Puisi John Kuan
Membantu sepotong kanal potret,
membiarkan airnya berpijar keluar
1932, berpijar keluar air kotor sejarah.
Seandainya kau ikut airnya berjalan
ke bawah, mungkin akan bertemu
kincir angin, ampas tebu, mesin giling,
pabrik gula, atau seekor bangau putih
simpan sayap, tutup mata, berdiri satu kaki
istirahat, di atas sebongkah batu bertulis
seperti nisan, seperti prasasti: Phoa Beng Gam
Ada begitu banyak perlu ditangkap mata kamera
Derap delman lewat, deru oto lewat, gemeretak
roda gerobak, lonceng sepeda. Di dalam gelak
tawa tukang cuci ada busa sabun, keringat basi,
aroma kopi. Di tangan mereka setiap debu
kerah jaman dibilas putih kembali, begitu cepat
seolah tidak bergerak, ketika kau buru-buru
menoleh lihat air merembes keluar 1648
keruh, bau, mampat di dalam bingkai ingatan.
Membantu sepotong kanal potret,
membiarkan dirimu menyusuri cahaya pagi
keluar, tidak lama, kau akan melihat panggung itu
semua topeng dan dekorasi telah dilepas,
yang terlibat ( sutradara tiga, empat orang,
tata lampu satu orang, penulis naskah tidak jelas )
siap siaga, setiap saat bisa dinyalakan.
Bau hangus berputar di dalam lingkaran tahun
tiang-tiang jati gosong, pemain utama sesat
di dalam sebuah notulen rapat: Ni Hoe Kong
Ada begitu banyak perlu ditangkap mata kamera.
Bertugas monolog berdiri di depan, seperti membaca
sebuah puisi; mimik, hematku, secukupnya saja.
Musik latar, diatur sesuai kecepatan memori
Angin meniup turun beberapa derajat, mengerutkan
permukaan kanal, sepenggal ekor dialog melayang
keluar: seluruh penghuni pecinan telah dibantai!
Dari sebuah bingkai jendela 1740, cahaya lilin
berkedip lewat 1998, masuk menerangi
lubang telinga lembab berjamur