Arsip Kategori: Gerundelan

Pendidikan Karakter Berbasis Sastra

Catatan Pendidikan Anwari WMK

beyond_imagination
gambar dari akamaihd.net

KARYA sastra bermutu tinggi mampu mengungkapkan kerumitan dan kepelikan watak manusia dalam realitas hidup yang kompleks. Novel, roman, cerita pendek, maupun cerita epik kepahlawanan yang ditulis secara prolifik, mampu menampilkan tokoh-tokoh dengan watak mempesona. Karya sastra yang dikonstruksi dengan kepiawaian logika estetik memberikan efek yang menggetarkan dan menggentarkan. Inilah alasannya, mengapa sastra memegang peran penting dalam proses pendidikan karakter. Bahkan, strategi pendidikan karakter dapat dilandaskan pada pencarian hikmah dan makna dari karya-karya sastra.

Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merupakan contoh karya sastra yang dapat dijadikan dasar penyelenggaraan pendidikan karakter. Baik plot maupun dialog dalam tetralogi tersebut membeberkan sosok tokoh-tokoh protagonis dan antagonis. Pembeberan tokoh-tokoh itu pun tidak karikatural sifatnya, tetapi justru berada dalam nuansa dialektika penuh warna. Tak mengherankan jika tokoh protagonis maupun antagonis dalam tetralogi tersebut melekat erat dalam benak publik pembaca. Langsung maupun tak langsung, publik pembaca memasuki proses pembelajaran untuk memilih watak protagonis dan melawan watak antagonis.

Sebagaimana diketahui, tujuan pokok pendidikan karakter adalah menumbuhkan nalar distingtif agar peserta didik dapat mencerna bahwa kebajikan berbeda secara diametral dengan kejahatan. Melalui nalar distingtif, pendidikan karakter membentuk kesadaran, bahwa ada serangkaian faktor dan sederet variabel penyebab timbulnya kebajikan maupun kejahatan. Pendidikan karakter membentuk kesadaran di kalangan peserta didik untuk memahami bahwa kebajikan atau kejahatan tidak muncul dari ruang vakum, tetapi merupakan akibat logis dari beragam sebab. Kebaikan atau kejahatan terbentuk melalui proses panjang, rumit dan berliku dalam keseluruhan aksi-reaksi manusia dengan alam semesta dan aksi-reaksi manusia dengan sesamanya. Tampak jelas dalam konteks ini, betapa sesungguhnya tidaklah sederhana pendidikan karakter.

Karya-karya sastra bermutu tinggi digdaya menjelaskan secara mempesona lekak-lekuk karakter manusia yang rumit. Hayat tokoh-tokoh protagonis dan antagonis bahkan dibentangkan segala laku dan sepak terjangnya dengan keindahan narasi. Melalui karya sastra, peserta didik lebih mudah memahami distingsi antara kebajikan dan kejahatan. Dari sini terbentuk kondisi psikologis, memilih dengan tegas kebajikan sebagai karakter. Mengabaikan arti penting pembacaan karya-karya sastra, justru membuat praksis pendidikan karakter kehilangan salah satu basisnya.

Masalahnya di Indonesia, pendidikan sastra diabaikan dan terabaikan. Sejak era Orde Baru, sastra sengaja diperlakukan sebagai subyek pembelajaran yang tidak signifikan, tidak penting, tidak berguna, dan segala macam ‘tidak’ lainnya. Dunia pendidikan di Indonesia terlena untuk hanya memandang bermakna pembelajaran sains dan matematika. Meskipun tak diungkapkan secara verbal, sastra dipandang lebih rendah derajatnya dibandingkan sains dan matematika. Ambisi untuk memajukan pendidikan sains lalu pincang, lantaran sengaja mengabaikan pendidikan sastra.

Sejalan dengan kian besarnya kebutuhan terhadap pendidikan karakter kini, mau tak mau pendidikan dan pembelajaran sastra mutlak direvitalisasi. Fokus pembelajaran mencakup pembacaan cerita rakyat (SD), pembacaan karya sastra nasional (SMP), pembacaan karya sastra dunia (SMA). Sastra dalam konteks ini, diperlakukan sebagai basis pendidikan karakter.

Bagaimana murid-murid mampu melakukan pembacaan terhadap karya-karya sastra sudah saatnya diperlakukan sebagai elemen penting pendidikan karakter. Agenda revitalisasi pendidikan sastra pun bermula dari upaya sengaja pemberdayaan guru. Bukan saja kalangan guru dituntut mampu mengapresiasi karya-karya sastra, hingga kemudian saksama membedakan mana karya sastra bermutu, dan mana yang tidak. Di atas segalanya, guru-guru juga dituntut mampu membimbing murid-murid berani melakukan uji coba melahirkan karya-karya sastra.[]

Mengamalkan Ta’limul Muta’alim Untuk Kemajuan Pendidikan

Gerundelan M Samsul Hadi

belajar_ilmu
gambar diunduh dari 3bp.blogspot.com

Talimul Mutaalim adalah suatu kitab yang di susun oleh seorang ulama yang bernama Syekh Az-Zarnuji. Dengan tujuan agar dalam proses belajar dan mengajar dapat meraih kemanfaatannya, seperti yang di katakan beliau dalam bab muqodimahnya “Kalau saya memperhatikan para pelajar (santri), sebenarnya mereka telah bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, tapi banyak dari mereka tidak mendapat manfaat dari ilmunya, yakni berupa pengalaman dari ilmu tersebut dan menyebarkannya. Hal itu terjadi karena cara mereka menuntut ilmu salah, dan syarat-syaratnya mereka tinggalkan. karena, barangsiapa salah jalan, tentu tersesat tidak dapat mencapai tujuan”. Ini adalah permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan yang dimiliki bangsa kita. Melalui program-programnya, pemerintahan telah mencoba agar sumberdaya manusia khususnya dalam bidang pendidikan dapat bersaing dengan bangsa lain, juga didukung usaha-usaha yang di lakukan oleh tenaga pendidik. Mulai dari pelatihan menyusun perangkat pembelajaran, mengikuti acara-acara diklat dan juga melaksanakan pertemuan antar guru. Namun sepertinya usaha yang telah di laksanakan semaksimal mungkin itu belum sepenuhnya menuai keberhasilan. Hal itu terbukti dengan masih adanya beberapa kelakuan dari peserta didik maupun tenaga pendidik yang belum mencerminkan nilai-nilai dari tujuan pendidikan. Tawuran antar pelajar, pelecehan seksual dan kekerasan sampai detik ini masih saja terus di beritakan oleh media masa. Jika masih saja berlarut seperti ini, maka tepat jika kita mengkoreksi letak kesalahan atau kekurangan yang belum kita benahi. Mungkin betul menurut beliau Syekh Az-Zarnuji, cara kita dalam menuntut ilmu masih ada yang salah dan juga kita masih terlalu sering meninggalkan syarat-syarat dalam menuntut ilmu. Sementara itu kita terus saja disibukan oleh pelatihan-pelatihan dan sebagainya.
Ada beberapa cara dalam menuntut ilmu yang semestinya kita lakukan, yang pertama adalah mengenai niat dalam menuntut ilmu. Kondisi kebanyakan yang berkembang saat ini adalah belajar atau menuntut ilmu itu dengan harapan kelak akan menjadi seorang yang kaya raya, mudah mendapat pekerjaan atau terangkat status sosial kemasyarakatannya. Jika pelajar tidak berhasil dengan cita-citanya yang seperti itu, maka instansi pendidikan tersebut dianggap telah gagal dalam mengemban tugasnya. Lambat waktu instansi pendidikan tersebut pun akan bangkrut dan tutup, selanjutnya muncul kembali instansi-instansi pendidikan yang menjanjikan berbagai macam keahlian dan jaminan bagi peserta didiknya.
Yang kedua adalah cara kita dalam menghormati sebuah ilmu dan guru, jika menginginkan agar para pelajar dapat menghormati ilmu dan guru. Maka kita sebagai tenaga pendidik harus mencontohkan terlebih dahulu. Jangankan untuk menghormati ilmu ataupun seorang guru.Terkadang untuk menghormati diri sendiri, kedua orang tua dan teman sebaya saja kita masih belum mampu. Salah niat dalam mendidik adalah salah satu dari sikap kurang bisanya menghormati diri sendiri. Menyukupi kebutuhan hidup adalah suatu hal yang wajar bagi siapa saja, namun jika terlalu terpesona dengan gemerlapnya dunia sehingga kita harus turun ke jalan meminta kenaikan upah, tentu itu sudah keluar dari tujuan mulia bagi seorang pendidik. Di sinilah peran pemerintah yang semestinya harus lebih dominan, agar tidak ada lagi tenaga pendidik yang merasa kekurangan dalam segi finansialnya dan tentunya diimbangi dengan profesional dalam mendidik. Lepas dari semua itu kita juga dituntut agar dapat menghormati ilmu diantaranya yaitu dengan tidak menaruh buku di sembarang tempat.
Sebetulnya masih banyak lagi yang harus kita kaji dalam kitab Talimul Mutaalim, di antaranya adalah kesungguhan dalam mencari ilmu, beristiqamah, cita-cita yang luhur, tawakal, waktu belajar, saling mengasihi dan saling menasehati, mencari tambahan ilmu pengetahuan dan bersikap wara’ ketika menuntut ilmu. Namun sebelum melangkah ke ranah yang lebih jauh, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu mengukuhkan sesuatu yang paling mendasar dalam proses pembelajaran yaitu niat dalam mencari ilmu serta menghormati ilmu dan seorang guru.
Niat dalam mencari ilmu seharusnya tidak lain hanyalah untuk mencari ridha Allah, seperti yang tertulis dalam kitab Talimul Mutaalim. “Di waktu belajar hendaklah berniat mencari ridha Allah swt. Kebahagian akhirat, memerangi kebodohan sendiri dan segenap kaum bodoh, mengembangkan agama. Dengan belajar pula, hendaklah diniati untuk mensyukuri kenikmatan akal dan badan yang sehat. Belajar jangan diniatkan untuk mencari pengaruh, kenikmatan dunia ataupun kehormatan di depan sultan atau penguasa-penguasa lain.” Jika sudah seperti itu maka diharapkan akan terwujudnya proses belajar dan mengajar dengan rasa nyaman dan penuh konsentrasi, karena sudah tidak lagi mencemaskan masa depannya yang berhubungan dengan kenikmatan duniawinya.
Setelah berusaha mengamalkan niat dengan benar, langkah selanjutnya yang harus kita lakukan agar berhasil dalam menuntut ilmu ialah dengan menghormati sebuah ilmu dan guru. Berikut yang di tulis oleh beliau Syekh Az-Zarnuji dalam kitabnya, “Seorang pelajar tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya dapat bermanfaat, selain jika mau mengagungkan ilmu itu sendiri, ahli ilmu, dan menghormati keagungan gurunya. Dapatnya orang mencapai sesuatu hanya karena mengagungkan sesuatu itu, dan gagalnya pula karena tidak mau mengagungkannya. Tidaklah anda telah tahu, manusia tidak menjadi kafir karena maksiatnya, tapi jadi kafir lantaran tidak mengagungkan Allah.” Pertanyaanya adalah bagaimanakah cara kita dalam menghormati atau mengagungkan ilmu dan seorang guru, untuk menghormati ilmu salah satunya yaitu dengan memuliakan sebuah kitab atau buku tersebut, yaitu dengan cara tidak menaruh buku di sembarang tempat, tidak meletakan kaki sejajar dengan buku, tidak menggunakan tinta berwarna merah dan berusaha senantiasa dalam keadaan suci (berwudlu) ketika mengambil buku atau ketika sedang dalam proses belajar dan mengajar. Selanjutnya adalah dengan menghormati seorang guru, termasuk arti menghormati guru yaitu tidak berjalan di depannya, duduk di tempatnya, memulai mengajak bicara kecuali atas perkenan darinya dan berbicara macam-macam tentangnya.
Di akhir tulisan yang sederhana ini marilah kita senantiasa memajukan dunia pendidikan dengan selalu mengingat tujuan pendidikan itu sendiri. Semoga nantinya pendidikan di bangsa ini benar-benar mempunyai karakter yang diharapkan, seorang guru yang mengamalkan ilmunya dengan penuh keikhlasan, pelajar yang belajar dengan penuh rasa ta’dim dan kesungguhan, orang tua yang senantiasa mendo’akan seberhasilan putra putrinya, dan lingkungan yang penuh dengan keharmonisan.

