Arsip Tag: suami isteri

Tiga Permintaan

Cerpen John Kuan

” Di dalam rumah sudah terlampau dingin ” Dia berpikir. Angin dari sela-sela pintu dan jendela menelusup masuk, seperti mata pisau, tajam menyayat kulit. Namun, beberapa bingkai jendela dan daun pintu rumah reyot ini telah dibakar buat menghadapi musim dingin yang panjang, sudah benar-benar tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk menyalakan api.
Mudah ditebak, agak menggelikan, jalan ceritanya amat sederhana. Semua orang pasti sudah pernah membaca atau mendengarnya. Cerita sepasang suami isteri yang tamak dan tolol.
Seiring bertambahnya usia, tidak tahu kenapa kembali teringat dongeng sederhana ini, seolah membawa makna tertentu, pelan-pelan merambat di dalam hati.
Jalan cerita yang asli sungguh terlalu sederhana, saya ingin memberi pembaca sedikit latar belakang.edit farmersSeharusnya adalah suatu malam musim salju yang dingin beku, di sebuah dusun miskin dan terpencil di daerah Eropa Utara, sepasang suami isteri yang terkenal dungu duduk berhadapan di sebuah meja kosong
Di tanah utara ini, satu tahun bisa separuh adalah musim dingin, matahari juga takut mampir, dia lebih memilih memutar jalan jauh daripada melewati tempat ini. Sepanjang musim dingin hampir tidak bertemu hari terang, gelap berselimut kabut hitam, jalanan penuh tanah becek bercampur salju yang belum mencair, bahkan rubah yang cekatan juga sering terpeleset.
Orang-orang bersembunyi di dalam rumah, di luar angin utara terus mengiris.
Selain orang-orang yang menerjang salju pergi berburu dan mencari kayu bakar, di atas bumi yang gundul samasekali tidak tampak jejak manusia.
Musim dingin yang demikian panjang menyebabkan tempat ini amat sulit dibuat bercocok tanam, yang bisa dihasilkan hanya sedikit lobak atau umbi-umbian lain. Miskin dan terbelakang, penduduk selalu mengalami kelaparan, dan mereka yang mempunyai sedikit kemampuan pasti berusaha mati-matian, memeras otak mencari akal agar bisa pindah keluar dari tempat ini, ke daerah selatan yang lebih hangat mencari kehidupan baru.
Sepasang suami isteri itu, sewaktu muda, juga pernah ada mimpi begini, ke daerah selatan yang hangat.
” Bibit ditaburkan pagi hari, siang keliling sekali, sore datang lihat lagi, sudah pecah kecambah, sudah segera akan berbunga. Jagung dan gandum menumpuk penuh beberapa gudang, bahkan keledai dan kuda penarik kereta juga diberi makan jagung dan gandum yang bersih menyilaukan mata! Pernahkah bertemu hari-hari bahagia begini? ”
Perempuan itu selalu merapatkan kedua telapak tangan di dada, seperti sedang berdoa, menceritakan segala macam hal tentang daerah selatan yang ada di dalam mimpi.
” Satu hari ada enam belas jam cahaya matahari, ini sudah pasti, sangat pasti; madu dan mentega yang dioles di atas roti betul-betul ada setebal dinding. ” Perempuan itu menjilat bibirnya, aroma manis dan harum di dalam pikiran saja bisa terasa begitu indah.
” Dibayangkan saja sudah demikian enak. ” Dia geleng kepala menghela nafas.
Dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang telah jadi begitu kasar dan kaku karena terlalu lama ditempa berbagai pekerjaan berat, tulang jemari yang telah berubah bentuk kelihatan seperti tangan lelaki buruh kasar. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana lagaknya perempuan daerah selatan memoleskan kemenyan arab di kulit mereka seperti yang diceritakan di dalam dongeng-dongeng, lalu mulai cekikikan.
Suaminya, seperti umumnya petani daerah utara. Lurus dan jujur, tampak agak dungu, saat bekerja seperti seekor sapi, tidak pernah tahu apa itu letih. Otaknya sederhana dan praktis, samasekali tidak tahu apa itu imajinasi, sekalipun bermimpi tetap adalah hal-hal semacam induk itiknya bertelur lebih sebiji.
Melihat isterinya berhenti kerja dan cekikikan sendiri, dia agak dongkol, menggerutu, namun tidak berani menegurnya, dia sangat takut isteri.
Lelaki itu samasekali tidak mengerti dunia imajinasi isterinya yang magis. Kebahagian-kebahagiaan yang berlebihan dan absurd, terdengar seperti mantera. Isterinya setiap hari dengan mantera-mantera begini mencari kesenangan hingga cekikikan mulai membuat dia takut.
