Arsip Tag: john kuan

Sehalaman Kitab Flora Buatmu

Puisi John Kuan

Verbena

verbena
gambar diunduh dari bbc.co.uk

Mencari ke sudut kau siram bunga, satu kerabat
verbanaceae, kusebut sakura jelita, dari setumpuk sajak
dia nyeletuk, ekor suaranya putih, sedikit merah plum,
seolah mengatur sudut bibir, mulut gigit setetes honey
Kata orang itu warna musim semi, kau bilang rekah, aku
bilang celah. Lalu angin bertengkar dengan harumnya,
perabot ringkuk di sisi musik, puisi sembunyi ke dalam waktu

Bambu

bamboo
gambar diunduh dari treehousede.blogspot.com

Musim gugur telah masuk ke alam mimpi ikan salmon
aku perlahan mengikuti mimik dan logat suaramu
coba bayangkan sehamparan air laut musim panas
hijau, hangat, lembut dan sabar menahan samudera waktu.
Ketika angin naik, kau gemulai mengepak satu tarian
ombak, putih menggulung ke atas pantai awan senja:
sebiji bintang di luar pagar bambu bagai mutiara ungu

Birch

betula
gambar diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Birch

Tadi malam embun kristal menyerang, daun melayang
jatuh di sudut basah anak tangga, perlahan menutup sepetak
kebun sayur pagi sore kubersihkan, dan jejak bakicot berkilau
di atas setapak batu. Pohon ini dingin berdiri bagai aliran sastra
kedaluwarsa, bayang berdesir masuk ke dalam pekarangan,
aku membacanya di dalam sajak Inggris dan puisi Song
juga cerita Jepang, sedih, nyata, sehalaman sejarah sastra

Malus Asiatika

malus asiatika
gambar diunduh dari http://zh.wikipedia.org/wiki/File:Malus_asiatica_1.jpg

Satu pokok tua di halaman belakang, berjuntai buah kuning
matahari, kabarkan musim gugur telah dalam, telah amat dalam
Seringkali, kau duduk di depan jendela tulis surat panjang, terdengar
suara buah jatuh bagai sebuah titik. Petang musim gugur penuh
dengan suara limkim matang di sudut bibirmu, buka pintu lihat
dan hitung, ada berapa apel di atas tanah, pasti ada berapa titik
di atas kertas surat. Juga, dedaunan gugur adalah tanda koma.

Azalea

bunga azalea
gambar diunduh dari www. flowerinfo.org

Setiap kali melihat dia, bersandar di mulut jendela kamar bacaku
Sering diam, bawa sedikit semu malu, dia datang dari tanah jauh,
Negeri Dali di puncak awan, sungai mengalir jauh, setiap bunga
ceritakan sebuah kisah jaya dan runtuh. Dia bagaimana mengarungi
samudera, di dalam gerimis bersandar di jendelaku penuh bertata
cerita fantasi Tang dan Song, adakah sedikit cinta ditakdirkan?
Setiap kuntum mengulum airmata bagai sajak reruntuhan Tang.

Juniper

jupe
gambar diunduh dari http://www.finegardening.com

Dia merangkak di sisi setapak pekarangan depan, bagai seekor naga
merenung dalam, jarum-jarum pinus jatuh di atasnya, juga buah sanza,
bulu burung, bunga gugur. Tiada seranting kembang menjulur lewat.
Setelah oktober, dia tampak makin hening, seolah ingin menyelam
di kedalaman arus sungai. Di malam salju aku kembali hidup lampu
baca Du Fu, mendengar dia menahan isak di dalam sajak-sajak
musim gugur, bayangkan dirinya betapa kesepian dan babak belur

Mawar

bunga mawar
gambar diunduh dari http://www.flowertops.blogspot.com

Terakhir baru melihat kau, blak-blakan merah sendiri di sisi pagar
maksud awal memang tidak ingin meliputmu, di titik puncak Simbolisme
dunia barat, kau dari atas tanah bergerak ke dalam kitab, lalu memenuhi
pekarangan orang timur. Tapi aku duga para dewa tiada pengalaman
mencipta bunga, misalkan kau: Rosa. Awalnya Multiflora, dicela gampangan,
lalu diubah: Aeieularis, tapi jadi simpang siur, lalu dikelola: Indica
seperti kurang mulia, habis seluruh tenaga baru dapat: Rosa rugosa...