Agama yang Sempurna: Adakah?

Oleh Ulil Abshar Abdalla

agama agama
gambar diunduh dari hr2012_wordpressdotcom
Istilah “agama yang sempurna” banyak dipakai oleh aktivis Muslim akhir-akhir ini. Istilah ini erat kaitannya dengan konsep Islam kaffah. Ide “agama sempurna” ini populer di kalangan aktivis Muslim yang sering disebut dengan kalangan tarbiyah. Gampangnya, PKS-lah. Aktivis tarbiyah punya teori tentang Islam sebagai agama yang sempurna. Istilah yang kerap dipakai: Islam kamil dan syamil. Istilah “Islam kamil dan syamil” maksudnya: Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh (komprehensif).
Sumber ide “Islam kaffah” dan “Islam kamil” itu, kalau dilacak, sebetulnya berasal dari ideology-ideologi Ikhwanul Muslimin. Kedua ide itu merupakan batu bata yang membentuk ideologi politik Islamisme yang dibangun oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir. Dengan ideologi Islamisme, aktivis Ikhwan hendak mengatakan bahwa Islam adalah ideologi yang sempurna. Bagi aktivis Ikhwanul, ideologi Islamisme adalah cara yang dianggap “cespleng” untuk menandingi kapitalisme dan komunisme. Salah satu perumus penting ideologi Islamisme adalah Sayyid Qutb, ideolog Ikhwanul yang dihukum gantung oleh Presiden Nasser. Ingat, saat ideologi Islamisme dirumuskan pada 50-an dan 60-an, sedang berkecamuk persaingan antara kapitalisme+komunisme. Jadi, ideologi Islamisme memang dirumuskan dalam konteks yang spesifik: era ketika dunia masih menyaksikan persaingan ideologi.
“Islam kaffah” dan “Islam kamil” dengan demikian adalah istilah ideologis. Bagian dari ideologi Islamisme Ikhwan. Sekarang kedua istilah itu sudah banyak mempengaruhi kalangan di luar Ikhwan, terutama di kalangan aktivis Muslim perkotaan. Kalau anda bergaul dengan kalangan pesantren NU, istilah Islam kaffah dan Islam kamil kurang begitu popular.
Sekarang, perkenankan saya memberikan tinjauan kritis atas konsep “Islam kamil” yang merupakan ideologi Ikhwan itu. Saya akan mulai dengan pertanyaan pembuka: Apakah ada agama yang sempurna? Jawabannya: Tentu saja ada. Lalu, agama apa yang sempurna itu? Jawabannya: Semua agama, sempurna.
Anda heran? Berikut ini penjelasannya. Apa sih sebetulnya yang dimaksud dengan “sempurna” dalam kata “agama yang sempurna”? Apakah sempurna maksudnya hebat, super? Bukan. Sempurna dalam istilah “agama sempurna” maksudnya bukan hebat, super, perfect, unggul . Yang dimaksud dengan “sempurna” adalah agama bersangkutan memenuhi dua kebutuhan pokok setiap umat beragama. Yaitu kebutuhan kosmologis dan etis.
Kebutuhan kosmologis menyangkut pertanyaan dasar tentangg asal dan tujuan hidup. Kebutuhan kosmologis menyangkut apa yang oleh orang Jawa disebut dengan falsafah “sangkan paraning urip”. “Sangkan paraning urip” maksudnya: dari mana kehidupan ini berasal, dan ke mana arah serta ujungnya. Kebutuhan etis maksudnya adalah norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam mengarungi hidup sehari-hari.
Agama harus bisa menjawab kedua kebutuhan manusia itu: kebutuhan kosmologis dan kebutuhan etis. Kebutuhan kosmologis biasanya dijawab oleh agama dengan doktrin, doxa, atau, dalam istilah Islam, aqidah. Kebutuhan etis dijawab oleh agama dengan norma etis yang menuntun kehidupan manusia sehari-hari. Semacam kompas moral.
Semua agama mencoba memuaskan dua kebutuhan pokok dalam beragama itu. Tentu dengan cara yang berbeda-beda. Semua agama saya anggap sempurna karena mereka memenuhi dua kebutuhan dasar tadi. Semua agama, tanpa kecuali. Sekarang, mari kita periksa, apa yang dimaksud dengan Islam kamil atau Islam sebagai agama sempurna dalam konsepsi aktivis tarbiyah itu.
Sebagaimana saya katakan sebelumnya, istilah “Islam kamil” bukan sekedar ide biasa, tapi bagian dari ideologi politik. Dalam pandangan aktivis tarbiyah, Islam kamil berarti: Islam yang sempurna, komprehensif, mengatur segala hal. Saya sudah tunjukkan bahwa gagasan tentang Islam yang mengatur semua hal itu tak benar. Yang benar adalah Islam mengatur sebagian perkara saja dalam kehidupan. Bukan semuanya. Dasar yang kerap dipakai untuk mendukung ide tentang Islam kamil adalah ayat 5:3 (Al-Maidah: 3). Mari kita periksa ayat itu.
Bunyi ayat 5:3 itu adalah:

Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa radlitu lakum al-Islama dina.

Artinya:

Hari ini, Aku (Tuhan) sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku lengkapkan ni’matKu untukmu, dan Aku rela Islam sebagai agamamu.

Dari kata “akmaltu” (=Aku sempurnakan) dalam ayat 5:3 tadi, muncullah istilah “Islam kamil”. Islam yang sempurna. Mari kita lihat pendapat penafsir Islam klasik tentang makna “menyempurnakan” dalam ayat tadi. Apa yang disempurnakan?
Saya akan ambil Tafsir Tabari sebagai rujukan. Apa kata Imam Tabari tentang kata “menyempurnakan” (akmaltu) dalam ayat tadi. Ada dua pendapat. Yang pertama: Yang dimaksud adalah menyempurnakan hukum-hukum (syariat) tentang halal dan haram. Pendapat kedua: Yang dimaksud adalah kembalinya tanah suci Mekah ke tangan umat Islam sehingga mereka bisa menunaikan haji. Imam Tabari memilih pendapat kedua sebagai pendapat yang lebih kuat ketimbang yang pertama.
Saya mendukung pendapat beliau. Ayat 5:3 turun di Arafah saat Nabi melaksanakan haji yang terakhir sebelum wafat. Jadi, ayat tadi disebut sebagai ayat terakhir. Setelah hijrah ke Madinah, Nabi tak bisa menengok kembali tanah airnya Mekah atau melaksanakan haji di sana. Bertahun-tahun, umat Islam zaman Nabi tak bisa melaksanakan haji. Sehingga mereka belum sempurna menunaikan agamanya. Setelah menanti 10 tahun, akhirnya Nabi bisa menaklukkan kota Mekah dan bisa menyelenggarakan haji bersama sahabatnya. Di tengah-tengah melaksanakan haji itulah, turun ayat 5:3. Melihat konteks ini, pendapat Imam Tabari sangat masuk akal. Jadi, ayat 5:3 tadi tidak berbicara tentang Islam sebagai agama yang sempurna, tapi tentang kembalinya Mekah ke tangan umat Islam. Dengan kembalinya Mekah ke tangan umat Islam, maka sempurnalah keber-agamaan mereka, karena bisa melaksanakan haji. Sekali lagi, yang dimaksud sempurna dalam ayat tadi adalah: Mekah kembali ke tangan umat Islam.
Menjadikan ayat 5:3 sebagai dalil untuk mendukung ideologi “Islam kamil dan syamil” jelas tak tepat, atau bahkan keliru. Bagaimana kalau kita ikuti pendapat pertama yang mengatakan bahwa yang disempurnakan adalah hukum halal+haram? Oke, kita ikuti pendapat pertama. Apakah pendapat itu akan mendukung gagasan Islam kamil ala aktivis tarbiyah? Tidak juga!
Sebelum bergerak jauh, saya akan sebutkan keberatan Imam Tabari terhadap pendapat pertama tadi. Menarik. Kata Imam Tabari, pendapat pertama tadi tak masuk akal. Sebab setelah ayat tadi, masih ada ayat hukum lain yang turun kepada Nabi. Jadi, kata Imam Tabari, tidak betul bahwa seluruh hukum halal+haram sempurna dan tuntas dengan turunnya ayat 5:3 tadi. Kata Imam Tabari lagi: setelah ayat 5:3 tadi, masih ada ayat lain tentang hukum kewarisan yang turun kepada Nabi, yaitu 4:176. Artinya: saat ayat 5:3 turun kepada Nabi, hukum syariat belum sempurna, sebab masih ada ayat hukum lain yang turun setelah itu. Dengan demikian, menurut Imam Tabari, pendapat pertama tentang apa yang dimaksud “menyempurnakan” dalam ayat 5:3 tak kuat dasarnya.
Saya akan tambahkan alasan lain selain yang sudah disebut oleh Imam Tabari, untuk menyanggah argumen pendapat pertama. Jika kita tes dengan sejarah, sama sekali tak benar bahwa hukum syariat sudah sempurna dengan turunnya ayat 5:3 itu. Banyak hal belum diatur dalam hukum syariat. Misalnya soal tata kelola pemerintahan, antara lain soal suksesi kekuasaan. Karena itulah terjadi cekcok yang nyaris berujung bentrok fisik antar sahabat sepeninggal Nabi, tentang siapa yang akan jadi penguasa. Gara-gara cekcok soal siapa yang jadi penguasa setelah Nabi itu, jenazah beliau terlantar hingga tiga hari, tak dimakamkan. Jika benar hukum syariat sempurna, seperti diklaim aktivis tarbiyah, mestinya ada hukum soal suksesi kepemimpinan. Jika benar ada hukum soal suksesi kepemimpinan yang jelas, mestinya sahabat tak cekcok sengit. Bayangkan, tiga hari jenazah Nabi ditelantarkan sahabat gara-gara perdebatan soal “Pilmam” (Pilihan Imam). Fakta ini menunjukkan bahwa tak benar klaim aktivis-aktivis tarbiyah dan kaum Islamis mengenai hukum Islam yang sempurna.
Sebagai penutup pembahasan, saya akan kemukakan beberapa hal lain berkenaan dengan ide agama sempurna atau Islam kamil. Seperti saya katakan di awal, saya tak menolak adanya agama yang sempurna. Saya katakan: Semua agama adalah sempurna. Sebuah agama bisa dikatakan sempurna karena memenuhi dua kebutuhan/pertanyaan pokok manusia: kosmologis dan etis.
Jika yang dimaksud “agama sempurna” adalah agama tersebut memuat jawaban atas semua masalah, menurut saya tak ada. Seperti saya katakan dalam kultwit sebelumnya: agama tak mengatur semua hal dalam hidup. Hanya sebagian saja. Karena itu, agama juga tak akan menjawab semua masalah. Hanya sebagian masalah saja yang dijawab agama.
Islam juga demikian: Dia tak menjawab semua masalah dalam kehidupan. Hanya sebagian masalah saja. Masalah-masalah yang esensial. Masalah esensial berkenaan dengan dua pertanyaan pokok: kosmologis dan etis. Hanya dua itu yang relevan dijawab oleh Islam. Selebihnya, Tuhan menyerahkan kepada akal manusia untuk mencari jawaban atas masalah-masalah yang mereka hadapi. Agama hanya memberikan dasar-dasar etis umum saja. Tapi solusi atas suatu masalah manusia harus dikembangkan sendiri oleh mereka.
Demikianlah, istilah “Islam kamil” seperti dipahami aktivis tarbiyah itu sama sekali kurang tepat. Bahkan ayat 5:3 yang sering dikutip kalangan tarbiyah itu pun, tak mendukung ide “Islam kamil” versi mereka. Bagi saya, kesempurnaan Islam itu sama dengan kesempurnaan agama-agama lain: Yakni sempurna dari segi nilai-nilai dasarnya saja. Bagaimana nilai-nilai dasar itu diterapkan dalam konteks yang spesifik, Islam tak memberikan jawaban detil. Jadi kesempurnaan Islam atau agama adalah kesempurnaan sebagai jalan hidup. Bukan sebagai ideologi politik, ekonomi, dsb.

