Arsip Tag: fatwa mui

Selamat Natal Menurut Al-Qur’an

Oleh Dr. M. Quraish Shihab

Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: “Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang katakan: “Aku bernazar tidak bicara.”haram-ucapkan-selamat-natal“Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan pezina”, demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya.Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali.”Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa a.s.

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa ‘Asyura, seraya bersabda, “Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s.”

Bukankah, Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda? Seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.

Isa a.s. datang mermbawa kasih, “Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu.” Muhammad saw. datang membawa rahmat, “Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu.” Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.

Isa menunjuk dirinya sebagai “anak manusia, sedangkan Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk berkata: “Aku manusia seperti kamu. Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, “Dia tidak mati, tetapi tidur.” Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: Matahari mengalami gerhana karena kematiannya. Muhammad saw. lalu menegur, “Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kehahiran seorang.” Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah dan tertindas dhuâfaâ dan al-mustadhâ’affin dalam istilah Al-Quran.

Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawaâ (Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu?

Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata yang melarangnya.

Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalah-pahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam.

Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad) Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. Sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat sang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “adaâ” bagi Tuhan, tetapi “wujud” Tuhan.

Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluan Natal.

Adakah kacamata lain? Mungkin!

Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat Al-Quran?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan. Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti.

Sumber: Membumikan Al-Quran

Catatan:
Artikel ini dicantumkan oleh Penulis Meributkan Natal sebagai jawaban atas tulisan Tanggapan atas Artikel ‘Meributkan Natal’ Achmad Munjid

Mungkin Anda tertarik juga membaca Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal atau Pendapat Mufti Besar Mesir soal Merayakan Natal

~diunggah oleh RetakanKata~

Tanggapan atas Artikel ‘Meributkan Natal’ Achmad Munjid

Penulis Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, wa shalaatu wa salaamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
haram-ucapkan-selamat-natalSudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah tidak kepada orang Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar (baca : cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias ‘boleh-boleh saja’). Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan atau dianjurkan.
Namun untuk mengetahui manakah yang benar, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur’an dan As Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini. Ajaran islam ini janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin orang-orang yang diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun sayang seribu sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini. Mereka berusaha mengutak-atik dalil atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka bukan karena ingin mencari kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, namun sekedar mengikuti hawa nafsu. Jika sesuai dengan pikiran mereka yang sudah terkotori dengan paham orientalis, barulah mereka ambil. Namun jika tidak bersesuaian dengan hawa nafsu mereka, mereka akan tolak mentah-mentah. Ya Allah, tunjukilah kami kepada kebenaran dari berbagai jalan yang diperselisihkan –dengan izin-Mu-
Semoga dengan berbagai fatwa dari ulama yang mumpuni ini, kita mendapat titik terang mengenai permasalahan ini.:: Fatwa Pertama ::

Mengucapkan Selamat Natal dan Merayakan Natal Bersama

Berikut adalah fatwa ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dari kumpulan risalah (tulisan) dan fatwa beliau (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin), 3/28-29, no. 404.
Beliau rahimahullah pernah ditanya,

“Apa hukum mengucapkan selamat natal (Merry Christmas) pada orang kafir (Nashrani) dan bagaimana membalas ucapan mereka? Bolehkah kami menghadiri acara perayaan mereka (perayaan Natal)? Apakah seseorang berdosa jika dia melakukan hal-hal yang dimaksudkan tadi, tanpa maksud apa-apa? Orang tersebut melakukannya karena ingin bersikap ramah, karena malu, karena kondisi tertekan, atau karena berbagai alasan lainnya. Bolehkah kita tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam perayaan ini?”

Beliau rahimahullah menjawab :

Memberi ucapan Selamat Natal atau mengucapkan selamat dalam hari raya mereka (dalam agama) yang lainnya pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca : ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya ‘Ahkamu Ahlidz Dzimmah’. Beliau rahimahullah mengatakan,

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” –Demikian perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah-
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita tangkap bahwa mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan seperti ini berarti seseorang itu setuju dan ridho dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat. Meskipun mungkin seseorang tidak ridho dengan kekufuran itu sendiri, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridho terhadap syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran lainnya karena Allah Ta’ala sendiri tidaklah meridhoi hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar [39] : 7)

Allah Ta’ala juga berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5] : 3)

Apakah Perlu Membalas Ucapan Selamat Natal?

