Arsip Tag: universitas brawijaya

Empat Puisi Alra Ramadhan

Ini

 

Kuriaskan asap dari tepian bibirku

yang landai

yang tersundut dan beruam, dan

yang seperti berdebu

—sebab kita telah sejauh setan-malaikat

 

(2013)

 

Tadi

 

Kilat datang dari arah barat daya

Langit tak nampak

Mendung menyembunyikannya

Entah sengaja, entah tak. Dan kecipak

air masuk ke kupingku. Mengalir,

mengalirlah

 

Pelan

mungkin dengan kepastian

segores di selatan menjingga

Tapi disini hujan belum jua reda

 

Darimana datang hujan turun

hingga tak ada waktu bagi kita berteduh?

 

Adakah sakit kala ia bertemu

tekel, atap genting, beton, kap mobil?

Atau apakah tanah telah

menangkap ia dengan cemerlang

maka ia jatuh ke bumi dengan ceria?

 

Aku tahu, aku tahu ini bukan waktu

yang tepat untuk berkata mesra. Tapi satu-dua

burung gereja pelan-pelan

meloncat-loncat di atas trotoar

Sebentar lagi terang, tapi mungkin tak ada pelangi

 

(2013)

 

Biru

 

Masih saja kusempat-sempatkan mataku menyapa cahaya

dalam mimpi, di pagi yang terlalu terang

ketika kau telah hadir dan merengkuhku:

“Darimana saja kau, Kawan, wajahmu melebihi biru langit?”

 

(2013)

 

Perburuan

 

Tak akan ada yang selamat

Engkau akan tersentak habis,

teriris,

dan segera menjadi tamat

 

Tubuhmu akan terbentur pucuk aspal

atau matahari yang mengepal

Engkau pun bertungkus lumus,

tubuhmu terpelanting

mengalunkan melodi rock dan blues

dengan nyaring

 

Tak matamu kuasa menatap lagi

meski sekali

Engkau mati—barangkali berulang kali

sepi pergi

tanpa mendekapmu

sebab tubuhmu telah jatuh dan bisu

 

Tubuhmu akan tak selamat

dari kiamat,

selama mataku kupejamkan

 

(2013)

 

 

Alra Ramadhan lahir di Kulon Progo, DIY, pada 9 Maret 1993. Saat ini menempuh perkuliahan di Jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya, Malang. Lebih lanjut, penulis dapat diakrabi lewat Twitter: @alravox

Puisi-puisi Alra Ramadhan

gambar disediakan oleh Alra Ramadhan
gambar disediakan oleh Alra Ramadhan

KOPI

setelah menjura untuk kesekian kali, kaucabut
kepada lembut
kabut, kaupusatkan dua lensa
yang nila
“oh, kau harus lihat garis edar bendabenda angkasa.”

aih, ya saja, merekamereka berputarberputar
di gelas memar
waktu kaudaratkan ujung penamu di kotak
tekateki silang, dan kekatamu tak pas:
revolusi, katamu
revolusi (?), ini aku
revolusi, kau beri tanda seru
dan kausebut angka pasti
ratus hari

tapi aku tak ingat angka itu
dan revolusi, aku cuma menjawabnya sendiri
sebab sejak itu kauberlalu
sisakan ampas kopi yang masih mengorbit
di kotakkotak yang belum kaupenuhi

(Malang, 2013)

TEH

tenang,
sebentar lagi bakal datang,
sst… kubilang tenang,
tahan pelatukmu
dan lihat itu, di celah pohonan yang menyerap air langit, dekat semak tempat kaukencing tadi, kau lihat bukan, itu buruan kita!

toh aku mengangguk saja waktu ia menyuruhku untuk tenang. baru kali ini aku benarbenar menurut. tapi bagaimana lagi, dia memang lebih jago berburu, sedang aku tak tahu apaapa soal ini. amatir. maka kutahan juga pelatukku–butuh waktu menariknya

kubilang juga apa,
dia mengendusnya,
bau pipismu! haha, dia benci itu. ia tak senang ada pengganggu masuk wilayahnya. dan kalau kau sadari, dia segera mencarimu setelah ia tahu cirimu. dan perlu kugaris bawahi, seperti dugaanku, ia tak akan pedulikan jika itu air seniku

oh ya, dia berkata begitu,
sebelum menyuruhku
keluarkan kelamin dan menyemprot pohon itu,
katanya: kalau aku, buruanku sudah hapal pada taktikku, kita perlu yang baru, tenang saja, kau akan tetap aman di dekatku

tenang, tenang,
aku tempelkan telunjukku di mulut,
kudesiskan desis,
sempat ia tadi tak percaya: bagaimana kautahu ia akan mencariku, dengan membaui kencingku? seakan kaubisa menjadi mereka saja!

tapi dia benar,
dan kami duduk di beranda sekarang,
dengan hasil buruan
dan gelas yang masih penuh
berisi teh panas
di mana di sana muncul raut wajah tenang
sang serigala yang kutembak mati tadi

(Malang, 2013)

SUSU

nyatanya masih aku palingkan juga
wajah ke arah celahnya
bahkan ketika kausekedar lewat
di depanku dan tanpa sapaku,
tanpa juga sapamu,
sapa kita

siapa kita
yang tak dikenal tak dikekang tak dikenang?

ah tapi kuingat juga senyummu manis
dan gigigigimu yang berbaris
begitu rapi,
dekat sisasisa susu, di pojok bibirmu,
yang kuhapus dengan kecupan merdu

nyatanya aku masih palingkan pula
wajahku
ke arah tak tentu
ketika kuteguk hangat susu
dan berharap kutemu lagi kamu
serta baris putih gigimu rapi
di sudut gelas bundar ini

(Malang, 2013)

Alra Ramadhan lahir di Kulon Progo, D.I. Yogyakarta, dan sekarang berkuliah di Jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya, Malang. Saat ini ia sedang menyiapkan himpunan puisi dengan judul Salindia. Selebihnya, dipersilakan merapat ke twitter @alravox