Di dusun ini dia adalah satu-satunya lelaki yang tidak memukul isteri. Tubuhnya besar kekar, kuat seperti seekor sapi, kepalan tangannya keras berisi, kalau diayunkan, tulang-belulang isterinya yang kecil dan rapuh pasti akan remuk, tapi dia tidak pernah mempunyai pikiran begitu.
Awalnya dia memarahi isterinya yang cekikikan sambil bekerja, tetapi setelah dibalas jeritan kalap dan pekik tangis yang mengerikan ditambah sumpah serapah, dia akhirnya tidak berani lagi protes. Dia tahu, di dalam batok kepala kecil perempuan ini ada sesuatu yang jauh lebih dahsyat daripada tubuhnya yang kekar.
Karena watak penakut suaminya, perempuan itu kian menjadi-jadi. Perubahan fisik setelah melewati parobaya, ditambah angan-angan puluhan tahun yang tidak tampak ada kemungkinan menjadi kenyataan; hampir semua keluarga di dusun telah membawa serta kuda dan keledai mereka pindah ke daerah selatan, bahkan Hendrik yang dianggap paling bodoh dan tinggal di ujung dusun juga sudah pindah, angan-angan perempuan ini akhirnya berubah menjadi amarah. Suaminya yang selalu bungkam, suaminya yang bekerja tanpa mengeluh, suaminya yang sabar dan selalu menurutinya, juga seolah menjelma jadi sindiran tajam atas impiannya yang indah.
Setelah memasuki usia tua, dia menjelma seluruh kekuatan imajinasinya yang tak mungkin menjadi kenyataan itu menjadi dendam dan sumpah serapah terhadap suaminya. Dia masih dengan imajinasinya yang tak bertepi mengganggu suaminya, madu dan mentega masih setebal dinding, matahari satu hari masih tetap enam belas jam, hanya sekarang imajinasinya yang indah telah bercampur kesedihan yang tidak bisa menjadi kenyataan itu.
” Ah, tanah selatan ——— ” Dia meraba-raba wajahnya yang tua dan kasar seperti keriput kulit kayu, melihat suaminya yang bekerja seharian tanpa membawa hasil pulang, dia juga sudah lelaki tua dan bungkuk, gerak langkahnya tampak sulit, dia menurunkan perkakas tani yang berat dari pundaknya. Kuda dan keledai sudah lama dijadikan lauk, sekarang dia sendiri yang membajak.
Melihat suaminya masuk ke rumah, perempuan itu langsung memulai omelannya, sebuah nyanyian pedih bercampur aduk antara keindahan mimpi dan kepahitan hidup dari hari ke hari.
Lelaki tua juga sudah lama terbiasa, suara isterinya sudah seperti angin utara yang menyeru, setelah beberapa waktu, seolah-olah tidak terdengar lagi. Dia goyangkan tubuh menjatuhkan selantai serpihan salju, lalu seperti biasa dengan matanya yang redup dan kekuningan memandang isterinya sekilas, sepertinya juga ingin mengeluh telah bekerja seharian tapi tidak bisa membawa pulang apapun.
” Di dalam rumah sudah terlampau dingin ” Dia berpikir. Angin dari sela-sela pintu dan jendela menelusup masuk, seperti mata pisau, tajam menyayat kulit. Namun, beberapa bingkai jendela dan daun pintu rumah reyot ini telah dibakar buat menghadapi musim dingin yang panjang, sudah benar-benar tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk menyalakan api.
” Tidak ada lagi yang tersisa, semua yang bisa dimakan sudah dikeruk habis, bahkan jejak hewan juga tidak tampak lagi, sekarang orang-orang dusun sedang memikirkan bagaimana caranya makan kepompong yang bersembunyi di dalam tanah musim dingin itu, jika terus begini, semua orang pasti akan mati kelaparan ” Dia begitu risau. Sebagian salju mulai mencair di atas rambut dan kumisnya yang kusut, lalu berubah menjadi lapisan es, berpijar-pijar.
” Enam belas jam matahari sehari, roti dioles madu dan mentega setebal dinding, pernah kau melihat tempat begini? Kutukan apa yang membuat kakimu terpaku di tempat bagai neraka ini, sepanjang hidup. ”
Karena lapar, suara perempuan itu berubah melengking seolah tangisan.
Kaki tangannya, karena lapar dan dingin, telah lama membeku. Lebih mengerikan adalah rasa beku terus menjalar ke pinggang. Dia begitu ketakutan, sehingga suaranya kian melengking menceritakan berbagai hal tentang daerah selatan, seolah ingin menggunakan angan-angan yang indah menahan lapar dan dingin yang menyerang tubuh.
