm dari atas, 2 cm dari kiri, 3 cm dari bawah, 2 cm dari kanan, dengan jumlah kata antara 1200 sampai dengan 2000 kata
  6. Hadiah:
  • Pemenang I mendapat pulsa sebesar Rp100.000,00 ditambah buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012.
  • Pemenang II mendapat pulsa sebesar Rp 50.000,00 ditambah buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012.
  • Pemenang III mendapat buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012.
Batas akhir pengiriman naskah tanggal 29 Juli 2012. Naskah dikirim ke retakankata@gmail.com.
Keputusan juri atas lomba ini tidak dapat diganggu gugat.
Selamat Berkarya!

Harmoni Keberagaman

Resensi Aris Hasyim*
islam moderatMenengok catatan kelam sepanjang 2011 perihal aksi barbarian yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan agama, intensitasnya boleh dibilang sangat mengkhawatirkan. Sebut saja, tragedi pembantaian warga Ahmadiyah di Ciukesik, ke rusuhan Temanggung, bom bunuh diri di Masjid Mapolres Cirebon dan hanya berselang beberapa bulan bom bunuh diri mengguncang Gereja Kepunton di Kota Solo.
Aksi-aksi keji yang dilakukan sekelompok masa yang tak bermoral itu, memperpanjang daftar kekerasan bernuansa agama di seantero negeri ini. Menyikapi perihal fenomena konflik agama di dalam masyarakat bhineka seperti di Indonesia, bangsa ini perlu mengimplementasikan kembali bahwa kemajemukan merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak.
Saling menghormati perbedaan baik itu di ranah agama, suku, ras, dan budaya adalah langkah konkret yang patut dijadikan sebuah pandangan hidup, cita-cita, dan sebagai dasar pijak dalam mengarungi bahtera kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, cita-cita luhur itu, kini mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman. Beruntung, meredupnya citacita luhur itu langsung direspons dan berusaha digelorakan kembali oleh salah satu akademisi muslim yaitu Dr. Machasin.
Machasin melalui buku bertajuk Islam dinamis, Islam harmonis ingin menegaskan kembali bahwa terorisme dan kekerasan serta mengingkari kearifan lokal dan pluralisme merupakan ‘antitesis’ terhadap islam sebagai ‘rahmatan lil’alamin’ (kasih sayang bagi seluruh alam). Manifestasi Islam yang dinamis, Islam harmonis salah satunya berpijak pada penyebaran kasih sayang.
Berawal dari kasih sayang, umat Islam diharapkan lebih erat dalam merajut hubungan interaksi dan berdialog antarsesama manusia tanpa me mandang perbedaan ras, suku, dan agama. Abdul Wahid Hasan penyunting buku ini turut mendeskripsikan bahwa Islam yang dinamis adalah Islam yang mampu menggerakkan dan digerakkan oleh pemeluknya tanpa mengingkari landasan dari Alquran dan Hadits. Lebih dari itu, Islam yang dinamis memberi ruang dialog dengan tradisi dan budaya, serta mampu merespons tantangan lokal dan global.
Melalui buku ini Machasin tidak membenarkan tindakan para kaum fundamentalis yang tidak sejalan dengan norma, hukum, dan agama. Manifestasi Islam yang dinamis, Islam harmonis diharapkan selalu dikedepankan oleh kaum muslim untuk menjalin tali persaudaraan dengan penyebaran kasih sayang terhadap sesama tanpa memandang ras, suku, dan agama. Langkah ini penting sebagai upaya membangun harmoni keberagamaan di seantero negeri ini.

• Islam Dinamis, Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralisme, Terorisme.
• Machasin
• LKIS, Yogyakarta
• Cetakan I/2011
• 342 Halaman

Penulis adalah Peneliti Kajian Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga

Sumber: Harian Bisnis Indonesia, Edisi Minggu, 18 Maret 2012.

