Arsip Tag: john kuan

Sebuah Anti-Travelogue

Puisi John Kuan

Satu Malam di Haurgeulis

Tidak ada cinta palsu, kawin tipu

raja ratu satu baju, sejarah di sini juga

legenda telah lama tidur. Udara hangat

padat, daun muda mangga Indramayu tebar

semacam harum, pipa bambu dalam gelap

menetes sejuk. Perkutut, juga seekor entah

burung apa sedang bersiul. Agak jauh

beberapa jendela mati lampu. Bulan penuh

di atas lumbung, Langit ada petir, terangkan

bunga-bunga mekar, di pekarangan daun

rimbun, rumah utama setengah ambruk.

Pipa bambu terus menetes, ada suara percik,

ayam berkokok, di malam angin aduk hujan

selalu begitu, awan hitam bersekongkol

guruh mengertak di jauh, saat itu angin baru

gila meniup, daun-daun menyahut, setetes

air hujan, banyak tetes air hujan kecipuk

kandang kambing dan atap seng

Dua Hari di Polandia

1.

Jembatan rel, pemusik buta jual nasib,

sebuah peti kayu, seekor camar,

siap siaga mematuk kertas nujum

kurogoh kocek, tapi ragu, sekitar penuh

penonton, aku berhenti, tarik keluar secarik

uang kertas 10 zloty, tertunduk, tidak

pandang bulu, sodor kepada pemusik

buta, camar seolah kilat, dari dasar peti

gigit secarik kertas, aku terima, berlagak

tenang: Awas pada kawan, kata kertas

Hati-hati masuk angin, kata kertas lagi

Aku kasihan kepada uang 10 zloty itu

Esok bangun, muka tebal, sebab pulas

ditampar angin garang, radang sendi

Kalau kawan, sejak itu tidak berani

2.

Biru tua beku, pantai dangkal, tepi Sungai

Wisla, es menumpuk sekujur tanggul

Duduk di atas balak, lonjong tapi basah

pelan-pelan diseka matahari terbenam

Tadi malam bersama Maria diguyur

Etude Szymanowski. Tahu, cinta telah

berakhir, persis seperti cheesecake

gosong dibakar temperatur tinggi

Sisi gereja di seberang Istana Potocki

pekerja belah batu tutup setapak

mata pisau berkedip dalam warna senja

telunjuk mandor mondar mandir

Tiga Jam di Rumah Lu Xun

Duduk hening di bawah bayang waktu, sejarah

tidak teriak lagi. Namun, puisi masih ditulis

pada semrawut jalan-jalan tikus pikiran

Negerimu sudah bangun? Di sudut-sudut ruang

memorial luas, tak terhitung batok kepala sehabis

dipotong taucang, pergi, hanya sisakan segumpal dahak

erat mencekik leher pengunjung, di antara mau

muntah dan tidak, menjaga garis pertahanan terakhir

pita suara. Maka, cekal suara, tidak bicara ihwal negara

diam menembus lewat satu bayang tubuh kesepian

demikian kosong, ingatan dikubur ke dalam bahasa derita,

tertidur, kita hanya berani pelan-pelan melangkah lewat

takut mengejutkan roh sedang merenung

lelah memikul seluruh Cina yang menggelembung

kita melangkah lewat, pada bayang perlahan mengecil

matahari di tengah hari, sebatang pohon jujube, dan langit

sebatang pohon jujube, tiada guruh, hanya segerombolan

suara kepak sayap merpati gegas melintas…

Empat Menit di Akademie Schloss Solitude

Schiller, Goethe telah diundang

ke sini menulis, membaca

setiap hari pukul enam pagi

pelayan ketuk pintu,

diperintah segera bangun

aku teriak: Baginda Yang Mulia

Muse masih amat pulas

buat apa pula aku bangun cepat

pinggiran Stuttgart bagian selatan Jerman

seperti kastil seperti istana di Baden-Wurtternberg

jauh dari debu dunia, tinggi bersemayam di puncak

cuma ada suara angin suara hujan suara burung

orang-orang pakai baju kuno naik kuda gagah

tapak kuda mengetuk bumi berlapis batu kali

di dalam batu kali pernah ada hatiku sebiji

Semi-Otomatis Menulis Puisi

Kolom John Kuan

——— Untuk Abdul Hadi WM

:: seluruh kata dan kalimat di dalam 10 puisi ini saya jambret dari buku puisi Abdul Hadi WM: Tuhan, Kita Begitu Dekat ::

1. Tuhan, Kita Begitu Dekat

Tuhan dekat, aku panas
dalam kainmu arahnya gelap
aku nyala lampu padammu

2. Langit Di Mana-Mana

Di atas air, di atas pasir
senja haus waktu, cair
dinding hatimu pada kayu
muara kemarau, putri-putri buih
di atas badan sunyi perahu dagang
membersihkan gelap
menelan dongengmu, penunggu muara ramah itu

3. Sarangan

Cemara menyerbu
bulan, kolam luka-lukanya
sejoli tidur

4. Pelabuhan Banyuwangi

Ombak berdiri di geladak
kelasi percaya seketika, seketika
mengalir tali temali, tiang, lampu-lampu
pelabuhankah bersuara?

5. Kuncup

Kuncup dunia
batu menggeliat
suara airmata hama
palangnya diberi nama gelisah

6. Anak

Anak gelombang mengerti
terpendam, diam, surut, tak karam
tidur merenggut bintang

7. Kudengar

Bersua rambut hitammu
gelombang bunga terjaga
di ruang susut ranjang cakrawala

8. Tangan

——— Untuk Sutardji Calzoum Bachri

Tangan di kabut meluap
jantung, sungai, tebing curam
tak lebih dalam, kita tahu
tapi ombak bosan karang

9. Doa I

Kenyang hingga lapar
Kaulah kenyang itu
Nasi jiwa lapar
Sekedar kenyang
Kaulah airmata. Amin

10. Cinta

——— Untuk Tedjawati

Laut pada arus
ombaknya hatimu
memukul kegelapan
menangkap cahaya
pecah menjelma di sampingku di sampingmu
kata-kata, waktu
jembatan kalbu

Catatan:

Seluruh puisi-puisi ini berasal dari buku puisi Abdul Hadi WM: Tuhan, Kita Begitu Dekat. Judul di atas sama persis seperti judul di dalam buku puisi Pak Abdul Hadi WM, isinya sudah saya utak-atik, begini yang saya sebut semi-otomatis menulis puisi. Misalnya yang No. 1 Tuhan, Kita Begitu Dekat, puisi aslinya begini:

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap
kini aku nyala
pada lampu padammu

Tiga Puisi Cinta dan Satu Nyanyian Pilu

Puisi John Kuan

——— meniru Inger Christensen

1.

cintai aku titik/ kalau tidak aku akan lenyap di udara titik/ biarkan
aku bagai mobil parkir di garis kuning tengah malam koma/ numpang
hidup sebelum fajar menyingsing titik// cintai aku titik/ biarkan aku
sebagai sisa pijar minyak di sela jarimu koma/ erat mendekap
keringat hangat koma/ tidak ingin dikuras jatuh titik// cintai aku titik/
walau cinta licin macam belut koma/ spesimen seperti aku ini titik/
hanya di saat kau menatap koma/ baru kembali peroleh kebebasan titik
// cintai aku titik/ kalau tidak aku sudah mau bernyanyi buatmu titik/
oh my god koma/ dijamin membuat kau merasa lebih baik koma/
lebih baik mencintaiku titik//

2.

jangan lagi memberondong ke arahku koma/ bukan pula aku robohkan
bentengmu koma/ jangan lagi memberondong ke arahku koma/ sungguh
aku tidak cukup nyali merampok bank koma/ jangan lagi memberondong
ke arahku koma/ pendapatku masih belum menang piala perdamaian koma/
jangan lagi memberondong ke arahku koma/ aku tidak ambil topi baja
ke medan perang koma// sedihku hanya 21 derajat celsius koma/ terpurukku
masih menunggu elevator koma/ deritaku diserahkan kepada askes koma/
sepiku telah dikirim menemani kucing koma// satu tembakan lagi aku akan
berubah jadi mazinger z koma/ satu tembakan lagi aku akan transparan koma
/ ayo tambah satu tembakan koma biarkan sakit membuktikan koma/
roh ini masih belum dibius koma/ biarkan cinta menampakkan mujizat
terbesar titik dua/ sehabis mati koma/ masih bisa mati sekali lagi koma//

