Arsip Kategori: Puisi

Surat Cinta untuk Bening

Puisi Je Zee

gambar diunduh dari ceritainspirasi.net
gambar diunduh dari ceritainspirasi.net

Cintaku
Mereka tak pernah sebaik Kamu
Tapi aku tidak mungkin memutar waktu
Aku menjemput senjaku lebih cepat dari helaan nafas

Cintaku
Aku berlarian, selebihnya diam
Menghitung mundur, merangkulMu

Cintaku
Aku menggantung namaMu lekat, dekat
Di tempat harusnya aku selalu melihat
Tapi cintaku, aku berbatas
Aku masih merangkaki jalan dimana kita berpisah
Mencecap setiap duri yg mengukuhkan perih
Memanggilmu sekeras bisuku
Seandainya masih mampu kita bertemu
Ikat erat ujung tali itu di kakiku
Dan ujung yang lain di tanganMu
Agar sejauh apapun aku pergi, aku tahu tempatku kembali

***

Je Zee adalah nama pena dari Nur Ika Zuli Mulyasari, anak pertama dari tiga bersaudara. Lahir di Mojokerto 22 tahun yang lalu. Suka dengan Nh.Dini, Sutardji, Chairil. Suka juga dengan Kahlil Gibran. Pekerjaan sehari-hari hanya buruh di perusahaan swasta dengan gaji rata-rata. Menulis di sela jam kerja, atau sebelum tidur.Dapat disapa lewat FB dengan nama di atas.

Puisi-puisi Damae Wardani

Rentang

Ini tentang rentang
Rentang yang membentang antara hadirku dan hadirmu
Rentang yang membelah hatimu dan hatiku
Rentang yang,
Tampak begitu terentang: 7 langit, jutaan kilometer, milyaran kaki
Tampak amat jauh terbentang

Lalu mengapa harus kurasa suara
Dari nurani yang tak bersuara?
Adakah kau bersemayam di sana, Tuhan?

agama agama
gambar diunduh dari hr2012_wordpressdotcom

Beda Sama

Jalanmu jalanku memang beda
Jalanmu jalanku memang tak sama
Jalanmu, jalanmu
Jalanku, jalanku

Kiblatku kiblatmu memang beda
Kiblatmu kiblatku memang tak sama
Kiblatmu, kiblatmu
Kiblatku, kiblatku

Imamku imammu memang beda
Imammu imamku memang tak sama
Imammu, imammu
Imamku, imamku

Tapi apatah harus kita mem-beda
Bila tujuan kita sama:
Tuhan

Dan, Tuhanku Tuhanmu Tuhan mereka
Haruskah di-beda?
Bila memang sama-sama:
MahaEsa

Damai Wardani
Garuda with White Rose

Damae Wardani, gadis pecinta puisi yang berdomisili di http://damai.malhikdua.com

Andalas Pulang Kawin

Puisi John Kuan
 
pulang
1959 berkubang di tepi Sungai Siak
7 kerabatku dijerat ekpedisi Denmark
atas nama kepunahan dua terpaksa ditarik
ke atas tongkang masuk Selat Melaka
menyusuri jalur timah dan minyak bumi
tiba di Kota Singa bersama saudara
sehutan, ramin nyatoh meranti balam
meninggalkan tanah rawa bergambut
menjadi alat ukur cendekia orang Eropa
persis seperti kitab, artefak dan fosil
hanya saja kau tidak bisa membungkus
atau menyimpannya ke dalam palka
sebab kami adalah badak Sumatera
 
1515 berkubang di tepi Sejarah Eropa
1 kerabat jauhku dijerat Sultan Muzafar
sebagai titip salam buat Raja Manuel I
dengan Osem pengasuhnya dia keluar
Goa melingkar Tanjung Harapan 120 hari
bersama bau kematian dan rasa pedih
rempah: pala cengkeh kayu manis merica
di Istana Ribeira Raja Portugal perintah dia
melawan anak gajah, sejarah salah catat,
dia bukan ngamuk melihat gajah, cuma
gertak orang Eropa, Duret juga keciprat
rejeki 500 tahun walau salah gambar
sebab kami adalah badak Sumatera
 
1990 berkubang di Bronx, New York
aku tidak yakin bibiku Rapunzel, mestinya
Delima, Melati atau Harum, tapi biarlah
ahli binatang mengacak dongeng Jerman
buta warna, sawo matang tampak pirang
Bibiku imigran resmi bukan suaka politik
walau kampungnya digusur kebun sawit
tapi dia tegar, patuh, orang Manhattan
suka parasnya, diabadikan di kue kering,
cangkir, grafiti tembok dan dinding subway,
perempuan lilit di syal, lelaki ikat di sabuk
penyair kaget menulis sebaris sajak cinta:
Sebab kami adalah badak Sumatera!
 