Nelayan Malam

Cerpen Mo Yan
Alih Bahasa John Kuan

Setelah menggesek dan merenggek begitu lama, akhirnya Paman 9 mengangguk bawa aku ikut serta menangkap ketam di malam hari. Itu adalah pertengahan tahun 60-an, tiap tahun pasti pergi tangkap, dua li keluar dari kampung, tempat sebuah rawa terbentang.
Usai makan malam, Paman 9 membawa aku keluar kampung. Waktu akan berangkat, ibu berulang kali berpesan agar aku mesti dengar kata-kata Paman 9, jangan sembarangan lari dan gerak, serta berpesan agar Paman 9 menjagaku baik-baik. Paman 9 berkata: “Tak usah risau Kak, aku tak hilang, dia juga tak akan hilang.” Ibu menyodorkan kepada kami dua potong roti bawang, agar ketika waktu lapar tiba, bisa ganjal perut. Kami memakai jas hujan dari bambu, menutup kepala dengan caping. Aku membawa dua buah karung goni, Paman 9 memegang sebuah lampu minyak dan sebuah sekop di pundak. Belum jauh keluar dari kampung, kami sudah kehabisan jalan, di mana-mana hanya tanah becek air lumpur dan batang-batang sorgum malang melintang. Untung kami berkaki ayam dan punggung telanjang, tidak peduli entah apa air entah lumpur.
Malam itu bulan amat besar. Kalau bukan hari empat belas pasti hari enam belas bulan delapan. Yang jelas sudah pertengahan musim gugur, angin malam sejuk enak. Cahaya bulan putih bersih, menyorot di atas air -di sela-sela batang sorgum-, sekeping-sekeping bagai kilau perak memancarkan cahaya. Puak katak yang telah bising satu musim panas kini sedang sibuk mengheningkan diri, oleh sebab itu sangat tenang. Suara langkah kami yang bawa air seret lumpur kedengaran makin jelas. Terasa seperti sudah berjalan sangat sangat lama, baru berdiri keluar dari lahan sorgum. Memanjat ke atas sepotong pematang, kata Paman 9, ini adalah tanggul kali, tempat memasang jaring menangkap ketam.
Paman 9 melepaskan jas bambu dan caping, juga melorotkan celana yang ikat di pinggang, telanjang bulat-bulat. Dengan sekop di pundak dia loncat ke dalam kali yang lebarnya kurang lebih sepuluh meter itu, menyekop bongkahan tanah basah berserabut akar rumput. Air kali sekitar setengah meter dalamnya, arusnya sangat pelan. Hanya sebentar saja Paman 9 sudah membangun sepotong bendungan hitam di tengah kali, agak mendekati tanggul, dibuka sebuah mulut kurang lebih dua meter, dipasang dua lapis pagar dari batang sorgum sebagai jaring ketam. Paman 9 menggantungkan lampu minyak di samping pagar sorgum, lalu menarik aku duduk di luar cahaya lampu, menunggu tangkap ketam.
Aku bertanya kepada Paman 9, “Jadi tangkap ketam begini mudah?”
Paman 9 berkata,” Lihat saja nanti. Malam ini bertiup angin kecil barat daya. Angin barat daya mengiang, kaki ketam pun miang. Ketam-ketam di dalam lobang lumpur bergegas kumpul ke sungai sehitam tinta rapat. Kali kecil ini adalah jalan yang mesti dilewati, takutnya sampai langit terang, kita pakai dua karung goni pun tidak cukup muat.”
Di atas tanggul memang lembab. Paman 9 mengelar sebuah jas bambu, suruh aku duduk di atasnya. Paman 9 membiarkan tubuhnya tetap bugil, ototnya berpijar-pijar cahaya perak. Aku merasa dia sangat gagah, lalu kukatakan dia sangat gagah. Dia dengan sombong berdiri, merentangkan tangan menyepakkan kaki, polos seperti seorang anak kecil.
Tahun itu usia Paman 9 agaknya delapan belas lebih sedikit, masih belum punya isteri. Dia suka main dan pandai pula main, pukat ikan tangkap burung, curi labu ngutil jujube, semuanya dikuasai, semuanya ahli, kami sangat senang bisa bermain bersamanya.
Setelah menyiksa diri beberapa waktu, dia memakai kembali celananya, duduk di atas jas hujan, berkata, “Jangan gerak atau keluar suara, ketam paling hantu, kalau dengar suara langsung menempel tidak merayap lagi.”
Kami hening, sebentar memandang lampu yang memancarkan cahaya kuning nan hangat, sebentar melototi tembok mematikan dari batang sorgum itu. Paman 9 berkata asal ketam memanjat ke dalam pagar batang sorgum, pasti tidak bisa lolos lagi, kita hanya perlu turun mengambilnya.
Air kali terang berayun-ayun, seolah tidak tampak mengalir, hanya sedikit buih yang memercik dan menggulung di pagar batang sorgum menunjukkan air masih mengalir. Ketam belum tampak, aku mulai sedikit tidak sabar, maka bertanya kepada Paman 9. Dia berkata, hati jangan hilang sabar, hati hilang sabar tidak bisa cicip bubur panas.
Kemudian uap lembab mengapung dari permukaan tanah, bulan memanjat sampai tempat yang sangat tinggi, bulatnya kelihatan agak kecil, tapi pijarnya makin terang, biru-biru lebam, di dalam lahan-lahan sorgum yang jauh dan dekat, uap kabut segumpal-segumpal, selapis-selapis, kadang kental kadang ringan, sedap betul dipandang. Di tengah semak tepi kali, serangga musim gugur teriak nyaring, ada yang mengaung, ada yang mencericit, ada yang mendesah, menyatu jadi sebuah nyanyian. Suara serangga membuat malam seperti makin hening. Di dalam lahan sorgum, sesekali masih ada suara kaki nyemplung ke dalam air, seperti ada orang bergerak dengan langkah-langkah lebar. Kabut di atas kali juga kental ringan tidak merata, terus berubah tak terduga, air kali yang berpijar keperakan kadang-kadang tertutup kabut, kadang-kadang menampakkan diri dari tengah kabut.
Ketam masih belum tampak, aku sudah mulai gelisah. Paman 9 juga menggerutu, berdiri lalu jalan ke samping memeriksa pagar batang sorgum. Setelah kembali dia berkata: “Aneh aneh aneh, malam ini seharusnya adalah arus besar pelintasan ketam.” Katanya, angin barat daya mengiang kaki ketam pun miang, ketam tidak keluar ini macam ada hantu.
Dari sebatang pohon di tepi kali Paman 9 memetik selembar daun yang mengkilap, dijepit di dua bibirnya, meniup keluar suara-suara seperti rintihan yang aneh. Aku merasa tubuhku dingin sekali, lalu berkata: “Paman 9, kau jangan tiup lagi, kata ibuku malam gelap bersiul mengundang hantu.” Paman 9 sembari meniup daun pohon, menoleh lihat aku sekejap, sorotan matanya kehijau-hijauan, menimbulkan rasa aneh. Hatiku seketika berloncat cepat, tiba-tiba merasa Paman 9 amat asing. Aku mengkerut ke dalam jas bambu, kedinginan hingga seluruh tubuh gemetar.
Paman 9 konsentrasi meniup daun pohon, tubuhnya terendam dalam cahaya bulan yang makin putih bersih, bagai sebuah patung yang dipahat dari bongkahan es. Hatiku penuh tanda tanya: Tadi Paman 9 suruh aku jangan menimbulkan suara, takut ketam kaget, kenapa sekejap saja ia malah meniup daun pohon? Ataukah ini adalah salah satu cara memanggil ketam?
Aku mengecilkan suara memanggilnya: “Paman 9, Paman 9.” Dia samasekali tidak hirau dengan panggilanku, masih tetap meniup daun pohon, seperti rintih seperti kesah seperti entah, suaranya semakin didengar semakin aneh. Dalam panik aku coba gigit jariku, sangat sakit, membuktikan ini bukan di tengah mimpi. Menjulurkan tangan mencolek punggung Paman 9, ternyata dingin sampai menusuk tulang. Saat itu, aku benar-benar mulai merasa takut. Aku ingin lari, namun jalan malam sungguh gelap, tanah becek air lumpur, di mana-mana tertutup batang sorgum, bagaimana bisa sampai rumah? Aku telah menyesal ikut Paman 9 datang tangkap ketam. Lelaki dingin yang meniup daun pohon ini mungkin sudah lama bukan lagi Paman 9, mungkin saja siluman buaya atau jejadian ikan atau entah apa. Terpikir sampai di sini, aku takut hingga kulit kepala meledak, aku kira malam ini pasti tidak bisa pulang hidup-hidup.
Aku tidak tahu sejak kapan langit memunculkan sekuntum awan kuning, sepi sendirian, bulan tepat menyelinap ke dalamnya. Aku merasa pemandangan ini terlalu mengada-ada, langit yang begini luas, bulan mempunyai jalan yang begitu lebar untuk bergerak, kenapa mesti menelusup ke dalam gumpalan awan itu?
Cahaya dingin sudah terhalang, kali kecil, lahan-lahan luas mulai kabur menghitam, hingga cahaya lampu minyak itu kelihatan makin terang. Sesaat, tiba-tiba aku mencium ada sejurus bau wangi yang ringan. Bau wangi itu berasal dari kali kecil. Mengikuti bau wangi itu aku menatap, kelihatan di atas permukaan kali berdiri sebatang bunga teratai yang putih bersih. Bunga berada di dalam lingkaran cahaya lampu minyak, begitu luwes, begitu suci. Kolam di depan pintu rumah kami juga selalu memekarkan banyak sekali bunga teratai, namun tidak ada sebatang pun setara dengan yang di depan mata ini.
Munculnya bunga teratai membuat aku lupa akan takut, membuat aku terendam di dalam semacam perasaan bersih dan sejuk yang belum pernah kualami. Tanpa sadar aku berdiri, melepas jas bambu, berjalan ke arah bunga teratai. Kakiku terendam di dalam air hangat dan lembut, air yang mengalir pelan dan hangat mengelus-elus pahaku. Aku merasa sudah hampir mati keenakan. Jarak dengan bunga teratai sebenarnya hanya beberapa langkah, tetapi saat dijalani seperti luar biasa jauh. Antara aku dan bunga teratai jaraknya seolah tidak pernah berubah, seperti aku maju selangkah, ia mundur selangkah. Hatiku berada di dalam suatu kondisi terbius kebahagiaan. Aku tak berharap memetik bunga teratai ini, aku berharap selamanya bertahan di dalam kondisi bunga teratai berjalan dan aku juga berjalan, di dalam suatu pengejaran yang pelan dan memiliki tujuan yang indah, elusan air kali yang hangat, memberi aku suatu pengalaman kebahagian yang tak terlupakan sepanjang hidup.