Kisah di Balik Pintu: Menyingkap Rahasia Perempuan

Resensi Ragil Koentjorodjati

Hidup seseorang di luar sana, lewat dalam kesepian, dihantui oleh topeng-topeng manusia lain. Hidup pribadinya lewat dalam keheningan, dihantui oleh topeng diri sendiri.
(Eugene O’Neill)
buku soe tjen marchingSosok perempuan selalu menarik untuk diselisik. Ia seindah debur ombak di permukaan samudera sekaligus menyimpan misteri di bawahnya. Bara ambisi dapat rapi tersembunyi di balik sikap anggun, serapi hasrat seks yang kadang hanya terlihat seperti cahaya pendar. Tidak jarang banyak lelaki terpesona untuk turut mengobarkan setitik bara yang kadang tampak malu-malu tetapi mau. Namun tanpa terduga, perempuan mampu mengatakan “tidak” dengan tersenyum manis sehingga sering kali lelaki lebih percaya pada senyuman itu ketimbang kata “tidak” yang diucapkan. Kerap kali, dalam benak seorang lelaki, perempuan adalah paradoks itu sendiri. Paradoks di mana kata “iya” dapat berarti “tidak” dan kata “tidak” dapat berarti “iya”.
Simak kalimat Sulistina, istri Bung Tomo, pada biografinya yang dikutip Soe Tjen pada bukunya Kisah di Balik Pintu berikut:
Aku digendong dimuka para wartawan dan lampu blits berjepretan mengabadikan peristiwa itu. Aku malu sekali digendong didepan para wartawan…(Soetomo, 1995: 145)
Aneh. Malu tetapi ingin diketahui orang lain perihal malunya itu. Bahkan penting sekali bagi orang lain untuk melihat, mendengar dan menyaksikan rasa malu ini. Rasa malu yang sebenarnya tidak malu (hal. 47)
Acap kali muncul pertanyaan mengapa perempuan merasa perlu untuk menyembunyikan sebahagian dirinya dan pada saat yang sama memunculkan bagian dirinya yang lain. Simak misalnya pembelaan Inggit Garnasih ketika ia memutus suaminya, Sanusi, dan memilih Soekarno yang dua belas tahun lebih muda darinya. Dalam otobiografinya Kuantar ke Gerbang, sebagaimana dipaparkan dalam Kisah di Balik Pintu, ia menulis:
Yang jadi soal bagiku adalah justru suamiku sendiri, Kang Uci. Ia masih juga tetap suka sering keluar rumah. Dan aku sudah tidak bernafsu lagi untuk menegurnya. Biarlah ia mendapatkan kesenangannya sendiri, pikirku (Ganarsih, 1988:7)
Lalu pada bagian lain ia menjelaskan kemesraan hubungannya dengan Kusno atau Soekarno muda sebagai berikut:
Malam hari sering kali kami berduaan. Dengan tidak terasa saat-saat sepi telah direnggut oleh lautan asmara yang menjalar dan naik jadi pasang serta kami dengan tidak sadar telah tenggelam karenanya. Sampai pada satu saat Kusno merayu aku dan aku pun peka. Aku pun terdiri dari darah dan daging, manusia biasa yang luluh oleh kesepian dan musnah oleh pijar sinar cinta yang meluap (Ganarsih, 1988:16).
Jawaban pertanyaan “mengapa perempuan seperti membelah diri di atas” dapat beraneka ragam tergantung dari sudut pandang serta latar belakang si pemberi jawaban. Dan Soe Tjen Marching dengan bukunya Kisah di Balik Pintu menyediakan jawaban yang tidak saja menjelaskan mengapa tetapi juga bagaimana ideologi yang begitu dominan terutama seputar gender dan isu perempuan, mempengaruhi ekspresi para perempuan (hal.xix). Soe Tjen yang juga telah sukses dengan novelnya Mati, Bertahun yang Lalu, kali ini dengan Kisah di Balik Pintu menyediakan bukti-bukti analisis empiris bahwa ideologi yang bias gender punya andil besar dan turut bertanggung jawab atas identitas perempuan yang kadang seperti berkepribadian ganda. Buku ini juga memaparkan analisis serta bukti mengapa perempuan tidak mampu atau