Lelaki itu berputar-putar di dalam rumah, tetap tidak bisa menemukan kayu yang bisa dibakar. Hanya tinggal sepasang bakiak, ini adalah bakiak yang dia bikin sendiri buat isterinya sewaktu baru menikah, bahkan dipernis, licin mengkilap. Dia beberapa kali terpikir ini adalah satu-satunya benda buat menghidupkan api, tetapi niat ini akhirnya dibuang.
Letih dan frustrasi dia duduk di depan perempuan itu, di atas meja tidak ada apapun, dia masih dengan matanya yang redup dan kekuningan menyapu seluruh permukaan meja, berharap bisa menemukan secuil makanan yang tersisa. Dia sudah satu minggu tidak makan, lapar membuat kepala dan matanya sangat berat, dan perempuan itu masih tanpa henti menuturkan daerah selatan, tentang enam belas jam cahaya matahari yang hangat, tentang roti yang dioles madu dan mentega setebal dinding, dia seolah pertama kali merasakan semua ini nyata, terpampang di depan mata.
” Teruskan, teruskan, mentega, madu, roti, cahaya matahari, bahkan keledai juga makan gandum. Dia begini teriak di dalam hati, dia harus menahan sakit yang mengiris di lambung dan usus.
Perempuan itu juga mulai merasakan dingin beku pelan-pelan memanjat ke dada, dia merasa agak sesak, rasa beku ini telah dari segala arah mengepung jantungnya, kata-kata yang keluar dari mulutnya kian lemah dan kacau, namun dia tidak berani berhenti, suaranya menjadi aneh bercampur aduk dengan rintihan dan tangis.
” Bunda Maria, Bapaku, Bapaku, Yesus Kristus ——— ”
Tangannya yang merapat sudah tidak bisa dipisahkan, beku di dalam sebuah posisi berdoa. Matanya mengalir keluar airmata, kematian membuat dia pertama kali merasa begitu dekat dengan Tuhan, dia terus-menerus memanggil nama malaikat.
” Ah ——— ”
Dia terasa berputar-putar, di depannya sehamparan kuning keemasan berpijar, ada suara dentingan yang halus berasal dari empat penjuru.
Ada satu malaikat bersayap panjang telah tegak di depannya.
Malaikat?
Telah ada berbagai macam penelitian dari pakar-pakar tentang hal-hal begini yang konon disebabkan halusinasi karena kelaparan ataupun penderitaan berkepanjangan, tetapi itu tidak begitu penting dalam jalan cerita ini.
Malaikat berkata: ” Perempuan, doamu telah didengar Mahatahu, kalian bisa mengajukan tiga permintaan, apapun yang kalian inginkan, pasti terkabul ”
Konon, kata-kata malaikat jauh lebih anggun [ persis seperti Kidung Agung ] kata perempuan itu. Tetapi karena perempuan itu buta huruf, tidak tahu tatabahasa, apalagi retorika yang memukau, sehingga kata-kata malaikat itu menjadi kasar, hal ini telah membuat gusar banyak teolog, tentu itu adalah urusan lain lagi.
Pokoknya, poin terpenting adalah sepasang suami isteri tua yang tidak memiliki apapun, di saat dingin dan lapar, tiba-tiba dikasihi Tuhan, memberi mereka tiga permintaan, dan paling penting adalah pasti dikabulkan.
” Tiga permintaan ” Perempuan itu berlinang airmata, terus-menerus menyembah ke arah malaikat menghilang, tiba-tiba dia merasa kaki tangannya hangat kembali. Mulutnya komat-kamit menuturkan segala puja-puji yang dia hafal. Dia tenggelam di dalam semacam keriangan baru, kaki tangannya kembali lincah, loncat dari kursi, berteriak dan berputar-putar di dalam rumah.
” Tiga permintaan, tiga permintaan, ah, bagaimana menggunakan tiga permintaan ini? ”
Dia gundah, ” Ke daerah selatan, enam belas jam cahaya matahari, roti yang dioles madu dan mentega setebal dinding, ——— tidak, tidak, aku bisa mendapatkan yang lebih bagus, roti masih terlalu mudah didapat, apa yang akan kuminta? ”
” Mesti baik-baik mempergunakan tiga permintaan ini. Jadi raja, jadi ratu, ada beratus beribu pembantu melayani, ada makanan enak yang tiada putus, ingin seribu potong sapi panggang, buat apa masih makan roti, ya? ” Dia teriak ke arah suaminya yang masih linglung: ” Nasib baikmu sudah tiba, tahu tidak? Tolol, mahkota Raja Philip yang penuh permata juga bisa dipindahkan ke kepala babimu, kau harus cepat-cepat berterima kasih kepada Tuhan! Mengenai daku, ah! Aku ingin mandi susu, pelan-pelan menggosok tubuhku… ”