——— bukan meniru Pablo Neruda

3.

tidak ingat lagi nama jalan itu
hanya tahu kau tinggal di loteng YAMAHA
papan nama sudah padam, tidak tahu lampu rumah siapa
bergoyang menyapu permukaan jalan
cuma tahu jalan memutar pulang amat panjang, amat panjang
bagai melewati galaksi lain.
tidak ingat lagi rupa jalan itu
hanya tahu angkat kepala akan disambut hujan garpu pisau jarum
itu adalah malam di hari ketiga
hari kedua aku masih ikut pawai
biarkan tempurung kepala diisi penuh suara drum
hari keempat sudah lupa
ingat betul telah minum sup buah pare
namun ujung lidah seperti bisa mencicip manis irama di ujung jalan
sehari berikutnya mungkin adalah banyak tahun kemudian
aku kembali ke jalan itu ( kita sama-sama sudah tua di dalam mimpi )
jalan itu, masih sepi, kacau, indah, biasa
kau kembali ke loteng, aku angkat kepala menatap
sekalipun dunia mau kiamat juga tidak hirau

4.

aku harap sendiri bukan sebuah sangkar
tapi angin yang menyusup lewat
aku harap bisa dengan nyanyian kau riang
tapi bukan cinta
aku harap bisa dengan bersih sorot mata
menikmati sebiji ceri
aku harap setelah pisau dicabut dari ranjangku
mampu rapat sendiri
hanya kadang di paruh malam
aku masih bisa ambles ke lobang luka
berebut menyantap habis ceri terakhir
nyanyian indah diulang hingga sumbang
kadang aku biarkan pintu sangkar terbuka
tapi tidak ada orang ingin masuk
atau keluar

Mengantar Wang Wei Pulang

Puisi John Kuan

Buat Ahmad Yulden Erwin

gambar diunduh dari lgt560111.blog.163.com
gambar diunduh dari lgt560111.blog.163.com

Sedahan burung gunung tegak ngantuk, kaget
terbangun oleh risik bulan origami kertas puisiku
Suara kepak sayap menghardik bubar seluruh daun
Gunung hampa. Tiadakah orang? Hanya kau
tangan di tepi sungai menyentuh lumut di atas batu

Ah! Sudah begini tua. Selembah musim semi, bunga
sesuai waktu lalu gugur. Tarikh Tianpo 10 tahun?
12 tahun? 15 tahun? Hidup boleh, mati boleh, gontai boleh
santai boleh bagai sekuntum teratai di kolam belakang
dan setiap petang, dalam luar tubuh selapis hijau kelabu

hanya tinggal lekuk batu tinta belum kering
masih tergenang penuh keangkuhan hitam
sebab itu, agak santai, agak malas, tongkat ranting
di tangan, keluar tiga li ke arah tepi air melangkah

.

Tegak, mendongak, tengok gunung, tengok awan
melintas, bergeser, menyebar dari keningmu yang sunyi
di saat begini mendadak terpetik sepatah puisi indah
lalu hilang ditiup rambut kusut baru kau rapikan
Beberapa saat lalu, ada orang datang menyapa:

Puisimu yang mana paling ada renungan zen?
Kau menjawab santai: Bukankah bangau putih itu
diam-diam terbang keluar baris ketiga Genangan
Hujan Wangchuan. Habis ucap, selengan baju bunga alfalfa
menyusuri batu anak tangga, terguncang jatuh

Musim gugur, dengan kurus, dengan ikut
hangat senja, menyusup ke dalam sepi rumahmu
hari disiram hujan gunung, bisa semadi, bisa edit puisi
cicip sedikit hambar Zhuangzi, atau lewat jendela kuyup
menonton asap liar di kaki gunung kepang rambut

Kadang juga teringat An Lushan dan segala rutinitas
Dinasti Tang, atau berdiri, atau duduk, atau lempar pena
bangkit, hingga matahari di ujung dermaga terbenam
dimuat sampan nelayan ke seberang. Pada hening kolam pagi
melihat diri telah sebatang bambu, ditiup angin

setiap ruas bergoyang, setiap ruas tampak kukuh

.

Antar kau, di setapak Hujan Wangchuan, memasuki
kosong ruasmu yang terakhir kau sisakan buatku

Tiga Kilasan Gaya John Kuan

Puisi Ahmad Yulden Erwin

john kuan

1.

Ini bukan soal tiga pon jerami, barangkali
Cuma cahaya tiga lampion, atau mirip senyum
Peramal Tao dengan sebotol arak di bahunya
Lalu pergi: jalan itu, kerikil itu — ia melangkah
Lurus, pelan — sesekali bayangnya bisa menoleh

2.

Tiga koi merah bersisik perak di kepala
Berkilat di kolam dekat kuil; jembatan itu lama
Ditinggalkan — hanya sesekali gema genta
Dicuil jadi sarapan bangau lukisan — mereka
Sebut itu gugus awan: jembatan Joshu yang lain

3.

Koko telanjang dada di bawah bulan petik
Kecapi — sebelum lubang cacing putih memilin
Ujung telunjuk Juzhi pada touchscreen — mungkin
Kita pas berpisah frekwensi di ruang yang sama
Begini saja mestinya sudah cukup jadi jalan pulang

Dua Puisi Kotbah

Puisi John Kuan

1. Santo Fransiskus Berkotbah pada Burung

Pak Fransiskus, santo dari Asisi, bruder kita
pendiri ordo Fransiskan: padang liar abad ke-13
Italia bagaimana? Berbagai rupa dan warna
burung berbaju bagaimana berbeda, berkicau
bagaimana memukau, membuat kau tidak bisa
menahan diri siapkan buat mereka satu pelajaran
demikian indah. Menguak satu tradisi baru, riang
fokus dan bebas begini sebuah ekstrakurikuler?
Mereka sebagai pendengarmu, kau anggap kawula
burung liar sebagai gurumu, membuat kau di abad 21
serentak diangkat sebagai ketua kehormatan WWF,
klub burung, dan perlindungan lingkungan hidup.
Hari itu cahaya matahari berkilau, kau melangkah
di jalan gunung pinggiran Asisi, melewati jembatan
kecil, sampai di bawah sebatang pohon ek hijau, duduk
istirahat di atas sebongkah batu, memandang lembah
di depan mata. Kau mendengar di balik hutan ek
mengapung datang suara nyanyian seekor robin, seolah
searus sungai kecil mengalir berbagai mutiara langka:
memakai satu topi indah berwarna hitam, dada merah
oranje, saudara kita bersayap ini. Kau sungguh
berharap bukan memakai ikat kepala bruder, tetapi
adalah topi hitam seperti dia, selanjutnya seekor wren
tampil melengking, gegas berputar, seolah dipental
ke sana kemari oleh tunas bening di langit, betapa lucu
burung merah kecil! Suster tekukur juga bersenandung
pelan-pelan, kemudian kau mendengar suster vireo
bertopi hitam bolak-balik mencat warna vokalnya
Ah, aku tahu, begini rupanya coloratura soprano berasal

Dia tarik datang lebih banyak kicauan, kau bahkan
mendengar siulan seekor robin kuning bagai tiupan
seruling di tepi mimpi, suaranya lincah seperti cikukua
di dalam senja bertabur cahaya permata, suaranya
terputus-putus mendendangkan suster kita remetuk laut…
Nyanyian mereka mengumpal jadi sebuah pulau suara
penuh bertebaran bermacam warna tanda seru,
tanda titik, tanda koma, titik koma, titik dua, kutip tunggal,
kutip ganda, elipsis terapung di atas laut berlangit biru
kidung mulia nan indah dari paduan suara semesta.
Memuji siapa? Memuji Sang Pencipta memberi mereka
keriangan dan kebebasan, gunakan warna dan irama
berbincang dengan langit dan bumi, berbincang
dengan Dia, dan Dia bersama langit dan bumi
juga membalas dalam warna dan irama…