Kemudian, cahaya bulan tiba-tiba menebar di seluruh permukaan kali, sekejap, aku melihat dia bergetar dua kali, memancarkan beberapa jurus cahaya putih yang lebih menyilaukan mata daripada kilat, kemudian, sekeping-sekeping bunga yang bagai pahatan giok jatuh berguguran. Serpihan bunga menyentuh permukaan air, hancur menjadi kepingan-kepingan bulat kecil, berputar hilang di dalam air kali yang berpijar-pijar. Batang teratai yang tadi mengangkat bunga tinggi-tinggi itu, setelah bunga luruh, juga ikut layu dan ambruk, berkelenjot dua tiga kali di atas permukaan air, lalu berubah jadi lingkaran riak air…
Tanpa terasa di dalam mataku mengalir deras air mata hangat, hati penuh dengan kesedihan yang manis. Hatiku sesungguhnya tidak pedih, hanya sedih saja. Semua yang terjadi di depan mata, bagai sebuah alam mimpi yang indah. Namun aku sedang bugil berdiri di dalam kali, air setinggi jantungku, setiap detakan jantungku membuat air kali bergetar sedikit, membentuk lingkaran riak. Walaupun bunga teratai telah hilang, namun wanginya yang ringan masih belum sirna, mengapung di atas permukaan air, menyatu dengan cahaya bulan yang putih dan jeritan lirih serangga…
Sebuah tangan kuat cengkeram leherku, mengangkat aku ke atas permukaan air. Seuntai-seuntai butiran air, bagai mutiara, dari dadaku, dari perutku, dari burung kecilku yang sebesar kepompong ulat sutera, menetes bergulir ke atas permukaan air. Aku mendengar air kali dikuak sepasang paha yang besar dan kokoh, menimbulkan suara gemuruh. Setelah itu, tubuhku dilempar ke atas, berputar satu kali di udara, kemudian mendarat di atas jas bambu.
Aku kira pasti Paman 9 yang menarik aku keluar dari tengah kali, namun setelah kulihat dengan seksama, Paman 9 masih duduk abadi di atas tanggul, masih begitu terpukau meniup daun pohon, samasekali tidak tampak ada jejak gerakan.
Aku teriak: ” Paman 9!”
Paman 9 masih menggigit daun pohon, menoleh sapu aku semata, sorotan matanya benar-benar seperti sorotan mata orang asing, bahkan dari sorotan itu mengalir keluar sedikit kedongkolan, seperti menyalahkan aku telah mengganggu dia meniup irama. Setelah punya pengalaman turun ke kali mengejar bunga teratai, takutku ternyata telah sirna, aku sudah tidak begitu peduli apakah Paman 9 itu manusia atau hantu. Dia seolah hanya seorang pemandu jalan yang membawa aku masuk ke alam yang aneh, tempat tujuan sudah sampai, keberadaannya juga sudah kehilangan makna. Dengan berpikir demikian, suara tiupan daun pohon yang awalnya seperti rintihan hantu telah berubah menjadi irama yang lembut dan merdu di telinga.
Cahaya kuning buram lampu minyak mengisyaratkan padaku, kami ke sini adalah untuk menangkap ketam. Sekali tunduk kepala, begitu angkat lagi, sudah kelihatan bergerombol berbaris ketam-ketam memanjat ke atas pagar batang sorgum. Ukuran ketam sangat rata, semuanya kurang lebih sebesar tapak kuda, cangkangnya hijau mengkilap, matanya panjang-panjang, capitnya diangkat tinggi-tinggi, gagah dan garang. Sejak lahir aku juga belum pernah melihat ketam yang begitu besar dan begitu banyak berkumpul, di dalam hati riang dan takut bercampur aduk. Colek Paman 9, tapi Paman 9 diam saja. Aku agak marah, ketam tidak datang, kau gelisah; ketam datang, kau tiup daun pohon, kalau memang mau tiup daun pohon buat apa di tengah malam susah payah lari ke tempat begini meniup? Aku sekali lagi merasa Paman 9 sudah bukan lagi Paman 9.
oriental on the river
ilustrasi disunting dari poster white snake legend
Sebuah tangan lembut macam kapas menyentuh kepalaku, begitu angkat kepala lihat, ternyata adalah seorang perempuan muda yang mukanya laksana baskom perak. Rambutnya sangat panjang dan tebal, di dekat telinganya terselip sekuntum bunga putih sebesar bunga kamboja, bau wangi menyerang hidung, aku tidak tahu itu bunga apa. Wajahnya menebarkan senyum, di tengah-tengah keningnya ada sebiji tahi lalat hitam. Dia memakai sebuah gaun putih panjang dan sangat longgar, begitu anggun berdiri di bawah cahaya bulan, luar biasa cantik, persis seperti dewi yang digambarkan di dalam legenda.
Dia dengan suara serak dan manis bertanya kepadaku: “Anak kecil, kau buat apa di sini?”
Aku berkata: “Aku ke sini tangkap ketam.”
Dia mulai tertawa terangguk-angguk, berkata: “Kecil begini, juga tahu tangkap ketam?”
Aku berkata: “Aku datang bersama Paman 9, dia adalah orang paling lihai tangkap ketam di kampung kami.”
Dia sambil tertawa berkata: ” Bengak, pamanmu adalah orang paling bodoh sejagat.”
Aku berkata: “Kaulah orang bodoh!”
Dia berkata: “Budak kecil, biar kutunjukkan agar kau tahu aku ini orang bodoh atau bukan.”
Tangannya menarik keluar sebatang sorgum yang masih penuh berjuntai biji dari belakang tubuhnya, kemudian menjulurkan satu ujung ke tengah dua lapis pagar batang sorgum yang di sisi kali, ketam-ketam hijau langsung bergegas menyusuri batang sorgum itu merayap ke atas. Dia lalu memasukkan ujung lain ke dalam mulut karung goni, ketam-ketam itu satu mengikuti satu berbaris masuk ke dalam karung goni. Karung goni yang pipih dan kering sekejap sudah menggelembung, di dalamnya berisik suara beribu cakar menggaruk, beribu mulut membuih ludah. Sebentar saja satu karung goni sudah penuh, dengan kakinya dia angkat seutas akar rumput, dua putar tiga putar, mulut karung goni sudah diikatnya. Karung goni yang lain sebentar saja juga sudah penuh, dia kembali menggunakan seutas akar rumput mengikat mulut karung.
“Bagaimana?” dengan sombong dia bertanya.
Aku berkata: “Kau pasti dewi khayangan.”
Dia menggelengkan kepala, berkata: “Aku bukan dewi khayangan.”
“Kalau begitu kau pasti siluman rubah,” penuh yakin aku berkata.
Dia terbahak: “Aku lebih tidak mungkin adalah siluman rubah, rubah, itu makhluk yang teramat jelek, wajah kurus, ekor panjang, tubuh penuh bulu kotor, seluruh badannya berbau amis.” Dia menyorongkan tubuhnya ke arahku, berkata: “Coba kau cium, apakah di badanku ada bau amis?”
Seluruh wajahku terselubung di dalam bau wanginnya yang memabukkan, kepala terasa agak pusing. Pakaiannya bergesek di wajahku, sedikit sejuk, sedikit licin, nyaman setengah mati.
Aku teringat kata-kata orang dewasa: rubah bisa menjelma jadi perempuan jelita, namun ekornya tidak bisa disembunyikan. Lalu berkata: Apakah kau berani biarkan aku meraba pantatmu? Jika tidak ada ekor, aku baru percaya kau bukan siluman rubah.”
“Iih, budak ini, kau berani melecehkan bibimu?” Dia sangat serius.
“Takut diraba berarti kau siluman rubah.” Aku samasekali tidak mau mengalah.
“Baiklah,” katanya,” Biar kau raba, tapi tanganmu sebaiknya jujur, hati-hati raba, jika kau membuat aku sakit, akan kutenggelamkan kau ke dalam kali.”
Dia mengangkat gaunnya, menyuruh aku memasukkan tangan ke dalam. Kulitnya licin tak tertangkap tangan, dua bongkah pantat besar dan bulat, mana ada ekor?
Dia menoleh bertanya kepadaku: “Ada ekor?”
Agak malu aku berkata: Tidak ada ”
“Masih bilang aku siluman rubah?”
“Tidak lagi.”
Dia menekankan jari telunjuk di kepalaku, berkata: “Budak kecil licin dan licik.”
Aku bertanya: “Jika kau bukan siluman rubah, juga bukan dewi khayangan, kau ini sebenarnya apa?”
Dia berkata: “Aku manusia.”
Aku berkata: “Kau mana mungkin manusia? Mana ada manusia yang begini bersih, begini harum, dan begini pandai?”
Dia berkata: “Budak kecil, kukasih tahu pun kau juga tidak akan mengerti. Dua puluh lima tahun nanti, di atas sebuah pulau di arah tenggara, kita masih akan bersua sekali lagi, sampai saat itu kau pasti akan mengerti.”
Dia mencabut bunga putih yang terselip di dekat telinga itu lalu menyuruh aku cium, kemudian menjulurkan tangan menepuk kepalaku, berkata: “Kau adalah anak yang berbakat, aku hadiahkan kau empat baris kalimat, kau mesti ingat betul-betul, akan berguna di kemudian hari: Gunting pisau lembing kapak, bawang putih kunyit jahe lobak. Kala menyayat hati kau mesti sayat, di atas pohon durian tumbuh buah pinang.”
Kata-katanya masih belum benar-benar selesai, mataku sudah kabur.
Ketika aku sadar kembali, sudah saatnya matahari merah mulai terbit, air kali dan lahan-lahan luas telah diselimuti cahaya merah nan megah, sorgum yang terbentang tak habis dipandang seperti lautan darah yang diam tak bergerak. Saat itu, aku mendengar jauh dan dekat banyak orang sedang memanggil namaku. Aku menyahut dengan keras. Sekejap, ayah ibuku, paman dan bibi, kakak dan isterinya menerobos keluar dari lahan sorgum, di antara mereka juga ada Paman 9. Dia langsung memegangku, sangat marah menanyaku: “Kau lari ke mana?!”
Menurut cerita Paman 9, aku mengikutinya keluar kampung, masuk ke dalam lahan sorgum, dia jatuh terpeleset ke dalam lumpur, begitu bangun berdiri lagi sudah tidak melihat aku, lampu minyak juga hilang. Dia teriak sekuat tenaga, tidak ada sahutan, dia berlari ke rumah mencari aku, di rumah juga tidak menemukan aku. Seluruh anggota keluarga ikut bergerak, membawa lampion, cari semalam suntuk. Aku berkata: “Aku terus bersamamu.”
“Bohong!” kata Paman 9.
“Dua karung goni ini apa?” tanya kakak.
“Ketam,” kataku
Paman 9 membuka ikatan akar rumput di mulut karung, ketam-ketam besar dengan cepat merangkak keluar.
“Ini kau yang tangkap?” Paman 9 kaget sekali bertanya kepadaku. Aku tidak menjawab.