Dia mulai cekikikan, suaminya amat ketakutan. Lelaki tua ini merasa tiga permintaan yang diberikan oleh malaikat ini benar-benar sangat nyata, dia sudah lapar setengah mati, dia harus segera mempunyai makanan menganjal perut, dia menggunakan seluruh kekuatan di dalam hidupnya teriak ke udara:
” Malaikat, beri aku sepiring sosis panas mengepul! ”
Saat tulis lambat, waktu itu cepat, di atas meja sudah muncul sepiring sosis, tentu ala Eropa Utara, tambah bawang putih dan daun adas, dan benar-benar panas mengepul.
Lelaki tua itu antara terkejut dan terpesona, yang jelas bengong.
Perempuan tua langsung meledak. Dia hidup-hidup diseret keluar dari kebahagiaan yang belum tampak tepi, melihat suaminya yang dungu merusak sebuah permintaan yang begitu berharga, tidak dapat menahan amarah, dengan kata-kata paling menusuk menjerit ke arah suaminya:
” Kau keledai bodoh yang seharusnya disembelih, kau bangsat yang menjijikkan, kau telah membuang sebuah hadiah dari malaikat. Oh, malaikat, maafkan kami! Kau kesurupan, buat apa minta sosis yang membuat mual…… ”
Lelaki tua itu termangu menatap sepiring sosis, uap minyak yang indah melayang ke sana ke sini, dia hanya berpikir segera menggigit sepotong.
” Hentikan tanganmu, ” Api amarah perempuan itu sudah di ubun-ubun, dia berteriak keras:
” Aku ingin sosis ini segera menempel ke hidungmu! ”
Tanpa sadar perempuan itu telah menggunakan permintaan kedua.
Saat tulis lambat, waktu itu cepat, sepotong-sepotong sosis telah menempel di hidung lelaki tua
Piring kosong, lelaki tua merasa dari hidungnya menyebar aroma sedap, dia berusaha menatap ke bawah, menemukan beberapa potong sosis yang indah tergantung di hidungnya, bisa dilihat tapi tidak bisa digapai. Dia coba menjulurkan lidah, tetapi tidak bisa menjilatnya. Sosis begitu dekat, kenyal dan bergoyang-goyang, tetapi tidak bisa dicicipi, dia merasa begitu putus asa.
” Ah ——— ” Perempuan itu menutup mulut menangis sejadi-jadinya.
Penyebab dia menangis teramat rumit, yang paling dangkal tentu adalah dia segera menyadari dia telah sia-siakan permintaan berharga yang kedua.
” Aku bisa menggunakan ini untuk meminta sebuah istana yang ditempel dengan koin emas! ” Demikian dia berpikir: ” Namun sungguh bodoh, aku hanya menggunakannya buat menempel beberapa potong sosis di atas hidung keledai bodoh ini. ”
Tambah membuat dia sedih adalah hidung suaminya yang tergantung beberapa potong sosis itu sangat menakutkan, jika dilihat tetangga, akan bagaimana mereka bergosip dan menilai dirinya.
Dia terus menangis, menyalahkan nasib, menyalahkan suaminya yang bodoh, dia berpikir meninggalkan lelaki tua dan bodoh ini.
” Kau bawa saja sosis sialan ini bersamamu ke neraka! ” dia berkata.
Dia berputar satu kali di dalam rumah, bersiap-siap melangkah keluar, tetapi masih ragu-ragu tidak tahu apakah ada sesuatu yang terlupakan, sesungguhnya mereka sudah samasekali tidak memiliki apapun di dalam rumah, setelah mencari ke sana-sini, yang bisa dibawa hanya sepasang bakiak pemberian suaminya.
Dia memegang bakiak di tangan, kembali menangis.
Lelaki tua itu masih tegak melongo, dengan berbagai cara coba menjilat sosis yang tergantung dihidungnya, tetapi apapun cara yang dia gunakan, sosis selalu sedikit diluar jangkauan ujung lidahnya
” Aduh, sayang sekali hanya selisih setengah centi. ” Lelaki tua berkata di dalam hati.
Perempuan tua menenteng bakiak, melihat suaminya yang buruk dan rakus itu, makin dipikir makin menakutkan, seorang lelaki dengan sosis menempel di hidung, bagaimana melangkah keluar rumah, bagaimana bertemu orang? Bagimana seandainya orang-orang masih ingat aku adalah isterinya……
” Ah ——— ” Dia kembali menangis, bakiak di tangan terasa begitu berat, dia merasa luar biasa capek.
” Tapi, tapi, tapi aku tinggal satu permintaan ” Hatinya terasa amat berat
Konon, dalam keadaan hati yang penuh sesal dan dendam, dia melonglong, merasa seluruh hidupnya telah hancur, lalu melemparkan sepasang bakiak ke arah suaminya, dan dengan suara paling memilukan teriak:
” Sosis sialan, kalian semuanya kembali ke dalam piring ”

