Tiga Permintaan

Cerpen John Kuan

” Di dalam rumah sudah terlampau dingin ” Dia berpikir. Angin dari sela-sela pintu dan jendela menelusup masuk, seperti mata pisau, tajam menyayat kulit. Namun, beberapa bingkai jendela dan daun pintu rumah reyot ini telah dibakar buat menghadapi musim dingin yang panjang, sudah benar-benar tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk menyalakan api.
Mudah ditebak, agak menggelikan, jalan ceritanya amat sederhana. Semua orang pasti sudah pernah membaca atau mendengarnya. Cerita sepasang suami isteri yang tamak dan tolol.
Seiring bertambahnya usia, tidak tahu kenapa kembali teringat dongeng sederhana ini, seolah membawa makna tertentu, pelan-pelan merambat di dalam hati.
Jalan cerita yang asli sungguh terlalu sederhana, saya ingin memberi pembaca sedikit latar belakang.edit farmersSeharusnya adalah suatu malam musim salju yang dingin beku, di sebuah dusun miskin dan terpencil di daerah Eropa Utara, sepasang suami isteri yang terkenal dungu duduk berhadapan di sebuah meja kosong
Di tanah utara ini, satu tahun bisa separuh adalah musim dingin, matahari juga takut mampir, dia lebih memilih memutar jalan jauh daripada melewati tempat ini. Sepanjang musim dingin hampir tidak bertemu hari terang, gelap berselimut kabut hitam, jalanan penuh tanah becek bercampur salju yang belum mencair, bahkan rubah yang cekatan juga sering terpeleset.
Orang-orang bersembunyi di dalam rumah, di luar angin utara terus mengiris.
Selain orang-orang yang menerjang salju pergi berburu dan mencari kayu bakar, di atas bumi yang gundul samasekali tidak tampak jejak manusia.
Musim dingin yang demikian panjang menyebabkan tempat ini amat sulit dibuat bercocok tanam, yang bisa dihasilkan hanya sedikit lobak atau umbi-umbian lain. Miskin dan terbelakang, penduduk selalu mengalami kelaparan, dan mereka yang mempunyai sedikit kemampuan pasti berusaha mati-matian, memeras otak mencari akal agar bisa pindah keluar dari tempat ini, ke daerah selatan yang lebih hangat mencari kehidupan baru.
Sepasang suami isteri itu, sewaktu muda, juga pernah ada mimpi begini, ke daerah selatan yang hangat.
” Bibit ditaburkan pagi hari, siang keliling sekali, sore datang lihat lagi, sudah pecah kecambah, sudah segera akan berbunga. Jagung dan gandum menumpuk penuh beberapa gudang, bahkan keledai dan kuda penarik kereta juga diberi makan jagung dan gandum yang bersih menyilaukan mata! Pernahkah bertemu hari-hari bahagia begini? ”
Perempuan itu selalu merapatkan kedua telapak tangan di dada, seperti sedang berdoa, menceritakan segala macam hal tentang daerah selatan yang ada di dalam mimpi.
” Satu hari ada enam belas jam cahaya matahari, ini sudah pasti, sangat pasti; madu dan mentega yang dioles di atas roti betul-betul ada setebal dinding. ” Perempuan itu menjilat bibirnya, aroma manis dan harum di dalam pikiran saja bisa terasa begitu indah.
” Dibayangkan saja sudah demikian enak. ” Dia geleng kepala menghela nafas.
Dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang telah jadi begitu kasar dan kaku karena terlalu lama ditempa berbagai pekerjaan berat, tulang jemari yang telah berubah bentuk kelihatan seperti tangan lelaki buruh kasar. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana lagaknya perempuan daerah selatan memoleskan kemenyan arab di kulit mereka seperti yang diceritakan di dalam dongeng-dongeng, lalu mulai cekikikan.
Suaminya, seperti umumnya petani daerah utara. Lurus dan jujur, tampak agak dungu, saat bekerja seperti seekor sapi, tidak pernah tahu apa itu letih. Otaknya sederhana dan praktis, samasekali tidak tahu apa itu imajinasi, sekalipun bermimpi tetap adalah hal-hal semacam induk itiknya bertelur lebih sebiji.
Melihat isterinya berhenti kerja dan cekikikan sendiri, dia agak dongkol, menggerutu, namun tidak berani menegurnya, dia sangat takut isteri.
Lelaki itu samasekali tidak mengerti dunia imajinasi isterinya yang magis. Kebahagian-kebahagiaan yang berlebihan dan absurd, terdengar seperti mantera. Isterinya setiap hari dengan mantera-mantera begini mencari kesenangan hingga cekikikan mulai membuat dia takut.