Sekian. In uridu illal ishlah wa ma taufiqi illa bil-Lah

Mohammad Roem dan Hubungan Muslim Kristen di Indonesia Masa Lalu

Oleh Erwan Rosa

Kutipan dari kumpulan tulisan Mohammad Roem yang diterbitkan penerbit Bulan Bintang tahun 1977.

“Ketika Ibu Roem dan saya beserta anak dan menantu serta cucu (yang pertama) berada di Malang, berhubung dengan adanya Muktamar Partai Muslimin, kami menginap di rumah keluarga Kristen, yaitu keluarga Mawikere.
Hal ini pada waktu itu sangat menarik perhatian.Untuk keluarga-keluarga yang bersangkutan, hal itu biasa. Di Malang kami kenal baik dengan keluarga Koesno sejak kurang lebih 40 tahun. Ibu Koesno adalah ketua Wanita Kristen cabang Malang. Dengan melalui Ibu Koesno kami kenal keluarga Mawikere dengan baik, 10 tahun lalu. Ibu Mawikere adalah wakil ketua Wanita Kristen cabang Malang.
Karena persahabatan yang erat berkat masa yang lama itu maka apabila kami berada di Malang, lebih sering kami menginap di rumah salah satu keluarga itu. Sebaliknya kalau sahabat-sahabat kami itu berada di Jakarta sering pula mereka menginap di rumah kami.
Ketika Wanita Kristen seluruh Indonesia berkonperensi di Jakarta kira-kira 9 tahun lalu, saya sendiri menjemput delegasi dari Malang di Stasion Gambir. Mr. Tambunan yang berada di stasion juga untuk menjemput para delegasi dari tempat-tempat lain, agak heran waktu mengetahui bahwa keperluan saya sama dengan keperluannya. Waktu ia bertanya, mengapa saya datang sendiri, saya menjawab bahwa saya tidak punya sopir. Kawan-kawan saya pemimpin-pemimpin bekas Masyumi dan sekarang pemimpin-pemimpin Partai Muslimin di Malang, sudah tahu hal itu dan tidak heran lagi kalau saya menginap di rumah keluarga Kristen.
Tetapi selama Muktamar Partai Muslimin hal ini sangat menarik perhatian. Keluarga Mawikere mendapat telpon dari pelbagai pihak, juga dari intelijen-intelijen. Kecuali banyak yang heran, banyak juga yang gembira. Karena ada baiknya dalam suasana yang sedang tegang antara kaum Kristen dan Islam. Wartawan harian Sinar Harapan, yang datang untuk memberitakan jalannya Muktamar Partai Muslimin, membuat suatu karangan khusus tentang kejadian ini. Majalah Varia dalam tajuk ceriteranya, menamakan hubungan kami dengan judul karangan ”Persahabatan Keluarga Mawikere-Roem, Lambang Persaudaraan Kristen dan Islam”.
Salah seorang pendeta Kristen di Malang setelah mendengar hal itu merasa demikian syukurnya, sehingga pada hari Minggu, waktu jemaah Kristen sedang berkumpul di gereja ia meminta kepada Ibu Mawikere untuk membacakan doa bagi ”berhasilnya Muktamar Partai Muslimin dan kesehatan keluarga Roem”. Sebenarnya bagi kami yang bersangkutan, hal yang demikian itu tidak kami sukai karena persahabatan itu kurang murni kalau dijadikan bahan propaganda. Tetapi akhirnya kami tidak merasa keberatan kalau orang mensyukuri keadaan yang demikian itu.
Apa sebab persahabatan itu dapat berjalan langsung? Karena kami harga-menghargai. Kalau kami duduk bersama-sama di meja makan, keluarga Roem cukup dengan mengucapkan ”Bismillah”, sedangkan keluarga Mawikere baik waktu berada di rumahnya sendiri maupun waktu berada di rumah kami (di Jakarta) berdoa sesuai dengan agamanya, sebelum makan. Tidak pernah pihak kami berusaha meng-Islamkan pihak yang beragama Kristen dan sebaliknya Ibu Koesno atau Ibu Mawikere tidak pernah mempropagandakan agama Kristennya kepada keluarga Roem.
Demikianlah persahabatan itu telah berlangsung berpuluh tahun dan kami berdoa semoga diridhai Tuhan dan terus berlangsung.”
 
(Mohamad Roem, 1977, Bunga Rampai dari Sejarah II, Bulan Bintang, Jakarta, h. 238-240).

Sumber: Note Achmad Munjid

~diunggah oleh RetakanKata~

Selamat Natal Menurut Al-Qur’an

Oleh Dr. M. Quraish Shihab

Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: “Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang katakan: “Aku bernazar tidak bicara.”haram-ucapkan-selamat-natal“Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan pezina”, demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya.Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali.”Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa a.s.

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa ‘Asyura, seraya bersabda, “Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s.”

Bukankah, Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda? Seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.

Isa a.s. datang mermbawa kasih, “Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu.” Muhammad saw. datang membawa rahmat, “Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu.” Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.

Isa menunjuk dirinya sebagai “anak manusia, sedangkan Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk berkata: “Aku manusia seperti kamu. Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, “Dia tidak mati, tetapi tidur.” Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: Matahari mengalami gerhana karena kematiannya. Muhammad saw. lalu menegur, “Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kehahiran seorang.” Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah dan tertindas dhuâfaâ dan al-mustadhâ’affin dalam istilah Al-Quran.

Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawaâ (Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu?

Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata yang melarangnya.

Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalah-pahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam.

Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad) Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. Sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat sang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “adaâ” bagi Tuhan, tetapi “wujud” Tuhan.

Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluan Natal.

Adakah kacamata lain? Mungkin!

Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat Al-Quran?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan. Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti.

Sumber: Membumikan Al-Quran

Catatan:
Artikel ini dicantumkan oleh Penulis Meributkan Natal sebagai jawaban atas tulisan Tanggapan atas Artikel ‘Meributkan Natal’ Achmad Munjid

Mungkin Anda tertarik juga membaca Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal atau Pendapat Mufti Besar Mesir soal Merayakan Natal

~diunggah oleh RetakanKata~

Tanggapan atas Artikel ‘Meributkan Natal’ Achmad Munjid

Penulis Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, wa shalaatu wa salaamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
haram-ucapkan-selamat-natalSudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah tidak kepada orang Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar (baca : cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias ‘boleh-boleh saja’). Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan atau dianjurkan.
Namun untuk mengetahui manakah yang benar, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur’an dan As Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini. Ajaran islam ini janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin orang-orang yang diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun sayang seribu sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini. Mereka berusaha mengutak-atik dalil atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka bukan karena ingin mencari kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, namun sekedar mengikuti hawa nafsu. Jika sesuai dengan pikiran mereka yang sudah terkotori dengan paham orientalis, barulah mereka ambil. Namun jika tidak bersesuaian dengan hawa nafsu mereka, mereka akan tolak mentah-mentah. Ya Allah, tunjukilah kami kepada kebenaran dari berbagai jalan yang diperselisihkan –dengan izin-Mu-
Semoga dengan berbagai fatwa dari ulama yang mumpuni ini, kita mendapat titik terang mengenai permasalahan ini.:: Fatwa Pertama ::

Mengucapkan Selamat Natal dan Merayakan Natal Bersama

Berikut adalah fatwa ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dari kumpulan risalah (tulisan) dan fatwa beliau (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin), 3/28-29, no. 404.
Beliau rahimahullah pernah ditanya,

“Apa hukum mengucapkan selamat natal (Merry Christmas) pada orang kafir (Nashrani) dan bagaimana membalas ucapan mereka? Bolehkah kami menghadiri acara perayaan mereka (perayaan Natal)? Apakah seseorang berdosa jika dia melakukan hal-hal yang dimaksudkan tadi, tanpa maksud apa-apa? Orang tersebut melakukannya karena ingin bersikap ramah, karena malu, karena kondisi tertekan, atau karena berbagai alasan lainnya. Bolehkah kita tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam perayaan ini?”

