Arsip Tag: ibu rumah tangga

Jangan Bersedih

Oleh Mira Seba

Aku masih tercenung di depan mama yang sedang terlelap tidur ketika tulisan ini aku buat. Perasaanku selalu terguncang setiap menjenguk mama di rumah sakit umum bagian kejiwaan. Sejak awal tahun ini mama sudah 3 kali menjalani rawat inap di bagian kejiwaan ini.

Mama adalah ibu yang relatif ‘rapuh’, mudah panik, mudah merasa khawatir terhadap apa yang belum terjadi. Perasaannya sangat peka. Keinginan yang kuat untuk melindungi orang-orang yang ia cintai – tentu saja dalam hal ini kami anak-anaknya membuat dirinya cenderung khawatir secara berlebihan bila dirinya merasa memiliki ‘kekurangan’ untuk dapat membahagiakan anak-anaknya. Hal ini terjadi ketika papa meninggalkan kami untuk selamanya setahun yang lalu. Macam-macam yang dipikirkan oleh mama. Dia khawatir tidak bisa membiayai sekolah kami, khawatir tidak bisa memberikan materi untuk kami, khawatir tidak bisa membantu menyelesaikan masalah, hingga khawatir tidak bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah Deri, adikku yang masih sekolah dasar.

Mama pun cenderung tidak bercerita kepada siapa pun kesulitan yang sedang ia hadapi meski hanya untuk menceritakan masalah yang ia miliki. Tidak juga kepadaku, anak sulungnya karena mama takut aku menjadi ‘susah’ dengan masalah yang mama miliki.

Namun aku tahu, mama sering menangis di kamar dan melamun sendirian. Mata mama sering ‘kosong’ meski sedang berada di antara kami. Aku, Risti dan Deri mengira mama terus menerus bersedih karena ditinggal papa. Keluarga kami tergolong biasa saja. Papa seorang guru SMA dan mama hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak pernah dipusingkan oleh urusan mencari uang. Papa berusaha memenuhi semua kebutuhan keuangan bagi keluarga.

Mama mengalami gangguan ‘kesedihan yang mendalam’. Selalu murung dan ia merasa lemas. Kehilangan nafsu makan. Ketika aku menerima permintaan para tetangga untuk memberikan les kepada anak-anak sekolah dasar di sekitar rumah, kesedihan mama malah semakin menjadi. Itulah awal mama dirawat di rumah sakit bagian kejiawaan. Mama mulai meracau, menyalahkan diri sendiri hingga ingin bunuh diri.

Aku tak kalah terpukul dan juga mengalami kesedihan yang mendalam. Para tetangga, keluarga, guru-guru hingga psikolog yang menangani mama justru memberikan perhatian dan dukungan yang besar kepadaku. Sekarang akulah orang yang paling ‘dewasa’ untuk mengendalikan situasi keluarga. Mereka ‘mengandalkan’ aku meski aku baru berusia 18 tahun, baru kelas 3 SMA dan mengalami kebingungan yang amat sangat dengan kondisi orang tuaku bahkan masa depanku beserta adik-adikku.

Depresi, itulah yang dialami mama. Dokter Amir dan Ibu Sofi sebagai psikiater dan psikolog yang menangani mama banyak menjelaskan gangguan depresi. Kata mereka, mama harus terus terusan diberi perhatian, dikuatkan melalui kasih sayang dan cinta yang tulus dari kami anak-anaknya karena kamilah sumber dari kegelisahan, ketakutan dan kesedihan yang mendalam pada diri mama. Lebih dari itu, aku juga ‘dikuatkan’ untuk selalu optimis, untuk ikhlas menerima apa yang terjadi dan berusaha mencari jalan keluar bila mempunyai suatu masalah.

Sama sekali tidak mudah ‘menenangkan’ hati mama, membuatnya gembira apalagi menjadi optimis. Kami berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaan sedih dan khawatir di hadapan mama. Padahal, aku sendiri begitu banyak pikiran dan mengalami kesedihan juga apalagi sehari setelah mama dirawat untuk ke-3 kalinya di rumah sakit bagian kejiwaan ini, Dani kekasihku memutuskan hubungan denganku.