Musim panas tahun ini, di dalam sebuah mal di Singapura, aku ikut teman pergi membeli baju buat anak perempuanku, saat sedang lirik sana lirik sini, mendadak, sejurus wangi menusuk hidung, angkat kepala, dari sebuah kamar pas, sibak tirai berjalan keluar seorang ibu muda. Wajahnya bagai bulan musim gugur, alisnya bagai lembayung musim gugur, matanya dua biji bintang terang, anggun mengepak keluar, laksana belibis kaget memandang bayangnya. Aku tertegun melihatnya. Dia membalas aku satu senyuman ayu, balik badan hilang di dalam hiruk pikuk arus manusia. Raut senyumnya, seperti sebatang panah tajam, tembus melobangi dadaku. Bersandar pada sebatang pilar, hati berloncat nafas tersengal, kepala pusing mata mengabur, lama sekali baru normal kembali. Teman bertanya ada apa, aku tanpa hati menggeleng-gelengkan kepala, tidak menjawab. Setelah kembali ke hotel, tiba-tiba teringat perempuan yang membantu aku tangkap ketam itu, hitung-hitung dengan jari, waktunya pas dua puluh lima tahun, dan Singapura, juga [sebuah pulau di arah tenggara].

Korupsi dan Penumpulan Akal Sehat

Gerundelan John Kuan

Selama bertahun-tahun membaca catatan-catatan sejarah Cina, ada dua peristiwa yang tidak bisa hilang dari pikiran. Mungkin disebabkan kedua hal ini sangat sulit dijelaskan, berhubungan dengan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kehilangan akal sehat. Tetapi sesungguhnya siapa yang benar-benar bisa menjelaskan ketamakan manusia:

ilustrasi diunduh dari 4.bp.blogspot.com

Di ujung musim semi tahun 777, salah satu perdana menteri terkorup dari Dinasti Tang bernama Yuan Zai ( 元载 ) terjerembab dari puncak kekuasaannya. Dia dihukum mati, demikian juga isterinya, dua orang anaknya, sanak keluarga dekat dan jauh, juga orang-orang yang pernah menggelayut di dahan gemuknya mengisap kuasa dan korupsi. Harta bendanya disita, rumah-rumah dan kantor-kantornya digeledah, dari semua barang-barang langka dan mewah yang disita, ini paling mengejutkan: Tukang sita menemukan 800 Dan merica yang ditimbun di salah satu kantornya ( semacam mahkamah agung ). Ini adalah salah satu bukti sejarah korupsi yang paling aneh, menggelikan dan absurd. Sekarang mari kita hitung-hitung 800 Dan merica dengan ukuran timbangan masa kini. 1 Dan sama beratnya dengan 79.320 gram, 800 Dan sama dengan 63.456.000 gram, berarti sekitar 63 ton. Jumlah ini mungkin cukup untuk konsumsi seluruh penduduk Chang’an selama satu tahun. Saya tidak habis pikir kenapa Yuan Zai mau menumpuk begitu banyak merica, menyimpan 63 ton merica sebagai hasil korupsi tentu sangat merepotkan. Tetapi dari catatan sejarah kita tahu Yuan Zai sangat cerdas, dia dari keluarga miskin, dia memanjat ke puncak birokrasi dari tingkat paling rendah. Tetapi kenapa dia bisa berakhir demikian. Setelah memendam bertahun-tahun tanda tanya ini, akhirnya saya coba membuat sebuah kesimpulan yang sangat berani: Korupsi ternyata bisa menumpulkan akal, bisa membuat orang jadi bodoh; dia pasti merasa dirinya paling cerdas sehingga merasa bisa membohongi seluruh dunia.

Satu lagi adalah perdana menteri dari Dinasti Ming bernama Yan Song ( 严嵩 ), ceritanya kurang lebih sama, hanya saja tidak demikian tragis seperti Yuan Zai, tetapi bukti korupsinya sama anehnya, sama menggelikan, sama absurdnya. Setelah dipecat dari jabatan dan dijebloskan ke penjara, dari rumahnya disita setumpuk sumpit, jumlahnya sangat mencenggangkan, ini saya beri daftar isinya:
sumpit emas 2 pasang, sumpit gading berhias ukiran emas 1.110 pasang, sumpit bertahta permata 10 pasang, sumpit gading 2.691 pasang, sumpit bambu bintik 5.931 pasang, sumpit gading berhias ukiran perak 1.009 pasang, sumpit kayu eboni 6.896 pasang, sumpit kayu merah 9.510 pasang, total 27.159 pasang, kalau tidak salah hitung. Yan Song adalah kolektor nomor satu dalam 3.000 tahun sejarah sumpit yang tercatat di dalam lembaran sejarah. Apakah korupsi ada hubungannya dengan nafsu makan, saya tidak tahu, agaknya perlu di dalami. Tetapi korupsi berhubungan dengan penumpulan akal, saya kira bisa diterima.

Hina Mulia Tubuh Ini

Gerundelan John Kuan

1.

Dari sebuah situs Kebudayaan Hongshan Zaman Neolitikum di Provinsi Liaoning, Cina Timur Laut, digali keluar sebuah patung perempuan, sudah cacat kurang berbentuk, tubuhnya hanya tinggal sekitar 5 cm, namun bisa jelas kelihatan adalah seorang perempuan hamil. Patung ini dengan Ibu Bumi dari situs-situs Zaman Neolitikum Mesopotamia maupun Eropa termasuk satu kategori. Dengan tubuh perempuan sedang mengandung sebagai simbol permohonan kesuburan, reproduksi dan berkembang biak. Di Zaman Neolitikum, periode awal pertanian dan pembuatan tembikar, citra perempuan dengan perut dan pinggul besar, hampir merupakan awal mula sejarah seni rupa di berbagai tempat di dunia.

Seni rupa Mesopotamia, India dan Mesir, setelah melewati tahap Ibu Bumi, dengan cepat transformasi menjadi wujud lelaki penguasa, kira-kira bersamaan waktu dengan berdirinya kekaisaran. Konsep pemerintah dengan sistem klan, membentuk struktur masyarakat patriarkis. Penguasa, pemimpin adat, atau pemimpin suku berjenis kelamin lelaki semuanya pasti dilengkapi dengan sifat ‘ kedewaan ‘, dan patung-patung dalam bentuk firaun, raja, ataupun dewa juga terus-menerus didirikan.

Tidak seperti patung Ibu Bumi yang kebanyakan dibentuk dari tanah liat, berukuran kecil, sederhana dan lembut, patung-patung lelaki penguasa ‘ kedewaan ‘ umumnya dibentuk dari batu, sangat menekankan terbuat dari bahan yang keras dan tahan lama; berukuran sangat besar, sehingga patung menampakkan suatu sifat agung, tinggi tak tergapai. Terutama di Mesopotamia dan Mesir, patung-patung lelaki yang berukuran puluhan meter adalah sangat umum, sehingga membuat struktur sosial politik patriarkis memiliki lambang yang tak tergoyahkan.

Tetapi Cina agak berbeda, sebab jaman purba-nya tetap tidak ditemukan patung yang berukuran besar. Sebagian besar patung manusia dari jaman Pra-Qin, baik dibentuk dari batu giok, tanah liat, perunggu ataupun kayu menampakkan suatu kondisi eksistensi yang lemah dan rendah. Keberadaan manusia seperti tanah di bumi, tampak begitu lemah dan rendah; datang dari debu bumi, kembali bersama debu bumi.

Sekalipun kecil dan lemah, patung-patung manusia tetap sangat jarang ditemukan di situs-situs purbakala Cina, yang digali keluar umumnya adalah perkakas, ini menunjukkan suatu karakter yang realistis di dalam kehidupan yang prihatin. Dari sedikit patung manusia yang ditemukan, kadang-kadang hanya merupakan bagian dari perkakas, misalnya menempelkan sebuah kepala manusia yang dibentuk dengan kasar di atas kendi atau bejana. Manusia berubah menjadi bagian dari perkakas, tertegun melihat diri sendiri, tertegun melihat perkakas, seperti tidak bisa dengan jelas melihat perbedaan antara dirinya dan perkakas.

Hampir semua kebudayaan kuno pernah membangun wibawa, harga diri, kemegahan, kekekalan, kemuliaan, dan berbagai estetika tubuh yang membuat iri di antara patung-patung raksasa mereka. Kecuali Cina, sampai hari ini masih belum pernah ditemukan patung manusia yang berukuran raksasa dan gagah. Kekurangan patung manusia di dalam seni rupa Cina Kuno mungkin bisa dijadikan semacam pelajaran penting kebudayaan buat direnungkan.

Di dalam kitab-kitab filsafat Pra-Qin sangat sedikit ditemukan uraian tentang tubuh manusia. Pembahasan tentang orang di dalam kitab-kitab penting ajaran Ru

( Konghucuisme ) langsung diletakkan di dalam kerangka etika. Orang, sangat kecil kemungkinan ditelaah secara mandiri, Xiao Jing ( Kitab Bakti; salah satu kitab utama ajaran Ru ) berkata:

     Tubuh adalah pemberian orangtua, tidak boleh dirusak dilukai

Dengan uraian begini, seandainya keberadaan tubuh memiliki makna tertentu, itu juga atas pemberian orangtua, dan tetap adalah uraian yang bersumber dari etika. Tubuh seperti tidak mungkin dibahas secara mandiri. Menekankan etika, berarti menekanan keberadaan komunitas, dan menyepelekan keberadaan pribadi.

Komunitas biasanya akan diwakili dengan simbol komunitas, oleh sebab itu paras dan tubuh perorangan yang khas akan menjadi sangat sulit ditonjolkan. Dimulai dari batu giok, tembikar, terus sampai alat-alat perunggu banyak sekali ditemukan bentuk-bentuk hewan, terutama motif-motif naga, ular, dan burung feniks. Lembu, kambing, harimau, ikan, gajah, badak juga tidak sedikit, hanya saja bentuk [ orang ] yang hampir tidak ada. Motif-motif hewan yang ada di tembikar ataupun di alat-alat perunggu ini kemungkinan adalah semacam totem klan.