Beliau rahimahullah menjawab :

Memberi ucapan Selamat Natal atau mengucapkan selamat dalam hari raya mereka (dalam agama) yang lainnya pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca : ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya ‘Ahkamu Ahlidz Dzimmah’. Beliau rahimahullah mengatakan,

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” –Demikian perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah-
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita tangkap bahwa mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan seperti ini berarti seseorang itu setuju dan ridho dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat. Meskipun mungkin seseorang tidak ridho dengan kekufuran itu sendiri, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridho terhadap syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran lainnya karena Allah Ta’ala sendiri tidaklah meridhoi hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar [39] : 7)

Allah Ta’ala juga berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5] : 3)

Apakah Perlu Membalas Ucapan Selamat Natal?

Memberi ucapan selamat semacam ini pada mereka adalah sesuatu yang diharamkan, baik mereka adalah rekan bisnis ataukah tidak. Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka pada kita, maka tidak perlu kita jawab karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala. Hari raya tersebut boleh jadi hari raya yang dibuat-buat oleh mereka (baca : bid’ah). Atau mungkin juga hari raya tersebut disyariatkan, namun setelah Islam datang, ajaran mereka dihapus dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran Islam ini adalah ajaran untuk seluruh makhluk.

Mengenai agama Islam yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron [3] : 85)

Bagaimana Jika Menghadiri Perayaan Natal?

Adapun seorang muslim memenuhi undangan perayaan hari raya mereka, maka ini diharamkan. Karena perbuatan semacam ini tentu saja lebih parah daripada cuma sekedar memberi ucapan selamat terhadap hari raya mereka. Menghadiri perayaan mereka juga bisa jadi menunjukkan bahwa kita ikut berserikat dalam mengadakan perayaan tersebut.

Bagaimana Hukum Menyerupai Orang Nashrani dalam Merayakan Natal?

Begitu pula diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan (yang disimbolkan dengan ‘santa clause’ yang berseragam merah-putih, lalu membagi-bagikan hadiah, pen) atau sengaja meliburkan kerja (karena bertepatan dengan hari natal). Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim mengatakan,
“Menyerupai orang kafir dalam sebagian hari raya mereka bisa menyebabkan hati mereka merasa senang atas kebatilan yang mereka lakukan. Bisa jadi hal itu akan mendatangkan keuntungan pada mereka karena ini berarti memberi kesempatan pada mereka untuk menghinakan kaum muslimin.” -Demikian perkataan Syaikhul Islam-
Barangsiapa yang melakukan sebagian dari hal ini maka dia berdosa, baik dia melakukannya karena alasan ingin ramah dengan mereka, atau supaya ingin mengikat persahabatan, atau karena malu atau sebab lainnya. Perbuatan seperti ini termasuk cari muka (menjilat), namun agama Allah yang jadi korban. Ini juga akan menyebabkan hati orang kafir semakin kuat dan mereka akan semakin bangga dengan agama mereka.
Allah-lah tempat kita meminta. Semoga Allah memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka. Semoga Allah memberikan keistiqomahan pada kita dalam agama ini. Semoga Allah menolong kaum muslimin atas musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Mulia.

:: Fatwa Kedua ::

Berkunjung Ke Tempat Orang Nashrani untuk Mengucapkan Selamat Natal pada Mereka

Masih dari fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah dari Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/29-30, no. 405.
Syaikh rahimahullah ditanya: Apakah diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta), lalu kita mengucapkan selamat hari raya dengan tujuan untuk menjaga hubungan atau melakukan kunjungan?

Beliau rahimahullah menjawab :
Tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat (salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167)

Adapun dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi yang sedang sakit ketika itu, ini dilakukan karena dulu ketika kecil, Yahudi tersebut pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala Yahudi tersebut sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dengan maksud untuk menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk Islam.

Bagaimana mungkin perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang Yahudi untuk mengajaknya masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang ke non muslim untuk menyampaikan selamat hari raya untuk menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita kiaskan seperti ini kecuali hal ini dilakukan oleh orang yang jahil dan pengikut hawa nafsu.

:: Fatwa Ketiga ::

Merayakan Natal Bersama

Fatwa berikut adalah fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.

Pertanyaan : Apakah seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang yang dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar’i yang membolehkan hal ini?

Jawab :

Tidak boleh bagi kita bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah [5] : 2)

Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.

Ketua Al Lajnah Ad Da’imah : Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Saatnya Menarik Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan :

Pertama, Kita –kaum muslimin- diharamkan menghadiri perayaan orang kafir termasuk di dalamnya adalah perayaan Natal. Bahkan mengenai hal ini telah dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1981.

Kedua, Kaum muslimin juga diharamkan mengucapkan ‘selamat natal’ kepada orang Nashrani dan ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Jadi, cukup ijma’ kaum muslimin ini sebagai dalil terlarangnya hal ini. Yang menyelisihi ijma’ ini akan mendapat ancaman yang keras sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’ [4] : 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Oleh karena itu, yang mengatakan bahwa Al Qur’an dan Hadits tidak melarang mengucapkan selamat hari raya pada orang kafir, maka ini pendapat yang keliru. Karena ijma’ kaum muslimin menunjukkan terlarangnya hal ini. Dan ijma’ adalah sumber hukum Islam, sama dengan Al Qur’an dan Al Hadits. Ijma’ juga wajib diikuti sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa ayat 115 di atas karena adanya ancaman kesesatan jika menyelisihinya.

Ketiga, jika diberi ucapan selamat natal, tidak perlu kita jawab (balas) karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala.

Keempat, tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir untuk mengucapkan selamat hari raya.

Kelima, membantu orang Nashrani dalam merayakan Natal juga tidak diperbolehkan karena ini termasuk tolong menolong dalam berbuat dosa.

Keenam, diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan dalam rangka mengikuti orang kafir pada hari tersebut.

Demikianlah beberapa fatwa ulama mengenai hal ini. Semoga kaum muslimin diberi taufiko oleh Allah untuk menghindari hal-hal yang terlarang ini. Semoga Allah selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan. Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shohbihi wa sallam.

Diselesaikan pada siang hari, di rumah mertua tercinta, Panggang-Gunung Kidul, 18 Dzulhijah 1429 H

Baca artikel terkait:

Meributkan NatalFatwa Natal, Ujung dan Pangkal

Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal

Gerundelan KH. Abdurrahman WahidKASUS “Fatwa Natal” dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghebohkan juga. Lembaga itu didesak agar “mencabut peredaran” fatwa yang melarang kaum muslimin untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain.

haram-ucapkan-selamat-natalIni sungguh merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI. Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah.

Padahal, masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI menggunakan terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para ulama umumnya? Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI mengeluarkan fatwa seperti itu, karena memang masih demikianlah pengertian para ulama sendiri? Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang harus dipergunakan oleh MUI?

Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia menyangkut penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip keagamaan yang sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir keagamaan kaum muslimin.

Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghubung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa memerlukan kontak ke luar), sudah tentu sangat gegabah untuk diharapkan dapat berfungsi demikian. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang memberikan keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah kepada kaum muslimin.

Tidak lebih dari itu. Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai “tidak bersifat operatif dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan Majelis-majelis­ Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu merumuskan sendiri pedoman pengambilan keputusan atas nama umat Islam, mengapakah bukan tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan “perwakilan” di dalamnya?

Main Mutlak-mutlakan­ Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status keputusan yang dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan kepada siapakah ia selalu harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur dicaci maki pihak yang terkena).

Bagaimana halnya dengan ujung persoalan “Fatwa Natal”? Apakah lalu akan keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa sama sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu Hindu, haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya tertulis kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahm­anirrahim. Alangkah pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!

Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari seperangkat postulat yang main mutlak-mutlakan­ dalam pemikiran keagamaan kita.

Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif seperti itu. Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah mencuri-curi perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai di tempat perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.

Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas tentang wilayah “kajian” (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah­ dasar yang dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut pandangan agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut pandangan agama, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan kemiskinan (haram, halal, mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga di bawah? Bagaimana pula kaum muslimin seyogianya bersikap terhadap ketidakadilan, terhadap kebodohan?

Jawabannya tentulah harus terperinci dan konkret, jangan cuma sitiran satu dua hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang kubur saja. Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus “Fatwa Natal”, yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri?

Kolom TEMPO, 30 Mei 1981

Sumber: catatan Akhmad Sahal

Artikel terkait: Meributkan Natal

~diunggah oleh RetakanKata~

Meributkan Natal

Gerundelan Achmad Munjidharam-ucapkan-selamat-natal
Menjelang awal atau akhir bulan puasa, sebagian orang Islam di Indonesia suka ribut. Begitu terjadi perbedaan hasil perhitungan antara metode ru’yah (observasi empiris langsung) versus hilal (kalkulasi kalender), mereka segera gaduh memperselisihkan tanggal mana yang paling sah untuk menentukan khususnya Idul Fitri. Dengan berbagai alasan, ini bisa dimaklumi. Bagaimanapun Idul Fitri adalah suatu hari raya penting Islam yang terkait dengan ibadah wajib, yakni puasa Ramadhan.Tapi orang-orang Islam Indonesia ini belakangan juga suka meributkan hari raya ummat lain. Setiap sekitar Natal seperti sekarang, kita suka cekcok.  Jelas soalnya bukan tanggal. Dengan sengit, sebagian Muslim mengharamkan kita untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada teman atau tentanga yang Kristen. Muslim yang mengucapkannya dituduh membahayakan aqidah Islam, kalau bukan telah mengorbankannya. Jadi ini bukan perkara sepele, apalagi main-main.Menarik untuk dicatat, banyak pendukung pengharaman “Selamat Natal” yang sering merujuk pada Fatwa MUI 1981 dan pendapat Buya HAMKA soal ini sebagai pijakan. Anehnya, ketika diselidik, MUI sendiri ternyata tidak pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ucapan Selamat Natal. Buya HAMKA bahkan terang-terangan membolehkannya.