Hari ini, hari ke-4 mama dirawat di rumah sakit, juga hari terakhir di penghujung tahun 2012. Hatiku sendu, menghabiskan malam tahun baru di rumah sakit dalam keadaan patah hati pula. Luar biasa, bathinku berkata tahun ini tahun yang penuh dengan pengalaman baru, tak terkatakan. Di sana ada perasaan sedih yang luar biasa namun tak akan aku ucapkan selamat tinggal padanya karena di tahun 2012 ini pula banyak pengalaman baru yang bisa memperkaya bathinku, membantu mendewasakan dan mematangkan pribadiku.

Besok adalah hari pertama di tahun yang baru. Aku masih berlinang air mata ketika bathinku bertekad, hidup harus dijalani. Aku tidak takut untuk menangis. Kata Ibu Sofi, semua orang boleh bersedih tetapi jangan terlalu sedih. Artinya kita harus berusaha untuk mengendalikannya, carilah jalan keluar dari masalah yang dihadapi agar tidak bersedih berkepanjangan. Aku akan mencari teman atau siapa saja yang dapat dijadikan teman bicara untuk ‘meringankan’ beban hati dan pikiran. Dan aku bertekad akan membantu mama mengatasi gangguan depresinya, membantu dia mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan seperti ketika masih ada alm. Papa. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Jadi tetaplah optimis.

*) Artikel terpilih dari weekly writing challenge (WWC) RetakanKata karya Mira Seba.

Menembus Waktu

Cerpen Rinzhara

Rasa ini sejatinya cinta. Tak selalu indah. Kadang luka mewarnainya. Kadang tangis terselip di antara tawa. Tapi inilah sejatinya cinta. Yang akan terus ada meski semesta menentang. Yang akan kembali hidup saat kematian merenggutnya. Dan  akan tetap kusimpan hingga tiba di masa yang berbeda. Untuk kembali kupersembahkan padamu yang tercinta.

oil painting
Young Girl in the Garden at Mezy by Pierre-Auguste Renoir.
gambar diunduh dari http://www.paintingall.com

Sepedanya belum berdiri sempurna, saat matanya menangkap sosok mungil di tengah rimbunan semak bunga tulip yang hampir mekar. Bergerak lincah dengan rambut hitam panjang melambai tertiup angin senja. Sosok yang membuatnya terpesona. Membuat dadanya berdebar oleh rasa aneh yang menggelitik sukma.

Sosok gadis mungil itu terus bergerak dalam tarian yang indah. Berayun, berkelit dan meliuk di antara tangkai-tangkai tulip yang beraneka warna. Begitu seirama. Begitu indah. Hingga Robert terlupa oleh niat kedatangannya, terlalu sibuk terpesona. Terlalu sibuk menikmati tarian. Dan terlalu sibuk menenangkan debar, mempertanyakan apa istimewanya gadis mungil yang sibuk di kerumunan bunga tulip di taman sana hingga jantungnya bertalu kencang. Hingga dia tak ingin bergegas. Hingga dia lupa sekelilingnya!

 

***

Berdiri dalam keremangan. Menatapmu dalam diam. Tak mampu berkata, bahkan tak sanggup mendekat. Inginnya aku ada di sana, mengusap bulir yang turun deras membasahi wajahmu yang rupawan, inginku membuai sedihmu hingga larut tak berbekas dan merengkuhmu meski sesaat.

Ahh…, jangan sakiti dirimu dalam duka Clara! Bisikku lirih pada senyap hampir gelap.
Kulihat kau mulai melangkah, berputar tak tentu arah, mengelilingi ruang serentang waktu sekejap.
Hentikan sayang! Jangan kausiksa dirimu dalam keterdiaman. Keluarlah dan tertawa! Kataku menggema tapi tak cukup membuatmu mendengar.

Cerialah Clara! Kembalilah bersuka! Dukamu membuatku tak mampu bergerak! Tangismu membuatku tak sanggup bertahan! Bergembiralah Clara! Jangan kausiksa aku dengan isak dan lara! Bersukalah! Hingga tiba waktu kita untuk kembali bersama! Dan kembali aku berteriak, memprotes semesta yang membuat kami jadi berjarak. Merobek heningnya malam dengan segala tanyaku yang tak terjawab. Bahkan tangisku tak mampu membuat semesta menggeliat!

 

***

Melangkah pelan di antara rimbunan semak tulip yang hampir mekar. Meliuk di antara celah belukarnya. Menghirup aroma senja yang begitu menyejukkan. Menikmati merdu gemericik air sungai yang tak jauh dari rumahnya. Membuat berbagai kenangan di masa entah, kembali menari dalam relungnya. Kenangan yang selalu hadir setiap musim tulip bermekaran.