2001 aku bagai Prometheus bawa api
turun ke bumi, menerangi jerih payah
kawin paksa 112 tahun, kandangku berpijar
televisi radio suratkabar meliput total, tiada
pangeran dilahirkan seheboh aku, Andalas
demi tanah leluhur, kata ibu, kadang aku
ingin jadi pipit atau kupu-kupu, tapi dokter
bilang aku keturunan purba, kulit tebal,
dua cula, mata lemah, otak kecil, kau
terancam punah, kata-kata ini menyayat
walau aku introvet, soliter, vegetarian
tapi lelaki impoten tetap incar culaku
sebab kami adalah badak Sumatera
 
2007 aku pulang sebagai warga asing
murni kelahiran Amrik, ibu mengecup
aku dua pipi lumpur Ohio sambil berbisik
ingat pesan tetangga kita, Orang Utan:
hati-hati makhluk yang mengitarimu
mereka cuma tumbuh bulu di kepala,
ketiak selangkangan tapi sangat kejam
saling bunuh adalah pencapaian tertinggi
sejarah mereka, namanya homo sapien
sudah lama terjatuh dari pohon evolusi
sedang siapkan sebuah pesta threesome
di Way Kambas, tapi aku pilih tradisonal
sebab kami adalah badak Sumatera

Tuhan Sedang Bermain Kamera

Puisi-puisi Granito Ibrahim

#1 Jodoh.

(Kehendak Tuhan adalah abjad-abjad yang tak dapat kita tukar urutannya.)

Lama tak jumpa kekasih, aku kerja di pulau seberang
Paling-paling pesan singkatnya yang rajin berkunjung ke telepon genggam
“Sombong sekarang ya. Sudah banyak uang.”
“Apa jangan-jangan kepincut cewek di sana. Kan akang kesepian kalau malam?”
“Kapan pulang? Nanti aku keburu dikawin orang.”

Mungkin begitu semua perempuan, selalu menyindir dan mengancam.
Baiklah, bulan depan aku akan datang sambil membawa cincin tunangan.
Bagaimanapun aku cinta dia melebihi gunung aneka macam.
Dan benar, gawat juga, umur kami berdua sudah masuk tigapuluhan.

Tanpa memberitahunya aku datangi naik pesawat. Naik kapal laut takut karam.
Namun, kota tempat kekasih tinggal kini semakin sepi. Mana dia gerangan?
Tiba di rumahnya, hari beringsut senja, cahaya temaram.
Orangtuanya memelukku erat bagai anak sendiri,”Apa kabarmu nak Pram?”
Sampai juga aku di teras tempat dulu pacaran. “Mana Bu, si Wulan?”

Ibu dan Ayahnya bilang, Wulan bunuh diri beberapa waktu silam.
Dia putus asa, sebab ada kabar: aku sudah nikah duluan.
Firasatku benar kalau begitu, ketika lihat bulan setengah pualam
dan sesuai pesan singkatnya waktu itu. “Akang kapan mau datang?
Aku tunggu ya di kuburan.”

Sedih aku, payah aku, hati remuk redam
“Mungkin enaknya nyusul dia, jadi jin atau arwah gentayangan,”
kata setan yang keluar masuk pikiranku, diam-diam.

(Jodoh ada  di genggam Tuhan, maukah kita menerima kehendakNya, lalu bersalaman?)

#2 Tuhan Sedang Bermain Kamera.

Hujan mengandung harapan, juga impian
pada garis-garisnya langit seperti menangis terisak-isak
memecah sunyi sambil menebar kilat menyala-nyala.
Yang gelap menjadi terang, yang malam terlihat siang.
.
“Tuhan sedang bermain kamera,” kata seorang pengamen
“Dia memotret kita. Gambarnya akan diserahkan kepada malaikat.
Biar malaikat-malaikat tahu, kepada siapa mereka harus memberi hadiah!”
Pengamen  itu tersenyum dalam hati, berharap sebentar lagi laparnya hilang.
Baru saja, koin-koin recehnya terjatuh masuk hitam selokan
tak ada tukaran yang bisa ia berikan, kecuali mengharap pemberian
dari doa yang ia lantunkan.