Isis dan Pangu

Gerundelan John Kuan
isis dan osiris
Gambar diunduh dari theusesofenchantment.com

Kecuali datangnya sakit dan bencana, pada umumnya, kita jarang memiliki perasaan yang mendalam terhadap kematian.    Kematian seolah adalah sesuatu yang begitu jauh dari kita. Atau begini saja: kita tidak merasa kematian mempunyai hubungan dengan kita. Tapi Jean-Paul Sartre berkata: ” Dimulai dari sesaat dilahirkan, kita akan selangkah-selangkah berjalan menuju kematian. “Kesadaran terhadap kematian sering menyebabkan perubahan sangat besar dalam kehidupan.Orang Mesir Kuno memiliki renungan yang dalam dan kokoh terhadap kematian.

Peradaban baru mulai, memanfaatkan lumpur kaya kandungan yang dibawa banjir Sungai Nil mengembangkan pertanian, membentuk kota, mendirikan negara. Namun, di awal mulainya kemajuan peradaban, juga merupakan awal mulainya rasa tak berdaya terhadap kematian, orang Mesir menciptakan mitologi begini:

Dewa utama Osiris dan adik perempuannya Isis mengikat sebagai suami-isteri, melahirkan seorang anak lelaki bernama Horus; mereka hidup bahagia seperti di dalam hampir semua cerita.

Osiris adalah lambang kebenaran, kebaikan, ketekunan, namun menimbulkan kebencian dan iri dari Dewa Kegelapan Set; setelah membunuh Osiris, Set memasukkan tubuh Osiris ke dalam peti kayu, dibuang ke dalam Sungai Nil.

Isis yang kehilangan suami, siang malam menangis. Dia menyembunyikan anaknya Horus di rawa berilalang, meminta dewi laut menjaganya, dan sendiri mengembara ke empat penjuru, mencari tubuh suaminya.

Setelah melewati berbagai kesulitan dan derita, Isis akhirnya berhasil menemukan tubuh Osiris. Dia bersujud di sisi tubuh kaku itu, menjerit pilu, berharap Osiris bisa hidup kembali.