Bertahun lalu.

“Biji?” Keningnya berkerut saat mendapati beberapa buah biji yang digenggamkan Gerard di telapaknya kala itu.

“Tulip christmas dream. Bunga itu secantik kau saat berbunga.”

“Hahahaa..” Merdu tawanya berbaur dengan gemerisik kincir angin yang berputar tak jauh dari tempat mereka.

“Kau akan langsung jatuh cinta saat melihatnya. Seperti aku, yang langsung jatuh cinta saat melihatmu.”

Clara menyibak helai rambut yang menutupi wajah. Seolah ingin menepis kenangan yang melekat. Menyibukkan diri dengan tulip di hadapan. Menggenggam erat jarum jahit di tangan. Dan menunduk untuk mencari tempat yang tepat. Tempat seperti yang ditunjukkan Gerard di masa entah.

“Tusuk tiap tulip yang hampir mekar. Tepat di bawah kelopaknya.”

Keningnya berkerut heran. Sebuah tanya menyeruak. Bagaimana dia bisa melukai tulip yang tengah berjuang membuka kelopaknya? Bagaimana dia bisa merusak keindahan di depannya?

“Luka itu akan membuat mekarnya lebih lama.”

“Tidakkah itu akan merusaknya?” Keraguan tersirat nyata.

”Hanya tusukan kecil. Kau tak akan merusaknya.”

Keraguan itu masih menyelimutinya untuk sesaat. Dia tak ingin melakukan kesalahan. Terlalu lama dia menunggu saat tulip siap mekar. Dan kini haruskah dia kehilangan kesempatan untuk melihat keindahan yang dirindunya? Dia mendesah resah. Bahkan tulip itu belum membuka kelopaknya.

Gerard menatapnya dengan jenaka. Kebingungannya justru menggelikan kekasihnya.

“Kau meragukanku!” Tuduh Gerard diantara derai tawa.

“Entahlah! Bagaimana luka bisa membuat keindahan itu bertahan lama?”

“Tak semua luka menghancurkan. Luka yang diperolehnya justru membuat tulip bekerja keras menghasilkan gas eliten untuk memperpanjang umurnya.”

Dia hanya terdiam. Tersentuh oleh cerita Gerard tentang tulip yang tak kenal putus asa berjuang hinga kelopaknya bermekaran. Ya! Luka itu justru membuat tulip bertahan! Dan entah kenapa debar aneh yang meresahkan perlahan datang menguasai hatinya.

“Kadang dari luka-lah, kekuatan datang. Tulip menjadikan luka itu sebagai cambuk untuk meraih puncak keindahannya.”

Tatap mata Gerard menyimpan banyak rahasia. Debar aneh itu semakin terasa. Apa yang ingin Gerard sampaikan padanya? Bisiknya dalam diam. Saat itu dia tak tahu bahwa Gerard sedang berusaha menyatakan kebenaran. Kebahagiaan masih menjadi bagian dari kebersamaan mereka. Dan Clara tak pernah mengira bahwa saat itu Gerard sedang mempersiapkan hatinya untuk menerima perpisahan tanpa air mata.

Ingatan masa itu kembali menusuk rasa Clara. Membuat kristal bening berjatuhan seiring isak yang tak mampu dibendungnya.

Gerard! Betapa rindu ini tak tertahankan, bisik Clara di antara kesibukannya melukai setiap tangkai tulip yang hampir mekar. Menusuk tangkai tulip perlahan dengan berbagai kenangan dan rasa. Seolah ingin mentransfer lukanya di tiap tulip yang hampir mekar. Seolah ingin membuang kesedihan. Seolah dengan begitu dia mampu menyerap kekuatan tulip untuk bertahan. Menjaga keindahannya seiring waktu yang berjalan. Mempertahankan kesetiannya hingga waktunya tiba.