Totem-totem yang sangat menawan ini, dengan dua mata bercahaya, seolah adalah tatapan seluruh leluhur yang telah tiada pada setiap gerak-gerik anak-cucunya. Totem-totem bukan ditampilkan dengan paras dan bentuk tubuh pribadi tertentu, tetapi semacam simbol suci klan, kemudian mengental menjadi ingatan bersama sebuah komunitas, kurang lebih sama dengan bendera dan lambang negara masa kini, tetapi lebih memiliki semacam persembahan agama yang khidmat dan misterius. Begitulah, perorangan hilang di dalam totem-totem besar ini. Perorangan kehilangan arti keberadaan yang mandiri di dalam kebesaran kelompok.

Dipandang dari sudut estetika, Cina seolah sangat sulit membuat ‘ perorangan ‘ secara mandiri diapresiasi. Di dalam struktur masyarakat hierarkis, setiap pribadi mesti masuk ke dalam susunan tingkatan masyarakat. Keberadaan ‘ perorangan ‘ baru memberi makna ketika sudah berhubungan erat secara berurut dengan keluarga, komunitas, dan negara. Wajah ‘ perorangan ‘ adalah sangat kabur, perorangan juga tidak mungkin menonjolkan bentuk dan gaya yang mandiri. Mengorbankan begitu banyak kekhasan ‘ perorangan ‘, mungkin demi mengukuhkan simbol keagungan kelompok.

Kadang-kadang melihat patung-patung tanah liat dari jaman purbakala dengan raut wajah dan lekuk tubuh yang begitu samar, seakan tidak peduli terhadap keberadaannya, seperti serangga, seperti rumput, dengan rendah dan lemah bertahan hidup, dari dalam debu tanah kuning merangkak menggeliat keluar, juga tidak jauh berbeda dengan debu tanah kuning itu sendiri. Adalah semacam debu tanah juga, dengan bentuk yang tidak kokoh, setelah ditiup angin akan berubah jadi debu selangit, ketika disiram hujan becek menjadi lumpur.

Jika punya kesempatan berdiri di sisi lobang galian situs-situs purbakala Delta Sungai Kuning, melihat jejak-jejak yang bertahan selama beribu tahun, melihat sebuah boneka tanah liat yang serampangan dibentuk, setelah bosan dijadikan mainan, akan serampangan lagi dibuang. Begitukah sebuah peninggalan? Seketika bentuk-bentuk manusia yang merangkak dan menggeliat di dalam lobang tanah, bukan lagi boneka ribuan tahun yang lalu, namun adalah petani masa kini, begitu samar, selamanya demikian bertahan hidup, seperti tidak mempunyai pendapat apapun terhadap keberadaannya, tapi juga seperti suatu cara bertahan hidup yang paling tegar. Betul, adalah cara bertahan hidup yang paling tegar.

Kondisi hidup begini telah digambarkan Lu Xun di dalam ceritanya [ Kisah Nyata Ah Q ] yang menggundang iba dan tawa, tetapi dengan begitu keras kepala tetap bertahan hidup. Citra Ah Q seperti tidak cocok dipamerkan dengan pahatan batu ala Mesir, juga sulit dimuliakan dengan menggunakan bentuk patung dewa Yunani. Ah Q bertahan hidup di dalam suatu keadaan yang hina dan lemah, bahkan sedemikian menggelikan hingga membuat orang berpikir: Apakah cara bertahan hidup begini masih berarti? Dan boneka-boneka di dalam tanah kuning yang hanya samar-samar menampakkan seraut wajah manusia dengan bentuk yang demikian kasar, juga membuat orang curiga: Apakah yang begini juga boleh disebut [ manusia ]?

Zhuang Zi di dalam bab [ Sang Mahaguru ] ada deskripsi begini:  

Hidup diumpamakan sebagai kutil dan tonjolan daging yang melekat, dan mati adalah berpisahnya kutil dan berakhirnya isi tonjolan daging.

( 彼以生為附贅縣疣,以死為決病潰癰. )

[ Hidup ] dianggap sebagai sesuatu yang melekat dan menjadi beban tubuh, sebagai kutil, sebagai tonjolan daging, sebagai tumor yang merepotkan, dan mati, justru terbebas dari kutil, tumor yang melekat dan menyiksa. Mungkin sikap [ hidup ] yang tersimpan di dalam kitab-kitab Pra-Qin bisa dibaca beriringan dengan boneka-boneka buruk dan lemah di dalam situs-situs purbakala.

Ada sebuah massa maha besar, aku menumpang dalam wujud, aku bekerja keras dalam hidup, aku menyepi dalam tua, aku istirahat dalam kematian; apa yang membuat hidupku baik, juga akan membuat matiku baik.

(  夫大塊載我以形,勞我以生,佚我以老,息我以死。故善吾生者,乃所以善吾死也。)

Sepenggal sikap di dalam filsafat Zhuang Zi ini seolah sudah bukan lagi pandangan seorang filsuf, dan dalam kenyataan, ini mungkin sudah merupakan sikap hidup sebagian besar orang Cina.

Perhatian orang Mesir yang begitu terpusat dan teguh terhadap kematian, bagi orang Cina adalah sesuatu yang sangat sulit dimengerti. [ aku menyepi dalam tua, aku istirahat dalam kematian ] adalah dengan [ menyepi ] dan [ istirahat ] memandang kematian. Kematian bukan sedemikian tragis dan heroik, dan hidup juga bukan sedemikian riuh rendah dan menggemparkan. Hidup mati di dalam kehidupan masyarakat Cina, lebih mirip sesuatu yang alamiah, lebih mirip layu dan berkembangnya tumbuhan, di musim semi pecah kecambah, di musim gugur dan musim salju layu dan luruh, bukan begitu mengejutkan langit menggetarkan bumi.

[ Membuat hidupku baik ] menjadi semacam keteguhan. Seperti yang dikatakan Kongfuzi [ Belum tahu hidup, bagaimana tahu mati ]. Penekanan terhadap [ hidup ] mengisyaratkan bahwa segala macam bentuk [ hidup ] jauh lebih berarti daripada [ mati ]. Kemudian berubah menjadi semacam ungkapan yang beredar luas di dalam masyarakat [ Hidup hina daripada mati terhormat ]. Sebuah ungkapan kasar yang berasal dari jaman yang jauh dan kedengarannya hina dan menggelikan, tetapi jika digunakan untuk melihat boneka-boneka yang bertahan hidup di dalam kondisi lemah dan tidak perlu keteguhan di dalam lapisan tanah kuning situs purbakala, mungkin akan tiba-tiba sadar terhadap kepedihan yang terkandung di dalam [ hidup hina ] itu. Seakan bertahan di dalam keadaan paling hina, paling lemah, paling tak berarti, adalah hakikat dari [ hidup ].

2.

Sekitar Periode Musim Semi dan Gugur ( 771 SM – 400 SM ), seni rupa Cina dengan bentuk ‘ orang ‘ mulai berkembang pesat, pelan-pelan menggantikan totem-totem berbentuk hewan yang telah begitu lama mendominasi topik kesenian. [ Orang ], akhirnya memiliki kedudukan utama, dia mulai memperhatikan bentuk rupa sendiri, dia juga mulai merenungkan keberadaannya. Berbeda dengan burung yang terbang di langit, hewan yang merangkak di bumi, dan ikan yang berenang di air. [ Orang ] telah melepaskan diri dari kedunguan dan kekacauan, memiliki pandangan yang agak jelas terhadap dirinya.

[ Orang ] yang paling awal muncul di atas alat-alat perunggu, bukanlah seseorang yang mandiri, juga tidak menekankan mimik rupa perorangan yang khas, biasanya dengan ukiran timbul menggurat di atas alat perunggu sekelompok-sekelompok orang; barisan prajurit yang sedang menyerang tembok kota, sekelompok nelayan di atas perahu menangkap ikan di sungai, petani-petani bekerja di tengah ladang, ataupun perempuan-perempuan yang bermain alat musik dan menari di dalam sebuah pesta. Kesadaran terhadap [ orang ] pada periode ini masih ditampilkan dalam bentuk kelompok masyarkat.

Seni rupa Yunani pada periode yang sama, kebanyakan adalah patung perorangan yang menunjukkan kekhasannya. Tiga dimensi, kurang lebih sebesar manusia biasa, diletakkan di dalam kuil atau di balai kota, patung-patung ini membuat seni rupa Yunani menunjukkan makna keberadaan perorangan yang mandiri. Orang Yunani percaya, makna [ orang ], berada di dalam pencapaian perorangan.

Di dalam epik dan mitologi Yunani penuh dengan pencapaian perorangan, dan perorangan-perorangan ini tidak perlu direnungkan dari sudut masyarakat atau komunitas, bahkan tidak perlu memikul beban moralitas kelompok, perorangan melakukan pencapaian yang tidak mungkin tergantikan oleh orang lain: Medea di tengah keputus-asaan terhadap cinta berlinang airmata mencelakakan anaknya demi membalas dendam; tubuh muda Icarus jatuh mati demi mengejar cita-citanya untuk terbang tinggi; sakit derita tubuh Prometheus yang tiada habis dicabik-cabik cakar tajam elang, dan sebagainya dan seterusnya. Sastra Yunani Kuno menurunkan berbagai cerita tentang [ orang ], mungkin itulah jiwa sesosok-sesosok patung Yunani yang didirikan.