Kau tiba-tiba bangkit dari bongkahan batu, melangkah
ke tengah jalan bergetar bayang pohon ek,
luruskan pinggang, mendongak bagai seorang tamu
mata telinga dan hati habis dijamu santapan enak,
tegak khidmat bersiap memberi seuntai terima
kasih. Kau tatap burung-burung bernyanyi
di dua sisi hutan pohon ek, mereka lalu heningkan diri,
bangga juga rendah hati berlagak menyambut piala
atau pidato ” Saudara-saudari burung yang tercinta ”
Kau mulai berbicara. ” Terima kasih kalian gunakan
bahasa malaikat, musik tanpa kata membantu aku
buktikan kebenaran Dia bocorkan kepada kami.
Dia beri kalian sepasang sayap lincah, beri kalian langit,
atmosfer, awan, angin, bulan, matahari dan bintang
sebagai pandu dan rambu lalu lintas kalian. Dia beri
kalian warna-warni, aneka bentuk pakaian bulu
dua lapis tiga lapis, walau kalian tidak tahu
merajut dan menjahit. Dia beri kalian pohon tinggi,
rumput hijau, lumut buat sarang, beri kalian air
sungai dan kolam lepas dahaga, sediakan makanan
kesukaan kalian, tidak usah tanam dan panen,
juga tidak usah gesek kartu atau bayar tunai.
Dia cinta kalian, mengajar kalian bersyukur indah
dan riangnya dunia, menikmati perjalanan gaib…
Ah, teruslah kalian memujiNya, dengan berbagai
warna suara, dengan berlembar-lembar gambar
berbeda, perangko berbeda, terbang ke empat penjuru,
bersama segala benda, di antara nyata dan hampa,
tembus waktu, jauh dekat satu cinta, begitu mengikat… ”

2. San Antonio Berkotbah pada Ikan

Melalui Des Knaben Wunderhorn ciptaan Mahler 
di akhir abad ke-19 pertama kali mendengar kisah
kau berkotbah pada ikan: dari kampung halamanmu
Lisboa ke Italia, saudara fransiskan kita, bruder
Antonio, yang berusia 26 tahun dalam Kapitel Tikar di Asisi
tempat berkumpulnya 3000 bruder bertemu santo
Fransisikus yang 39 tahun. Kalian gelar tikar tidur,
pakai kain belacu, dengan kaki telanjang, dengan miskin,
dengan menyebar ajaran, dengan membantu orang
sebagai hiburan. Kau pasti pernah mendengar cerita
dia berkotbah pada burung ( atau mungkin kalian
bisa dengan daya komunikasi ajaib masing-masing
berdialog dengan bahasa ikan dan burung ) Dia minta
kau buka pikiran dulu baru belajar. Kau justru
menyebar ajaran kepada penganut agama lain
di dalam gereja suaramu lantang bergema,
di luar gereja mereka menutup telinga. Kau berjalan
sampai muara sungai, nelayan di atas perahu melihat
kau bagai transparan, kau berbicara pada air mengalir
ke laut, berbuih-buih tiada habis, emang sangat cair.
Tiba-tiba meloncat keluar seekor ikan barakuda
santai menembus permukaan air, dia sambil cuci telinga
sambil menegakkan badan dengar, bagai sebuah roket
didorong panah api semangat bersiap naik angkasa
Salmon yang sedang mudik juga datang, ikan mas
yang mengandung telur juga, belut plotos bermuka
mulus, juga ikan trout yang bergerak anggun.
Mereka begitu riang mengitarimu, bagai menunggu
undian promosi produk baru. Ketam yang malang
melintang, udang di balik batu, pelan-pelan bergerak
dari laut. Kau tersenyum pada mereka dan berkata:
” Aku tidak menjual barang, hanya memberi kalian
hadiah, Bapa yang setiap hari memberi kalian makan
tiga kali, memberi kalian kenikmatan ikan bertemu air
sungai dan laut itu, ingin aku menyampaikan kepada
kalian suaraNya. Dia memberi alam sebuah lemari baju
maha besar, agar kalian kawula ikan bisa memilih
sehelai baju renang atau baju kasual atau formal
sesuai selera masing-masing dan pas. Kalian sering
dengan gerakan tari paling luwes, suasana hati
paling gembira, memuji Bapa! ” Ikan-ikan setelah dengar
mata terbelalak, mulut menganga, berebut goyang
sisik-sisik ditubuhnya, suara sisik bagai suara lonceng
bergetar, segelombang-segelombang umpama tsunami
mencapai permukaan laut, perahu-perahu yang baru
bertolak lekas balik haluan, semua nelayan serentak
mengetuk papan geladak, dengan jempol mereka
menekan [ suka ], irisan-irisan sashimi di atas perahu
disayat hidup-hidup dari ikan tuna, ikan todak,
setengah mati berusaha menemukan jati diri, seolah
telah resureksi bergegas lompat ke dalam air.

Menulis Perjalanan Malam

Puisi John Kuan

perempuan-kesepian
gambar diunduh dari lonelypinay.com

Terapung, terapung, seperti apakah ini?
Seekor camar di antara Langit dan Bumi
——— Du Fu

Dari sekeping cairan kristal aku mengayuh sampan turun
angin kelana bermimpi lari di cabang jalan berkerut
setiap situs jejaring telah lelap, siapa masih di dalam
satu kwatrin Tang membaca seruan air berlalu

Saat bayang letih di kursi aku pangku kembali
dan kembali, dengan puisi mencari satu perahu
berlabuh di tepi sungai sunyi, amat hijau
tunas rerumput, menjelma jadi coretan sandi menyerbu
masuk ke batang usia ranggas, berdiri senyap
di mulut jendela seluruh warna malam luntur

Tahun itu, gugusan bintang yang kita gembala
sudah semuanya pulang ke kampung halaman?
Di atas Jalan 49 Brooklyn, dengan cahaya bulan
mengalir dari Sungai Hudson, kulipat
ke dalam beberapa potong cerita terburai, juga
jejak pensilmu dan sindiranmu, malam-malam
di tengah gelombang kata menggulung bagai laut pasang

Puisi masih mau ditulis?
Aku mengerut diri ke dalam jejaring yang ramai tapi senyap
mengikuti surel, menjelma
jadi seekor yang terapung di antara langit dan bumi
camar, ingin sekali ingin sekali
di dalam mimpimu bagai ladang bagai kebun hinggap…