Sebagai bagian dari topik lebih luas, isu ini sebetulnya sudah berkali-kali dibahas dalam sejumlah riset yang lebih mendalam, antara lain seperti telah dilakukan oleh Atho’ Mudzhar (1996), Karel Steenbrink (2000) dan Mujiburrahman (2006). Tulisan kecil ini dibuat sebagai penegasan ulang saja, sekaligus klarifikasi. Mudah-mudahan ia bisa turut menjernihkan kembali “pesan berantai” yang entah dengan maksud apa isinya telah jauh terpelintir ketika sampai ke telinga kita.

* * * * *

Ketika menyampaikan program rutin “kuliyah shubuh” yang disiarkan RRI pada tahun 1974, Buya HAMKA mendapat pertanyaan dari seorang pendengar. “Apa sikap yang pantas kita tunjukkan sebagai Muslim ketika diundang untuk menghadiri acara Natal dari teman atau tetangga yang beragama Kristen?,” begitu kira-kira pertanyaannya. Karena keterbatasan waktu, HAMKA kemudian memberikan jawaban tertulis berjudul “Toleransi Bukan Pengorbanan ‘Aqidah” yang dimuat majalah Panji Masyarakat No. 142 tahun 1974.

Sembari menjelaskan perbedaan fundamental soal kedudukan Yesus—sebagai inkarnasi Tuhan dalam agama Kristen dan Isa a.s. sebagai seorang Nabi dan manusia biasa dalam Islam—secara eksplisit HAMKA menyatakan bahwa mengucapkan Selamat Natal sebagai ungkapan toleransi beragama adalah boleh-boleh saja. Tetapi orang Islam tidak dibenarkan berpartisipasi dalam ritual perayaan Natal. Ilustrasinya, orang-orang Kristen juga sudah biasa menyampaikan ucapan Selamat Idul Fitri kepada kita, tapi mereka tentu tidak akan ikut sembahyang di masjid atau di lapangan terbuka yang kita selenggarakan. Ditambahkannya pula, jangankan berpartisipasi dalam perayaan ibadah Natal, sebagian ulama seperti Ibn Taimiyyah atau kelompok Persis di Indonesia bahkan juga melarang orang Islam merayakan Maulid yang merupakan hari lahir Nabi kita sendiri. Ini semua dilakukan demi menjaga aqidah.

Penjelasan HAMKA itu tidak menimbulkan kontroversi apa pun. Dan memang tidak ada yang kontroversial.

Sekitar lima tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk tahun 1975 oleh Orde Baru sebagai jembatan antara ummat Islam dengan Pemerintah, mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Maret 1981 mengenai isu serupa. Ketua MUI-nya adalah HAMKA yang hanya bersedia diangkat oleh Suharto dengan satu syarat: “tidak akan menerima gaji dari Pemerintah” (demi memelihara independensi lembaganya).

Sebetulnya isi fatwa tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah disampaikan HAMKA sebelumnya. Tapi kali ini dalilnya lebih lengkap dan argumennya lebih tegas. Fatwa ini sendiri dikeluarkan atas permintaan kantor kementerian agama untuk evaluasi internal sekaligus buat menanggapi keresahan sebagian Muslim akibat kian maraknya perayaan Natal bersama di kantor-kantor dan sekolah-sekolah.

Kita tahu, tahun-tahun 1980-an adalah masa ketika rejim militer Suharto sedang kuat-kuatnya mencengkeramkan kekuasaan sekaligus lebih mesra dengan kelompok Kristen dan abangan. Ummat Islam dipaksa menerima kenyataan sebagai kelompok “mayoritas angka” yang tak punya peluang dan peran strategis signifikan. Dengan sokongan sekaligus kendali rejim itu, kelompok minoritas Kristen dan keturunan Cina bisa memainkan kekuasaan tertentu, yang membuat Muslim kian merasa kecewa dan tersingkir. Terkait Natal bersama yang menjadi konteks fatwa MUI tadi, Panji Masyarakat melaporkan maraknya pengharusan oleh sekolah Kristen tertentu terhadap siswa Muslim untuk terlibat dalam perayaan Natal, entah sebagai penyanyi koor atau pemeran tokoh dalam drama Natal dll.

Ancaman akidah yang disebut dalam fatwa tadi, karenanya, bisa dibaca sebagai retorika tawar-menawar ummat Islam di depan pemerintah dan kelompok minoritas Kristen yang posisinya jauh lebih baik secara ekonomi dan politik.

Tapi fatwa ini tidak pernah sekalipun menyebut soal haramnya mengucapkan “Selamat Natal” oleh orang Islam. Yang diharamkan adalah partisipasi orang Islam pada acara Natal dalam konteks di atas. Teks fatwa itu kemudian dikirim ke kantor-kantor wilayah MUI daerah dan dimuat dalam Buletin Majelis Ulama Nomor 3 April 1981. Meski buletin itu cuma dicetak 300 eksemplar, tak pelak, fatwa ini segera beredar cukup luas, terutama setelah diliput media. Dari sinilah kontroversi berawal.

Alamsjah Ratuprawinegara sebagai Menteri Agama yang sedang gencar mempromosikan “Tri Kerukunan” (kerukunan intern ummat beragama, kerukunan antar ummat beragama, kerukunan antara ummat beragama dengan Pemerintah), merasa terpojok dan jengkel. Pertama, ia tidak mengharapkan fatwa untuk kepentingan terbatas itu tersebar luas. Kedua, program “Tri Kerukunan” yang tengah dipromosikannya terancam gagal. Dalam suatu pertemuan antara pihak MUI dengan Menag, sebagai reaksi keras terhadap fatwa itu, Alamsjah sempat menyatakan akan mundur. Akibatnya, MUI segera menerbitkan surat keputusan yang ditandatangani HAMKA dan sektrarisnya. Seperti dimuat harian Pelita, SK itu menyatakan bahwa fatwa kontroversial itu dicabut peredarannya—meski dalam kesempatan lain HAMKA tetap menyatakan validitas isi fatwa itu sendiri. Akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan fatwa itu, HAMKA menyatakan bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab untuk mundur, bukan Menag.

HAMKA akhirnya benar-benar mundur sebagai ketua MUI pada tanggal 19 Mei 1981. Dalam sejarah MUI sampai sekarang, hanya beliaulah satu-satunya ketua MUI yang mengundurkan diri, tak pernah menerima gaji, sekaligus yang pernah mengeluarkan fatwa berseberangan dengan posisi pemerintah.

Tempo memuat berita ini dalam edisi Buya, Fatwa dan Kerukunan Beragama tanggal 30 Mei 1981. Gus Dur menulis kolom dalam edisi itu, berjudul “Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal” yang, bisa kita duga, isinya mengkritik keras fatwa tadi.

Tapi, sekali lagi, baik HAMKA maupun MUI tak pernah menyebut haramnya ucapan Selamat Natal. Majalah Panji Masyarakat yang diasuh HAMKA pada nomor 325 edisi Juni 1981 bahkan memuat tulisan Samudi Abdullah yang menyarankan agar orang Islam yang mendapat undangan acara Natal untuk “datang, duduk dengan tenang dan menyantap makanan ketika dihidangkan.” Sebab yang diharamkan adalah partisipasi dalam ritual dan bukan kehadiran dalam acara Natal.

Lalu dari mana datangnya klaim haramnya ucapan “Selamat Natal”? Entah.

Meminjam istilah Mujiburrahman, feeling threatened boleh jadi adalah salah satu penjelasannya. Perasaan terancam, baik di kalangan Muslim maupun Kristen, juga ummat beragama lain, memang telah lama merupakan atmosfir yang terus menyelimuti hubungan antar ummat beragama di Indonesia.

Meski sejak 1990-an dengan berdirinya ICMI situasi Islam sudah terbalik, ternyata psikologi itu terus dipelihara di kalangan Muslim. Dalam bayang-bayang rasa terancam, ketika jadi pecundang, orang Islam selalu takut tidak kebagian. Ketika jadi pemenang seperti sekarang, kita takut kehilangan. Itulah kenapa bahkan hanya mengucapkan “Selamat Natal” sebagai ungkapan tata-krama pergaulan sosial pun sebagian Muslim tidak bisa, karena takut ‘kehilangan’. Kalau dulu  ‘perlindungan akidah’ dipakai sebagai retorika untuk menaikkan daya tawar, sekarang retorika yang sama digunakan untuk mempertahankan privilege sebagai kelompok mayoritas yang sesungguhnya.

Tapi perasaan terancam yang terus dipelihara, apalagi digunakan sebagai alat permainan politik demikian, tentu sangat berbahaya. Serangkaian praktek diskriminasi, bahkan persekusi yang kian memburuk dan terus memakan banyak korban belakangan ini, entah kaum Ahmadi di Cikeusik, Syiah di Sampang, Gereja Yasmin di Bogor dll, adalah konsekuensi dibiarkannya manipulasi atas perasaan terancam di kalangan mayoritas Muslim.

Pemelintiran haramnya partisipasi Muslim dalam aspek ritual Natal seperti pernah dikemukakan oleh Buya HAMKA tahun 1974 dan fatwa MUI tahun 1981 menjadi haram mengucapkan “Selamat Natal” adalah cerminan kian menggumpalnya perasaan terancam sebagian orang Islam sekaligus kehendak intoleran sebagai golongan mayoritas yang harus dicegah. Mayoritas atau bukan, tidak ada seorang pun yang boleh sembarangan memanipulasi kenyataan demi kepentingan sempit kelompoknya.

Jika tidak, keadaan bisa terus memburuk dan menggiring bangsa ini menuju liang kubur bersama.