Di dusun ini dia adalah satu-satunya lelaki yang tidak memukul isteri. Tubuhnya besar kekar, kuat seperti seekor sapi, kepalan tangannya keras berisi, kalau diayunkan, tulang-belulang isterinya yang kecil dan rapuh pasti akan remuk, tapi dia tidak pernah mempunyai pikiran begitu.
Awalnya dia memarahi isterinya yang cekikikan sambil bekerja, tetapi setelah dibalas jeritan kalap dan pekik tangis yang mengerikan ditambah sumpah serapah, dia akhirnya tidak berani lagi protes. Dia tahu, di dalam batok kepala kecil perempuan ini ada sesuatu yang jauh lebih dahsyat daripada tubuhnya yang kekar.
Karena watak penakut suaminya, perempuan itu kian menjadi-jadi. Perubahan fisik setelah melewati parobaya, ditambah angan-angan puluhan tahun yang tidak tampak ada kemungkinan menjadi kenyataan; hampir semua keluarga di dusun telah membawa serta kuda dan keledai mereka pindah ke daerah selatan, bahkan Hendrik yang dianggap paling bodoh dan tinggal di ujung dusun juga sudah pindah, angan-angan perempuan ini akhirnya berubah menjadi amarah. Suaminya yang selalu bungkam, suaminya yang bekerja tanpa mengeluh, suaminya yang sabar dan selalu menurutinya, juga seolah menjelma jadi sindiran tajam atas impiannya yang indah.
Setelah memasuki usia tua, dia menjelma seluruh kekuatan imajinasinya yang tak mungkin menjadi kenyataan itu menjadi dendam dan sumpah serapah terhadap suaminya. Dia masih dengan imajinasinya yang tak bertepi mengganggu suaminya, madu dan mentega masih setebal dinding, matahari satu hari masih tetap enam belas jam, hanya sekarang imajinasinya yang indah telah bercampur kesedihan yang tidak bisa menjadi kenyataan itu.
” Ah, tanah selatan ——— ” Dia meraba-raba wajahnya yang tua dan kasar seperti keriput kulit kayu, melihat suaminya yang bekerja seharian tanpa membawa hasil pulang, dia juga sudah lelaki tua dan bungkuk, gerak langkahnya tampak sulit, dia menurunkan perkakas tani yang berat dari pundaknya. Kuda dan keledai sudah lama dijadikan lauk, sekarang dia sendiri yang membajak.
Melihat suaminya masuk ke rumah, perempuan itu langsung memulai omelannya, sebuah nyanyian pedih bercampur aduk antara keindahan mimpi dan kepahitan hidup dari hari ke hari.
Lelaki tua juga sudah lama terbiasa, suara isterinya sudah seperti angin utara yang menyeru, setelah beberapa waktu, seolah-olah tidak terdengar lagi. Dia goyangkan tubuh menjatuhkan selantai serpihan salju, lalu seperti biasa dengan matanya yang redup dan kekuningan memandang isterinya sekilas, sepertinya juga ingin mengeluh telah bekerja seharian tapi tidak bisa membawa pulang apapun.
” Di dalam rumah sudah terlampau dingin ” Dia berpikir. Angin dari sela-sela pintu dan jendela menelusup masuk, seperti mata pisau, tajam menyayat kulit. Namun, beberapa bingkai jendela dan daun pintu rumah reyot ini telah dibakar buat menghadapi musim dingin yang panjang, sudah benar-benar tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk menyalakan api.
” Tidak ada lagi yang tersisa, semua yang bisa dimakan sudah dikeruk habis, bahkan jejak hewan juga tidak tampak lagi, sekarang orang-orang dusun sedang memikirkan bagaimana caranya makan kepompong yang bersembunyi di dalam tanah musim dingin itu, jika terus begini, semua orang pasti akan mati kelaparan ” Dia begitu risau. Sebagian salju mulai mencair di atas rambut dan kumisnya yang kusut, lalu berubah menjadi lapisan es, berpijar-pijar.
” Enam belas jam matahari sehari, roti dioles madu dan mentega setebal dinding, pernah kau melihat tempat begini? Kutukan apa yang membuat kakimu terpaku di tempat bagai neraka ini, sepanjang hidup. ”
Karena lapar, suara perempuan itu berubah melengking seolah tangisan.
Kaki tangannya, karena lapar dan dingin, telah lama membeku. Lebih mengerikan adalah rasa beku terus menjalar ke pinggang. Dia begitu ketakutan, sehingga suaranya kian melengking menceritakan berbagai hal tentang daerah selatan, seolah ingin menggunakan angan-angan yang indah menahan lapar dan dingin yang menyerang tubuh.