tidak berani tampil jujur apa adanya sebagaimana dilakukan kaum lelaki? Dalam istilah sekarang, mengapa harus jaim (jaga image)? Apakah salah jika perempuan ingin berkuasa sebagaimana lelaki? Apakah salah jika perempuan menunjukkan hasrat seksualnya dengan tampil lebih berani, meminta dipeluk atau bahkan memeluk dan mencium, menyampaikan dan mewujudkan ketertarikan pada lawan jenis? Apakah perempuan harus anteng, nurut dan nrimo, cukup sekedar menjadi konco wingking menjalankan tugas-tugasnya di dapur, di sumur dan di kasur?
Jawaban berbagai persoalan perempuan dan telitian tentang identitas perempuan telah cukup banyak disajikan para peneliti dan penggiat pemberdayaan perempuan, sebut saja misalnya buku Identitas Perempuan Indonesia: Status, Pergeseran Relasi Gender, dan Perjuangan Ekonomi Politik yang memuat kompilasi berbagai masalah perempuan di dunia ketiga. Namun Kisah di Balik Pintu sejatinya merupakan penelitian komprehensif atas keterbukaan dan kerahasiaan identitas pribadi perempuan Indonesia. Buku hasil terjemahan desertasi Soe Tjen dalam meraih Ph.D di Australia berjudul The Discrepancy between the Public and the Private of Indonesian Women yang telah diterbitkan sebelumnya oleh The Edwin Mellen Press, New York, 2007 ini, menggunakan buku harian dan otobiografi sebagai pintu masuk menyingkap rahasia-rahasia perempuan yang tidak diketahui publik. Meski terjemahan tersebut menimbulkan kendala bahasa tersendiri seperti salah tulis dan ketidaksepadanan kalimat, namun secara keseluruhan karya empiris yang cukup berat menjadi lebih enak dibaca dan terasa ringan. Harus diakui tidak ada yang lebih menarik selain membaca buku harian orang lain sebab itu seperti mengintip jendela hati seseorang, banyak hal menarik sekaligus mengejutkan.
Pada Kisah di Balik Pintu, setidaknya terdapat sembilan buku harian perempuan dengan berbagai latar belakang dan delapan otobiografi tokoh perempuan Indonesia yang diteliti dan diperbandingkan. Dapat diduga bahwa perbedaan latar belakang penulis buku harian dimaksudkan untuk mementahkan dugaan adanya pengaruh lain seperti suku atau agama. Membaca serta menganalisis “keliaran” perempuan dalam diary atau buku hariannya tentu menimbulkan rasa ingin tahu. Dan itu tidak kalah menarik dengan analisis otobiografi para tokoh seperti Sujatin Kartowijono (Mencari Makna Hidupku, 1983), Rachmawati Sukarno (Bapakku, Ibuku, 1983), Herlina (Pending Emas, 1985; Bangkit dari Dunia Sakit, 1986), Inggit Garnasih (Kuantar ke Gerbang, 1988), Ratna Djuami (Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno, 1992), Sulistina Soetomo (Bung Tomo Suamiku, 1995), Lasmidjah Hardi (Lasmidjah Hardi: Perjalanan Tiga Zaman, 1997). Dengan begitu banyak sumber, Kisah di Balik Pintu menjadi begitu kaya dan membuka banyak ruang penafsiran dan pemikiran tentang berbagai persoalan perempuan seperti emansipasi, hasrat diri, kekuasaan, kepuasan seksual dan bagaimana perempuan menempatkan diri pada lingkungan yang dihegemoni maskulinitas.
Lalu untuk apa mengetahui hal-hal yang tersembunyi itu? Temukan jawabannya dari buku setebal 256 halaman terbitan Penerbit Ombak Yogyakarta ini. Buku yang begitu kaya dengan mutiara yang menunggu untuk dituai.

buku soe tjenJudul Buku : Kisah di Balik Pintu (Identitas Perempuan Indonesia: Antara Yang Publik & Privat)
Penulis : Soe Tjen Marching
Penerbit : Ombak
Cetakan : I, 2011
Tebal : xxi + 256 halaman

Tulisan Terkait:
Siapa Soe Tjen Marching?