Mungkin Anda tertarik juga untuk membaca:

Selamat Natal Menurut Al Quran

Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal

Tanggapan ‘Meributkan Natal’

Muslim Controversy ove ‘Merry Christmas’ Greeting

~diunggah oleh RetakanKata~

Tentang Cerpen Terowongan Maut

Apresiasi Hudan Hidayat

Sitoyen Sant-Jean
Novel “Sitoyen Sant-Jean – Antara Hidup Dan Mati” oleh A.Kohar Ibrahim; Penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, Kepri 2008. Editing: Lisya Anggraini.
CERITA pendek ini menyapa hampir maut dengan lembut sekali – nyaris sebuah kepasrahan dari seseorang yang telah sabar mengalami derita panjang, derita yang nampaknya bukan sekedar dalam makna pikiran, tapi derita pikiran dan derita fisik dari sebuah perjalanan hidupnya yang panjang.
Saya adalah anak sejarah yang masamasa lalu itu seolah sejarah itu sendiri. Sejarah pahit yang gelap. Hingga saat ini pun masih gelap. Tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Ada pernah saya diberitahukan, bahwa karya sastra orang-orang LEKRA adalah tak lebih dari pamplet belaka. Semua kata yang mencungkup peristiwa dan makna memuara ke satu arah: politik revolusi. Sehingga cerita-cerita mereka, demikian sejarah itu memberitahukan,tak ada yang bermakna.
Tapi waktu membaca Pramoedya Anantatoer, semua kesimpulan semacam itu pupus. Apalagikah makna kalau kita berhadapan dengan cerita besar seperti Bumi Manusia itu misalnya.Lalu kini saya tertumbuk dengan sebuah cerita kecil hidup seseorang, yang dilambangkannya dengan terowongan. Terowongan, aduh, alangkah pas tanda ini untuk mengatakan hidup itu sendiri. Hidup adalah terowongan panjang yang kita tak tahu ujungnya. Sehingga berteriaklah orang seperti Albert Camus: absurd. Dan karena absurd, aku memilih tak Bertuhan saja.
Tapi lihatlah cerita A Kohar Ibrahim ini. Tiap katanya adalah sapaan lembut kepada Tuhannya. Kata yang berlapis membentuk dan mencampur dari jenis kata yang sama, seolah menganya labirin, seolah memasuki dan terowongan kata itu sendiri.
Tak sekalipun ia bercerita mati dalam peristiwa singkat yang diceritakannya ini. Ia begitu detil memapar daerah asing dari suatu peristiwa medis, detil asing seolah alam dari suatu daerah yang kita tak kenal tumbuhan dan batuannya. Ia pasrah saja berjalan melalui alam yang tak ia kenal itu. Pasrah dari sebuah tingkatan jiwa yang telah meninggi dari tempaan hidupnya sendiri. Seakan ia hendak berkata: sudah kulalui macam-macam terowongan fisik dan terowongan makna- seperti yang disebutkannya dengan mengutip beberapa cerita fiksi dari awal karangannya ini. Lalu apa lagi yang harus kutakuti?
Tentu saja takut bukanlah kata yang tepat. Yang lebih tepat lagi asing. Perasaan asing yang aneh seperti yang bolak-balik dikaitkannya dengan alat-alat medis agar ia selamat dari terowongan yang bernama operasi itu. Tapi dari cerita ini saya melihat sekali suatu ekspose dari manusia fakta dan manusia fiksi (yang lagi menuliskan ceritanya – seorang narator bernama aku) dengan terowongan itu seolah mengajak kita mengenang akan sepenggal kehidupan. Agar dari sepenggal kehidupan itu kita merenungkan apakah artinya dan apakah kesudahannya.
Di ruang yang sangat kecil ini, perasaan itulah yang saya alami. Mungkin kalau saya mengetik di ruang layar yang lebar komputer kelak, beberapa denyar yang merasuki hati saya ini bisa saya elaborasi ke dalam detildetil yang mungkin menjadi hak bagi peristiwa dan makna yang diletakkan, atau telah terjadi di sana. Saya kagum dengan cerita anda, Bung kohar.

Mahmoud Dharwis

Hari ini 30 November 2012, PBB mengakui kedaulatan Negara Palestina. Saya langsung teringat kepada salah seorang penyair komunis dari Palestina yang meninggal tahun 2008 lalu, Mahmoud Dharwis. Berikut salah satu artikel tentang sang penyair yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui karya-karya sastra dan budaya.

Pengantar: Ahmad Yulden Erwin

——————————————–

MAHMOUD DHARWIS: TANAH AIRKU SEKOTAK KOPOR

Artikel oleh Dian

pbb mengakui palestina
Gambar diunduh dari fb Ahmad Yulden Erwin

Gempuran Israel atas Palestina mengingatkan pada seorang penyair bernama Mahmoud Darwish, yang meninggal dunia 4 tahun silam. Berikut ini catatan pendek tentang sejarah dirinya.Di usia enam tahun, Mahmoud Darwish menyaksikan peristiwa yang kelak sangat mewarnai puisi-puisinya. Tentara Israel, di tahun 1947, merangsek ke desa-desa Palestina dan menghancurkan al-Birwa, sebuah desa di Galilee Barat, tanah kelahirannya. Seperti kebanyakan keluarga Palestina, keluarga Salim dan Houreyyah Darwish membawa Mahmoud dan saudara-saudaranya mengungsi ke Libanon. Inilah pengasingan pertama Mahmoud.

Setahun di Libanon, keluarga Salim kembali ke desa mereka dan mendapatinya telah berubah: dua permukiman Yahudi sudah tegak berdiri. Tak banyak pilihan bagi mereka, kecuali menetap di Deir al-Asad, Galilee. Sejak itulah, Mahmoud kecil merasakan hidup sebagai orang asing di tanah kelahirannya sendiri. Kelak, ingatan masa kecil ini ia tuangkan dalam puisinya:

Mereka membungkam mulutnya dengan rantai,
Dan mengikatkan tangannya pada batu maut
Mereka berkata: Engkau pembunuh
Mereka merampas makanan, pakaian, dan benderanya
Dan melemparnya ke dalam sumur maut
Mereka berkata: Engkau pencuri
Mereka melemparnya keluar dari setiap pelabuhan
Dan menjauhkan yang dicintainya
Dan kemudian mereka berkata: Engkau pengungsi.

Kendati menyadari bahwa keluarganya hidup sebagai warga kelas dunia, Mahmoud masih berangan untuk turut merayakan negara Israel. Namun suara nuraninya tak bisa dibendung. Mahmoud kecil menulis puisi. “Saya tidak ingat puisi itu,” ujarnya puluhan tahun kemudian. “Tapi saya ingat gagasannya; ‘engkau bisa bermain di bawah matahari sesukamu, dan engkau punya mainan, tapi aku tidak. Engkau punya rumah, dan aku tidak. Engkau merayakan, tapi aku tidak. Mengapa kita tidak bisa bermain bersama?’” Ia ingat bagaimana ia diancam ketika itu: “Jika kamu menulis puisi semacam itu, aku akan memberhentikan ayahmu agar tidak bekerja lagi di pertambangan.”

Pendudukan, kolonialisme, penindasan, selalu melahirkan perlawanan. Sangat alamiah. Di usia 19 tahun, ketika ia sudah menerbitkan buku puisi pertamanya, Asafir bila ajniha (Burung-burung tak bersayap), ia bergabung dengan Partai Komunis Israel, Rakah. Menulis puisi dan melibatkan diri dalam aktivisme politik menjadi pilihan Darwish di usia muda. Hingga usia 30 ia berkali-kali masuk penjara dan dikenai tahanan rumah. Penguasa Israel, seperti penguasa di manapun di muka bumi ini, memakai ”subversi” sebagai senjata untuk memojokkan mereka yang berkata ”tidak.”

Darwish menjalani pengasingan. Moskow menjadi pilihan Darwish untuk belajar, 1971. Inilah perjalanan yang membawanya berkelana dari Kairo ke Beirut, dari Tunis ke Paris, dari Amman ke Houston, dari Damaskus ke Ramallah. ”Tanah airku sekotak kopor,” ujarnya suatu ketika. Dengan getir ia menulis:

Kita bepergian seperti orang lain, namun kita tak punya tempat untuk kembali
(Tapi) Kita memiliki negeri kata-kata.

Bagi Darwish, pengasingan tak berhenti hanya dalam pengertian geografis—keluar dari tanah kelahirannya yang kini dikuasai Israel. ”Anda bisa terasing di tanah air sendiri, di rumah Anda sendiri, di suatu ruangan,” ujarnya. Pengasingan, akhirnya, bukan sesuatu yang asing bagi Darwish. Malah, ia menduga-duga, ”Dapatkah aku mengatakan bahwa aku kecanduan untuk diasingkan?”

Rasa asing yang non-geografis itu ia rasakan tatkala ia diizinkan pulang ke Tepi Barat. ”Saya tak pernah tinggal di sini sebelumnya,” kata Darwish. ”Ini bukan tanah air pribadiku. Tanpa memori, Anda tak memiliki hubungan nyata dengan suatu tempat.” Betapapun, ucapnya lagi, ”Saya telah membangun tanah air saya, saya bahkan telah mendirikan negara saya—dalam bahasa saya.”

Bagi Darwish, pengasingan merupakan salah satu sumber kreasi sastra—sesuatu yang jamak ditemui di sepanjang sejarah manusia. Di Paris, tempat ia hidup selama sepuluh tahun, ia melahirkan Memory for Forgetfulness—sebuah memoar tentang Beirut dibawah pemboman Israel, 1982. Ia percaya, manusia yang berharmoni dengan masyarakatnya, budayanya, dirinya sendiri, tak bisa menjadi seorang kreator. ”Dan itu benar,” ujarnya, ”sekalipun jika negeri kami Surga itu sendiri.”

Dengan berjarak secara geografis dari tanah kelahirannya, Darwish mengekspresikan kerinduannya akan Palestina. Palestina bukan sekedar sepetak tanah, laiknya orang Yahudi menganggapnya demikian. Palestina adalah metafor bagi hilangnya Surga, kelahiran dan kebangkitan, serta kesedihan mendalam karena ketercerabutan dan pengasingan.

Suaranya yang menuntut keadilan terdengar nyaring: ”Mengapa kami selalu diberitahu bahwa kami tidak bisa memecahkan masalah kami tanpa memecahkan kegelisahan eksistensial orang-orang Israel dan pendukung mereka yang justru telah mengabaikan eksistensi terdalam kami selama puluhan tahun di tanah air kami sendiri?”

Catat! Aku seorang Arab/ Dan kartu identitasku adalah nomor limapuluh ribu/ Aku mempunyai delapan anak/ Dan yang kesembilan akan lahir sesudah musim panas/ Marahkah engkau?/ Catat!/ Aku seorang Arab/ Aku mempunyai nama tanpa hak/ Pasien di sebuah negeri / Di mana orang dibikin marah… Aku tidak membenci orang/ Aku tidak melanggar hak orang lain/ Tapi jika aku menjadi lapar/ Aku akan menyantap daging perampas kuasaku/ Sadarilah… / Sadarilah…/ Kelaparanku/ Dan kemarahanku!
(Kartu Identitas, 1964)

Walau Darwish dipersepsikan secara luas sebagai simbol perlawanan Palestina dan juru bicara bagi oposisi Arab terhadap Israel, ia menolak tuduhan antisemitisme: “Tuduhan itu bermakna saya membenci orang Yahudi. Sungguh tidak enak, mereka menunjukkan saya sebagai setan dan musuh Israel. Meskipun, tentu saja, saya bukan kekasih Israel. Saya tak punya alasan untuk begitu. Namun saya tidak membenci Yahudi..”