Clara kembali mendesah. Tusukan di dadanya semakin terasa nyata. Menyakitinya! Membuat dadanya sesak oleh berbagai kenangan. Kenangan yang mengalir seperti arus sungai di belakang rumahnya. Mengalir tak kenal lelah hingga bermuara ke dalam sungai Rhine yang membelah kota Leiden. Kota yang mempertemukannya dengan sosok lelaki beda bangsa. Yang membuatnya terpana oleh keindahan tulip yang berbunga. Yang mampu menghanyutkannya dalam kisah mengharukan. Gerard! Karena lelaki itulah dia kini menetap di kota Laiden setelah menyelesaikan studinya. Karena lelaki itulah dia menjadi warga asing di negara yang penuh irama gemericik sungai-sungai yang membelah di setiap kotanya. Karena Gerard-lah dia sanggup bertahan untuk menjemput kebahagiaan yang dijanjikannya!

Clara jatuh terduduk sambil menekan dadanya yang tertusuk kenangan. Rasa sakit itu bukan lagi rasa di masa entah. Rasa sakit itu kini menyerangnya begitu nyata. Menyakitinya begitu dalam. Hingga tak memperdulikan angin senja yang terus mengurai rambut hitamnya yang mulai beruban. Tak memperdulikan air sungai yang terus berkecipak tak kenal lelah. Bahkan rasa sakit itu membuatnya tak memperdulikan sisa tulip yang masih harus ditusuknya!

***

Tak perlu mendekat. Tak perlu bertanya apa yang membuat air mata Clara bercucuran. Berpuluh tahun aku telah melihat air mata itu setiap April datang. Berpuluh tahun pula aku tergugu tak mampu merengkuh bahu Clara, hanya bisa menatap dari kejauhan. Hanya mampu mendesah. Dan mengutuki kebodohan karena begitu tega menyakiti hati Clara.

Cinta memang mengaburkan logika. Perasaan itu datang tiba-tiba saat melihat Clara pertama kalinya. Berdesir melihat wajah eksotis khas asia. Tak berkedip menatap aura kelembutan yang terpancar dari aroma ketimuran. Dan bergetar menginginkan perempuan mungil itu untuk menemani hari-hari yang tak kan lama. Ya! Bahkan, seharusnya saat itu harinya diisi dengan menghitung detik yang berjalan. Dan bukan justru berusaha keras mendapatkan kerling perempuan mungil yang disukanya. Seharusnya saat itu aku duduk tenang menanti virus mengikis habis waktu yang tersisa. Dan bukan justru mengajak seorang perempuan ceria untuk membangun mimpi indah bersama dan lalu menghempaskannya. Seharusnya saat itu aku berlari menjauh agar Clara tak mengenalnya. Dan bukan justru menjanjikan sebuah harapan semu tentang cinta. Dan dari semuanya. Kebodohan terbesar yang kulakukan saat aku memintanya untuk setia, memberinya kekuatan di atas fatamorgana!

“Percayakah kau akan kehidupan kembali setelah kematian?”

“Hanya roh kita yang hidup untuk mempertanggungjawabkan semua amalan.”

“Bukan itu yang kumaksudkan. Bahwa kita akan kembali terlahir dalam sosok lain di masa kemudian.”

Clara tersenyum sebelum menjawab tanya. Senyum menyejukkan yang selalu memberinya kekuatan untuk bertahan dari sengatan virus yang menghancurkan raganya.

“Aku pernah membacanya. Dan semua kisah akan kembali terulang. Kita akan dipertemukan sosok-sosok tersayang di masa lampau dalam tubuh baru di masa depan. Ya! Andai itu benar..”

“Aku mempercayainya. Kita akan kembali mengulang kisah. Kita akan bersama. Dan saat itu, semesta tak akan membuat kita terpisah.”

Senyum Clara meredup. Berganti dengan genangan air mata. Hatiku tertusuk melihat kekasihku begitu terluka.

“Jangan menangis, Clara! Aku akan mencari di setiap ruang hingga menemukanmu di masa kemudian. Kita akan kembali bersama. Dan saat itu tak kan kuijinkan kesedihan mewarnai kisah kita.”

Kuusap lembut bahu Clara untuk meredakan isaknya. “Percayalah! Kumohon…, hanya dengan kepercayaan yang kuat maka semuanya akan terjadi seperti kemauan kita. Dengan keyakinan kita berdua, semesta akan mengabulkan.”

Aku tersentak. Kenangan itu mengabur sudah. Tatapanku nanar menatap sosok Clara di antara kerumunan tulip yang hampir mekar. Apa yang terjadi dengannya? Tanya itu menyeruak. Namun kakiku diam tak mampu melangkah. Ragaku beku melihat tangan perempuan yang kucinta melambai dengan sorot mata penuh kepanikan. Inginku berlari ke arahnya. Menarik tubuhnya yang perlahan merosot jatuh di antara semak tulip di taman belakang rumah. Inginku merengkuhnya. Saat tangan Clara yang lain mendekap dada penuh aura kesakitan. Inginku ada di sana. Menguatkan dan menghilangkan apapun yang menyakitinya.

