Gerundelan Hendi Jo

Di Porong, Sidoarjo duka itu nyata dan seolah abadi. Hampir setiap orang di sana, akan langsung berwajah muram dan berkaca-kaca matanya, saat menceritakan tentang masa lalu mereka. “Kami tak lagi memiliki sejarah hidup. Semuanya sudah terkubur bersama lumpur-lumpur itu, “ kata Maidi (49), salah seorang penduduk Renokenonggo, salah satu desa yang baru tiga bulan kebagian dihantam bah lumpur Lapindo.
Kini situasi berputar seratus delapan puluh derajat. Renokenongo nyaris seperti desa mati. Alih-alih manusia, pepohonan pun mengering seperti terbakar. Di sana, kehidupan seolah hanya diwakili oleh puluhan kucing kurus yang berkeliaran dan beberapa ekor ikan sepat yang menggelepar, teracuni asam sulfat lumpur Lapindo. Dan bau zat kimia itu juga, salah satunya penyebab Maidi dan Cahyati menyingkir ke barak pengungsi di Pasar Porong.
Tapi situasi di barak pengungsian pun tak lebih bagus. Di pasar yang luasnya sekitar 1500 meter persegi itu, 2581 orang hidup berdesakan tanpa kepastian dan pekerjaan. Untuk membunuh rasa jenuh, sebagian laki-laki di sana menjadi pemandu jalan para “wisatawan” yang ingin menyaksikan hamparan lumpur Lapindo dari dekat. Sementara sebagian lagi, kerjaannya mempreteli barang yang tersisa di bekas rumahnya seperti genting, kusen, daun pintu dan benda-benda lainnya yang bisa dijual, “ Lumayan sekedar untuk bertahan di barak,” ujar Maidi.
Berbeda dengan kaum laki-laki, para ibu di barak pengungsian mengisi hari-harinya dengan membuat puli atau karak. Itu sejenis kerupuk yang dibuat dari nasi aking. Untuk puli dijual ke pengepul Rp.3500- per kilogram sedang untuk karak Rp.1000- per kilogram. “Setiap hari kami coba saling menguatkan hati dan menumbuhkan harapan,” kata Karyono (50).
Menurutnya, keadaan itu berbeda dengan beberapa bulan lalu. Saat awal pertama pengungsian, mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat. Pekerjaan rutin yang dilakukan tak ada lain adalah menunggu aliran bantuan dari para dermawan dan Lapindo cepat mencairkan uang ganti rugi. “Karena kami ingin penderitaan ini cepat selesai dan kembali hidup normal, “ kata salah satu sesepuh pengungsi di Pasar Porong itu.
Kendati demikian sampai detik ini, pihak Lapindo belum juga bergerak cepat. Begitu pula pemerintah. Kedatangan Presiden Yudhoyono ke Porong, beberapa waktu yang lalu, ternyata tidak menjadikan bantuan menjadi lebih kongkrit. Alih-alih bantuan dan ganti rugi terwujudkan,malah para korban bencana lumpur Lapindo seolah “dibunuh” perlahan dengan janji-janji dan aturan kaku administrasi yang juga berbelit-belit.
Salah satunya, itu dialami oleh Afifuddin. Pegawai Badan Urusan Logistik (BULOG) Jawa Timur itu mengaku lelah dengan berbagai aturan kaku administratif pihak pemerintah daerah. “ Masa kesalahan menulis titel saja dipermasalahkan? Kan hal yang seperti ini sangat remeh temeh” kata lelaki yang rumahnya di kawasan Jatirejo amblas dihantam lumpur.
Waktu berjalan begitu terburu-buru. Tak terasa, Indonesia sudah berada di ambang usia 68 tahun. Pada lebih setengah abad lalu itu, Soekarno pernah berkata “ Tak ada kemiskinan dan penderitaan dalam Indonesia merdeka.” Tapi, di Porong, Sidoarjo sampai detik ini, duka itu nyata dan seolah abadi.