Hujan mengandung harapan, juga impian
pada mereka yang di ranjang berduaan.
Seperti petir api-api cinta berloncatan
percikan terang redup bergantian.
“Habis ini cepat kita pulang!” kata lelaki kelelahan
“Takut istri, ya Mas?” ucap genit bibir perempuan.
Mereka tetap bergegas pulang
yang lelaki takut ketahuan
yang perempuan khawatir hamil duluan.

Padahal Dia juga memotretnya,
diam-diam dari balik awan.

#3 Partitur Sang Maha.

Seorang penyair muda sedang mati kalimat, maka ia berdoa,

“Tuhan yang maha Sastra, di mana Kauletakkan makna dari balik kata
apakah kelahiranku sebagai A, lalu kematianku kelak sebagai Z
lantas kehidupan ini adalah permainan susun-menyusun abjad
menjadi kalimat. Kalimat membentuk bait hingga menjadi syair kebesaranMu?”

Seumpama sabdaMu adalah nada maka manusia adalah pemusik
Telah Kautebar rima di antara ayat-ayat itu, maka manusia adalah penyanyi
Dua pertigaku adalah air, dari rahim menuju garis akhir
Sepertigaku adalah tulang dan daging, kelak membusuk berbaring
Berarti bunyi waktu merupakan lagu. Yang harus kumainkan sesuai partitur
Yang telah Kauatur dari sebelum dunia lahir dan kelak hancur.

“Tuhan yang maha Sastra, di mana Kauletakkan aku dari balik ceritaMu?”
 
 
Granito Ibrahim, lahir di Jakarta. Seorang buruh seni. Baginya, tidak semua ungkapan hati dapat dituangkan dalam wujud visual. Tidak seluruh buah pikiran bisa digoreskan dalam gambar. Sebab itu ia kadang membuat cerpen dan sesekali menulis puisi. Walau waktunya seringkali dihabiskan untuk memelihara ikan; sebuah obsesi masa depannya.

Kepada Bekas Istri

Puisi-puisi Agus Sulistyo
 
Kepada Bekas Istri
 
Aku menjemputmu sebagai matahari
ketika hujan airnya sudah tak mampu lagi menenggelamkan pagi
hangat bias cahayanya mengukur waktu yang diberikan kepadaku
sebelum beringas mencakar setiap jarak di kulitku
 
Aku menyetubuhimu sebagai api
ketika kuatnya hembusan nafasku tak lagi mampu menjaga baramu
tak ada waktu lagi yang diberikan kepadaku
hingga aku baru menjadi tahu ketika tiba-tiba tubuhku telah menjadi abu
 
Aku berdiri menatap tanah kering di depanku yang beralaskan debu
ketika sore hari segera menitipkannya kepada sepoi angin
untuk sesaat kemudian ikut menjemput malam
yang takkan pernah bisa kutemui lagi
Karena aku telah mati, bersama padamnya api tubuhmu.
 

Gugusan Hidup
 
Tumpukan kertas,
sepotong pensil yang tinggal setengah,
rautan … bahkan karet penghapus
tak juga mampu menghidupkan kembali sebuah kematian
Perlahan, kuberangkatkan jasadku kepada langit …
kubaringkan di atas awan yang kian menghitam
luruh, larut bersama semaian hujan
menyatu dengan bumi
Melukis ruang sebuah awal kehidupan,
meski tidak lagi bagi diri.