Tiga Permintaan

Cerpen John Kuan

” Di dalam rumah sudah terlampau dingin ” Dia berpikir. Angin dari sela-sela pintu dan jendela menelusup masuk, seperti mata pisau, tajam menyayat kulit. Namun, beberapa bingkai jendela dan daun pintu rumah reyot ini telah dibakar buat menghadapi musim dingin yang panjang, sudah benar-benar tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk menyalakan api.
Mudah ditebak, agak menggelikan, jalan ceritanya amat sederhana. Semua orang pasti sudah pernah membaca atau mendengarnya. Cerita sepasang suami isteri yang tamak dan tolol.
Seiring bertambahnya usia, tidak tahu kenapa kembali teringat dongeng sederhana ini, seolah membawa makna tertentu, pelan-pelan merambat di dalam hati.
Jalan cerita yang asli sungguh terlalu sederhana, saya ingin memberi pembaca sedikit latar belakang.edit farmersSeharusnya adalah suatu malam musim salju yang dingin beku, di sebuah dusun miskin dan terpencil di daerah Eropa Utara, sepasang suami isteri yang terkenal dungu duduk berhadapan di sebuah meja kosong
Di tanah utara ini, satu tahun bisa separuh adalah musim dingin, matahari juga takut mampir, dia lebih memilih memutar jalan jauh daripada melewati tempat ini. Sepanjang musim dingin hampir tidak bertemu hari terang, gelap berselimut kabut hitam, jalanan penuh tanah becek bercampur salju yang belum mencair, bahkan rubah yang cekatan juga sering terpeleset.
Orang-orang bersembunyi di dalam rumah, di luar angin utara terus mengiris.
Selain orang-orang yang menerjang salju pergi berburu dan mencari kayu bakar, di atas bumi yang gundul samasekali tidak tampak jejak manusia.
Musim dingin yang demikian panjang menyebabkan tempat ini amat sulit dibuat bercocok tanam, yang bisa dihasilkan hanya sedikit lobak atau umbi-umbian lain. Miskin dan terbelakang, penduduk selalu mengalami kelaparan, dan mereka yang mempunyai sedikit kemampuan pasti berusaha mati-matian, memeras otak mencari akal agar bisa pindah keluar dari tempat ini, ke daerah selatan yang lebih hangat mencari kehidupan baru.
Sepasang suami isteri itu, sewaktu muda, juga pernah ada mimpi begini, ke daerah selatan yang hangat.
” Bibit ditaburkan pagi hari, siang keliling sekali, sore datang lihat lagi, sudah pecah kecambah, sudah segera akan berbunga. Jagung dan gandum menumpuk penuh beberapa gudang, bahkan keledai dan kuda penarik kereta juga diberi makan jagung dan gandum yang bersih menyilaukan mata! Pernahkah bertemu hari-hari bahagia begini? ”
Perempuan itu selalu merapatkan kedua telapak tangan di dada, seperti sedang berdoa, menceritakan segala macam hal tentang daerah selatan yang ada di dalam mimpi.
” Satu hari ada enam belas jam cahaya matahari, ini sudah pasti, sangat pasti; madu dan mentega yang dioles di atas roti betul-betul ada setebal dinding. ” Perempuan itu menjilat bibirnya, aroma manis dan harum di dalam pikiran saja bisa terasa begitu indah.
” Dibayangkan saja sudah demikian enak. ” Dia geleng kepala menghela nafas.
Dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang telah jadi begitu kasar dan kaku karena terlalu lama ditempa berbagai pekerjaan berat, tulang jemari yang telah berubah bentuk kelihatan seperti tangan lelaki buruh kasar. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana lagaknya perempuan daerah selatan memoleskan kemenyan arab di kulit mereka seperti yang diceritakan di dalam dongeng-dongeng, lalu mulai cekikikan.
Suaminya, seperti umumnya petani daerah utara. Lurus dan jujur, tampak agak dungu, saat bekerja seperti seekor sapi, tidak pernah tahu apa itu letih. Otaknya sederhana dan praktis, samasekali tidak tahu apa itu imajinasi, sekalipun bermimpi tetap adalah hal-hal semacam induk itiknya bertelur lebih sebiji.
Melihat isterinya berhenti kerja dan cekikikan sendiri, dia agak dongkol, menggerutu, namun tidak berani menegurnya, dia sangat takut isteri.
Lelaki itu samasekali tidak mengerti dunia imajinasi isterinya yang magis. Kebahagian-kebahagiaan yang berlebihan dan absurd, terdengar seperti mantera. Isterinya setiap hari dengan mantera-mantera begini mencari kesenangan hingga cekikikan mulai membuat dia takut.
Di dusun ini dia adalah satu-satunya lelaki yang tidak memukul isteri. Tubuhnya besar kekar, kuat seperti seekor sapi, kepalan tangannya keras berisi, kalau diayunkan, tulang-belulang isterinya yang kecil dan rapuh pasti akan remuk, tapi dia tidak pernah mempunyai pikiran begitu.
Awalnya dia memarahi isterinya yang cekikikan sambil bekerja, tetapi setelah dibalas jeritan kalap dan pekik tangis yang mengerikan ditambah sumpah serapah, dia akhirnya tidak berani lagi protes. Dia tahu, di dalam batok kepala kecil perempuan ini ada sesuatu yang jauh lebih dahsyat daripada tubuhnya yang kekar.
Karena watak penakut suaminya, perempuan itu kian menjadi-jadi. Perubahan fisik setelah melewati parobaya, ditambah angan-angan puluhan tahun yang tidak tampak ada kemungkinan menjadi kenyataan; hampir semua keluarga di dusun telah membawa serta kuda dan keledai mereka pindah ke daerah selatan, bahkan Hendrik yang dianggap paling bodoh dan tinggal di ujung dusun juga sudah pindah, angan-angan perempuan ini akhirnya berubah menjadi amarah. Suaminya yang selalu bungkam, suaminya yang bekerja tanpa mengeluh, suaminya yang sabar dan selalu menurutinya, juga seolah menjelma jadi sindiran tajam atas impiannya yang indah.
Setelah memasuki usia tua, dia menjelma seluruh kekuatan imajinasinya yang tak mungkin menjadi kenyataan itu menjadi dendam dan sumpah serapah terhadap suaminya. Dia masih dengan imajinasinya yang tak bertepi mengganggu suaminya, madu dan mentega masih setebal dinding, matahari satu hari masih tetap enam belas jam, hanya sekarang imajinasinya yang indah telah bercampur kesedihan yang tidak bisa menjadi kenyataan itu.
” Ah, tanah selatan ——— ” Dia meraba-raba wajahnya yang tua dan kasar seperti keriput kulit kayu, melihat suaminya yang bekerja seharian tanpa membawa hasil pulang, dia juga sudah lelaki tua dan bungkuk, gerak langkahnya tampak sulit, dia menurunkan perkakas tani yang berat dari pundaknya. Kuda dan keledai sudah lama dijadikan lauk, sekarang dia sendiri yang membajak.
Melihat suaminya masuk ke rumah, perempuan itu langsung memulai omelannya, sebuah nyanyian pedih bercampur aduk antara keindahan mimpi dan kepahitan hidup dari hari ke hari.
Lelaki tua juga sudah lama terbiasa, suara isterinya sudah seperti angin utara yang menyeru, setelah beberapa waktu, seolah-olah tidak terdengar lagi. Dia goyangkan tubuh menjatuhkan selantai serpihan salju, lalu seperti biasa dengan matanya yang redup dan kekuningan memandang isterinya sekilas, sepertinya juga ingin mengeluh telah bekerja seharian tapi tidak bisa membawa pulang apapun.
” Di dalam rumah sudah terlampau dingin ” Dia berpikir. Angin dari sela-sela pintu dan jendela menelusup masuk, seperti mata pisau, tajam menyayat kulit. Namun, beberapa bingkai jendela dan daun pintu rumah reyot ini telah dibakar buat menghadapi musim dingin yang panjang, sudah benar-benar tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk menyalakan api.
” Tidak ada lagi yang tersisa, semua yang bisa dimakan sudah dikeruk habis, bahkan jejak hewan juga tidak tampak lagi, sekarang orang-orang dusun sedang memikirkan bagaimana caranya makan kepompong yang bersembunyi di dalam tanah musim dingin itu, jika terus begini, semua orang pasti akan mati kelaparan ” Dia begitu risau. Sebagian salju mulai mencair di atas rambut dan kumisnya yang kusut, lalu berubah menjadi lapisan es, berpijar-pijar.
” Enam belas jam matahari sehari, roti dioles madu dan mentega setebal dinding, pernah kau melihat tempat begini? Kutukan apa yang membuat kakimu terpaku di tempat bagai neraka ini, sepanjang hidup. ”
Karena lapar, suara perempuan itu berubah melengking seolah tangisan.
Kaki tangannya, karena lapar dan dingin, telah lama membeku. Lebih mengerikan adalah rasa beku terus menjalar ke pinggang. Dia begitu ketakutan, sehingga suaranya kian melengking menceritakan berbagai hal tentang daerah selatan, seolah ingin menggunakan angan-angan yang indah menahan lapar dan dingin yang menyerang tubuh.