Isis harus segera menyembunyikan kembali tubuh Osiris, balik menjemput anaknya Horus. Tak duga, Set yang penuh benci dan dengki, menggunakan kesempatan ini, dengan segala cara berhasil menemukan tubuh Osiris, agar bisa tuntas membinasakan Osiris, dia mengoyak tubuh Osiris menjadi potongan-potongan kecil, lalu ditebarkan ke dalam Sungai Nil.

Isis yang kembali bersama anaknya, menemukan suaminya telah menjadi serpihan, luar biasa sedih, konon, airmata pilunya mengalir jadi banjir Sungai Nil yang datang setiap tahun di awal musim panas.

Walaupun begitu, Isis tidak menyerah, dia mencari ke setiap sudut, mengumpul kembali setiap potongan tubuh Osiris yang hanyut di dalam sungai, menggunakan jarum dan benang menyatukan serpihan-serpihan itu, dia akan dengan setiap jahitan mengembalikan tubuh suaminya.

Karena airmata Isis, banjir tahunan Sungai Nil membawa datang endapan lumpur yang kaya kandungan, menyuburkan tanah, membangkitkan pertanian; karena cinta Isis, tubuh Osiris dari serpihan utuh kembali, hidup kembali.

Alam dewata tersentuh, banyak dewi-dewi membuka sayap, mengibaskan angin kehidupan, Anubis membawa datang linen, selapis-selapis dibalut dibungkus, membantu Isis menghidupkan kembali suaminya Osiris.

Menurut cerita, itulah mumi Mesir yang pertama.

Di dalam mumi tersimpan sedih pilu orang Mesir Kuno terhadap kematian, cinta kepada yang telah mati, harapan yang teguh dan berkobar terhadap hidup kembali.

Orang Mesir terlalu teguh atau mungkin bisa disebut keras kepala, mereka percaya, asalkan tubuh masih ada, sekalipun disobek jadi serpihan, tetap bisa dijahit utuh kembali; mereka percaya, asalkan tubuh ada, pasti ada kemungkinan berlanjutnya hidup.

Osiris kemudian dinobatkan sebagai Dewa Kematian, di mulut pintu maut menerima orang-orang yang sampai di alam lain. Di dalam banyak makam-makam Mesir Kuno masih meninggalkan pahatan atau mural begini: Osiris merentangan kedua tangan menyambut, Anubis dan isterinya Isis berdiri di samping menemaninya, juga ada dewi-dewi yang membuka sayap, mengibas angin hidup kembali.

Mumi-mumi kering mengerut yang tersimpan di British Museum, bisa membuat orang terguncang, dengan cara yang begitu mendalam dan sedih meneror yang hidup, menyaksikan bentuk terakhir dari hidup ini!

Orang Mesir terlalu rasional, mereka samasekali tidak menghindari kematian sebagai suatu kenyataan, mereka menciptakan orang mati menjadi mumi, mereka menggunakan granit memahat patung-patung raksasa, mereka terus berharap kekekalan tubuh ini.

Cara Mesir menghadapi kematian adalah khidmat dan pilu.

Mengenai kesadaran orang Cina Kuno terhadap kematian adalah begini:

pangu
Gambar diunduh dari 2.bp.blogspot.com

Pangu yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya, suatu hari mati, dia rebah di atas bumi, dagingnya berubah menjadi tanah ladang, tulang-belulangnya berubah jadi pegunungan, keringatnya mengalir jadi sungai-sungai, rambut, janggut dan bulu tubuhnya berubah jadi rumput dan pohon, mata kirinya menjadi matahari, mata kanannya menjadi bulan, nafasnya menjadi awan dan angin di langit…

Saya selalu menyukai cerita ini, seperti banyak cerita di dalam mitologi Nusantara, sedih pilu terhadap kematian berubah menjadi keceriaan hidup baru, hidup perorangan mengikat menyambung dengan segala hal dan segala benda di dalam semesta, kematian menjadi semacam persembahan, kematian adalah bentuk cinta yang lain…

 

     Bunga gugur itu bukan benda tiada rasa,

     menjelma jadi lumpur musim semi lindungi bunga.