Suatu Waktu

Puisi-puisi Nastain Achmad Attabani

#1 Suatu Waktu

Suatu waktu ketika bunga-bunga bermekaran
Di halamanmu
Membawa keindahan
Keindahan yang indah
Di antara dua kursi yang kaupegang

Suatu waktu saat purnama di bentangan awan
Berkisaran bintang-bintang
Kilaunya wajahmu yang terang
Saat senyuman kauikrarkan

Suatu waktu ketika waktu kautaklukkan
Di ranjam hangat berselimut bulan
kaukawini malam
pagi kuyup kaukayuhi penat

Suatu waktu
Namamu kukenang

#2 Malammu I

Di saat itu
Malam-malamu ternoda
Antara dusta dan murka

#3 Malammu II

Tabir terbuka
Pada nyanyian-nyanyian anak
Diam
Sesal tak berjeda
Duka
Kembang yang seharusnya terjaga

#4 Pagar

Halangi jasad tiap keluar-masuk
Selamatkan kematian saat jurang bertahta
Orasi yang dijaga tanpa kawalan
Pembatas negeri pada kebudayaan
Menjulang tiap jengkal mata di pelataran

#5 Bata Merah

Tampung tiap jengkal kaki-kaki
Tiap dentuman suara-suara
Tiap ekor-ekor yang duduk
Bahkan kayu-kayu relief
Kekar tatanan
Mencuat jelang saat pewarisan datang
Mati di ambang

#6 Kabel-Kabel

Membentang ruang hampa
Berkalibut pada hembusan
Tegang ditekan
Kendor dibiarkan diam
Semrawut kesana-kemari walau jalan hitam
Sanubari merasa keindahan yang tak terbaca
Di tiap sudut satukan mereka

Nastain Achmad Attabani, Seorang penikmat karya, berekspresi untuk di apresiasi serta bermanfaat untuk masyarakat. Nimbrung di Jaringan Pena Ilma Nafia (JPIN) Grobogan.

Cinta Pertama

Puisi Szymborska
Alih Bahasa John Kuan

Mereka berkata
cinta pertama paling penting
Sangat romantis
tapi itu tidak cocok dalam kasusku

Di antara kami seolah ada sesuatu juga seolah tidak
Ada hal-hal yang datang kemudian pergi

Ketika aku membuka cenderamata tertentu
tanganku tidak gemetar
Surat-surat kami diikat tali
— bahkan bukan sepotong pita

Setelah tahun-tahun berlalu kami bertemu
hanyalah dua buah kursi
berbicara di sisi meja dingin

Cinta yang lain
hingga hari ini masih bernafas di dalam tubuhku.
Tapi yang ini bahkan mengeluh saja kekurangan oksigen.

Justru sepotong cinta pertama begini rupa
ia dapat mencapai yang tidak bisa dicapai cinta lain:
terlupakan
bahkan mimpi pun tidak pernah
ia membuat aku terbiasa dengan kematian.

Perempuan yang Melayarkan Doa

Puisi Fajar M Fitrah

#Perempuan yang Melayarkan Doa

 

perempuan yang setia melayarkan doa

pada buih-buih yang berderu

menuju samudra waktu

 

di bawah bulan daging kelapa

di sela-sela jala musim

matanya sempurna jadi dermaga

: lapuk dan berlumut

namun penglihatannya

setajam cakar camar

tak henti menelusup ke juru-juru

mencabik bumantara biru

 

perempuan itu yakin

doanya berlabuh di ulu sukma

seseorang yang mengarung

samudra waktu

 

dalam dirinya terpancang tugu

mencusuar tersusun dari pukal hari

dan mimpi:  di senja bening

dari arah hening

dengan kapal cahaya

seseorang tiba

mengalungkan emas

dan sampur sutra

pada kecemasan

seorang perempuan

 

di bawah bulan daging kelapa

di sela-sela jala musim

perempuan itu setia melayarkan doa

sembari meyakin-yakinkan diri

: seseorang yang tiba dari samudra waktu

adalah anakku sekalipun berkalbu batu

 

2012

 

#Sunyi Jadi Lemari Besi

 

sunyi jadi lemari besi

mengunci percakapan dan kenangan

 

gelas-gelas rontang, sarang labalaba

botol-botol kosong, dan kerak darah

di lantai adalah sisa adegan remang

bagai jam kedipnya hilang

 

dinding berlumut bagai kutuk

kalimat-kalimat api, ilustrasi ngeri

dan kalender basi: ada angka dilingkari

semacam memo atau barzanji

 

pintu kayu, jendela kelu

onggokan buku, koran lalu

bendera luntur dan peta lecur

di sudut ruang adalah mulut

mengatupkan rahasia zaman

 

2013

Fajar M. Fitrah, Lahir di Bandung 25 Maret 1993. Mahasiswa Bahasa & Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Bergiat di ASAS UPI (Arena Studi Apresiasi Sastra) dan KSC (Komunitas Sastra Cianjur). Penggiat JurnalZine RajaKadal & GERPAMSI (Gerakan Pamflet Puisi).  Dapat dihubungi di nomor 087824244128.