Lelaki itu berputar-putar di dalam rumah, tetap tidak bisa menemukan kayu yang bisa dibakar. Hanya tinggal sepasang bakiak, ini adalah bakiak yang dia bikin sendiri buat isterinya sewaktu baru menikah, bahkan dipernis, licin mengkilap. Dia beberapa kali terpikir ini adalah satu-satunya benda buat menghidupkan api, tetapi niat ini akhirnya dibuang.
Letih dan frustrasi dia duduk di depan perempuan itu, di atas meja tidak ada apapun, dia masih dengan matanya yang redup dan kekuningan menyapu seluruh permukaan meja, berharap bisa menemukan secuil makanan yang tersisa. Dia sudah satu minggu tidak makan, lapar membuat kepala dan matanya sangat berat, dan perempuan itu masih tanpa henti menuturkan daerah selatan, tentang enam belas jam cahaya matahari yang hangat, tentang roti yang dioles madu dan mentega setebal dinding, dia seolah pertama kali merasakan semua ini nyata, terpampang di depan mata.
” Teruskan, teruskan, mentega, madu, roti, cahaya matahari, bahkan keledai juga makan gandum. Dia begini teriak di dalam hati, dia harus menahan sakit yang mengiris di lambung dan usus.
Perempuan itu juga mulai merasakan dingin beku pelan-pelan memanjat ke dada, dia merasa agak sesak, rasa beku ini telah dari segala arah mengepung jantungnya, kata-kata yang keluar dari mulutnya kian lemah dan kacau, namun dia tidak berani berhenti, suaranya menjadi aneh bercampur aduk dengan rintihan dan tangis.
” Bunda Maria, Bapaku, Bapaku, Yesus Kristus ——— ”
Tangannya yang merapat sudah tidak bisa dipisahkan, beku di dalam sebuah posisi berdoa. Matanya mengalir keluar airmata, kematian membuat dia pertama kali merasa begitu dekat dengan Tuhan, dia terus-menerus memanggil nama malaikat.
” Ah ——— ”
Dia terasa berputar-putar, di depannya sehamparan kuning keemasan berpijar, ada suara dentingan yang halus berasal dari empat penjuru.
Ada satu malaikat bersayap panjang telah tegak di depannya.
Malaikat?
Telah ada berbagai macam penelitian dari pakar-pakar tentang hal-hal begini yang konon disebabkan halusinasi karena kelaparan ataupun penderitaan berkepanjangan, tetapi itu tidak begitu penting dalam jalan cerita ini.
Malaikat berkata: ” Perempuan, doamu telah didengar Mahatahu, kalian bisa mengajukan tiga permintaan, apapun yang kalian inginkan, pasti terkabul ”
Konon, kata-kata malaikat jauh lebih anggun [ persis seperti Kidung Agung ] kata perempuan itu. Tetapi karena perempuan itu buta huruf, tidak tahu tatabahasa, apalagi retorika yang memukau, sehingga kata-kata malaikat itu menjadi kasar, hal ini telah membuat gusar banyak teolog, tentu itu adalah urusan lain lagi.
Pokoknya, poin terpenting adalah sepasang suami isteri tua yang tidak memiliki apapun, di saat dingin dan lapar, tiba-tiba dikasihi Tuhan, memberi mereka tiga permintaan, dan paling penting adalah pasti dikabulkan.
” Tiga permintaan ” Perempuan itu berlinang airmata, terus-menerus menyembah ke arah malaikat menghilang, tiba-tiba dia merasa kaki tangannya hangat kembali. Mulutnya komat-kamit menuturkan segala puja-puji yang dia hafal. Dia tenggelam di dalam semacam keriangan baru, kaki tangannya kembali lincah, loncat dari kursi, berteriak dan berputar-putar di dalam rumah.
” Tiga permintaan, tiga permintaan, ah, bagaimana menggunakan tiga permintaan ini? ”
Dia gundah, ” Ke daerah selatan, enam belas jam cahaya matahari, roti yang dioles madu dan mentega setebal dinding, ——— tidak, tidak, aku bisa mendapatkan yang lebih bagus, roti masih terlalu mudah didapat, apa yang akan kuminta? ”
” Mesti baik-baik mempergunakan tiga permintaan ini. Jadi raja, jadi ratu, ada beratus beribu pembantu melayani, ada makanan enak yang tiada putus, ingin seribu potong sapi panggang, buat apa masih makan roti, ya? ” Dia teriak ke arah suaminya yang masih linglung: ” Nasib baikmu sudah tiba, tahu tidak? Tolol, mahkota Raja Philip yang penuh permata juga bisa dipindahkan ke kepala babimu, kau harus cepat-cepat berterima kasih kepada Tuhan! Mengenai daku, ah! Aku ingin mandi susu, pelan-pelan menggosok tubuhku… ”
Dia mulai cekikikan, suaminya amat ketakutan. Lelaki tua ini merasa tiga permintaan yang diberikan oleh malaikat ini benar-benar sangat nyata, dia sudah lapar setengah mati, dia harus segera mempunyai makanan menganjal perut, dia menggunakan seluruh kekuatan di dalam hidupnya teriak ke udara:
” Malaikat, beri aku sepiring sosis panas mengepul! ”
Saat tulis lambat, waktu itu cepat, di atas meja sudah muncul sepiring sosis, tentu ala Eropa Utara, tambah bawang putih dan daun adas, dan benar-benar panas mengepul.
Lelaki tua itu antara terkejut dan terpesona, yang jelas bengong.
Perempuan tua langsung meledak. Dia hidup-hidup diseret keluar dari kebahagiaan yang belum tampak tepi, melihat suaminya yang dungu merusak sebuah permintaan yang begitu berharga, tidak dapat menahan amarah, dengan kata-kata paling menusuk menjerit ke arah suaminya:
” Kau keledai bodoh yang seharusnya disembelih, kau bangsat yang menjijikkan, kau telah membuang sebuah hadiah dari malaikat. Oh, malaikat, maafkan kami! Kau kesurupan, buat apa minta sosis yang membuat mual…… ”
Lelaki tua itu termangu menatap sepiring sosis, uap minyak yang indah melayang ke sana ke sini, dia hanya berpikir segera menggigit sepotong.
” Hentikan tanganmu, ” Api amarah perempuan itu sudah di ubun-ubun, dia berteriak keras:
” Aku ingin sosis ini segera menempel ke hidungmu! ”
Tanpa sadar perempuan itu telah menggunakan permintaan kedua.
Saat tulis lambat, waktu itu cepat, sepotong-sepotong sosis telah menempel di hidung lelaki tua
Piring kosong, lelaki tua merasa dari hidungnya menyebar aroma sedap, dia berusaha menatap ke bawah, menemukan beberapa potong sosis yang indah tergantung di hidungnya, bisa dilihat tapi tidak bisa digapai. Dia coba menjulurkan lidah, tetapi tidak bisa menjilatnya. Sosis begitu dekat, kenyal dan bergoyang-goyang, tetapi tidak bisa dicicipi, dia merasa begitu putus asa.
” Ah ——— ” Perempuan itu menutup mulut menangis sejadi-jadinya.
Penyebab dia menangis teramat rumit, yang paling dangkal tentu adalah dia segera menyadari dia telah sia-siakan permintaan berharga yang kedua.
” Aku bisa menggunakan ini untuk meminta sebuah istana yang ditempel dengan koin emas! ” Demikian dia berpikir: ” Namun sungguh bodoh, aku hanya menggunakannya buat menempel beberapa potong sosis di atas hidung keledai bodoh ini. ”
Tambah membuat dia sedih adalah hidung suaminya yang tergantung beberapa potong sosis itu sangat menakutkan, jika dilihat tetangga, akan bagaimana mereka bergosip dan menilai dirinya.
Dia terus menangis, menyalahkan nasib, menyalahkan suaminya yang bodoh, dia berpikir meninggalkan lelaki tua dan bodoh ini.
” Kau bawa saja sosis sialan ini bersamamu ke neraka! ” dia berkata.
Dia berputar satu kali di dalam rumah, bersiap-siap melangkah keluar, tetapi masih ragu-ragu tidak tahu apakah ada sesuatu yang terlupakan, sesungguhnya mereka sudah samasekali tidak memiliki apapun di dalam rumah, setelah mencari ke sana-sini, yang bisa dibawa hanya sepasang bakiak pemberian suaminya.
Dia memegang bakiak di tangan, kembali menangis.
Lelaki tua itu masih tegak melongo, dengan berbagai cara coba menjilat sosis yang tergantung dihidungnya, tetapi apapun cara yang dia gunakan, sosis selalu sedikit diluar jangkauan ujung lidahnya
” Aduh, sayang sekali hanya selisih setengah centi. ” Lelaki tua berkata di dalam hati.
Perempuan tua menenteng bakiak, melihat suaminya yang buruk dan rakus itu, makin dipikir makin menakutkan, seorang lelaki dengan sosis menempel di hidung, bagaimana melangkah keluar rumah, bagaimana bertemu orang? Bagimana seandainya orang-orang masih ingat aku adalah isterinya……
” Ah ——— ” Dia kembali menangis, bakiak di tangan terasa begitu berat, dia merasa luar biasa capek.
” Tapi, tapi, tapi aku tinggal satu permintaan ” Hatinya terasa amat berat
Konon, dalam keadaan hati yang penuh sesal dan dendam, dia melonglong, merasa seluruh hidupnya telah hancur, lalu melemparkan sepasang bakiak ke arah suaminya, dan dengan suara paling memilukan teriak:
” Sosis sialan, kalian semuanya kembali ke dalam piring ”

