Puisi John Kuan
Buat Ahmad Yulden Erwin

Sedahan burung gunung tegak ngantuk, kaget
terbangun oleh risik bulan origami kertas puisiku
Suara kepak sayap menghardik bubar seluruh daun
Gunung hampa. Tiadakah orang? Hanya kau
tangan di tepi sungai menyentuh lumut di atas batu
Ah! Sudah begini tua. Selembah musim semi, bunga
sesuai waktu lalu gugur. Tarikh Tianpo 10 tahun?
12 tahun? 15 tahun? Hidup boleh, mati boleh, gontai boleh
santai boleh bagai sekuntum teratai di kolam belakang
dan setiap petang, dalam luar tubuh selapis hijau kelabu
hanya tinggal lekuk batu tinta belum kering
masih tergenang penuh keangkuhan hitam
sebab itu, agak santai, agak malas, tongkat ranting
di tangan, keluar tiga li ke arah tepi air melangkah
.
Tegak, mendongak, tengok gunung, tengok awan
melintas, bergeser, menyebar dari keningmu yang sunyi
di saat begini mendadak terpetik sepatah puisi indah
lalu hilang ditiup rambut kusut baru kau rapikan
Beberapa saat lalu, ada orang datang menyapa:
Puisimu yang mana paling ada renungan zen?
Kau menjawab santai: Bukankah bangau putih itu
diam-diam terbang keluar baris ketiga Genangan
Hujan Wangchuan. Habis ucap, selengan baju bunga alfalfa
menyusuri batu anak tangga, terguncang jatuh
Musim gugur, dengan kurus, dengan ikut
hangat senja, menyusup ke dalam sepi rumahmu
hari disiram hujan gunung, bisa semadi, bisa edit puisi
cicip sedikit hambar Zhuangzi, atau lewat jendela kuyup
menonton asap liar di kaki gunung kepang rambut
Kadang juga teringat An Lushan dan segala rutinitas
Dinasti Tang, atau berdiri, atau duduk, atau lempar pena
bangkit, hingga matahari di ujung dermaga terbenam
dimuat sampan nelayan ke seberang. Pada hening kolam pagi
melihat diri telah sebatang bambu, ditiup angin
setiap ruas bergoyang, setiap ruas tampak kukuh
.
Antar kau, di setapak Hujan Wangchuan, memasuki
kosong ruasmu yang terakhir kau sisakan buatku