Empat Puisi Alra Ramadhan

Ini

 

Kuriaskan asap dari tepian bibirku

yang landai

yang tersundut dan beruam, dan

yang seperti berdebu

—sebab kita telah sejauh setan-malaikat

 

(2013)

 

Tadi

 

Kilat datang dari arah barat daya

Langit tak nampak

Mendung menyembunyikannya

Entah sengaja, entah tak. Dan kecipak

air masuk ke kupingku. Mengalir,

mengalirlah

 

Pelan

mungkin dengan kepastian

segores di selatan menjingga

Tapi disini hujan belum jua reda

 

Darimana datang hujan turun

hingga tak ada waktu bagi kita berteduh?

 

Adakah sakit kala ia bertemu

tekel, atap genting, beton, kap mobil?

Atau apakah tanah telah

menangkap ia dengan cemerlang

maka ia jatuh ke bumi dengan ceria?

 

Aku tahu, aku tahu ini bukan waktu

yang tepat untuk berkata mesra. Tapi satu-dua

burung gereja pelan-pelan

meloncat-loncat di atas trotoar

Sebentar lagi terang, tapi mungkin tak ada pelangi

 

(2013)

 

Biru

 

Masih saja kusempat-sempatkan mataku menyapa cahaya

dalam mimpi, di pagi yang terlalu terang

ketika kau telah hadir dan merengkuhku:

“Darimana saja kau, Kawan, wajahmu melebihi biru langit?”

 

(2013)

 

Perburuan

 

Tak akan ada yang selamat

Engkau akan tersentak habis,

teriris,

dan segera menjadi tamat

 

Tubuhmu akan terbentur pucuk aspal

atau matahari yang mengepal

Engkau pun bertungkus lumus,

tubuhmu terpelanting

mengalunkan melodi rock dan blues

dengan nyaring

 

Tak matamu kuasa menatap lagi

meski sekali

Engkau mati—barangkali berulang kali

sepi pergi

tanpa mendekapmu

sebab tubuhmu telah jatuh dan bisu

 

Tubuhmu akan tak selamat

dari kiamat,

selama mataku kupejamkan

 

(2013)

 

 

Alra Ramadhan lahir di Kulon Progo, DIY, pada 9 Maret 1993. Saat ini menempuh perkuliahan di Jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya, Malang. Lebih lanjut, penulis dapat diakrabi lewat Twitter: @alravox

Menulis Sepucuk Surat Panjang

Puisi John Kuan

Ingat kau melewati segaris pantai

mestinya di sakumu ada sepucuk surat

segitu panjang. Kau bilang: Tadi malam

gemintang porak-poranda, hatimu kacau

Juga ketika kau membereskan pernak-

pernik di dasar laci seringkali bertahan

adalah benda paling tidak disuka, namun

membuat hati risau. Jejak tinta di tengah

surat kadang dangkal kadang dalam.

Kuduga saat ini mestinya kau sudah bangun

segelas air putih, merapikan semestamu

atau mungkin berkitar di kamar, berjalan

sia-sia, bagai menjaga sebuah pikiran

mudah terlepas, lalu kau duduk, menulis

rinci per rinci yang kita sama peduli

bahkan mendampingi waktu menunggu

duniamu berputar ——— yang kau bilang

ataupun tidak, aku mengerti semuanya

 

:     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :

 

Mereka cuma mainan: kau menyisip

di dalam benua abjadmu, bukankah aku

juga hanya seorang prajurit belaka?

Pada arus sungai yang mengalir deras

di antara kening kita, bunga datang bunga

pergi, puisi datang puisi pergi, aku sudah

separuh tanah berdiri di sini, setetes hujan

musim semi, akan menjelmaku lumpur lagi.