Dua Tiga Perihal Teh Susu Masa Kecil

Puisi John Kuan

1.

Dari kaleng teh oolong masa kecil
pertama kali mengenal sungai dan gunung
Tiongkok, kata kakek: awan dan kabut
Gunung Wuyi terkurung di dalam kerutan daun.
Duduk di pelantar, ombak putih, pantai abu-abu
camar berputar, teriak, kami tujuh mulut delapan lidah
berebut cicip dan tanya: Kakek injak awan atau ombak datang?
Angin menyobek daun pisang, buah jambu jatuh di atap,
ayam berkokok petang, jauh dekat bunyi ketuk tambal kapal,
matahari tropis, punggung telanjang, bau damar terbakar
Sungai meliuk keluar kaleng, gunung berlapis,
ranting dedalu menyentuh muka meja, ada seseorang,
amat kecil, menuntun kuda, menoleh di ujung jembatan,
beberapa helai daun jambu terbang ke atas meja,
gunung dan sungai di kaleng ikut bergetar, asap
gubuk membumbung, suara seruling merayap keluar
mulut jendela di tepi sungai, hujan baru jatuh di dermaga
Suatu hari aku pasti ikut perahu berlayar: lautan jauh,
cinta platonik, mulut menghafal sabda Guru dan puisi Tang
hati ikut angin amis terombang-ambing di Laut Mediterania.

2.

Dari kaleng susu kental masa kecil
pertama kali mengenal Olanda, negeri air, negeri bunga,
negeri berbagai ternak, padang rumput dipotong kanal-kanal
Sapi perah hitam putih, yang muda bagai nyonya bangsawan
yang tua bagai kepala keluarga. Domba putih, rumput hijau,
gerombolan babi hitam menganguk-anguk,
seolah apapun setuju, anak ayam berjuta, kambing hutan
berbulu panjang, tapi tidak tampak bayang manusia
Petang, ada orang di atas geladak kapal kecil
duduk memerah susu, langit barat dikuas kuning emas
di jauh ada suara peluit kapal uap, selebihnya senyap
pemerah susu lebih suka tutup mulut
Tong-tong penuh susu bergerak perlahan-lahan
truk, kereta api, menuju kota dekat dan jauh
Anjing tidak menyalak, sapi tidak melenguh
kuda tidak menyepak kandang, malam hitam pekat,
beberapa mercusuar berkedip cahaya lemah

3.

Dari botol minyak ikan masa kecil
pertama kali mengenal Eropa Utara, ternyata juga ada
polusi, grafiti, dan sapaan petang kincir angin,
voltase 220, bak mandi lebar dan dalam,
pintu kamar berpalang, perlu hati-hati,
sekitar Helsingor, Kastil Kronborg, ada perkara Hamlet
Sepanjang malam putih bulan Juli, tanpa buka lampu
juga bisa membaca lembaran-lembaran melankolis
Kierkegaard, filsafat selalu kebutuhan sekunder,
warna abu-abu merpati, domba sesat mengembek pedih
Soren Kierkegaard sepanjang hidup cuma pernah ke Berlin
Selain tidak pindah ke negeri tetangga, hatinya pun utuh diberikan
bisa ratap bisa tertawa, atau sambil ratap sambil tertawa
hijau tua Finlandia, hijau hambar Islandia,
ungu Swedia, cokelat Norwegia
Denmark hitam putih kuning, seolah kejadian itu
persahabatan Nietzsche dan Brandes yang mengepul
satu lalluby di tengah badai telah kabarkan keheningan.

Pembayar Pajak, 1940

Puisi John Kuan

tax payer
gambar oleh John Kuan

Melihat kau jongkok di dalam halaman tua

National Geographic, katanya: [ Orang Toraja

memakai bahu jalan sebagai blangko pajak ]

——— dua raut wajah negeri atas, seolah baru

melangkah keluar dari mimpi purba leluhur, berbalut selimut.

Dingin, serius, melankolis, menghitung jumlah ladang

dan ternak dalam segenggam serpihan kayu

Tiga orang satu kursi, tentu buat pemungut pajak

dari negeri bawah. Santai, hangat, sulit diduga

entah menyindir atau bercanda. Jemarinya mondar-mandir

memindahkan ladang dan ternak ke atas sekeping batu tulis

Dari mantel kapas, hitam, menjulur keluar satu tangan cekatan

menjelma seluruh milikmu menjadi angka dan tanda.

Dua pasang kaki telanjang mencengkeram bumi, begitu kekar

menyatu, kau ingin aku tahu tubuhmu adalah tanahmu.

Kau ingin aku tahu hal begini tidak bisa dirasakan

orang beralas kaki. Atau kau sengaja meninggalkan blangko ini

buat puluhan tahun kemudian diisi pajak waktu, denyut hati.

Seikat Catatan Acak

Kolom John Kuan

red rose
gambar diunduh dari shutterstock

Sederet jendela hadap ke arah barat, dari pagi hingga siang menembus masuk biru abu-abu yang hening; setelah siang, kuning emas pelan-pelan meluap keluar. Ketika senja, matahari menginjak lewat sederet punggung atap rumah-rumah pendek datang bertatap muka denganku, ingin saya merasakan sedikit kegetiran, sedikit cinta kasih di dalam keletihannya yang tak terucapkan.
Hari panjang hampir berakhir, melangkah pulang dalam kemenangan yang megah keemasan, lampu-lampu gedung tinggi lebih awal menyala daripada bintang-bintang. Bayang ditarik kian panjang, selalu menyeret keluar renungan tak bertepi, urusan-urusan di atas meja kayu kecil untuk sementara dianggap selesai, tidak ada kejutan juga tidak ada yang tak terduga, seharusnya tidak akan diingat oleh siapapun.
Hidup dan kerja begitu rutin juga praktis, saya telah menjadi satu lempengan gir yang berputar bagus dan pas, berputar serentak mengantar pergi embun di pucuk rumput hijau, berputar sendiri menyambut senja, demi setiap pertemuan diam-diam tersentuh, kemudian di dalam perpisahan yang niscaya mengerti akan lupa. Masuk parobaya, tak terhindarkan bercerita dengan orang, berkata [ terhadap segalanya apatis ] adalah bohong, berkata [ pasti ada cita-cita yang lebih jernih ] juga adalah bohong. Kegelisahan yang sesungguhnya di saat ini, di dalam sisa serpihan cahaya keemasan merasakan langit dan bumi bisa demikian hening, bisa dengan ringan mengelus setiap kehidupan yang buta menerjang dan lemah agar bisa rebah dengan tenang, dan tubuhku juga ada di dalamnya.
Ada gunung hijau di luar gunung, ada gedung di luar gedung, sekalipun di dalam kehidupan sering ada tempat yang sedih dan murung, namun pasti juga ada suatu tempat yang terang benderang. Oleh sebab itu saya berencana mencatat getaran hati ini, mungkin ditinggalkan buat gedung kecil gunung hijau yang lain, ditinggalkan buat seseorang yang tersentuh hatinya di tahun lain. Atau mungkin ditinggalkan buat sendiri, di saat-saat menjelang malam, di satu sudut hati yang berkedip-kedip tersimpan sebaris jejak kata yang tidak begitu jelas.