Memberi ucapan selamat semacam ini pada mereka adalah sesuatu yang diharamkan, baik mereka adalah rekan bisnis ataukah tidak. Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka pada kita, maka tidak perlu kita jawab karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala. Hari raya tersebut boleh jadi hari raya yang dibuat-buat oleh mereka (baca : bid’ah). Atau mungkin juga hari raya tersebut disyariatkan, namun setelah Islam datang, ajaran mereka dihapus dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran Islam ini adalah ajaran untuk seluruh makhluk.

Mengenai agama Islam yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron [3] : 85)

Bagaimana Jika Menghadiri Perayaan Natal?

Adapun seorang muslim memenuhi undangan perayaan hari raya mereka, maka ini diharamkan. Karena perbuatan semacam ini tentu saja lebih parah daripada cuma sekedar memberi ucapan selamat terhadap hari raya mereka. Menghadiri perayaan mereka juga bisa jadi menunjukkan bahwa kita ikut berserikat dalam mengadakan perayaan tersebut.

Bagaimana Hukum Menyerupai Orang Nashrani dalam Merayakan Natal?

Begitu pula diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan (yang disimbolkan dengan ‘santa clause’ yang berseragam merah-putih, lalu membagi-bagikan hadiah, pen) atau sengaja meliburkan kerja (karena bertepatan dengan hari natal). Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim mengatakan,
“Menyerupai orang kafir dalam sebagian hari raya mereka bisa menyebabkan hati mereka merasa senang atas kebatilan yang mereka lakukan. Bisa jadi hal itu akan mendatangkan keuntungan pada mereka karena ini berarti memberi kesempatan pada mereka untuk menghinakan kaum muslimin.” -Demikian perkataan Syaikhul Islam-
Barangsiapa yang melakukan sebagian dari hal ini maka dia berdosa, baik dia melakukannya karena alasan ingin ramah dengan mereka, atau supaya ingin mengikat persahabatan, atau karena malu atau sebab lainnya. Perbuatan seperti ini termasuk cari muka (menjilat), namun agama Allah yang jadi korban. Ini juga akan menyebabkan hati orang kafir semakin kuat dan mereka akan semakin bangga dengan agama mereka.
Allah-lah tempat kita meminta. Semoga Allah memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka. Semoga Allah memberikan keistiqomahan pada kita dalam agama ini. Semoga Allah menolong kaum muslimin atas musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Mulia.

:: Fatwa Kedua ::

Berkunjung Ke Tempat Orang Nashrani untuk Mengucapkan Selamat Natal pada Mereka

Masih dari fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah dari Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/29-30, no. 405.
Syaikh rahimahullah ditanya: Apakah diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta), lalu kita mengucapkan selamat hari raya dengan tujuan untuk menjaga hubungan atau melakukan kunjungan?

Beliau rahimahullah menjawab :
Tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat (salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167)

Adapun dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi yang sedang sakit ketika itu, ini dilakukan karena dulu ketika kecil, Yahudi tersebut pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala Yahudi tersebut sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dengan maksud untuk menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk Islam.

Bagaimana mungkin perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang Yahudi untuk mengajaknya masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang ke non muslim untuk menyampaikan selamat hari raya untuk menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita kiaskan seperti ini kecuali hal ini dilakukan oleh orang yang jahil dan pengikut hawa nafsu.

:: Fatwa Ketiga ::

Merayakan Natal Bersama

Fatwa berikut adalah fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.

Pertanyaan : Apakah seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang yang dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar’i yang membolehkan hal ini?

Jawab :

Tidak boleh bagi kita bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah [5] : 2)

Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.