Di suatu kesempatan Darwish mengatakan ia akan terus memanusiakan orang lain, musuh sekalipun. Sukar baginya untuk menghindari sikap itu. Guru pertama yang mengajarkan padanya bahasa Ibrani adalah seorang Yahudi. Cinta pertama dalam kehidupannya adalah gadis Yahudi. Hakim pertama yang mengirimnya ke penjara adalah perempuan Yahudi. ”Sejak awal mula, aku tidak melihat Yahudi sebagai setan atau malaikat, tapi sebagai manusia,” tuturnya.

Beberapa puisinya ditujukan kepada kekasih Yahudi. “Puisi-puisi ini mengambil sisi cinta, bukan perang,” ujarnya. Di Knesset, parlemen Israel, Darwish mempunyai sejumlah kawan. Di Knesset pula, 1988, salah satu puisinya, Passers Between the Passing Words, dikutip oleh Yitzhak. Ia dituduh menuntut agar Yahudi meninggalkan Israel, meski ia mengaku bahwa yang ia maksudkan adalah Tepi Barat dan Gaza.

Maka, tinggalkanlah tanah kami
Pantai kami, laut kami
Gandum kami, garam kami, luka kami.

Penyair Ammiel Alcalay menyebut reaksi histeris orang-orang Yahudi terhadap puisi itu menjadi tes litmus yang akurat terhadap psyche orang Israel mengenai isu yang sensitif ini.

Namanya kembali menjadi kontroversi ketika Yossi Sarid, menteri pendidikan Israel, pada Maret 2000, mengusulkan agar dua puisi Darwish dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah menengah. Perdana Menteri Ehud Barak menolak usul itu dengan alasan Israel “tidak siap.” ”Orang Israel tidak ingin mengajar muridnya bahwa ada kisah cinta antara penyair Arab dan tanah ini,” kata Darwish. “Saya hanya ingin mereka membaca saya untuk menikmati puisi saya, bukan sebagai representasi musuh.” Empat jilid puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani oleh Muhammad Hamza Ghaneim: Sareer El-Ghariba (Bed of a Stranger, 2000), Limaza tarakt al-hissan wahida (Why Did You Leave the Horse Alone?, 2000), Halat Hissar (State of Siege, 2003), dan Halat Hissar (Mural, 2006).

Bagi Darwish, tanah yang kini diduduki Israel melahirkan ketegangan tersendiri. Sebuah paradoks bersitegang dalam dirinya: seorang nasionalis yang menulis deklarasi perjuangan Palestina yang diadopsi PLO, 1988, berusaha pula memperoleh kartu identitas Israel agar ia dapat hidup di tanah kelahirannya sepulang dari pengasingan. ”Bagi orang Arab di Israel selalu saja ada ketegangan di antara nasionalitas dan identitas,” kata Darwish. ”Saya menerima dokumen apapun yang melindungi hak saya untuk berada di sana.”

Persepsi dirinya sebagai simbol perlawanan Palestina membuat ia jengah. Darwish terkadang merasa seolah-olah dirinya sudah terbaca sebelum menulis. ”Ketika saya menulis puisi tentang ibu saya, orang Palestina mengira ibu saya adalah simbol Palestina,” ujarnya. ”Padahal saya menulis sebagai penyair, dan ibu saya adalah ibu saya. Ia bukan sebuah simbol.” Penyair Naomi Shihab Nye menulis bahwa Darwish “adalah napas esensial rakyat Palestina, saksi yang fasih atas pengasingan dan hak milik…”

Ia ikut memperjuangkan bangsanya, Palestina, tapi bukan tanpa kritik, khususnya kepada faksi-faksi politiknya. Darwish sering berselisih paham dengan banyak pemimpin Palestina, sebab ia menjaga jarak dari faksionalisme.

Ia mengritik keterlibatan PLO dalam perang saudara di Libanon. Ia mundur dari komite eksekutif PLO, 1993, sebagai protes atas perjanjian Oslo, bukan karena ia menolak perdamaian dengan Israel, tapi karena “tidak ada hubungan yang jelas antara periode sementara dan status final, dan tidak ada komitmen yang jelas untuk menarik dari wilayah pendudukan. Saya merasa Oslo membentangkan jalan bagi eskalasi. Saya berharap saya keliru. Namun saya sangat sedih bahwa saya benar.”

Eskalasi itu mewujudkan diri dalam aksi bom bunuh diri, yang merenggut jiwa pemuda Palestina, yang membuat Darwish memercayai bahwa ini bukan dilatari ideologi, melainkan wujud keputusasaan. “Kita harus memahami—bukan membenarkan—apa yang membangkitkan tragedi ini. Ini bukan karena mereka mencari perawan cantik di surga, sebagaimana para Orientalis menggambarkannya. Orang-orang Palestina mencintai kehidupan,” kata penyair ini. ”Bila kita memberi harapan pada mereka—suatu solusi politik—mereka akan berhenti membunuh diri sendiri.”

Di saat pulang, ketika ia merasa akan dilupakan oleh bangsanya, ia disambut di mana-mana. ”Saya pikir saya dilupakan, namun saya mendapati bahwa mereka masih menyayangi saya dan mengenal puisi-puisi saya,” ujarnya. ”Negeri ini begitu indah. Saya berusia 27 tahun ketika saya pergi, dan sekarang saya melihatnya dengan mata baru, hati baru.” Pembacaan puisinya dihadiri ribuan orang, tak ubahnya ketika ia membaca di Kairo atau Damaskus. Ia tak bisa mengunjungi sebuah kafe di negeri-negeri Arab tanpa menjadi perhatian orang lain. Sebab itulah, ia kerap menghindari tempat-tempat umum. ”Saya suka dalam bayang-bayang, bukan di dalam cahaya,” ungkapnya.

Bakat bersyairnya, yang ia pupuk sejak kecil dan disemangati oleh kakaknya, membuahkan lebih dari 30 jilid kumpulan puisi. Teman sekolahnya ingat betapa sangat bagus bahasa Ibrani Darwish—ia bercakap pula dalam bahasa Inggris dan Prancis. Penyair Irak Abd al-Wahhab al-Bayati dan Badr Shakir al-Sayyab mengesankannya. Begitu pula Nizar Kabbani. Darwish mengenal Frederico Garcia Lorca dan Pablo Neruda melalui bahasa Ibrani. Ia memuji Yehuda Amichai, dan menggambarkan puisi penyair Yahudi itu sebagai “tantangan bagiku, karena kami menulis tentang tempat yang sama. Ia ingin menggunakan lanskap dan sejarah demi keuntungannya sendiri, berdasarkan identitas saya yang hancur. Jadi kami bersaing: siapa pemilik bahasa tanah ini? Siapa yang lebih mencintai? Siapa yang menulisnya lebih baik?”

Puisi, bahasa, menjadi alat perjuangan Darwish. Dalam pidatonya, saat menerima penghargaan Prince Clause di Amsterdam, 2004, ia berkata: ”Seseorang hanya bisa dilahirkan di satu tempat. Tapi, ia mungkin mati beberapa kali di tempat lain: di pengasingan dan penjara, di tanah air yang diubah oleh pendudukan dan penindasan jadi mimpi buruk.

Puisi, barangkali, mengajarkan kita untuk menyuburkan ilusi yang mempesona: bagaimana lahir kembali berkali-kali, dan menggunakan kata untuk membangun dunia yang lebih baik, dunia khayalan yang memungkinkan kita meneken pakta perdamaian yang permanen dan utuh… dengan kehidupan.”

Tema kematian, mistis, kian intens menjelang maut menjemput Darwish. Mungkin karena sakit jantung yang kian menguras sehatnya. Barangkali pula karena peristiwa menjelang pertemuannya dengan Emile Habiby, penulis Yahudi, urung berlangsung lantaran maut lebih dulu menemui Habiby pada malam sebelumnya. Ia toh menghadapi kematian dengan lapang dada. Sebelum operasi jantung dilangsungkan, di Houston, ia meneken dokumen yang berisi permintaan: bila ia dinyatakan mengalami mati-otak, tak usah disadarkan.

Ia menghadapi kematian seperti ia menyikapi sarkasme. ”Sarkasme menolong saya mengatasi kekerasan realitas hidup kita, meringakan penderitaan karena birat, dan membuat orang tersenyum,” ujarnya. Sarkasme bukan hanya terkait dengan realitas saat ini, kata Darwish, tapi juga dengan sejarah. ”Sejarah menertawakan korban dan agresor.”

Di Memorial Hermann Hospital, di Houston, Texas, AS, 9 Agustus 2008, kematian mengalahkan Darwish. Penyair ini dimakamkan di Istana Budaya di Ramallah, di puncak bukit yang menghadap Jerusalem. “Mahmoud bukan hanya milik keluarga, tapi semua orang Palestina, dan harus dikubur di suatu tempat di mana orang Palestina dapat datang dan menziarahinya,” ujar Ahmed Darwish, saudara Mahmoud.

Waktu itu Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan tiga hari masa berkabung untuk menghormati Darwish dan pemakamannya dilakukan setara dengan pemakaman kenegaraan. Sejumlah anggota Knesset sayap-kiri menghadiri upacara resmi dan ribuan orang mengantarkan dengan berjalan kaki dari Mukataa ke Istana Budaya. Koran Israel, Ha’aretz, edisi 14 Agustus 2008 menurunkan laporan Mahmoud DarwishThe death of a Palestinian cultural symbol.

Simbol kultural itu pada akhirnya sampai pada tapal pemahaman: “Kupikir puisi dapat mengubah setiap hal, dapat mengubah sejarah dan dapat memanusiakan orang, dan kupikir ilusi sangat diperlukan untuk mendesak penyair agar terlibat dan memercayai, namun kini aku berpikir bahwa puisi hanya mengubah sang penyair.”

Sumber: Tempo Interaktif

Duka Itu Nyata dan Seolah Abadi

Gerundelan Hendi Jo

hamparan lumpur lapindo
foto oleh Tatan Agus RST

Di Porong, Sidoarjo duka itu nyata dan seolah abadi. Hampir setiap orang di sana, akan langsung berwajah muram dan berkaca-kaca matanya, saat menceritakan tentang masa lalu mereka. “Kami tak lagi memiliki sejarah hidup. Semuanya sudah terkubur bersama lumpur-lumpur itu, “ kata Maidi (49), salah seorang penduduk Renokenonggo, salah satu desa yang baru tiga bulan kebagian dihantam bah lumpur Lapindo.

