Arsip Tag: meniru

Tiga Puisi Cinta dan Satu Nyanyian Pilu

Puisi John Kuan

——— meniru Inger Christensen

1.

cintai aku titik/ kalau tidak aku akan lenyap di udara titik/ biarkan
aku bagai mobil parkir di garis kuning tengah malam koma/ numpang
hidup sebelum fajar menyingsing titik// cintai aku titik/ biarkan aku
sebagai sisa pijar minyak di sela jarimu koma/ erat mendekap
keringat hangat koma/ tidak ingin dikuras jatuh titik// cintai aku titik/
walau cinta licin macam belut koma/ spesimen seperti aku ini titik/
hanya di saat kau menatap koma/ baru kembali peroleh kebebasan titik
// cintai aku titik/ kalau tidak aku sudah mau bernyanyi buatmu titik/
oh my god koma/ dijamin membuat kau merasa lebih baik koma/
lebih baik mencintaiku titik//

2.

jangan lagi memberondong ke arahku koma/ bukan pula aku robohkan
bentengmu koma/ jangan lagi memberondong ke arahku koma/ sungguh
aku tidak cukup nyali merampok bank koma/ jangan lagi memberondong
ke arahku koma/ pendapatku masih belum menang piala perdamaian koma/
jangan lagi memberondong ke arahku koma/ aku tidak ambil topi baja
ke medan perang koma// sedihku hanya 21 derajat celsius koma/ terpurukku
masih menunggu elevator koma/ deritaku diserahkan kepada askes koma/
sepiku telah dikirim menemani kucing koma// satu tembakan lagi aku akan
berubah jadi mazinger z koma/ satu tembakan lagi aku akan transparan koma
/ ayo tambah satu tembakan koma biarkan sakit membuktikan koma/
roh ini masih belum dibius koma/ biarkan cinta menampakkan mujizat
terbesar titik dua/ sehabis mati koma/ masih bisa mati sekali lagi koma//

——— bukan meniru Pablo Neruda

3.

tidak ingat lagi nama jalan itu
hanya tahu kau tinggal di loteng YAMAHA
papan nama sudah padam, tidak tahu lampu rumah siapa
bergoyang menyapu permukaan jalan
cuma tahu jalan memutar pulang amat panjang, amat panjang
bagai melewati galaksi lain.
tidak ingat lagi rupa jalan itu
hanya tahu angkat kepala akan disambut hujan garpu pisau jarum
itu adalah malam di hari ketiga
hari kedua aku masih ikut pawai
biarkan tempurung kepala diisi penuh suara drum
hari keempat sudah lupa
ingat betul telah minum sup buah pare
namun ujung lidah seperti bisa mencicip manis irama di ujung jalan
sehari berikutnya mungkin adalah banyak tahun kemudian
aku kembali ke jalan itu ( kita sama-sama sudah tua di dalam mimpi )
jalan itu, masih sepi, kacau, indah, biasa
kau kembali ke loteng, aku angkat kepala menatap
sekalipun dunia mau kiamat juga tidak hirau

4.

aku harap sendiri bukan sebuah sangkar
tapi angin yang menyusup lewat
aku harap bisa dengan nyanyian kau riang
tapi bukan cinta
aku harap bisa dengan bersih sorot mata
menikmati sebiji ceri
aku harap setelah pisau dicabut dari ranjangku
mampu rapat sendiri
hanya kadang di paruh malam
aku masih bisa ambles ke lobang luka
berebut menyantap habis ceri terakhir
nyanyian indah diulang hingga sumbang
kadang aku biarkan pintu sangkar terbuka
tapi tidak ada orang ingin masuk
atau keluar

Ketika Sepenggal Sajak Terpotong Senja

Puisi Ragil Koentjorodjati

bayanganmu dalam ayunan
Ilustrasi dari dayu_ledys_blogspotdotcom
Seorang gadis cilik naik ayunan,
tubuhnya yang mungil meregang, mencoba tegak melawan ketidakseimbangan.
Kaki menegang ke bawah, sedikit lebar mengangkang,
tangan memegang tali di kanan kiri kepala, sedikit lebar terentang.

Aku melihatnya seperti ‘the vitruvian man’
Ia sedikit menahan tangis ketika dengan segala daya upaya, ayunan tidak terayun.
Bocah lain tertawa, usianya sedikit lebih tua.
Gadis mungil tak berdaya,
Ia mencoba meniru dari sesuatu yang pernah dilihatnya,
dari yang lebih tua, dari yang lebih bisa,
Ia meniru gerak dalam ingatannya tentang bagaimana berayun dan mengibarkan gelombang di rambutnya.
Badan sedikit membungkuk, memusatkan tenaga di kedua kakinya,
Awalnya hanya sedikit bergoyang, kemudian perlahan mulai melayang,
Tak berapa lama, ia sudah merasa bagai terbang.

Lalu saya berpikir, mengapa saya tidak suka orang yang meniru orang lain,
mungkin itu langkah awal orang untuk menjadi dirinya.
Dengan sedikit terlambat di usia senja,
seseorang menjadi dewasa pada usia yang tidak sama.
Lalu saya rindu bermain ayunan di belakang rumah yang, entah, sudah berapa tahun saya lupakan.