Ketua Al Lajnah Ad Da’imah : Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Saatnya Menarik Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan :

Pertama, Kita –kaum muslimin- diharamkan menghadiri perayaan orang kafir termasuk di dalamnya adalah perayaan Natal. Bahkan mengenai hal ini telah dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1981.

Kedua, Kaum muslimin juga diharamkan mengucapkan ‘selamat natal’ kepada orang Nashrani dan ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Jadi, cukup ijma’ kaum muslimin ini sebagai dalil terlarangnya hal ini. Yang menyelisihi ijma’ ini akan mendapat ancaman yang keras sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’ [4] : 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Oleh karena itu, yang mengatakan bahwa Al Qur’an dan Hadits tidak melarang mengucapkan selamat hari raya pada orang kafir, maka ini pendapat yang keliru. Karena ijma’ kaum muslimin menunjukkan terlarangnya hal ini. Dan ijma’ adalah sumber hukum Islam, sama dengan Al Qur’an dan Al Hadits. Ijma’ juga wajib diikuti sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa ayat 115 di atas karena adanya ancaman kesesatan jika menyelisihinya.

Ketiga, jika diberi ucapan selamat natal, tidak perlu kita jawab (balas) karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala.

Keempat, tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir untuk mengucapkan selamat hari raya.

Kelima, membantu orang Nashrani dalam merayakan Natal juga tidak diperbolehkan karena ini termasuk tolong menolong dalam berbuat dosa.

Keenam, diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan dalam rangka mengikuti orang kafir pada hari tersebut.

Demikianlah beberapa fatwa ulama mengenai hal ini. Semoga kaum muslimin diberi taufiko oleh Allah untuk menghindari hal-hal yang terlarang ini. Semoga Allah selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan. Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shohbihi wa sallam.

Diselesaikan pada siang hari, di rumah mertua tercinta, Panggang-Gunung Kidul, 18 Dzulhijah 1429 H

Baca artikel terkait:

Meributkan NatalFatwa Natal, Ujung dan Pangkal

Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal

Gerundelan KH. Abdurrahman WahidKASUS “Fatwa Natal” dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghebohkan juga. Lembaga itu didesak agar “mencabut peredaran” fatwa yang melarang kaum muslimin untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain.

haram-ucapkan-selamat-natalIni sungguh merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI. Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah.

Padahal, masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI menggunakan terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para ulama umumnya? Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI mengeluarkan fatwa seperti itu, karena memang masih demikianlah pengertian para ulama sendiri? Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang harus dipergunakan oleh MUI?

Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia menyangkut penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip keagamaan yang sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir keagamaan kaum muslimin.

Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghubung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa memerlukan kontak ke luar), sudah tentu sangat gegabah untuk diharapkan dapat berfungsi demikian. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang memberikan keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah kepada kaum muslimin.

Tidak lebih dari itu. Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai “tidak bersifat operatif dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan Majelis-majelis­ Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu merumuskan sendiri pedoman pengambilan keputusan atas nama umat Islam, mengapakah bukan tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan “perwakilan” di dalamnya?

Main Mutlak-mutlakan­ Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status keputusan yang dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan kepada siapakah ia selalu harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur dicaci maki pihak yang terkena).

Bagaimana halnya dengan ujung persoalan “Fatwa Natal”? Apakah lalu akan keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa sama sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu Hindu, haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya tertulis kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahm­anirrahim. Alangkah pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!

Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari seperangkat postulat yang main mutlak-mutlakan­ dalam pemikiran keagamaan kita.

Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif seperti itu. Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah mencuri-curi perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai di tempat perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.

Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas tentang wilayah “kajian” (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah­ dasar yang dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut pandangan agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut pandangan agama, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan kemiskinan (haram, halal, mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga di bawah? Bagaimana pula kaum muslimin seyogianya bersikap terhadap ketidakadilan, terhadap kebodohan?

