Ketika Penyair Bertapa

Resensi Arif Saifudin Yudistira

kumpulan-puisi-joko-pinurboSepertinya sulit memisahkan Joko Pinurbo dengan puisi. Puisi itu Jokpin, dan Jokpin itu puisi. Jokpin sebagaimana dikatakan oleh Afrizal, ia lebih mendekatkan puisi dengan waktu. Waktu, momen dan peristiwa jadi bahan yang diendapkan untuk menjadi puisi. Bisa jadi ini mudah secara sepintas, tapi lihatlah bagaimana dia menuliskan dalam buku ini. “Segalanya menjadi mudah dengan mudah-mudahan” (2012), kalimat singkat itu seperti sederhana, tapi tak sesederhana untuk bisa kita ciptakan. Kemampuan Joko Pinurbo merawat kata dan mengeluarkan kembali dalam rupa kata yang lain, tampak menjadi kekuatan dalam puisinya.

Meski demikian, puisi Jokpin yang erat dengan humor, sinisme dan satire, bisa jadi menipu pembaca yang kurang jeli. Jokpin sendiri pernah berkisah bagaimana seorang almarhum Linus Suryadi mengira Ayah Jokpin sudah mati. Hal itu dikarenakan Linus mendengarkan Jokpin membaca puisinya yang berjudul Warisan Ayah. Mendengar pertanyaan Linus, Jokpin terkejut, Ayah saya baik-baik saja, katanya.

Puisi memang dekat pada waktu, momen dan peristiwa, tapi tak tentu peristiwa yang dialami oleh penyair. Di sini puisi bergerak dari ruang internal ke eksternal sesuka hati, tergantung pada bagaimana penyair mengolahnya. Mengutip yang dikatakan oleh Goenawan Mohammad, logika puitik tidak merepresentasikan keberadaan dalam kata-kata, melainkan membawa keberadaan kepada kehadiran dalam bentuk kata-kata. Oleh karena itulah Jokpin menuliskan selamat datang kepada pembaca puisi dengan mengucapkan salam sayangnya: “selamat menunaikan ibadah puisi”. Dari sebab itu, sebenarnya logika puitik tidak hanya bermain dalam kata-kata semata, tapi ia menangkap yang sejati dari peristiwa, momentum dan waktu. Maka tak salah filsuf Heidegger pun mengatakan bahwa wacana berfikir yang asli adalah puisi.

Di buku kumpulan puisi terbarunya ini, Jokpin ingin menunjukkan identitas puisinya yang lain dari sebelumnya. Sebagaimana dikatakan Jokpin (Tempo,7-13 januari 2013) “saya tidak ingin puisi saya dicap erat dengan celana terus, saya ingin meninggalkan celana. Ketika penyair tak bisa lepas dari cap yang menempel itu, maka penyair mati kreatifitasnya. Saya tidak ingin mati”. Maka tidak salah bila Jokpin menganggap puisi yang kuat adalah puisi yang mengembangkan visi baru dalam puisi. Puisi yang membuat kita mendefenisikan ulang apa itu puisi.

Buku Puisi Puitwit Haduh Aku di Follow  ini merupakan wujud visi baru dalam puisinya. Ia seperti ingin menampilkan puisi yang keluar jauh dari celananya, tetapi tidak terlalu jauh juga. Lihat misalnya puisi berikut : Waduh, celanamu tertinggal di dalam sajakku/Sajakku terkunci dan aku tak tahu dimana kuncinya. Celana yang biasa dipakai Jokpin menjadi idiom yang penting dalam puisinya di masa lalu seolah tertinggal dan mau dikunci agar pembaca tak lagi mengkaitkan ataupun membawa Jokpin dengan celananya yang dulu. Ia ingin memakai celana baru. Celana baru itulah puisinya yang sekarang. Simaklah cita-cita Jokpin yang mendefinisikan ulang apa itu puisi yang ada dalam bukunya ini. “Semua ingin menjadi penyair, iya kan? Aku sih ingin jadi puisi yang dilipat dan diselipkan di sela-sela rusukmu”(2012).

Ada warna baru yang ingin disuarakan melalui puisi twitter ini. Pada tanggal 22 Agustus 2012 Jokpin menulis: “Apa yang saya tulis mungkin bukan puisi, melainkan kekasih puisi”. Ada semacam kesadaran, barangkali orang boleh mengatakan atau menganggap twitter ini memang bukan puisi, melainkan lebih dalam yakni ruang untuk mengendap, menepi dan menghidupkan imajinasi sebagaimana yang ditulis Jokpin di sampul akhir buku puisinya.

Di usianya yang sudah melebihi setengah abad, Jokpin masih saja memainkan usia ke dalam sajaknya. Kata-kata humoris, menggemaskan dan hadir seperti kejutan, kejutan itulah yang ingin disampaikan dalam puisi twitter ini. Sejak aku dipanggil Om dan kemudian Pak, kepalaku mulai beruban(hal.74). Jokpin memang sudah beruban, tapi ia tak mau kalah dengan ubannya, seolah ia mau melawan uban yang ada di kepalanya dengan humor dan kejutan dalam puisinya. Ada kerja yang tak mau kalah dengan usia, puisi seolah ingin mencegah tua. Simak puisinya berikut ini: Entah kenapa saya selalu gagal menjadi tua. Saya ingin pikun dan pelupa agar lebih merdeka. Tapi puisi mencegah saya (hal.100)

Meski sudah mendapatkan penghargaan bersama Tahi lalat (2012) sebagai Karya Sastra Terbaik 2012 pilihan Tempo, mendapatkan KLA dengan puisi Kekasihku (2004), dan penghargaan sebelumnya Sih Award untuk sajaknya Celana 1, Celana 2, Celana 3, Jokpin tak ingin besar diri tapi tetap rendah hati. Ia ingin terus mencipta dan terus menerus berpuisi, atau bahkan ia ingin menjadi puisi yang tak dikenali siapa penulisnya. Ia menuliskan dengan kalimat sederhana dalam buku ini: “Selamanya saya penyair amatir. Gaji saya bahkan tak cukup untuk membiayai kesibukan melamun saya“(hal.61).

Di puisi-puisi pendek, singkat dan sederhana inilah, Jokpin bertapa brata. Joko pinurbo tak ingin dicap sebagai penyair yang produktif atau penyair yang tiap tahun bisa menerbitkan berbagai kumpulan buku puisi. Joko pinurbo dalam setahun bisa jadi hanya menghasilkan 11 puisi saja. Tapi kesebelas puisi itulah yang hadir bersama tubuh dan dirinya. Di sela-sela kesibukannya, Joko Pinurbo melakukan pertapaannya. Ia menggunakan waktu untuk mengendap, menepi, untuk menghidupkan imajinasi. Imajinasi-imajinasi itulah yang bisa kita nikmati dalam puisi pendeknya dalam buku ini. Kita akan menemukan kejutan, renungan dan hikmah melalui imajinasi dalam puisi ini. Akhirnya saya ucapkan pula “Selamat menunaikan ibadah puisi“ sebelum membaca buku ini.

kumpulan-puisi-joko-pinurboJudul: Haduh, Aku di Follow
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta
Cetak: 2013
Tebal: vi +122 halaman
ISBN: 978-979-91-0529-5

*)Penulis adalah pegiat di bilik literasi Solo, Buku puisinya “Hujan di Tepian Tubuh – (2012)”

Beri Tanggapan