Seni rupa Cina pada periode ini mungkin masih berusaha mencari bentuk bersama dari [ orang ].

[ Orang ] di sini bukan perorangan, [ orang ] hanya salah satu unsur rangkaian kecil di dalam susunan masyarakat yang sangat besar. Mereka bekerja, perang, bertani atau berpesta, samasekali tidak ada wajah [ perorangan ], tidak ada khas perorangan, hanya merupakan satu unsur dasar [ orang ]

Seandainya menggunakan epik Yunani [ Odissei ] atau [ Iliad ] melihat [ Kitab Puisi ] Cina, juga akan merasakan perbedaan antara perorangan dan pahlawan, dengan keseharian dan rakyat jelata. Di dalam [ Kitab Puisi ] sangat sedikit pahlawan, juga jarang ada tragedi yang menusuk hati dan menggetarkan tulang. [ Kitab Puisi ] lebih banyak adalah lelaki dan perempuan yang berada di pematang atau di tepi sungai, mereka tidak memiliki nama di dalam catatan sejarah, mereka adalah orang biasa dan bersikap pasrah, hidup turun-temurun di atas tanah pertanian, ada harapan terhadap cinta, ada kesedihan akan hilangnya cinta, ada perang, ada pengungsian, namun hampir tidak ada peristiwa yang begitu luar biasa hingga harus menggunakan epik memuji dan meratapnya.

Di dalam [ Kitab Puisi ] penuh dengan nuansa muda-mudi yang sederhana:

Bujang kelana bujang lapuk,

peluk kain dagang sutera,

bukan datang dagang sutera,

mengitariku dia berkupu-kupu.

( 氓之蚩蚩,抱布贸丝, 匪来贸丝,来即我谋 )

di dalam [ Kitab Puisi ] kita tidak akan menemukan balas dendam cara Medea, juga tidak ada Echo yang bersembunyi ke dalam gua menjadi gema yang gelisah dan menyiksa diri sendiri. Kesedihan yang ada di dalam [ Kitab Puisi ] adalah seperti perputaran musim, tetap begitu tenang dan terkendali seperti [ orang ] yang hidup di atas tanah pertanian, tidak akan ada tragedi yang menyesakkan:

Ai, murbei sudah gugur

yang kuning semua luruh

( 桑之落矣,其黄而陨。 )

Tanpa kemurkaan dan kepedihan yang membahana langit dan mencakar bumi, adalah sangat sulit berkembang menjadi epik yang agung dan pilu menggemuruh; kesedihan dan keriangan di dalam [ Kitab Puisi ] adalah sangat jelata, ada ketergantungan kepada alam di dalam musim yang silih berganti, ada kepuasan dan ketenangan dapat berdiri di atas bumi dari hari ke hari, tidak peduli hidup bisa bagaimana riang dan sedih, kemungkinan besar tidak akan ada pengembaraan dan pertualangan keluatan cara Yunani.

[ Kitab Puisi ] sepenuhnya terpusat pada ketenangan dan kedamaian ‘ orang ‘, seolah di atas bumi yang luas, karena jarak pandang yang terlalu jauh, sehingga tidak dapat melihat jelas apakah sedang gembira atau bersedih. seluruh kegembiraan dan kesedihan orang seperti alam, bagai pohon dedalu di musim semi, juga seperti hujan dan salju di musim dingin, sebab itu tidak akan ada yang luar biasa:

Ai, dulu waktu aku pergi,

ranting dedalu gemulai gemulai;

hari ini aku balik tertegun,

salju hujan bertabur bertabur

( 昔我往矣,杨柳依依。今我来思,雨雪霏霏。)

dan ini:

Hijau hijau kerah abang,

sunyi sunyi hatiku terkapar,

walau aku tidak pergi bersua,

tidak bolehkah abang bocorkan kabar?

( 青青子衿,悠悠我心。纵我不往,子宁不嗣音?)

Kedalaman rindu dan cinta [ orang ] tidak akan lebih dari ini, sudah pasti tidak akan berkembang menjadi darah pembunuhan mengenangi kota ala kuda troya. sudah pasti tidak akan ada jelita Helene yang membinasakan, dan juga pasti tidak akan ada Agamemnon yang membawa kepedihan sepanjang hayat.

Yunani Kuno dengan sistem politik negara-kota memunculkan sosok-sosok unggul, mungkin pahlawan dengan keperkasaannya atau perempuan dengan kecantikannya, mereka adalah [ dewa ] di antara manusia, mereka bijaksana, cerdas dan cakap, mereka menantang nasib, mereka mengharapkan pertualangan lautan; kesepian menjadi semacam kesombongan, mengembara juga menjadi semacam pembuangan diri yang angkuh.

Sedangkan landasan pertanian Cina adalah dibangun di atas rakyat jelata yang berjumlah besar dan tersebar luas, mereka memetik daun murbei, menangkap ikan, bersawah, membuka perigi; di dalam kehidupan mereka jarang ada gejolak-gejolak luar biasa yang aneh atau berbahaya. Mereka bukan sosok pahlawan atau sang jelita, mereka puas menerima posisinya sebagai [ orang ], dan dengan tegar dan nyata menjalani hidupnya. Pertanian sesungguhnya tidak perlu terlalu banyak merintangi bahaya. Pertanian perlu kesabaran, perlu semacam keyakinan dan ketergantungan terhadap tanah, perlu pemahaman dan rasa terhadap peralihan musim, dengan demikian hidup mati dan cinta dendam manusia juga akan seperti tanah dan musim, bersiap-siap menjadi kekal.

Sebuah keganjilan dalam seni rupa Cina purbakala terjadi di Sanxingdui, sebuah situs Zaman Perunggu di Sichuan. Pada 1986 dari situs ini digali keluar sebuah patung perunggu yang tingginya lebih dari dua meter, sangat menyedot perhatian. Patung-patung perunggu dari situs ini umumnya berpenampilan khidmat, memakai topeng emas, menampakkan wibawa manusia dewa atau dukun pemimpin upacara agama, atau pemimpin adat; misterius dan agung, menimbulkan rasa hormat.

Seni rupa Sanxingdui paling tidak ada tiga titik pokok yang tidak ditemui di atas alat-alat perunggu yang ditemukan di Delta Sungai Kuning pada periode yang sama ( Dinasti Shang hingga Dinasti Zhou Barat; 1600 SM – 771 SM ): Pertama, Alat perunggu Delta Sungai Kuning kebanyakan menggunakan bentuk hewan, jarang dengan rupa manusia. Kedua, sebagian kecil patung yang ditemukan di Delta Sungai Kuning umumnya berukuran kecil dan merupakan bekal kubur, ini mungkin menunjukkan dia sebagai pendamping kubur atau budak dalam tingkatan paling rendah, sedangkan yang ditemukan di Sanxingdui berukuran besar, kebanyakan adalah raja atau pemimpin adat yang berpenampilan khidmat. Ketiga, Topeng emas dan tongkat emas Sanxingdui jelas berbeda dengan tradisi penyembahan batu giok di Delta Sungai Kuning.

Disebabkan temuan di Sanxingdui, sumber dan keunikan Budaya Shu ( Berpusat di Dataran Sichuan ) kembali hangat dibahas. Pada jaman purbakala, setidaknya jika ditinjau dari seni rupa, Budaya Shu sangat mandiri, dan tampak berbeda dengan kebudayaan Han yang berkembang di dua sisi Sungai Kuning dan Sungai Huai pada periode yang sama. Dan topeng emas membuat pikiran orang langsung berasosiasi dengan Mesopotamia, Tutankhamun di Mesir, dan topeng emas Agamemnon di Mykenai, Yunani. Bagaimanapun, patung berukuran besar dan topeng emas yang ditemukan di Sanxingdui telah menunjukkan suatu perbedaan yang sangat mencolok dalam estetika tubuh dengan kebudayaan Delta Sungai Kuning, keunikan dan kemandirian [ orang ] seperti lebih mendapat perhatian di dalam Budaya Shu.

Selain seni rupa Budaya Shu di situs Sanxingdui yang berbeda dengan Delta Sungai Kuning, [ orang ] di dalam Budaya Chu ( boleh disebut sebagai budaya Cina Selatan ) juga lebih memiliki kemandirian dan kebebasan. Pada tahun 1973 digali keluar sebuah lukisan di atas kain sutera dari abad ke-5 SM yang diberi nama [ Lelaki Penunggang Naga ] dari kuburan kuno di Changsha, Hunan, lukisan seorang lelaki dengan jubah panjang berlengan lebar, memakai topi, dengan sebilah pedang terselip di pinggang, dia menunggang naga, gayanya luwes, samar-samar membuat teringat deskripsi Qu Yuan terhadap tubuh di dalam puisinya [ Nyanyian Chu ] pada jaman yang sama:

Buat daun teratai dan singhara

sebagai baju, oh

kumpul bunga lotus sebagai gaun

( 製芰荷以為衣兮,集芙蓉以為裳。)

Tinggi menjulang aku bertopi tinggi, oh

seuntai panjang giok berjuntai aku pergi

( 高余冠之岌岌兮,長余佩之陸離。)

Tidak peduli baik dari diksi yang mewah ataupun bentuk kalimat yang mendayu, [ Nyanyian Chu ] sangat berbeda dengan [ Kitab Puisi ]. Di dalam nyanyian-nyanyian Tanah Chu lebih banyak menyuarakan [ perorangan ] dan pribadi yang mandiri. Juga menampilkan sosok unggul yang berbeda dengan rakyat jelata umumnya.