Jawabannya tentulah harus terperinci dan konkret, jangan cuma sitiran satu dua hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang kubur saja. Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus “Fatwa Natal”, yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri?

Kolom TEMPO, 30 Mei 1981

Sumber: catatan Akhmad Sahal

Artikel terkait: Meributkan Natal

~diunggah oleh RetakanKata~

Meributkan Natal

Gerundelan Achmad Munjidharam-ucapkan-selamat-natal
Menjelang awal atau akhir bulan puasa, sebagian orang Islam di Indonesia suka ribut. Begitu terjadi perbedaan hasil perhitungan antara metode ru’yah (observasi empiris langsung) versus hilal (kalkulasi kalender), mereka segera gaduh memperselisihkan tanggal mana yang paling sah untuk menentukan khususnya Idul Fitri. Dengan berbagai alasan, ini bisa dimaklumi. Bagaimanapun Idul Fitri adalah suatu hari raya penting Islam yang terkait dengan ibadah wajib, yakni puasa Ramadhan.Tapi orang-orang Islam Indonesia ini belakangan juga suka meributkan hari raya ummat lain. Setiap sekitar Natal seperti sekarang, kita suka cekcok.  Jelas soalnya bukan tanggal. Dengan sengit, sebagian Muslim mengharamkan kita untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada teman atau tentanga yang Kristen. Muslim yang mengucapkannya dituduh membahayakan aqidah Islam, kalau bukan telah mengorbankannya. Jadi ini bukan perkara sepele, apalagi main-main.Menarik untuk dicatat, banyak pendukung pengharaman “Selamat Natal” yang sering merujuk pada Fatwa MUI 1981 dan pendapat Buya HAMKA soal ini sebagai pijakan. Anehnya, ketika diselidik, MUI sendiri ternyata tidak pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ucapan Selamat Natal. Buya HAMKA bahkan terang-terangan membolehkannya.

Sebagai bagian dari topik lebih luas, isu ini sebetulnya sudah berkali-kali dibahas dalam sejumlah riset yang lebih mendalam, antara lain seperti telah dilakukan oleh Atho’ Mudzhar (1996), Karel Steenbrink (2000) dan Mujiburrahman (2006). Tulisan kecil ini dibuat sebagai penegasan ulang saja, sekaligus klarifikasi. Mudah-mudahan ia bisa turut menjernihkan kembali “pesan berantai” yang entah dengan maksud apa isinya telah jauh terpelintir ketika sampai ke telinga kita.

* * * * *

Ketika menyampaikan program rutin “kuliyah shubuh” yang disiarkan RRI pada tahun 1974, Buya HAMKA mendapat pertanyaan dari seorang pendengar. “Apa sikap yang pantas kita tunjukkan sebagai Muslim ketika diundang untuk menghadiri acara Natal dari teman atau tetangga yang beragama Kristen?,” begitu kira-kira pertanyaannya. Karena keterbatasan waktu, HAMKA kemudian memberikan jawaban tertulis berjudul “Toleransi Bukan Pengorbanan ‘Aqidah” yang dimuat majalah Panji Masyarakat No. 142 tahun 1974.

Sembari menjelaskan perbedaan fundamental soal kedudukan Yesus—sebagai inkarnasi Tuhan dalam agama Kristen dan Isa a.s. sebagai seorang Nabi dan manusia biasa dalam Islam—secara eksplisit HAMKA menyatakan bahwa mengucapkan Selamat Natal sebagai ungkapan toleransi beragama adalah boleh-boleh saja. Tetapi orang Islam tidak dibenarkan berpartisipasi dalam ritual perayaan Natal. Ilustrasinya, orang-orang Kristen juga sudah biasa menyampaikan ucapan Selamat Idul Fitri kepada kita, tapi mereka tentu tidak akan ikut sembahyang di masjid atau di lapangan terbuka yang kita selenggarakan. Ditambahkannya pula, jangankan berpartisipasi dalam perayaan ibadah Natal, sebagian ulama seperti Ibn Taimiyyah atau kelompok Persis di Indonesia bahkan juga melarang orang Islam merayakan Maulid yang merupakan hari lahir Nabi kita sendiri. Ini semua dilakukan demi menjaga aqidah.