Musim panas seekor lebah mati terkapar ——— membaca Jules Supervielle, sambil berpikir
Pohon telah tumbang……
Penyair berkata:

Carilah wahai burung, carilah
di dalam ingatan begini menjulang
di manakah letak sarangmu?

Seperti penyair Persia Kuno, bisa di dekat air mancur atau di antara bunga-bunga iris pelan-pelan merancang karyanya, di sisi anggur dari madu atau di bawah tenda yang berkepak-kepak digoda angin mempertimbangkan sebuah retorika, betapa bahagia itu. Saya berjalan sampai di taman bunga senyap ini, pohon beringin, bunga azalea, tumbuhan yang sering ditanam di daerah hangat ini diam-diam menerima sengatan matahari semusim, cuma di bawah pohon ketapang di dekat tembok terasa rindang sejuk, menatap langit biru petang yang mulus, hari-hari musim panas bagai sebuah nyanyian jernih menjulur hingga tempat yang tak terjangkau, dari keheningan melantun pelan dan sejuk.
Di bawah rindang pohon, seekor lebah terkapar, sekarat, dia telah rebah di atas tanah kuning, sesekali berusaha mengepakkan sayapnya, namun dia sudah tidak mampu terbang lagi, hanya sia-sia berputar satu kali di atas tanah, setelah itu diam. Begitu berulang-ulang beberapa kali, kemudian perlahan-lahan tidak bergerak lagi, tangan kecilnya melengkung, seolah memanjatkan doa terakhir menjelang ajalnya: Ah, Cahaya sakti! Tolong bersihkan aku yang melahirkan kegelisahan, bawa roh kecil ini ke depan tempat duduk abadi.
Cukup lama memperhatikan, saya berpikir ingin memberi dia beberapa tetes air, begini mungkin bisa sedikit meringankan deritanya, namun ini jelas sangat menggelikan; niat berputar tajam, atau diinjak mati saja agar dia tidak usah lagi menahan kepahitan jatuh di dalam debu pasir, namun langit begini bersih dan indah, sepenuh taman rumput hijau menerbarkan harum, mungkin mata majemuknya masih mengalir spektrum cahaya matahari keemasan, jantungnya yang kecil masih berdenyut, masih menunggu terbang satu kali lagi. Oleh sebab itu saya hanya bisa diam-diam menemaninya, menghadapi satu kematian di puncak musim panas yang terang.
Menurut berita, beberapa tahun terakhir ini di berbagai tempat di dunia, ada suatu sebab yang misterius menyebabkan lebah-lebah peternak tidak pulang sarang, sehingga jumlah mereka berkurang dratis di peternakan-peternakan lebah. Saya tidak tahu apakah lebah ini juga menghadapi masalah yang sama ( penyakit menular, bergesernya medan magnet, penyalahgunaan pestisida, percemaran sumber air, makhluk luar angkasa…… ), adalah perabadan atau ramalan kiamat membuat makhluk kecil ini sesat, atau mungkin dia sudah semestinya terbang sampai di ujung hidupnya. Saya teringat puisi pendek Emily itu:

If I can ease one life the aching,
Or cool one pain,
Or help one fainting robin
Unto his nest again,
I shall not live in vain.

Namun saya tidak tahu di mana sarangnya.
Cahaya matahari dari sela-sela dedaunan setitik-setitik menebar ke bawah, ketika angin sepoi datang, di atas tanah seperti mengalir cairan emas. Sekarang baru bulan Juli, musim gugur masih amat jauh, apalagi musim dingin, mengapa lebah ini sudah mati? Di dalam taman, bunga-bunga sedang gegap gempita merayakan hidup, lebah seharusnya sedang giat-giatnya memanen madu, membantu penyerbukan, dan pembuahan, lalu hidup terus berlanjut, hingga abadi. Namun apa itu abadi? Dikatakan: Ujung paling sempurna adalah tiada ujung; ini adalah serpihan puisi yang tersangkut di dalam ingatan, juga merupakan suatu musim panas yang selamanya menempati dasar hati. Tetapi di ujung keletihan tentu adalah kematian, apakah dia sudah bosan dengan kerja keras setiap hari, bosan dengan cahaya matahari terik, bosan dengan sarang lebah yang penuh sesak, bosan dengan hidup…… Lebah mati terkapar di musim panas, tidak peduli dunia betapa terang berpijar, dia akhirnya juga tenggelam ke dalam kegelapan yang panjang. Kematian tampak memilukan, disebabkan kesunyian di dalam dirinya, atau terlalu mengenang hiruk pikuk dan kemegahan dunia?
Saya dengan tenang menatap makhluk kecil ini, dia berjuang dan mengeliat lemah, lalu perlahan-lahan mati, dunia samasekali tidak ada perubahan apapun, yang haus masih juga haus, yang menunggu masih juga menunggu. Namun saya tiba-tiba merasa cahaya matahari demikian benderang, dan di tempat gelap bersembunyi sederet panjang pasukan yang kelihatan sudah tidak sabar ingin datang memungut. Di dalam puisi Supervielle menceritakan seseorang selalu dengan tangannya bergerak melewati api lilin, buat memastikan dirinya masih hidup; dan suatu hari, api lilin masih sediakala, tetapi orang itu telah menyimpan tangannya.
Saya menjulurkan kedua tangan, menciptakan berbagai bentuk bayangan di atas tanah, menggunakan bayangan-bayangan ini menutup lebah yang sudah samasekali tidak bergerak, laksana sekeping awan hitam…… Sesaat, saya tiba-tiba ingin menyeruput seteguk arak dingin, mendengar sepotong irama Marzuka yang meriah, atau biarkan perasaan yang seperti pasir halus mengalir ke dalam hati, biarkan hati yang membatu beberapa saat ini dalam-dalam dikuasai kembali oleh perasaan yang bercampur aduk, kegembiraan meluap, kesedihan menyayat, keibaan yang ngilu, kegelisahan tiada ujung, sebelum pohon tumbang. Sesaat ——— tubuh masih milikku, roh masih milikku.

~~~

Hotel berada di pinggiran kota, stasiun terakhir trem, bagian tengah yang dikelilingi rel seperti sebuah taman kecil, setiap saat ada orang datang dan pergi.
Pemandangan yang murung dan rusak, persis seperti tempat Tereza dan Tomas bertemu di bawah pena Milan Kundera, bahkan bangku panjangnya juga sangat cocok buat suasana begitu, dan cerita pun dimulai, seandainya hidup hanya satu kali, lalu apakah boleh dikatakan pernah terjadi? Seandainya dunia dibagi menjadi dua sisi, berat dan ringan, jiwa dan raga, lalu sebelah mana yang benar-benar ada?
Di Praha ada terlalu banyak patut dikenang, serangga Kafka, [ Don Giovanni ] Mozart, dan pengamen di sudut jalan tengah malam, namun yang membuat saya berkesan justru taman stasiun kecil ini, saya seolah bertemu Tereza dan Tomas, mereka satu tangan memegang [ Anna Karenina ], tangan lain bergandengan, Tereza menggigit sebuah bagel, seperti angin begitu saja melewati hidupku, [ Turis yang sangat aneh! ] mungkin mereka sedang berpikir demikian, dan mereka pasti tidak tahu saya telah berulang kali bolak-balik membaca seluruh hidup mereka, bahkan percaya sendiri akan bersenggolan dengan mereka di jalan-jalan batu di kota.
Hidup pada dasarnya adalah terus menerus mencari, melalui kebetulan-kebetulan dan tak terduga, ” selama bertahun-tahun, aku terus memikirkan Tomas, seperti hanya mengandalkan kenangan menahan cahaya, baru bisa melihat jelas orang ini. ” Waktu itu adalah jam enam sore, Tereza baru saja pulang kerja, Tomas duduk di bangku panjang tepat di depan hotel membaca, saya berjalan masuk ke dalam cerita mereka yang murung dan dingin, bahkan memotret, buat kenangan.