落红不是无情物,

luòhóng bù shì wúqíng wù

化作春泥更护花。

huà zuò chūnní gēng hù huā

Tiba-tiba teringat sepenggal puisi penyair Dinasti Qing: Gong Zizhen ( 1792 -1841 ) ini. Tafsir terhadap kematian yang begini, lebih matang, lebih cermat, mungkin adalah kearifan yang diperoleh dari pengamatan terhadap perubahan alam. Ini juga sangat mirip dengan orang Ibrani Asia Barat Kuno yang berkata di dalam injil: Sebiji gandum jatuh ke dalam tanah dan mati, akan tumbuh keluar lebih banyak biji gandum lagi.

Tidak tahu juga apakah karena Pangu, orang Cina setelah periode Lima Dinasti ( 907 – 960 ) menjadi kurang begitu melukis figur manusia, tetapi sangat suka melukis pemandangan alam. 

Kesukaan orang Cina melukis pemandangan alam benar-benar sangat terkenal dan tidak usah diceritakan lagi. Pemandangan alam seolah bentuk lain dari figur manusia. 

Pegunungan adalah tulang belulang manusia, ladang dan sawah adalah daging manusia, hutan adalah rambut manusia, dan sungai-sungai besar yang terus menerus mengalir, pasti adalah airmata dan cairan darah yang tidak henti mengalir dari jaman ke jaman. 

Saya berulang kali menceritakan kisah Isis dan Pangu ini kepada orang-orang di sekitar saya, terus berusaha mencari penjelasan yang masuk akal di dalamnya. Namun, setelah beberapa kali menceritakan, akhirnya saya menemukan bahwa bagian terbaik dari cerita-cerita kuno ini, bukan berada pada penjelasan yang masuk akal, tetapi pada cerita mereka yang disampaikan dengan begitu asli dan polos.

Sejak adanya istilah ‘ sastra ‘ yang amat merepotkan ini, dan malangnya lagi sejak ‘ sastra ‘ terus-menerus diulas oleh peneliti-peneliti di sekolah-sekolah tinggi, cerita pun karam.

Saya agak malu pada umur segini masih sering kepergok terjerumus bersama anak-anak kecil di depan rak-rak buku dongeng, sesungguhnya saya belum pernah benar-benar terlepas dari cengkeraman legenda, dongeng, mite, dan lain-lain yang pokoknya bernama cerita.

Setelah menulis Isis dan Pangu, saya merasa sedikit bosan dengan motif sendiri mencari penjelasan yang masuk akal terhadap mitologi-mitologi tua. Bersandar di kursi istirahat, teringat satu per satu legenda, dongeng, fabel yang diceritakan nenek, dari bintang sampai kupu-kupu, dari burung pipit sampai ayam jago, manusia-manusia pertama yang turun dari langit, keluar dari batu, menetas dari telur, keluar dari bambu di dalam mitologi Nusantara, Echo dan Narcissus dari mitologi Yunani, cerita-cerita Jataka. Semua cerita-cerita ini begitu sederhana, namun bukan sebuah penjelasan masuk akal yang dapat mengantikannya.

hitam dan putih
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com

Di dalam cerita-cerita itu, saya tiba-tiba merasa memperoleh kebebasan yang luar biasa, seolah tiba-tiba terlepas keluar dari bingkai ‘ sastra ‘ yang sesak dan membosankan itu, kembali memiliki ruang yang lapang. Di antara cerita dan cerita, di antara kenyataan dan imajinasi, di antara jaman dahulu dan jaman sekarang, dapat menerobos, tanpa sekat, datang dan pergi sesuka hati.

Kadang-kadang kenyataan yang terselubung akan menjadi kepedihan cerita, dan sejarah mungkin juga menjadi kesuraman cerita; namun, bagaimana pun hidup pasti akan berlanjut, dan bukan hanya saja berlanjut, bahkan ingin mendengar cerita-cerita bagus, cerita-cerita indah, cerita-cerita sedih, cerita-cerita yang bisa dijelaskan dan yang tidak bisa dijelaskan, sebab hidup belum berakhir, bait puisi belum berakhir, saya sering merasa tokoh-tokoh cerita-cerita tua ini di sekelilingku, mempunyai nyanyian tangisan tawa dan airmata yang sama.