 

:     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :

 

Ingin juga cerita sedikit aku terapung

setiap malam, di tepi ranjang melepaskan

sandal dan baju berlumur cahaya dan debu

mengayuh ke gelap, seperti ke pulau harta

masa kanak ——— ombak bergulung bulat

bagai sebiji airmata raksasa, atau satu embun

tergantung di kisi jendela. Burung melintas

akrobatik di langit berbintang, gerombolan

ikan unik menorehkan bayang berwarna

Mereka sering tanpa luka menabrak jalur

layarku. Saat putih perlahan panjat jendela

tirai bambu menggeliat binatang laut,

mengejutkan sandal yang terbaring miring

dua ekor ikan laut saling membuih itu,

di saat berbagai sampah kota terapung,

di antaranya ada sebutir mikrokosmos

berkulit keras, halus, di dalam lengkungnya

aku nyaman, kering, bersih, dan hangat

 

:     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :

 

Pagi ini di dasar laci lemari dapur

menemukan kita di suatu malam hujan mati

lampu bersuka ria meraba-raba tapi tidak bisa

ditemukan sepotong lilin sisa separuh itu

Pagi ini di dasar laci meja mahoni tua

menemukan sebuah amplop kuning pudar

itu mestinya berisi seikat rambut sekian tahun

lalu tidak tahu sudah mati atau masih hidup

Ia tidak bisa tumbuh juga tidak bisa lapuk.

Pagi itu kenang kamu, tentu bukan sekedar

kenang, percakapan telepon, bahkan melingkar

tanggal temu ——— pada satu dunia berlumur

lembab malam, terima kasih kau membiarkan

buah pikiranku ada ranting hinggap

 

:     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :

 

P.S.

Masih suka duduk di mulut jendela? Aku juga

satu posisi di musim panas yang jauh. Di luar

jendela, siang mengikuti bayang hitam pipih

bersandar malas, terdengar suara langkah

ringan, bagai buah yang matang dalam diam

tergantung di taman Adam dan Hawa ———

Orang berpayung, juga gumpalan awan

mungkin sedang santai melintas, tidak perlu

mengejar waktu, kau dan aku juga. Setelah

tertinggal kita bisa diskusi kenaifan dan sastra

Kalau tidak Homer buta, Plato terhormat

Kalau tidak Bach, Rachmaninoff boleh juga

atau buka buku biarkan kalimat panjang

kalimat pendek dibaca suara serangga.

Sebuah kesimpulan tanpa tema, besok boleh

dilanjut, kata-kata tak sempat dimuntah

besok juga jangan sebut. Hari sederhana

bagai segelas teh, kota serta orang-orang

tidak disukai, semuanya ada di seberang

arus sungai. Sebelah sini mungkin ada orang

suka bersedih, tapi bukan kita. Kita tahu Cinta

Petang masih juga suka petir dan hujan

tapi tidak usah risau, setelah jam 5 pasti cerah

 

:     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :

Puisi-puisi Fajar M Fitrah

Tamu

 

dari pintu tua itu

berpupuran sepiku

waktu menunggu

di jendela ada kupukupu

 

dari kepak kupukupu

berguguran tanyaku

:

adakah yang lebih dulu

meminang denyutmu?

 

2012


 

Ruang Tamu

 

tiba-tiba lampu mati, lampu itu juga

waktu gelap semata, gelap sempurna

percakapan redup, kita pun lekas

memburu Pintu

yang mungkin tak ada itu

 

2011


 

Cadas

 

baginya sepilah

hembus di keharmonisan lautan

 

kala cakar-cakar ombak menyeruak

dan camar-camar berteriak

 

mimpinya

setia terlempar ke bugar akar-akar

 

sepi juga kekal baginya

: rasa bersalahnya

 

2011


 

Elegi

 

lalu mengalirlah sungai itu ke muara

segala duka, cuaca mengawal arusnya

sewaktu-waktu sirna

 

2011


 

Persimpangan

 

di antara jalan ke barat dan ke timur

: tertegun, barangkali ngungun

di kepala mendung telah mengurung

di belakang waktu jadi burung

 

2011

 

Fajar_M_FitrahFajar M. Fitrah, Lahir di Bandung 25 Maret 1993. Mahasiswa Bahasa & Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Bergiat di ASAS UPI (Arena Studi Apresiasi Sastra) dan KSC (Komunitas Sastra Cianjur). Penggiat JurnalZine RajaKadal & GERPAMSI (Gerakan Pamflet Puisi).  Dapat dihubungi di nomor 087824244128

Angin Daun Pisang Angin Gubuk Rumput

Chinese poet Li Bai from the Tang dynasty, in ...
Chinese poet Li Bai from the Tang dynasty, in a 13th century depiction by Liang Kai. (Photo credit: Wikipedia)

Puisi John Kuan

|| Angin Daun Pisang ||

 

Kau berkata: Biar di Kyoto, dengar wiwik

menjerit. Kurindu Kyoto. Aku bilang: Biar

di Daik, lihat ombak merajuk. Kurindu Daik.

