Cerita KauMuda Nihayatun Ijaji
Editor Ragil Koentjorodjati

Rintik mengalun dengan indah seindah roda lara yang berputar dengan cepat. Kadang terbesit dalam akal ini untuk menyudahi saja seperangkat lara yang nampak makin akrab dengan hidupku. Tapi, ah… Tuhan pasti membenciku seandainya itu terjadi.
Rintik hujan malam ini rupanya mampu membasahi sudut-sudut hatiku yang gersang. Tapi, luka itu terasa semakin sakit dibuatnya. Betapa tidak, luka yang entah kapan bisa mengering ini terus menerus terkoyak tanpa kutahu apa yang bisa kulakukan agar bisa mengobatinya. Kutatap langit kosong itu. Tak ada kerlip di sana. Yang ada hanya rintik hujan yang makin merembas kian dalam di hatiku, membuatku terus menangis meraung-raung dengan keras, meski dalam hati saja.
”Marwah,“ suara berat ibu sejenak mengganti irama rintik hujan. Bukan aku pura-pura tak mengerti rasa khawatir ibu yang makin menggunung tiap harinya terhadapku yang sudah berhari-hari tak sebiji pun nasi bisa masuk ke dalam kerongkonganku, tapi, sungguh nasi segunung pun tak akan mampu memberiku tenaga saat ini.
“Aku telah lupa akan lapar Bu.” Kubalas panggilan ibu dengan senyuman.
“Istirahatlah dulu,” suara ibu melemah. Aku mengangguk
Di kamar inipun rintik itu masih mengalun, mungkin takkan bisa berhenti sebelum denyut jantung ini berhenti pula. Mata ini tak mampu terpejam barang sekejap pun. Hanya bayangan lelaki itu yang terlihat ketika kututup mataku. Senyum indah itu mata elang itu, renyah tawanya itu. “Tuhan sepertinya aku tak mampu lagi hidup dibuatnya,” ratapku.
Esok pun tiba semangkuk bubur ayam dan segelas susu cokelat hangat nampak manis di meja kamarku. Setiap pagi ia selalu hadir. Aku tahu ini perbuatan ibu, ibu tak pernah letih merayuku makan tapi ah…..terasa berat kusantap sarapan itu. Rasanya seperti mengangkat berton-ton besi saat kuingin membuka mulutku untuk menyantapnya. Kubiarkan bubur dan susu itu mendingin, mungkin sampai berembun, beku sebeku hatiku. Sosok ibu hadir tiba-tiba di kamar.
“Tolong Marwah makanlah dulu walau hanya satu suap,” pinta ibu, menusuk rongga-rongga dadaku. Mata ibu nampak makin berkaca. Oh..wajah keriputnya mulai terlihat jelas, ingin kuelus. Semoga ibu tak merasakan apa yang aku rasakan, lalu tubuh kurus ibu dengan segera memelukku. Tuhan, ini jelas hangat yang sama kurasa saat tubuhnya merangkulku nyaman yang luar biasa hingga buatku merinding.
“Ibu mohon kepadamu Marwah, segeralah hentikan semua ini. Lanjutkanlah hidupmu. Jangan berlarut-larut dengan kesedihanmu dan jangan kau jadikan lukamu sebagai teman akrabmu. Ia bisa hadir namun juga bisa hilang Marwah. Ibu benar-benar sudah tak sanggup lagi melihat keadaanmu saat ini. Ibu sudah sangat letih. Marwah tolong hentikan…!!!”
Bahuku terasa basah dengan hujan air mata ibu. Aku masih membisu sebisu angin yang makin mongering.
“Aku tak sanggup untuk melanjutkan hidupku ini, Ibu,” isakku dalam hati.
“Kalau kau tetap seperti ini, Marwah, Ibu berjanji demi malam yang kian nampak pekat ini, Ibu berjanji akan mengikuti apapun yang kau lakukan. Kalau kamu lupa akan makan, Ibu pun takkan makan sesuap nasi pun, tak berbicara sepatah kata pun, mengurung diri, menangis tanpa air mata semuanya. Marwah semua yang kau lakukan saat ini akan ibu lakukan juga.” Air mata Ibu dan air mataku seolah berlomba derasnya. Tapi aku masih terdiam, rasanya keluh tak mampu berkata apapun.
“Baiklah Marwah, kalau kamu tetap diam berarti kamu setuju, kamu setuju ibu punya jiwa mati sepertimu, lupa dengan warna dunia, khilaf dengan nikmat Tuhan dan ini yang terakhir Ibu ucapkan, Ibu menyayangimu bahkan lebih besar dari cintanya dan cinta yang manapun jua.”
Aku tercengang. Ibupun berlalu.
“Tapi…..Ibu…,” suara itu keluar juga dari mulutku. “Jangan Ibu,” tangisku akhirnya pecah juga. Ibu berbalik dan memelukku lagi. “Jangan Bu, maafkan aku yang membuatmu berduka sampai sedemikian rupa. Aku memang bodoh Bu. Aku tak berguna. Harusnya aku tak lupa akan cintamu yang kuat itu Bu. Tapi Bu, aku telah berdosa. Aku benar-benar pendosa.”
“Tidak Marwah. Ibu selalu memaafkan apapuin salahmu tapi ibu mohon lanjutkan hidupmu lagi. Tersenyumlah, berlarilah, tertawalah, Marwah. Tak ada pertemuan yang abadi begitupun perpisahan. Lupakan Helga, ia telah di sisiNya dan biarkan dia tenang di sisi Allah.”
Aku masih terkurung dengan luka yang kubuat sendiri. Bukan hanya kehilangan Helga yang mebuat jiwaku mati seperti ini, tapi Helga tak hanya meninggalkan cintanya untukku, dia juga meninggalkan buah cinta kami yang tengah tumbuh di rahimku. Kesalahan itu terjadi dua jam sebelum Helga meninggalkanku untuk selama-lamanya, sebelum ia menabrak sudut pembatas setelah mengantarku pulang. Jalan aspal yang basah dan licin seusai diguyur rintik gerimis. Aku berdosa. Aku khilaf.
“Tapi…..Bu…, aku hamil!” kata laknat itu keluar juga dari mulutku
Dan tak mampu berkata lagi. Aku menyesal, hancur. Jiwaku telah mati dan tinggal penyesalan serta luka ini saja yang masih hidup.
*)Nihayatun Ijaji, seorang aquarius kelahiran 2 Februari. Untuk lebih mengenalnya bisa mengontak via fb Nayha Boriel Ogura Neinfu atau via telp 087727197687