Penjelasan HAMKA itu tidak menimbulkan kontroversi apa pun. Dan memang tidak ada yang kontroversial.

Sekitar lima tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk tahun 1975 oleh Orde Baru sebagai jembatan antara ummat Islam dengan Pemerintah, mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Maret 1981 mengenai isu serupa. Ketua MUI-nya adalah HAMKA yang hanya bersedia diangkat oleh Suharto dengan satu syarat: “tidak akan menerima gaji dari Pemerintah” (demi memelihara independensi lembaganya).

Sebetulnya isi fatwa tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah disampaikan HAMKA sebelumnya. Tapi kali ini dalilnya lebih lengkap dan argumennya lebih tegas. Fatwa ini sendiri dikeluarkan atas permintaan kantor kementerian agama untuk evaluasi internal sekaligus buat menanggapi keresahan sebagian Muslim akibat kian maraknya perayaan Natal bersama di kantor-kantor dan sekolah-sekolah.

Kita tahu, tahun-tahun 1980-an adalah masa ketika rejim militer Suharto sedang kuat-kuatnya mencengkeramkan kekuasaan sekaligus lebih mesra dengan kelompok Kristen dan abangan. Ummat Islam dipaksa menerima kenyataan sebagai kelompok “mayoritas angka” yang tak punya peluang dan peran strategis signifikan. Dengan sokongan sekaligus kendali rejim itu, kelompok minoritas Kristen dan keturunan Cina bisa memainkan kekuasaan tertentu, yang membuat Muslim kian merasa kecewa dan tersingkir. Terkait Natal bersama yang menjadi konteks fatwa MUI tadi, Panji Masyarakat melaporkan maraknya pengharusan oleh sekolah Kristen tertentu terhadap siswa Muslim untuk terlibat dalam perayaan Natal, entah sebagai penyanyi koor atau pemeran tokoh dalam drama Natal dll.

Ancaman akidah yang disebut dalam fatwa tadi, karenanya, bisa dibaca sebagai retorika tawar-menawar ummat Islam di depan pemerintah dan kelompok minoritas Kristen yang posisinya jauh lebih baik secara ekonomi dan politik.

Tapi fatwa ini tidak pernah sekalipun menyebut soal haramnya mengucapkan “Selamat Natal” oleh orang Islam. Yang diharamkan adalah partisipasi orang Islam pada acara Natal dalam konteks di atas. Teks fatwa itu kemudian dikirim ke kantor-kantor wilayah MUI daerah dan dimuat dalam Buletin Majelis Ulama Nomor 3 April 1981. Meski buletin itu cuma dicetak 300 eksemplar, tak pelak, fatwa ini segera beredar cukup luas, terutama setelah diliput media. Dari sinilah kontroversi berawal.

Alamsjah Ratuprawinegara sebagai Menteri Agama yang sedang gencar mempromosikan “Tri Kerukunan” (kerukunan intern ummat beragama, kerukunan antar ummat beragama, kerukunan antara ummat beragama dengan Pemerintah), merasa terpojok dan jengkel. Pertama, ia tidak mengharapkan fatwa untuk kepentingan terbatas itu tersebar luas. Kedua, program “Tri Kerukunan” yang tengah dipromosikannya terancam gagal. Dalam suatu pertemuan antara pihak MUI dengan Menag, sebagai reaksi keras terhadap fatwa itu, Alamsjah sempat menyatakan akan mundur. Akibatnya, MUI segera menerbitkan surat keputusan yang ditandatangani HAMKA dan sektrarisnya. Seperti dimuat harian Pelita, SK itu menyatakan bahwa fatwa kontroversial itu dicabut peredarannya—meski dalam kesempatan lain HAMKA tetap menyatakan validitas isi fatwa itu sendiri. Akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan fatwa itu, HAMKA menyatakan bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab untuk mundur, bukan Menag.