Berkasut jepang aku injak empat musim

dan kau, lewat setahun lagi ——— tangan

memegang caping, kaki bersandal jerami.

Kau bilang: 行く春や鳥啼き魚の目は涙

yuku haru ya tori naki uo no me wa namida

berlalu musim semi, mata ikan sembab,

burung berkicau Blues. Sebab itu kita tahu

jalan hidup amat sempit, musim bunga

amat pendek. Begitu lengser musim salju

sebaiknya kau buka bilik hatimu, jajakan

riang bunga. Jelas itu sehamparan hening

bagaimana kau bisa dengar suara tonggeret

menyusup ke balik batu? Lalu bagaimana

pula di antara nasi dan asmara, induk kucing

jadi kurus? Kau berkata: Laut dah gelap,

suara panggilan camar, agak memutih.

Aku melihat kadang Selat Berhala kadang

Selat Malaka, laut kampungku pelan-pelan

gelap, kunang-kunang berkedip di kelam

bakau, bagai berjalan di bawah pijar bintang

negeri jauh. Kau berkata: Seladang kapas

laksana bulan telah merekah bunga

Aku bilang: Sekolam cahaya bulan, bagai

ikan perak, menggelepar sisik-sisik tubuhnya.

Di lubuk botan/ seekor lebah miring/ mundur

keluar. Ah, bukan main sedap, kau sedang

di dalam dunia rasa membuat filem iklan

tujuh belas detik tujuh belas silabel, bukan?

Di bawah pohon pinus bertanya katak, ekor

angin telah kacir ke mana: Dia satu suara,

ping pong, lompat ke dalam perigi tua,

daun pisang di permukaan air, suara serpih

daun pisang koyak, perlahan bergoyang

 

|| Angin Gubuk Rumput ||

 

Telah lebih sepuluh musim gugur menginap

di dalam puisimu, Mister Du. Kertas serbuk

emas di dalam angin barat memantul burung

dan tangga giok. Merah padam api peperangan

telah dingin abu. Gemeretak roda kereta juga

barisan prajurit terbangun di dalam sehamparan

panorama huruf-huruf kuning krisan. Chang’an,

sebuah gelas anggur, tidak bisa kau genggam

terlalu erat. Tamu datang, kau utang arak

Musim semi datang, pergi tonton bunga

Harum padi tentu telah habis dipatuk bayan

Setumpuk beras perang, aku curiga sangat

erat terkait dengan sintaksis terpelintir itu

selalu rampung dengan api kecil, berulang kali

diaduk, dikukus. Bukankah aku telah melihat

kau tuang sana tuang sini, meniup sambil nyanyi

karya baru selesai kau tanak, seolah seluruh

dunia hanya mendengar kau Mister Du seorang.

Namun, puisi bagaimana bisa cuma demi nama

ditulis. Saat memancing masih terkenang

Mister Tao Mister Xie, dan mengenai seafood

di mata kail itu, mana tahu apa epik apa liris?

Malam ini menumpang di dalam puisimu lagi

Mister Du, sebaris krisan di depan gubukmu

kuning hingga bibir sungai. Hanya teringat

seperti kemarin saja, aku melihat dia pulang

kantor, demi kupu-kupu sepanjang jalan

mengadaikan jubahnya. Sebuah kotak obat

kosong tercenung di pojok gubuk. Sakit tentu

masih punya, namun gelisah justru berkurang.

Tahu-tahu yang datang mengetuk pintu mimpi

adalah gerombolan ini ——— Li Bai telah mati,

Wei Ba hilang. Itu terjadi di malam bintang

padat merayap seperti kemacetan di pusat kota.

Mendengar angin musim gugur mengepak

atap gubuk, Mister Du buka mulut: Mau main

catur? Ke bandar besar di atas papan catur

adu langkah sambil petik bunga liar di luar bandar