[ Nyanyian Chu ] sarat dengan deskripsi rasa sayang [ orang ] terhadap tubuhnya. Topi tinggi di atas kepala menjulang bagai puncak gunung, untaian giok yang tergantung di tubuh bergoyang-goyang, petik dan kumpul teratai dan lotus buat pakaian. Cinta dan rasa sayang terhadap tubuh [ perorangan ] menunjukkan gaya Tanah Chu yang romantis.

Di suatu tempat yang hangat dan makmur di Tanah Selatan, di antara sungai-sungai yang tenang meliuk lewat, orang bisa demikian taruh harapan, boleh demikian memanjakan tubuh dan masa muda yang indah dan ceria, juga boleh demikian bersedih terhadap tubuh yang melorot, layu dan tua:

Ranting bercabang daun lebat bunga memerah,

semoga tunggu saat matang aku datang memetik;

walau daun layu bunga gugur juga tidak bersedih,

hanya pilu seluruh bunga rerumput hilang wangi.

( 冀枝葉之峻茂兮,願俟時乎吾將刈。

雖萎絕其亦何傷兮,哀眾芳之蕪穢。)

Budaya Chu di Selatan telah melepaskan kekangan budaya agraris, sudah ada petualangan, sudah ada pengembaraan, sudah ada semangat yang berkobar, juga ada pilu dalam keputus-asaan, seni rupa di dalam Budaya Chu menampakkan wajah yang berubah-ubah, panjang gemulai, anggun, di dalam harapan menunjukkan adanya kepercayaan diri akan eksistensinya.

3.

Penemuan patung-patung terakota dari Dinasti Qin ( 221 SM – 206 SM ) pada tahun 1970-an memberikan data-data yang sangat penting buat sejarah seni rupa Cina. Patung-patung yang digali dari makam Kaisar Qin Shihuang umumnya adalah prajurit, menampilkan sisi maskulin yang keras, menjadi perbedaan yang sangat mencolok dengan Budaya Chu yang halus gemulai.

Patung-patung terakota ini adalah bekal kubur, dan sebagai bekal kubur, penciptaan patung-patung ini bukan untuk dinikmati orang hidup, jadi tidak ada motivasi buat apresiasi. Penemuan patung terakota Qin adalah suatu kecelakaan. Di dalam pandangan kaisar jaman kuno, makam raja adalah sesuatu yang luar biasa rahasia, tidak mudah ditemukan, juga tidak ada maksud dipamerkan untuk umum seperti di masa sekarang. Patung-patung ini menampakkan mimik dan gerak tubuh yang cerdas dan cekatan, suatu kekaleman dan percaya diri yang diperoleh dari latihan yang ketat dan beraturan dalam jangka waktu yang panjang, sehingga penonton dapat melalui patung-patung ini membuktikan keunikan-keunikan tertentu di dalam budaya Qin.

Dalam keadaan normal, patung bekal kubur seharusnya tidak terlihat oleh orang hidup. Oleh sebab itu, pembuatan patung-patung terakota Qin yang begitu persisi dan realis bukan berasal dari motif kesenian dan apresiasi. Kepala, badan, dan empat tungkai patung-patung ini dibuat dengan cetakan, hanya dengan demikian patung-patung ini baru dapat diproduksi secara massal. Tetapi, patung-patung pada saat yang sama juga sangat menekankan keunikan satu per satu. Maka setelah dicetak, perlu lagi diberi sedikit pemolesan, memberi alis dan mata, kumis dan janggut, gaya rambut yang berbeda dengan halus dan terperinci.

Cara produksi dengan membaurkan [ massal ] dan [ terperinci ] ini mencerminkan budaya Qin yang dibawah politik Legalisme demikian haus [ kebenaran ]. Arus utama kebudayaan Cina, baik itu Konghucuisme ataupun Taoisme, selalu mendudukkan [ kebajikan ] jauh di atas [ kebenaran ]. Konghucuisme dengan sepenuh kekuatan mengejar hubungan antar manusia dan ketertiban yang harmonis berdasarkan etika, Taoisme justru di atas etika berusaha keras melepaskan perorangan dari ikatan masyarakat. Baik Konghucuisme maupun Taoisme, sama-sama berusaha berpikir dengan sebuah hati yang bermoral. Sedangkan [ hukum ] yang menjadi pijakan Legalisme bagaimanapun tetap diletakan di bawah moralitas di dalam arus utama kebudayaan ini.

Dinasti Qin adalah suatu jaman di mana negera dibangun di atas landasan hukum yang sangat sedikit ditemui di dalam sejarah Cina. Pelatihan hukum yang ketat membuat budaya Qin memiliki semangat menaati aturan yang objektif. Realisme di dalam patung-patung terakota Qin pada dasarnya adalah semacam aturan objektif dalam [ mencari kebenaran ]. Patung-patung ini begitu terperinci, tinggi dan lekuk tubuh patung dibentuk sesuai dengan orang nyata, juga parasnya, letak tulang alis, bentuk mata, tonjolan tulang pelipis, bentuk bibir dan potongan rambut, semuanya begitu terperinci. Ini jelas berbeda dengan seni rupa Cina pada umumnya yang lebih menekankan penangkapan image.

Semangat Dinasti Qin dalam mengatur negara dengan hukum benar-benar tercermin di atas patung-patung terakota, dan sebab itu patung-patung ini memancarkan gaya yang maskulin, wibawa, serius dan tegas yang jarang ditemui di dalam seni rupa Cina. Garis lekuk tubuh patung penuh dengan garis lurus dan tegang, terutama di sudut-sudut potongan rambut, hampir semuanya membentuk sudut 90 derajat, tajam dan samasekali tidak menyisakan tempat buat melengkung, sehingga patung-patung yang khidmat ini seolah menyimpan semacam kekuatan membunuh. Sangat mengerikan.

Patung-patung ini kurang bermakna apabila dipandang satu per satu, sulit merasakan kekuatannya. Kita baru merasakan kekuatan yang mendesak dan mendominasi ketika sudah berada di makam Qin Shihuang, melihat ribuan prajurit terakota terbentang dalam barisan-barisan yang panjang dan rapat, ini seharusnya dipandang sebagai satu karya utuh.

Tidak seperti patung Yunani yang selalu menonjolkan keindahan tubuh yang khas, yang tersendiri, misalnya, keindahan terhormat ketika seorang atlet menerima mahkota laurel, keindahan Appolo sebagai dewa cahaya yang tiada duanya, keindahan Afrodit ketika terlahir di dalam air yang tak tergantikan…Indah adalah sesuatu yang jarang, yang minoritas. Sedangkan kekuatan patung terakota Qin adalah bersifat kelompok, adalah tekad yang mengkristal di dalam kehidupan bersama, perorangan tidak bisa terlepas dari kelompok.

Lokasi deretan prajurit-prajurit terakota Qin tentu juga adalah lokasi kebudayaan Qin, setiap keunikan patung menghilang. Di tempat ini, hanya terasa kekuatan Dinasti Qin yang pamer kuasa pamer wibawa, samasekali tidak ada perorangan.

Apakah mungkin suatu hari dari tempat ini akan digali keluar patung Qin Shihuang? Dia adalah tuan yang mengerahkan berpuluh ribu prajurit terakota, dia adalah pemilik sebuah Dinasti yang menggemparkan, tapi tubuhnya, di mana tubuhnya?

Berbeda dengan makam-makam kuno di Mesir, di sana firaun selamanya akan menjadi pemeran utama di dalam seni rupa, selalu hadir dengan patung yang besar dan bernilai. Tetapi di Cina, sampai hari ini patung yang diekskavasi dari makam-makam kuno kebanyakan adalah bekal kubur: Prajurit, kerani, budak. Di dalam barisan budak yang berjejal bagaimanapun tidak bisa menemukan tubuh tuannya.

Berdiri di lokasi barisan patung terakota Qin, menunggu tuannya yang tidak bisa ditemukan, [ tubuh ] akhirnya hanya tenggelam di dalam debu waktu. Atau mungkin [ waktu ] yang sesungguhnya adalah tuan di sini, dia mengauskan semua tubuh! Prajurit-prajurit terakota yang awalnya berwarna-warni dan berkilau kini sudah retak dan pudar, menampakkan dasar tanah kuningnya. Mereka putus tangan patah kaki, atau kehilangan kepala, namun masih tetap tegar berdiri. Patung-patung terakota Qin telah menunjuk arah pemikiran kepada sejarah seni rupa Cina, antara perorangan dan kelompok, antara budak dan tuan, antara kehormatan negara dan kebebasan pribadi…

Dan indah, di dalam debu waktu berubah menjadi gema kosong. Ketika sebuah dinasti dalam semalam lenyap, kemewahan sebuah makam kaisar tertimbun, menunggu beberapa ribu tahun kemudian baru pelan-pelan siuman satu kali. Setelah bangun, seolah semua tubuh yang pernah hidup ada begitu banyak kata-kata yang ingin diungkapkan, namun seperti sudah lupa cara mengeluarkan suara, mereka terus membisu, membiarkan orang tunjuk sana tunjuk sini.