Lelaki itu berputar-putar di dalam rumah, tetap tidak bisa menemukan kayu yang bisa dibakar. Hanya tinggal sepasang bakiak, ini adalah bakiak yang dia bikin sendiri buat isterinya sewaktu baru menikah, bahkan dipernis, licin mengkilap. Dia beberapa kali terpikir ini adalah satu-satunya benda buat menghidupkan api, tetapi niat ini akhirnya dibuang.
Letih dan frustrasi dia duduk di depan perempuan itu, di atas meja tidak ada apapun, dia masih dengan matanya yang redup dan kekuningan menyapu seluruh permukaan meja, berharap bisa menemukan secuil makanan yang tersisa. Dia sudah satu minggu tidak makan, lapar membuat kepala dan matanya sangat berat, dan perempuan itu masih tanpa henti menuturkan daerah selatan, tentang enam belas jam cahaya matahari yang hangat, tentang roti yang dioles madu dan mentega setebal dinding, dia seolah pertama kali merasakan semua ini nyata, terpampang di depan mata.
” Teruskan, teruskan, mentega, madu, roti, cahaya matahari, bahkan keledai juga makan gandum. Dia begini teriak di dalam hati, dia harus menahan sakit yang mengiris di lambung dan usus.
Perempuan itu juga mulai merasakan dingin beku pelan-pelan memanjat ke dada, dia merasa agak sesak, rasa beku ini telah dari segala arah mengepung jantungnya, kata-kata yang keluar dari mulutnya kian lemah dan kacau, namun dia tidak berani berhenti, suaranya menjadi aneh bercampur aduk dengan rintihan dan tangis.
” Bunda Maria, Bapaku, Bapaku, Yesus Kristus ——— ”
Tangannya yang merapat sudah tidak bisa dipisahkan, beku di dalam sebuah posisi berdoa. Matanya mengalir keluar airmata, kematian membuat dia pertama kali merasa begitu dekat dengan Tuhan, dia terus-menerus memanggil nama malaikat.
” Ah ——— ”
Dia terasa berputar-putar, di depannya sehamparan kuning keemasan berpijar, ada suara dentingan yang halus berasal dari empat penjuru.
Ada satu malaikat bersayap panjang telah tegak di depannya.
Malaikat?
Telah ada berbagai macam penelitian dari pakar-pakar tentang hal-hal begini yang konon disebabkan halusinasi karena kelaparan ataupun penderitaan berkepanjangan, tetapi itu tidak begitu penting dalam jalan cerita ini.
Malaikat berkata: ” Perempuan, doamu telah didengar Mahatahu, kalian bisa mengajukan tiga permintaan, apapun yang kalian inginkan, pasti terkabul ”
Konon, kata-kata malaikat jauh lebih anggun [ persis seperti Kidung Agung ] kata perempuan itu. Tetapi karena perempuan itu buta huruf, tidak tahu tatabahasa, apalagi retorika yang memukau, sehingga kata-kata malaikat itu menjadi kasar, hal ini telah membuat gusar banyak teolog, tentu itu adalah urusan lain lagi.
Pokoknya, poin terpenting adalah sepasang suami isteri tua yang tidak memiliki apapun, di saat dingin dan lapar, tiba-tiba dikasihi Tuhan, memberi mereka tiga permintaan, dan paling penting adalah pasti dikabulkan.
” Tiga permintaan ” Perempuan itu berlinang airmata, terus-menerus menyembah ke arah malaikat menghilang, tiba-tiba dia merasa kaki tangannya hangat kembali. Mulutnya komat-kamit menuturkan segala puja-puji yang dia hafal. Dia tenggelam di dalam semacam keriangan baru, kaki tangannya kembali lincah, loncat dari kursi, berteriak dan berputar-putar di dalam rumah.
” Tiga permintaan, tiga permintaan, ah, bagaimana menggunakan tiga permintaan ini? ”
Dia gundah, ” Ke daerah selatan, enam belas jam cahaya matahari, roti yang dioles madu dan mentega setebal dinding, ——— tidak, tidak, aku bisa mendapatkan yang lebih bagus, roti masih terlalu mudah didapat, apa yang akan kuminta? ”
” Mesti baik-baik mempergunakan tiga permintaan ini. Jadi raja, jadi ratu, ada beratus beribu pembantu melayani, ada makanan enak yang tiada putus, ingin seribu potong sapi panggang, buat apa masih makan roti, ya? ” Dia teriak ke arah suaminya yang masih linglung: ” Nasib baikmu sudah tiba, tahu tidak? Tolol, mahkota Raja Philip yang penuh permata juga bisa dipindahkan ke kepala babimu, kau harus cepat-cepat berterima kasih kepada Tuhan! Mengenai daku, ah! Aku ingin mandi susu, pelan-pelan menggosok tubuhku… ”
Dia mulai cekikikan, suaminya amat ketakutan. Lelaki tua ini merasa tiga permintaan yang diberikan oleh malaikat ini benar-benar sangat nyata, dia sudah lapar setengah mati, dia harus segera mempunyai makanan menganjal perut, dia menggunakan seluruh kekuatan di dalam hidupnya teriak ke udara:
” Malaikat, beri aku sepiring sosis panas mengepul! ”
Saat tulis lambat, waktu itu cepat, di atas meja sudah muncul sepiring sosis, tentu ala Eropa Utara, tambah bawang putih dan daun adas, dan benar-benar panas mengepul.