Kesedihan Maidi memang tidak mengada-ada. Sebelum 2006, Renokenongo dikenal sebagai salah satu desa makmur di wilayah Kecamatan Porong. Itu wajar, karena rata-rata warga di sana selain berprofesi sebagai penambak udang juga mereka memilki sawah yang menghasilkan padi yang berkualitas bagus. “ Pokoke, orang sini dulu pada sibuk, makanya tak pernah sepi,” ujar Cahyati (39), istri Maidi.

Kini situasi berputar seratus delapan puluh derajat. Renokenongo nyaris seperti desa mati. Alih-alih manusia, pepohonan pun mengering seperti terbakar. Di sana, kehidupan seolah hanya diwakili oleh puluhan kucing kurus yang berkeliaran dan beberapa ekor ikan sepat yang menggelepar, teracuni asam sulfat lumpur Lapindo. Dan bau zat kimia itu juga, salah satunya penyebab Maidi dan Cahyati menyingkir ke barak pengungsi di Pasar Porong.

Tapi situasi di barak pengungsian pun tak lebih bagus. Di pasar yang luasnya sekitar 1500 meter persegi itu, 2581 orang hidup berdesakan tanpa kepastian dan pekerjaan. Untuk membunuh rasa jenuh, sebagian laki-laki di sana menjadi pemandu jalan para “wisatawan” yang ingin menyaksikan hamparan lumpur Lapindo dari dekat. Sementara sebagian lagi, kerjaannya mempreteli barang yang tersisa di bekas rumahnya seperti genting, kusen, daun pintu dan benda-benda lainnya yang bisa dijual, “ Lumayan sekedar untuk bertahan di barak,” ujar Maidi.

Berbeda dengan kaum laki-laki, para ibu di barak pengungsian mengisi hari-harinya dengan membuat puli atau karak. Itu sejenis kerupuk yang dibuat dari nasi aking. Untuk puli dijual ke pengepul Rp.3500- per kilogram sedang untuk karak Rp.1000- per kilogram. “Setiap hari kami coba saling menguatkan hati dan menumbuhkan harapan,” kata Karyono (50).

Menurutnya, keadaan itu berbeda dengan beberapa bulan lalu. Saat awal pertama pengungsian, mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat. Pekerjaan rutin yang dilakukan tak ada lain adalah menunggu aliran bantuan dari para dermawan dan Lapindo cepat mencairkan uang ganti rugi. “Karena kami ingin penderitaan ini cepat selesai dan kembali hidup normal, “ kata salah satu sesepuh pengungsi di Pasar Porong itu.

Kendati demikian sampai detik ini, pihak Lapindo belum juga bergerak cepat. Begitu pula pemerintah. Kedatangan Presiden Yudhoyono ke Porong, beberapa waktu yang lalu, ternyata tidak menjadikan bantuan menjadi lebih kongkrit. Alih-alih bantuan dan ganti rugi terwujudkan,malah para korban bencana lumpur Lapindo seolah “dibunuh” perlahan dengan janji-janji dan aturan kaku administrasi yang juga berbelit-belit.

Salah satunya, itu dialami oleh Afifuddin. Pegawai Badan Urusan Logistik (BULOG) Jawa Timur itu mengaku lelah dengan berbagai aturan kaku administratif pihak pemerintah daerah. “ Masa kesalahan menulis titel saja dipermasalahkan? Kan hal yang seperti ini sangat remeh temeh” kata lelaki yang rumahnya di kawasan Jatirejo amblas dihantam lumpur.

Waktu berjalan begitu terburu-buru. Tak terasa, Indonesia sudah berada di ambang usia 68 tahun. Pada lebih setengah abad lalu itu, Soekarno pernah berkata “ Tak ada kemiskinan dan penderitaan dalam Indonesia merdeka.” Tapi, di Porong, Sidoarjo sampai detik ini, duka itu nyata dan seolah abadi.

Dalam Bus Padat ke Pontianak

Gerundelan Martin Siregar

Oke…okelah. Lebih baik aku ke Pontianak hari jumat 26 oktober, supaya lebih santai dilibur Idul Adha. Inilah keputusanku hari senin waktu istirahat bersama kekasih hati, sebelum getah karet dikutip.”Iyalah…Berarti kita masih bisa noreh hari kamis”:Istriku senang merespon keputusanku”. Kita pakai saja duit dari penjualan buku untuk ke Pontianak. Tak usah usik dana untuk biaya kehidupan sehari hari. Hua…ha…ha…Kalau dana keluarga sangat terbatas, pastilah bisa dikelola dengan bijaksana. Tapi seandainya dana yang tersedia agak berlebih, maka ada saja keperluan yang (seolah) mendesak. Tiba tiba saja perlu beli sepatu, baju baru atau lauk pauk yang enak.

Hari kamis hujan lebat semalaman, sehingga kami tidak bisa noreh. Pagi ini setelah antar Jati ke sekolah, banyak ngobrol berdua di ruang tamu. kayak masa pacaran pada zaman dahulu kala. Istriku sangat intens membicarakan penanggulangan biaya Jati yang harus kuliah. Beberapa peluang ekonomi untuk ditabung selama 3 tahun (Selama Jati SMA), dipaparkannya dengan lancar. Mulai dari ternak ikan lele yang sudah gagal 2 tahun, sampai ke soal membukukan tulisan tulisanku bersama Pay Jarot. Aku sangat yakin bahwa gagasan gagasan istriku sudah lama terpendam dalam benaknya. Tapi, aku pura pura mengangguk angguk seakan gagasan cemerlang itu baru kuketahui. Yah, Mudah mudahan saja istriku makin semangat karena aku mengangguk angguk. Mudah mudahan dia tak tahu bahwa anggukan itu adalah sebuah sandiwara (berpura pura) kagum sama pikirannya.

Lebih baik pagi ini kita susun bajumu ke Pontianak. Kau pilih baju serta perlengkapan ke Pontianak, aku mau masak. Maka akupun sibuk memilih baju celana serta buku buku yang perlu di fotocopy untuk bahan baku Anggie Maharani memahami unkonvensinil, teologia pembebasan, wacana perubahan sosial dan lain lain. (Terpaksa) aku harus fasilitasi Anggie sebagai peresensi sekaligus sukarelawan sales bukuku di kabupaten Sanggau. Pulang dari Pontianak aku akan segera ke Sanggau menyerahkan bukuku tuk dijualnya sekaligus membahas tahapan membangun Kelompok Cinta Baca Nulis di Sanggau

“Baju begini kau ke Pontianak ???”. Istriku geram melihat aku. Kau bilang, kau mau launching, bedah buku, bahas gerombolan unkonvensinil, bicara soal menulis. Harus kau usahakanlah berpenampilan rapi bersih agak terhormat. OooaaLlaa… Kembali lagi kudengar cerewet istriku yang bisa mengalahkan gaduhnya suara radio rusak. Yah,…Aku hanya pasrah membiarkan persekongkolan anak istriku mengatur dan memilih baju celana yang akan kubawa. ”Sudah kubeli sikat gigi, sabun cair, odol dan tempat peralatan mandimu yang agak keren. Waduh!!! Kok secantik ini tas kecil mahal hanya untuk keperluan mandi. Sebenarnya aku mau protes tapi tak kuasa.

Jati bilang sebaiknya bapak naik taksi saja, supaya laptop bapak yang sudah rusak (kalau dibuka harus disanggah pakai tongkat supaya tak jatuh). Aku keberatan atas usul Jati. Disamping harga tiket taksi yang mahal, aku lebih suka naik bus. Puas melihat para penumpang turun naik dengan tingkah laku berbagai macam kelas sosial. Akan makin tajam mata hati nurani meihat realitas kalau naik bus. Begitulah sikapku yang terlalu romantis melihat kehidupan yang sadis dan kejam . Sekali ini Jati tak berni memaksakan pendapatnya.

Sial !! Rupanya hari ini adalah hari libur nasional. Idul Adha membuat buruh dari PT Erna Sanggau berbondong bondong padat memenuhi bus. Kesempatan libur pulang ke kampung halaman. Aku yang sudah sempat naik bus terpaksa berdiri padat bersama buruh perempuan yang cuti kerja. Dalam hati ada juga rasa senang karena aku bisa mengukur stamina tubuhku seberapa lama tahan berdiri. Dan, terbukti bahwa kondisiku cukup prima. Sampai Ngabang (sekitar 80 Km dari desaku) ada penumpang yang turun. Hus !!! Jangan kau yang duduk, bapak sudah tua ini yang harus duduk. Seorang buruh perempuan melarang kawannya duduk di tempat kosong. Pukimaknya cewek ini seenaknya saja tuduh aku:Bapak yang sudah tua, pasti dia tak tahu bahwa aku panggil jengkel mendengar sebutan tersebut. ”Terima kasih,…terima kasih. Aku obral senyum manis ke mereka, sambil duduk meninggalkan penumpang yang lain tetap berdiri sesak.

Sebelum negara republik Indonesia berdiri, leluhur mereka sudah mengelola tanah untuk kebutuhan hidup keluarga. Sampai republik Indonesia berumur 67 tahun, semakin seenaknya negara merampas tanah rakyat demi untuk kepentingan pejabat/pengusaha. Menginjak mampus masyarakat jadi sengsara demi untuk mendukung kestabilan “perekonomian negara”. Pemimpin pemerintahan memang berjiwa BANGSAT!!!. Mual perutku membayangkan kejahatan negara terhadap rakyatnya. Saudara saudaraku didalam bus adalah korban utama dari kebijakan negara. Aku juga korban kejahatan negara, tapi nasibku lebih baik dari mereka. Uh!!!

Gadis manis muda belia kelihatan agak dinamis tersenyum dan mendadak tanya aku:”Bapak ini pasti orang kaya pura pura miskin”. Terkejut aku mendengar pernyataannya. Pura pura pakai celana pendek bawa ransel usang, padahal bapak ini punya perkebunan yang luas. Iya..Kan Pak ?”. Betapa hangatnya pembawaan gadis manis ini. Tak mampu aku menjawab pertanyaannya. Mau kubantah, pasti dia pikir aku berbohong pura pura miskin. Mau kujawab jujur:”Aku mau ngurus penjualan bukuku yang keren”. Pasti akan bertubi tubi pertanyaannya tentang bukuku. Pasti aku akan lelah menjawabnya. Makanya aku hanya menjawab dengan senyum lembut pamerkan gigiku yang ompong. Dalam hati aku berdoa:”Kau doakan saja supaya solusi yang kucapai dengan Pay Jarot dapat berjalan mulus.  Sehingga ada keuntungan yang bisa ditabung untuk Jati bisa kuliah.

Pontianak, 26 Okt’ 2012

Sangat berharap kawan kawan segera membeli bukuku.

Resensi buku Martin Siregar dapat dibaca di BAH!