Flash Fiction Ragil Koentjorodjati

Baik, aku membagi mereka menjadi penduduk kanan dan kiri sungai. Jelas sungai mengalir dari atas bukit menuju entah laut jawa atau samudera hindia, ini tidak terlalu penting. Yang penting dan jadi pokok persoalan adalah tanah penduduk kanan sungai lebih tinggi dari sungai, sementara tanah penduduk kiri sungai lebih rendah dari sungai. Tentu saja air lebih mudah mengalir ke pesawahan di kiri sungai. Soal ini cukup merepotkan sebab penduduk kanan sungai pernah datang ke rumahku meminta kebijakan yang lebih baik soal pengairan sawah mereka. Andai engkau jadi pamong desa, apa yang akan kauperbuat? Bukankah sulit menjelaskan pada mereka bahwa tidak ada yang berhak membelokkan aliran sungai?
Sungai itu adalah urat nadi tidak hanya desa kami, tetapi juga desa di muara. Membelokkannya sama dengan menabuh genderang perang. Desa yang cukup primitif. Orang kota berpikir bahwa semua masalah dapat diselesaikan dengan uang. Dengan uang mereka menyarankan membangun bendungan, memasang pompa air, membuat sumur untuk pengairan sawah sisi kanan sungai dan juga membantu menyuburkan benih iri pada pemilik sawah sisi kiri sungai.
Selama ini uang tidak menyelesaikan masalah. Selain kami tidak punya, bantuan uang itu juga hanya wacana orang kota. Kami menjadi lebih sering berdoa dan bersesaji pada Yang Widi, pada leluhur dan pada kali. Yang kiri bersyukur atas panen tiga kali dan yang kanan memohon keadilan atas panen dua kali. Tuhan begitu tega membuat ketidakadilan di desa kami. Doa kami terkabul. Musim hujan datang tidak pada waktunya. Air sungai meluap dan menenggelamkan sawah dan para penuai padi di sisi kiri sungai. Keadilan telah bicara dan kami lebih giat memanjatkan doa.
Akhir Oktober 2011