HAMKA akhirnya benar-benar mundur sebagai ketua MUI pada tanggal 19 Mei 1981. Dalam sejarah MUI sampai sekarang, hanya beliaulah satu-satunya ketua MUI yang mengundurkan diri, tak pernah menerima gaji, sekaligus yang pernah mengeluarkan fatwa berseberangan dengan posisi pemerintah.

Tempo memuat berita ini dalam edisi Buya, Fatwa dan Kerukunan Beragama tanggal 30 Mei 1981. Gus Dur menulis kolom dalam edisi itu, berjudul “Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal” yang, bisa kita duga, isinya mengkritik keras fatwa tadi.

Tapi, sekali lagi, baik HAMKA maupun MUI tak pernah menyebut haramnya ucapan Selamat Natal. Majalah Panji Masyarakat yang diasuh HAMKA pada nomor 325 edisi Juni 1981 bahkan memuat tulisan Samudi Abdullah yang menyarankan agar orang Islam yang mendapat undangan acara Natal untuk “datang, duduk dengan tenang dan menyantap makanan ketika dihidangkan.” Sebab yang diharamkan adalah partisipasi dalam ritual dan bukan kehadiran dalam acara Natal.

Lalu dari mana datangnya klaim haramnya ucapan “Selamat Natal”? Entah.

Meminjam istilah Mujiburrahman, feeling threatened boleh jadi adalah salah satu penjelasannya. Perasaan terancam, baik di kalangan Muslim maupun Kristen, juga ummat beragama lain, memang telah lama merupakan atmosfir yang terus menyelimuti hubungan antar ummat beragama di Indonesia.

Meski sejak 1990-an dengan berdirinya ICMI situasi Islam sudah terbalik, ternyata psikologi itu terus dipelihara di kalangan Muslim. Dalam bayang-bayang rasa terancam, ketika jadi pecundang, orang Islam selalu takut tidak kebagian. Ketika jadi pemenang seperti sekarang, kita takut kehilangan. Itulah kenapa bahkan hanya mengucapkan “Selamat Natal” sebagai ungkapan tata-krama pergaulan sosial pun sebagian Muslim tidak bisa, karena takut ‘kehilangan’. Kalau dulu  ‘perlindungan akidah’ dipakai sebagai retorika untuk menaikkan daya tawar, sekarang retorika yang sama digunakan untuk mempertahankan privilege sebagai kelompok mayoritas yang sesungguhnya.

Tapi perasaan terancam yang terus dipelihara, apalagi digunakan sebagai alat permainan politik demikian, tentu sangat berbahaya. Serangkaian praktek diskriminasi, bahkan persekusi yang kian memburuk dan terus memakan banyak korban belakangan ini, entah kaum Ahmadi di Cikeusik, Syiah di Sampang, Gereja Yasmin di Bogor dll, adalah konsekuensi dibiarkannya manipulasi atas perasaan terancam di kalangan mayoritas Muslim.

Pemelintiran haramnya partisipasi Muslim dalam aspek ritual Natal seperti pernah dikemukakan oleh Buya HAMKA tahun 1974 dan fatwa MUI tahun 1981 menjadi haram mengucapkan “Selamat Natal” adalah cerminan kian menggumpalnya perasaan terancam sebagian orang Islam sekaligus kehendak intoleran sebagai golongan mayoritas yang harus dicegah. Mayoritas atau bukan, tidak ada seorang pun yang boleh sembarangan memanipulasi kenyataan demi kepentingan sempit kelompoknya.

Jika tidak, keadaan bisa terus memburuk dan menggiring bangsa ini menuju liang kubur bersama.

Mungkin Anda tertarik juga untuk membaca:

Selamat Natal Menurut Al Quran

Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal

Tanggapan ‘Meributkan Natal’

Muslim Controversy ove ‘Merry Christmas’ Greeting

~diunggah oleh RetakanKata~