~~~

Ada kedai-kedai tertentu memang memiliki karya yang luar biasa, ditambah lingkungannya yang membangkitkan selera, sangat cocok buat duduk sejenak mencicipi kenikmatan dunia, hanya saja pemiliknya selalu demi menciptakan semacam suasana akan mengisi ruangannya dengan musik tertentu, tetapi musik yang dimainkan ini tepat pula merusak nuansa yang mereka inginkan, ini tentu mengecewakan, sebab ketika musik mulai melayang naik, seniman tarik suara tanpa basa-basi langsung menunjukkan selera tersembunyi pemilik kedai, maksud awal bersiap-siap menikmati sepiring kecil cuci mulut yang manis tiba-tiba telah berubah menjadi kegelisahan berkalori tinggi, tentu merasa kepuasan telah ditebas sebelum sampai ujung.
Di sekitar pusat Kota Tainan, dekat hotel tempat saya menginap ada sebuah kedai es, namanya [ Xiao Douzi ], khusus menjual es cincau campur ronde talas, es sirupnya yang segar diterjang masuk krim, di dalam wangi segar cincau berputar ronde talas yang kenyal, sebuah pesta meriah di puncak musim panas, dia juga menjual semacam es teh hijau, hijaunya sudah tidak usah cerita, mata lihat saja seluruh badan bisa sejuk, saya juga sudah mencobanya. Dekorasi [ Xiao Douzi ] sangat sederhana, dinding lantai bata merah, kursi meja kayu dan pendek, kasar dan kikuk seperti juga cocok buat seruput es setengah jongkok ( kalau jongkok penuh artinya seruput es kacang hijau dekat Jalan Lautze ). Petang musim panas yang membosankan, hujan dan guruh sedang ragu-ragu entah mau datang entah tidak, di dalam ruangan sedang dialirkan musik, suara penyanyi perempuan yang tinggi melengkung berputar sangat memukau, seperti ada semacam kesepian mendaki sendiri di ketinggian tangga nada, agaknya dari cakram penyanyi Norwegia: Silje Vige, tamu di beberapa meja terdiam di dalam petang yang murung, hanya sebentar hujan sudah tumpah-ruah memenuhi langit dan bumi, dan suara penyanyi masih tetap memukau, bahasa utara yang asing dinyanyikan hingga mengenangi melankolis dunia selatan yang lembab.
Setiap kali bertemu keadaan begini, saya selalu teringat ketika Sabina dan Franz duduk di dalam restoran, Sabina mengeluh musik terlalu berisik, namun berkata di dalam hatinya: ” …… di jaman Bach, musik-musik itu bagaikan mawar yang mekar di atas hamparan salju yang sunyi senyap tak bertepi ”
Ah!

~~~

Ketika pelayan membawa datang semangkuk ramen daging panggang yang masih mengepul, saya teringat di dalam filem Juzo Itami [ Tampopo ], tentang keteguhan orang Jepang terhadap ramen yang sudah mendekati gila, oleh sebab itu menjadi khidmat, makan mi, seruput kuah, menarik satu nafas dalam-dalam, merasakan manis dan sedikit harum pedas daun bawang di dalam kuah yang tertutup uap panas, lalu beribu kali mengingat kenangan akan derita dan keriangan indera rasa, kemudian di dalam sekejap sentuhan, sekuatnya melupakan segalanya.
Di dalam beberapa buku tentang ramen Sapporo di Hokkaido yang pernah saya baca, semua penulis bulat satu suara menjulurkan lidah ke arah pintu Tokeidai Ramen. Letaknya dekat Menara Jam Kota Sapporo ( Sapporo Tokeidai ), saya kira begitulah mereka mengambil nama ini. Sejujurnya, ramen [ Tokeidai Ramen ] memang sedap, namun yang meninggalkan jejak rasa di lidah saya ada di dalam sebuah kedai kecil di dekat stasiun kereta api kota kecil Biei, menelusup lewat kain tirai pintunya yang usang dan robek, di dalam penuh pengunjung berdiri dan duduk, suara kuah membahana, seluruh ruangan penuh suara tenggorokan, tiada seorangpun sempat menggunakan mulut berbicara.
Siang yang gerimis dan dingin, ditambah lagi tersesat di sana-sini, setelah mi kuah sampai di atas meja, saya langsung bergabung dalam barisan panduan suara tenggorokan ini, sedikit menyerupai nyanyian Orang Tuva, sedikit menyerupai nyanyian Orang Inuit, paling mirip mungkin dengan Rekuhkara, nyanyian Suku Ainu Hokkaido. Juzo Itami di dalam filemnya [ Tampopo ] memberi perumpamaan ketika menikmati makanan lezat atau arak harum: ” Waktu tiba-tiba berubah menjadi begitu panjang “, betapa betulnya dia!
Dalam perjalanan pulang singgah lagi ke Sapporo, menyempatkan diri pergi mencicipi semangkuk ramen Tokedai lagi, bagi indera rasa, sering makanan enak yang tersaji di depan mata hanya menyodorkan semacam kesia-siaan dan kesedihan, terhadap yang pernah, juga terhadap yang tidak lagi.

Tukang Cuci, 1932

Puisi John Kuan

1932
gambar diunduh dari laman fesbuk John Kuan

Membantu sepotong kanal potret,
membiarkan airnya berpijar keluar
1932, berpijar keluar air kotor sejarah.
Seandainya kau ikut airnya berjalan
ke bawah, mungkin akan bertemu
kincir angin, ampas tebu, mesin giling,
pabrik gula, atau seekor bangau putih
simpan sayap, tutup mata, berdiri satu kaki
istirahat, di atas sebongkah batu bertulis
seperti nisan, seperti prasasti: Phoa Beng Gam

Ada begitu banyak perlu ditangkap mata kamera
Derap delman lewat, deru oto lewat, gemeretak
roda gerobak, lonceng sepeda. Di dalam gelak
tawa tukang cuci ada busa sabun, keringat basi,
aroma kopi. Di tangan mereka setiap debu
kerah jaman dibilas putih kembali, begitu cepat
seolah tidak bergerak, ketika kau buru-buru
menoleh lihat air merembes keluar 1648
keruh, bau, mampat di dalam bingkai ingatan.

Membantu sepotong kanal potret,
membiarkan dirimu menyusuri cahaya pagi
keluar, tidak lama, kau akan melihat panggung itu
semua topeng dan dekorasi telah dilepas,
yang terlibat ( sutradara tiga, empat orang,
tata lampu satu orang, penulis naskah tidak jelas )
siap siaga, setiap saat bisa dinyalakan.
Bau hangus berputar di dalam lingkaran tahun
tiang-tiang jati gosong, pemain utama sesat
di dalam sebuah notulen rapat: Ni Hoe Kong

Ada begitu banyak perlu ditangkap mata kamera.
Bertugas monolog berdiri di depan, seperti membaca
sebuah puisi; mimik, hematku, secukupnya saja.
Musik latar, diatur sesuai kecepatan memori
Angin meniup turun beberapa derajat, mengerutkan
permukaan kanal, sepenggal ekor dialog melayang
keluar: seluruh penghuni pecinan telah dibantai!
Dari sebuah bingkai jendela 1740, cahaya lilin
berkedip lewat 1998, masuk menerangi
lubang telinga lembab berjamur