Oleh Retna Agustina
Tanggal 30 Mei 2012, aku mengalami pertengkaran yang hebat dengan salah seorang teman. Aku melakukan sebuah kesalahan padanya. Bisa dibilang aku tidak menepati janji untuk suatu proyek perkuliahan yang kami rencanakan beberapa minggu lalu. Tentu saja aku sudah minta maaf dan jawabannya klasik”oke nggak apa-apa”. Tapi ternyata “apa-apa”. Dia sakit hati dan meluncurkan beberapa pembalasan dendam untuk menyerangku. Dia mulai menyebarkan berita yang tidak benar tentang diriku kepada teman-teman di kampus. Dia meniru gaya hidupku habis-habisan, entah apa maksudnya. Dia berusaha menggagalkan usaha yang aku bangun dengan cara-cara licik. Aku tetap bertahan hingga suatu ketika dia berhasil membuatku bertengkar dengan sahabatku. Saat itulah pertahananku runtuh.
Aku serasa mengalami kematian ketika harus ditolak, dihindari dan dimaki oleh sahabatku. Aku membangun persahabatan kami dengan cara membunuh karakterku yang sombong dan pemarah, bukan dengan hadiah atau uang. Kami melewatkan banyak waktu bersama untuk tertawa dan menangis. Kami memanjatkan banyak doa satu sama lain di setiap malam. Kami juga mengalami banyak pertengkaran, tapi selalu ada kebesaran hati untuk mengakui kesalahan masing-masing. Kami benar-benar belajar arti mengasihi, mengampuni, dan bagaimana memaknai kebersamaan. Selalu ada dukungan dan tangan yang kuat untuk mengangkat salah satu dari kami ketika terjatuh, berduka atau mengalami kegagalan. Sekarang aku harus melakukan segalanya tanpa sahabat. Itu sungguh sangat sulit.
Tiga bulan berlalu dan aku masih berjuang untuk menjalani keseharianku tanpa sahabat. Aku mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku untuk tetap berkuliah. Hari itu hujan turun sangat deras dan aku ragu untuk keluar dari lobi kampus, sampai akhirnya seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun menghampiriku. Dia menawarkan sebuah payung padaku seharga dua ribu untuk sekali menyeberang jalan. Ya, ojek payung. Aku setuju dengan tawarannya. Anak itu berjalan satu meter di sampingku sambil bernyanyi nyaris berteriak seolah lagu yang dia lantunkan dapat membuat hujan ini berhenti. Aku menatap matanya yang begitu ceria. Dari mata itu aku tahu menjadi ojek payung bukanlah keinginannya. Aku melihat ada banyak cita-cita yang mulia di sana. Sungguh, dia membuatku merasakan satu ketegaran yang luar biasa.
Belum selesai aku terkagum, dia menunjukkan kekuatan kepribadiannya yang lain. Dia berlari ke sebuah warung dan kembali padaku dengan sebungkus teh hangat. Dia mengatakan bahwa tanganku bergetar di sepanjang perjalanan dan menurutnya aku bisa sakit karena terlalu lama kedinginan.
Aku menawar, “kalau begitu apa rahasiamu agar tidak sakit, sementara hujan terus membasahi tubuhmu dan itu pasti sangat dingin bukan? Beri aku satu jawaban dan aku akan menerima teh hangat ini!”
“Hmm…kau tahu batu karang? Dia dibentuk dari ombak yang besar, jadi tetesan air hujan tidak akan membuatnya hancur. Aku adalah batu karang yang tidak akan pernah sakit hanya karena kehujanan.”
Jawaban itu mengantarkan teh hangat pemberiannya ke dalam tanganku. Baiklah, dia sekarang membuatku sangat iri dengan kepintarannya dan malu karena dia benar-benar sangat kuat. Aku rasa payung yang dia sewakan padaku layak untuk dibayar mahal. Aku melanjutkan pembicaraan, ”apa aku juga bisa jadi batu karang sepertimu?”
”Ya, jika kau mau menghadapi ombak yang menyerangmu! Bisakah kau mengembalikan payungku sekarang? Aku ingin melihatmu menghadapi ombak pertamamu.”
Aku memicingkan mata menunjukkan kebingungan. Apa maksudnya dengan ombak pertamaku. Dia menunjuk semua kendaraan yang melaju dan memintaku menyeberang sendirian. Aku tertawa melihat tingkahnya tetapi aku menurut juga. Setibanya di seberang jalan, aku baru ingat bahwa aku belum membayarnya. Beruntung dia masih di sana. Aku berteriak, ”hey batu karang! Aku belum membayar sewa payungmu!”
Dia menggeleng kuat dan balas berteriak,” tetaplah tersenyum saat ombak menyerangmu dan aku akan menganggap semua ini sudah lunas!” Dia melambaikan tangannya lalu kembali menawarkan jasa sewa payung pada pejalan kaki yang lain.
Aku berjanji akan tetap tersenyum dalam keadaan apapun. Aku akan menjalani setiap hari dengan mandiri. Aku akan melewati tahun demi tahun dengan sangat kuat. Aku akan mengikuti perkuliahan dan diwisuda dengan atau tanpa sahabat. Aku tidak akan marah pada Tuhan untuk semua musibah yang menimpaku, karena aku tahu Dia ingin aku menjadi batu karang.
Tanggal 1 Januari 2013, aku move on. Aku menemukan teman-teman yang baru dan membangun hubungan yang lebih sehat dengan orang-orang di sekitarku. Aku adalah batu karang kedua setelah anak kecil yang menawarkan jasa ojek payung itu dan aku siap mengerjakan skripsiku. Selamat datang ombak keduaku!
*) Artikel terpilih dari weekly writing challenge (WWC) RetakanKata karya Retna Agustina.
Satu komentar pada “Batu Karang di Bawah Sebuah Payung”