Puisi John Kuan
Ingat kau melewati segaris pantai
mestinya di sakumu ada sepucuk surat
segitu panjang. Kau bilang: Tadi malam
gemintang porak-poranda, hatimu kacau
Juga ketika kau membereskan pernak-
pernik di dasar laci seringkali bertahan
adalah benda paling tidak disuka, namun
membuat hati risau. Jejak tinta di tengah
surat kadang dangkal kadang dalam.
Kuduga saat ini mestinya kau sudah bangun
segelas air putih, merapikan semestamu
atau mungkin berkitar di kamar, berjalan
sia-sia, bagai menjaga sebuah pikiran
mudah terlepas, lalu kau duduk, menulis
rinci per rinci yang kita sama peduli
bahkan mendampingi waktu menunggu
duniamu berputar ——— yang kau bilang
ataupun tidak, aku mengerti semuanya
: : : : : : : : : : : :
Mereka cuma mainan: kau menyisip
di dalam benua abjadmu, bukankah aku
juga hanya seorang prajurit belaka?
Pada arus sungai yang mengalir deras
di antara kening kita, bunga datang bunga
pergi, puisi datang puisi pergi, aku sudah
separuh tanah berdiri di sini, setetes hujan
musim semi, akan menjelmaku lumpur lagi.
: : : : : : : : : : : :
Ingin juga cerita sedikit aku terapung
setiap malam, di tepi ranjang melepaskan
sandal dan baju berlumur cahaya dan debu
mengayuh ke gelap, seperti ke pulau harta
masa kanak ——— ombak bergulung bulat
bagai sebiji airmata raksasa, atau satu embun
tergantung di kisi jendela. Burung melintas
akrobatik di langit berbintang, gerombolan
ikan unik menorehkan bayang berwarna
Mereka sering tanpa luka menabrak jalur
layarku. Saat putih perlahan panjat jendela
tirai bambu menggeliat binatang laut,
mengejutkan sandal yang terbaring miring
dua ekor ikan laut saling membuih itu,
di saat berbagai sampah kota terapung,
di antaranya ada sebutir mikrokosmos
berkulit keras, halus, di dalam lengkungnya
aku nyaman, kering, bersih, dan hangat
: : : : : : : : : : : :
Pagi ini di dasar laci lemari dapur
menemukan kita di suatu malam hujan mati
lampu bersuka ria meraba-raba tapi tidak bisa
ditemukan sepotong lilin sisa separuh itu
Pagi ini di dasar laci meja mahoni tua
menemukan sebuah amplop kuning pudar
itu mestinya berisi seikat rambut sekian tahun
lalu tidak tahu sudah mati atau masih hidup
Ia tidak bisa tumbuh juga tidak bisa lapuk.
Pagi itu kenang kamu, tentu bukan sekedar
kenang, percakapan telepon, bahkan melingkar
tanggal temu ——— pada satu dunia berlumur
lembab malam, terima kasih kau membiarkan
buah pikiranku ada ranting hinggap
: : : : : : : : : : : :
P.S.
Masih suka duduk di mulut jendela? Aku juga
satu posisi di musim panas yang jauh. Di luar
jendela, siang mengikuti bayang hitam pipih
bersandar malas, terdengar suara langkah
ringan, bagai buah yang matang dalam diam
tergantung di taman Adam dan Hawa ———
Orang berpayung, juga gumpalan awan
mungkin sedang santai melintas, tidak perlu
mengejar waktu, kau dan aku juga. Setelah
tertinggal kita bisa diskusi kenaifan dan sastra
Kalau tidak Homer buta, Plato terhormat
Kalau tidak Bach, Rachmaninoff boleh juga
atau buka buku biarkan kalimat panjang
kalimat pendek dibaca suara serangga.
Sebuah kesimpulan tanpa tema, besok boleh
dilanjut, kata-kata tak sempat dimuntah
besok juga jangan sebut. Hari sederhana
bagai segelas teh, kota serta orang-orang
tidak disukai, semuanya ada di seberang
arus sungai. Sebelah sini mungkin ada orang
suka bersedih, tapi bukan kita. Kita tahu Cinta
Petang masih juga suka petir dan hujan
tapi tidak usah risau, setelah jam 5 pasti cerah
: : : : : : : : : : : :