Puisi John Kuan
【 Satu Malam di Haurgeulis 】
Tidak ada cinta palsu, kawin tipu
raja ratu satu baju, sejarah di sini juga
legenda telah lama tidur. Udara hangat
padat, daun muda mangga Indramayu tebar
semacam harum, pipa bambu dalam gelap
menetes sejuk. Perkutut, juga seekor entah
burung apa sedang bersiul. Agak jauh
beberapa jendela mati lampu. Bulan penuh
di atas lumbung, Langit ada petir, terangkan
bunga-bunga mekar, di pekarangan daun
rimbun, rumah utama setengah ambruk.
Pipa bambu terus menetes, ada suara percik,
ayam berkokok, di malam angin aduk hujan
selalu begitu, awan hitam bersekongkol
guruh mengertak di jauh, saat itu angin baru
gila meniup, daun-daun menyahut, setetes
air hujan, banyak tetes air hujan kecipuk
kandang kambing dan atap seng
【 Dua Hari di Polandia 】
1.
Jembatan rel, pemusik buta jual nasib,
sebuah peti kayu, seekor camar,
siap siaga mematuk kertas nujum
kurogoh kocek, tapi ragu, sekitar penuh
penonton, aku berhenti, tarik keluar secarik
uang kertas 10 zloty, tertunduk, tidak
pandang bulu, sodor kepada pemusik
buta, camar seolah kilat, dari dasar peti
gigit secarik kertas, aku terima, berlagak
tenang: Awas pada kawan, kata kertas
Hati-hati masuk angin, kata kertas lagi
Aku kasihan kepada uang 10 zloty itu
Esok bangun, muka tebal, sebab pulas
ditampar angin garang, radang sendi
Kalau kawan, sejak itu tidak berani
2.
Biru tua beku, pantai dangkal, tepi Sungai
Wisla, es menumpuk sekujur tanggul
Duduk di atas balak, lonjong tapi basah
pelan-pelan diseka matahari terbenam
Tadi malam bersama Maria diguyur
Etude Szymanowski. Tahu, cinta telah
berakhir, persis seperti cheesecake
gosong dibakar temperatur tinggi
Sisi gereja di seberang Istana Potocki
pekerja belah batu tutup setapak
mata pisau berkedip dalam warna senja
telunjuk mandor mondar mandir
【 Tiga Jam di Rumah Lu Xun 】
Duduk hening di bawah bayang waktu, sejarah
tidak teriak lagi. Namun, puisi masih ditulis
pada semrawut jalan-jalan tikus pikiran
Negerimu sudah bangun? Di sudut-sudut ruang
memorial luas, tak terhitung batok kepala sehabis
dipotong taucang, pergi, hanya sisakan segumpal dahak
erat mencekik leher pengunjung, di antara mau
muntah dan tidak, menjaga garis pertahanan terakhir
pita suara. Maka, cekal suara, tidak bicara ihwal negara
diam menembus lewat satu bayang tubuh kesepian
demikian kosong, ingatan dikubur ke dalam bahasa derita,
tertidur, kita hanya berani pelan-pelan melangkah lewat
takut mengejutkan roh sedang merenung
lelah memikul seluruh Cina yang menggelembung
kita melangkah lewat, pada bayang perlahan mengecil
matahari di tengah hari, sebatang pohon jujube, dan langit
sebatang pohon jujube, tiada guruh, hanya segerombolan
suara kepak sayap merpati gegas melintas…
【 Empat Menit di Akademie Schloss Solitude 】
Schiller, Goethe telah diundang
ke sini menulis, membaca
setiap hari pukul enam pagi
pelayan ketuk pintu,
diperintah segera bangun
aku teriak: Baginda Yang Mulia
Muse masih amat pulas
buat apa pula aku bangun cepat
pinggiran Stuttgart bagian selatan Jerman
seperti kastil seperti istana di Baden-Wurtternberg
jauh dari debu dunia, tinggi bersemayam di puncak
cuma ada suara angin suara hujan suara burung
orang-orang pakai baju kuno naik kuda gagah
tapak kuda mengetuk bumi berlapis batu kali
di dalam batu kali pernah ada hatiku sebiji
2 tanggapan untuk “Sebuah Anti-Travelogue”