Weekly Writing Challenge Retna Agustina

Aku berharap segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku akan berhenti sampai disini. Tapi jarum jam tetap berputar seolah mengingatkan aku bahwa dia lebih berkuasa untuk menaklukan waktu. Aku sedang dihadapkan pada dua pilihan dan detik-detik jam serasa memaksaku untuk segera mengambil keputusan. Pilihan pertama, aku menuruti keinginan paman dan bibiku untuk melanjutkan studi di Amerika, artinya aku akan tinggal bersama mereka disana selamanya. Pilihan kedua, aku menolak perintah mereka dan mulai menentukan masa depanku sendiri. Aku menyandang status yatim piatu sejak berumur lima tahun. Orang tuaku meninggal karena kecelakaan dan kerabat satu-satunya yang merawatku selama ini adalah bibi Orora. Ini adalah kebimbangan pertama yang aku alami. Aku berencana melakukan pemberontakan setelah sekian lama patuh padanya.
Aku menekan beberapa digit angka yang kemudian segera diikuti nada sambung. Aku menutup mata sampai terdengar sapaan bibi Orora dari seberang, ”Hallo dear!” Aku serasa tercekik mendengar suaranya yang selama ini berotoritas penuh atas hidupku itu. ”Sayang, kapan kau akan berangkat ke Chicago huh?” Bibi kembali bersuara setelah beberapa detik aku terdiam.
Aku menarik nafas dalam-dalam mengalahkan orang sakit asma. Aku sudah memilih untuk mandiri dan aku tidak tahu bagaimana menyampaikan keinginanku ini pada bibiku. ”Claris?” Nada suara bibi mulai meninggi.
”Emm..emm aku.. ,” nafasku tertahan. Aku memukuli dahiku berharap hal itu bisa menyatukan kata-kata yang teracak dalam pikiranku.
”Carilah jadwal penerbangan tercepat hari ini! Aku tidak bisa menunggumu lebih lama lagi.” Bibi mengambil alih semuanya dan komunikasi diputus secara sepihak. Aku menjatuhkan gagang telepon dan membiarkannya menggantung. Aku sangat mengenal bibi Orora. Jika aku tidak menurutinya, maka semua fasilitas yang menyertaiku selama ini akan diberhentikan. Dan mungkin akan berat bagiku untuk memulai semuanya dari awal.
Pyaaar. Aku terjingkat mendengar suara pecahan kaca. Kedengarannya tidak jauh, sepertinya dari arah ruang tamuku. Seorang anak laki-laki menebarkan pandangannya ke segala arah dalam rumahku untuk mendeteksi keberadaan pemilik rumah. Aku menghampirinya dan dia menyambutku dengan sebuah pengakuan, ”Kak Claris maaf, aku menendang bola terlalu keras dan memecahkan kaca rumahmu!”
Oh…gosh! Anak kecil ini tahu siapa namaku sementara aku merasa tidak pernah mengenalnya. Tiba-tiba dia mendekat dan menjabat tanganku, ”Oh ya, namaku Kevin. Aku tahu tentang kakak dari cerita ibuku! Ibu bilang kalau besar nanti aku harus seperti kak Claris yang hidupnya selalu sukses dan membanggakan orang tua.”
Aku tercekik untuk yang kesekian kalinya hari ini. Tapi aku menghargai kejujurannya. ”Baiklah! Pujian yang tepat dan kau selamat! Ambil bolamu dan kejar impianmu!”
”Suatu saat nanti kalau kakak ganti memecahkan kaca rumahku, aku akan memberikan kebebasan padamu.”
Kevin dengan sigap mengambil bolanya dan kembali bermain di halaman rumahku. Sekarang aku sadar hadiah dari bibi Orora bukanlah impianku. Kata-kata kebebasan yang sempat dia ucapkan itulah yang aku inginkan. Aku berlari ke kamarku, meraih beberapa barang penting dan memasukkannya secara paksa kedalam tas koperku. Sekarang aku semakin yakin bahwa rumah dan segala isinya inilah yang memenjarakan masa depanku. Semasa kecil, aku masih ingat bahwa bibi akan memberiku hadiah jika aku menurut pada aturan mainnya. Saat itu, aku lebih memilih belajar seharian di kamar daripada berkenalan dengan tetangga baruku. Aku menurut untuk fokus pada bidang pendidikan yang sebenarnya tidak aku sukai. Aku menekuni pekerjaan yang menurutku membosankan sepanjang hari. Aku harus membaca dan menuruti pesan dinding di facebook yang selalu dia posting. Tidak ada pilihan lain. Aku akan memblokir semua akses internet yang bibi gunakan dan memutuskan semua sarana komunikasi antar negara yang kami lakukan selama ini. Setelah berhasil melaksanakan pemberontakan ringan itu, aku keluar dari rumahku.
”Hey kak, apa yang akan kau lakukan dengan kopermu itu?” tegur Kevin sambil memainkan bolanya dengan lincah.
”Aku menginginkan kebebasan.” Aku melirik kaca rumahnya sekedar menggoda janji yang pernah dia ucapkan.
”Hah? jadi kau akan benar-benar memecahkan kaca rumahku?!”
Keluguannya itu membuat tawaku meledak. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Aku bisa bergurau dengan siapa saja dan melakukan apapun yang aku sukai. Aku tidak percaya bahwa aku akan memblokir jalur komunikasi antara aku dengan orang yang selama ini mengasuhku. Aku akan memblokir semua campur tangan bibi dari kehidupanku. Masa depanku adalah milikku. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap bibi, aku akan meraih cita-cita yang selama ini aku harapkan dan rindukan dengan cara-cara sederhana bersama orang-orang yang aku cintai.