Tapi apa yang bisa kulakukan? Bahkan sekedar berteriak memanggil pertolongan pun tak dapat kulakukan. Apa yang bisa kuperbuat? Selain tergugu dan meneriakkan pada semesta untuk menolong Clara. Ya! Hanya semesta yang bisa mendengarnya. Hanya semesta yang tahu keberadaannya. Dan hanya semesta yang menyaksikannya terpuruk saat melihat kekasihnya telah tiba saat untuk meninggalkan dunia.

Aku masih terkurung dalam keterpakuan. Saat kurasakan keberadaanku perlahan memudar.  Mengurai pelan. Melebur dalam cahaya yang menyilaukan. Membuatku tergagap. Tak sempat bertanya saat mataku terpejam erat oleh sinar terang membutakan mata!

***

“Menunduklah!” Suara yang datang dari belakang itu mengejutkannya. Diputarnya badan dan berkerut heran mendapatkan anak lelaki berambut ikal pirang seusianya berdiri menatap sambil menggenggam seikat tulip christmas dream yang begitu disukainya.

“Tusuk tangkai di bawah kelopak itu pelan.”

“Untuk apa?”

“Agar kau bisa mendapatkan tulip mekar lebih lama dari yang seharusnya.”

“Jangan bercanda! Tusukan hanya akan merusaknya.”

“Tusukan itu akan membuat tulip memproduksi gas etilen. Dan gas itulah yang akan membuat tulip mekar lebih lama.”

“Bagaimana tulip bisa bertahan dalam keadaan terluka? Bagaimana mungkin luka bisa membuat keindahan bertahan?”

“Tak semua luka menghancurkan. Luka yang diperolehanya justru membuat tulip bekerja keras menghasilkan gas eliten untuk memperpanjang umurnya.”

Putri terkesima. Bukan hanya oleh kata-kata lelaki bule di depannya. Tapi lebih pada perasaan aneh yang menyerangnya. Debar aneh yang datang seiring ingatan akan kejadian serupa.

“Kadang dari lukalah, kekuatan datang. Tulip menjadikan luka itu sebagai cambuk untuk meraih puncak keindahannya.”
Desiran panas membuatnya ternganga. Entah apa yang terjadi dengan kepalanya. Seorang lelaki belanda yang menggenggam tulip christmas dream kesukaannya. Di taman belakang rumahnya. Di antara tulip yang hampir mekar. Diiringi gemericik air dari sungai yang tak jauh dari rumahnya.

Kata-kata lelaki itu tentang tulip, luka dan kebahagiaan, membuat semuanya terasa lengkap. Membuatnya terserang semacam déjà vu yang dia sendiri tak ingat kapan semuanya pernah terjadi dalam hidupnya. Dan dia masih diam ternganga, sibuk membuka ingatan. Hingga tak memperhatikan bahwa lelaki di depannya berdiri linglung dengan kerutan di keningnya.

“Seperti déjà vu!” bisik Robert lebih pada dirinya. Sambil sibuk menenangkan hatinya yang terus berdebar menatap sosok perempuan asia di depannya. Tak mengerti dengan rasa déjà vu yang begitu pekat terasa. Tak mampu mengingat kapan mengenal gadis mungil itu sebelumnya. Dan kening Robert terus berkerut heran. Berbagai tanya menyerangnya. Kenapa sosok gadis itu seolah begitu dekat. Kenapa dia seolah mengenal gadis itu bertahun lamanya. Siapa dia?

Putri Kusuma! Bahkan hanya itu yang Robert tahu tentang sosok mungil di depannya. Tapi kerasnya debar di dada, ketertarikannya yang tak mampu dicegah dan keinginannya untuk terus dekat dengan gadis itu membuat Robert sadar bahwa cinta telah berdenyut di hatinya. Bukan cinta yang datang tiba-tiba. Tapi jauh di masa entah. Bahkan mungkin sebelum mereka berjumpa untuk pertama kalinya.

*)Rinzhara, seorang ibu rumah tangga yang memiliki kesukaan menulis fiksi.