Lelaki tua itu antara terkejut dan terpesona, yang jelas bengong.
Perempuan tua langsung meledak. Dia hidup-hidup diseret keluar dari kebahagiaan yang belum tampak tepi, melihat suaminya yang dungu merusak sebuah permintaan yang begitu berharga, tidak dapat menahan amarah, dengan kata-kata paling menusuk menjerit ke arah suaminya:
” Kau keledai bodoh yang seharusnya disembelih, kau bangsat yang menjijikkan, kau telah membuang sebuah hadiah dari malaikat. Oh, malaikat, maafkan kami! Kau kesurupan, buat apa minta sosis yang membuat mual…… ”
Lelaki tua itu termangu menatap sepiring sosis, uap minyak yang indah melayang ke sana ke sini, dia hanya berpikir segera menggigit sepotong.
” Hentikan tanganmu, ” Api amarah perempuan itu sudah di ubun-ubun, dia berteriak keras:
” Aku ingin sosis ini segera menempel ke hidungmu! ”
Tanpa sadar perempuan itu telah menggunakan permintaan kedua.
Saat tulis lambat, waktu itu cepat, sepotong-sepotong sosis telah menempel di hidung lelaki tua
Piring kosong, lelaki tua merasa dari hidungnya menyebar aroma sedap, dia berusaha menatap ke bawah, menemukan beberapa potong sosis yang indah tergantung di hidungnya, bisa dilihat tapi tidak bisa digapai. Dia coba menjulurkan lidah, tetapi tidak bisa menjilatnya. Sosis begitu dekat, kenyal dan bergoyang-goyang, tetapi tidak bisa dicicipi, dia merasa begitu putus asa.
” Ah ——— ” Perempuan itu menutup mulut menangis sejadi-jadinya.
Penyebab dia menangis teramat rumit, yang paling dangkal tentu adalah dia segera menyadari dia telah sia-siakan permintaan berharga yang kedua.
” Aku bisa menggunakan ini untuk meminta sebuah istana yang ditempel dengan koin emas! ” Demikian dia berpikir: ” Namun sungguh bodoh, aku hanya menggunakannya buat menempel beberapa potong sosis di atas hidung keledai bodoh ini. ”
Tambah membuat dia sedih adalah hidung suaminya yang tergantung beberapa potong sosis itu sangat menakutkan, jika dilihat tetangga, akan bagaimana mereka bergosip dan menilai dirinya.
Dia terus menangis, menyalahkan nasib, menyalahkan suaminya yang bodoh, dia berpikir meninggalkan lelaki tua dan bodoh ini.
” Kau bawa saja sosis sialan ini bersamamu ke neraka! ” dia berkata.
Dia berputar satu kali di dalam rumah, bersiap-siap melangkah keluar, tetapi masih ragu-ragu tidak tahu apakah ada sesuatu yang terlupakan, sesungguhnya mereka sudah samasekali tidak memiliki apapun di dalam rumah, setelah mencari ke sana-sini, yang bisa dibawa hanya sepasang bakiak pemberian suaminya.
Dia memegang bakiak di tangan, kembali menangis.
Lelaki tua itu masih tegak melongo, dengan berbagai cara coba menjilat sosis yang tergantung dihidungnya, tetapi apapun cara yang dia gunakan, sosis selalu sedikit diluar jangkauan ujung lidahnya
” Aduh, sayang sekali hanya selisih setengah centi. ” Lelaki tua berkata di dalam hati.
Perempuan tua menenteng bakiak, melihat suaminya yang buruk dan rakus itu, makin dipikir makin menakutkan, seorang lelaki dengan sosis menempel di hidung, bagaimana melangkah keluar rumah, bagaimana bertemu orang? Bagimana seandainya orang-orang masih ingat aku adalah isterinya……
” Ah ——— ” Dia kembali menangis, bakiak di tangan terasa begitu berat, dia merasa luar biasa capek.
” Tapi, tapi, tapi aku tinggal satu permintaan ” Hatinya terasa amat berat
Konon, dalam keadaan hati yang penuh sesal dan dendam, dia melonglong, merasa seluruh hidupnya telah hancur, lalu melemparkan sepasang bakiak ke arah suaminya, dan dengan suara paling memilukan teriak:
” Sosis sialan, kalian semuanya kembali ke dalam piring ”

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s