Hukum, objektivitas, realisme jaman Qin, di dalam sejarah seni rupa Cina bagai mata sekejap

Tunggu hingga berdirinya Dinasti Han ( 206 SM – 220 Masehi ) yang sengaja menggunakan Budaya Chu dari daerah selatan sebagai landasan, untuk mengimbangi kekerasan Qin, memoles sudut-sudut tajam, mengubah garis-garis lurus dan kaku menjadi garis-garis lembut melengkung, menciptakan semangat Dinasti Han yang moderat.

Patung-patung terakota dari makam Han Jingdi ( Kaisar Jing Dinasti Han ) yang baru diekskavasi pada akhir tahun 1980-an dengan jelas menunjukkan metamorfosis dalam seni rupa Cina setelah terpaut sekitar setengah abad dengan patung terakota Qin. Patung-patung yang sering disebut patung terakota Yangling ini membulatkan sudut-sudut tajam potongan rambut, raut wajahnya juga tidak lagi tegang seperti patung terakota Qin. Di wajah yang tembam dan lembut itu muncul sebuah senyum yang kalem dan bahagia.

Senyuman di wajah patung terakota Yangling mengisyaratkan semacam pelepasan. Catatan sejarah tentang Han Jingdi yang tidak perlu menggunakan hukuman selama empat puluh tahun dia bertahta, seperti bisa dicerminkan dari sesosok-sesosok patung dengan wajah tersenyum. Setelah memasuki Dinasti Han, patung-patung terakota yang sebagai bekal kubur seolah memiliki kesempatan untuk menjadi tubuhnya sendiri. Atau mungkin kita sudah terlalu optimis, di dalam seni rupa Cina, patung terakota, bagaimanapun hanya budak bekal kubur, tubuh yang mandiri apakah benar-benar memiliki kesempatan tersadarkan?

Satu Sudut Cerita

Puisi John Kuan

1.

Minke tidak tahu dirinya kembali menjadi pembukaan sebuah novel.

Sudah dua tahun di ibukota jual-beli peluh, kulit, perut dan hasil bumi

Sesekali juga sejarawan bawah tanah rangkap geolog jarang ke lokasi,

katanya tidak penting. Apalagi hari ini, tapi hari ini sungguh G30S/PKI

Hari ini adalah absolut, bukan apalagi. Novel masa kini ingin pembukaan

baru kembali: Belum pernah melihat langit melengkung begini rendah

dan mendung, sekalipun kilat berkali menyapu genangan tinta dramatis.

Minke keluar dari UG pencakar langit mencari otak kecil, dia lepas-tangkap

di dalam sebuah taksi melaju di antara spasi kata-kata dekoratif. Minke

kaget, tidak pernah melihat badai ibukota bisa demikian membabi-buta

mengaduk jiwa seorang penjual-beli, juga mengaduk jiwa neokapitalis

juga jiwa supir taksi poskolonialisme, bahkan jiwa seorang pemain filem

menempel di kursi, ingatan dan tekad adalah pemercik api otomatis, sejarah

sial negeri malang ditransfusi lewat pembuluh darahnya ke ujung nozel

membakar mesin, mendinginkan cuaca tropis, melesat di jalan demokrasi

Tapi beberapa puluh kaki di bawah tanah, beberapa jiwa bergelombang

tapi bukan kaget. Minke kembali masuk ke UG pencakar langit, kelihatan

otak kecil duduk di satu sudut, satu sudut sejarah, dikepung hantu bisu

Otak kecil sedang melamun, seperti dapat mimpi bagus, bermimpi sulur

merambat di bawah tanah jadi hutan, mengantar air hujan, dan api,

hantu bisu tersenyum, hilang mendebu di dalam udara rima Angkatan 66.

gambar diunduh dari lil4ngel5ing_files_wordpress_com

2.

Minke dari gesekan rima Angkatan 66 menyusup ke dalam mimpi siang

Bersama otak kecil bernostalgia ——— hari itu juga celaka gelap, berdua

somnabulisme di dalam hujan miring, seandainya memang ingin caci-maki

mereka harus menghujat terlahir di dalam sebuah novel, di latar jaman

celaka gelap itu. Tapi memorial adalah tidak perlu, masa muda mereka

tidak usah dikenang hari ini. Mereka hanya perlu antar air hujan dan api,

melewati sebumi genangan hening. Minke menemukan latar telah jadi danau

beberapa bongkah awan hitam sedang menyelam, di atas pencakar langit

kilat sedang geram mengasah gigi. Dan otak kecil melihat latar makin kuyup

akhirnya menjelma jadi lumpur hitam. Bayangkan penjual-beli peluh, kulit,

perut dan hasil bumi bersama sekerat otak kecil bahu membahu meratap

seseorang tidak perlu identitas, seperti sang priyayi sesat di dalam lumpur.

Mungkin ini sedikit OOT: Beberapa tahun kemudian, ketika otak kecil bertatap

muka dengan regu penembak Sang Maut, mungkin akan teringat tahun 2000

suatu petang di depan rumah jagal sebuah kota provinsi, nama tidak penting

Rumah jagal itu telah telantar, dikuasai sekelompok seniman jadi rumah seni.

Namun seni eksperimen pura-pura itu membuat lambung luka. Mereka lebih

memilih keluar mengisap udara masa lampau: Di dalam ketenangan mengisap

habis bau darah terakhir. Tidak tahu mati berapa banyak babi, di udara

seakan penuh roh babi. ” Mungkin juga ada roh manusia ” Seseorang mulai

berbicara dunia-akhirat. ” Coba bayangkan, setelah mati apapun tidak ada ”

3.

Memori selalu di saat termenung berpapasan, menoleh kemudian melongo

Otak kecil terayun-ayun dalam perjalanan pulang, tidak tahu siapa berkedip

mata kepadanya, meniru senyum Maut, tapi senyum begitu hanya bikin orang

menguap. G30S tiap tahun pasti lewat, otak kecil tiba-tiba sadar sesungguhnya

novel ini tidak perlu sebuah pembukaan baru. Kalau curhat, otak kecil memang

ada sedikit. Tulis novel juga sudah pernah, namanya [ Curhat Tahun Celaka ]

Cerita tentang seorang lahir salah ruang dan waktu, negaranya dibombardir

guru kebenaran agung, bahkan rumah sakit bersalin juga, orang itu gunakan

waktu setahun taruh nyawa dewasa, tapi lupa dia mesti belajar bahasa apa,

tunjuk langit dalam hati: Cepat atau lambat kalian pasti akan mencicipi lihainya

Curhat Tahun Celaka! Novel terlalu absurd, apalagi kenyataan. Ketika otak kecil

sampai di rumah, Minke masih berjalan di alur cerita, berputar di dalam indeks

tapi tidak tersesat, hanya hampir menginjak bibir jurang negara. Pengawal alur

cerita menghardik, figuran juga memohon, namun dia samasekali tidak hirau

Minke amat jelas destinasinya, otak kecil juga tahu. Sebuah negara memalukan,

sebuah pemerintah memalukan, pejabat menggosok aus suatu hari suatu bulan

di kertas almanak, menetaskan berapa butir hukum, orang-orang tidak peduli,

mau cinta bisa cinta, mau pisah bisa pisah, alam tukar musim, hati siapa terluka?

Begitulah, otak kecil sampai di rumah, hanya dengan kaleng bir dia berbisik

Menyewa sepetak utopia di antara pasar moderen dan pasar tradisional, juga

diberi bonus neraka, sulur merambat sampai sini, transportasi air hujan dan api.

Arak, Alkitab Terjemahan, Taoisme, Socrates, dan Lain-lain

Gerundelan John Kuan

 Buddhisme pantang arak, Taoisme tidak.     Taoisme bukan saja tidak pantang arak, bahkan seperti ada semacam ungkapan: Arak merawat hidup. Perkara ini terlalu rumit, sulit dibela.
     Namun di dalam Kitab Puisi ( Shijing ) ada sebuah puisi [ Bulan Tujuh ] dengan bait-bait begini:

bulan sepuluh panen padi
demikian kita buat arak musim semi
agar umur panjang alis melambai

Menurut Zheng Xuan ( 127 – 200 ), penafsir kitab kuno dari Dinasti Han yang sangat berpengaruh ini, menggunakan padi menyuling arak adalah tindakan benar, [ sebagai alat untuk membantu merawat usia ], Zhu Xi ( 1130 – 1200 ), filsuf terkenal dan juga penafsir kitab kuno dari Dinasti Song memberikan anotasi yang kurang lebih serupa. Pokoknya ada mengabarkan berita-berita merawat hidup, terutama diperlukan ketika merawat orang berumur. Tao Yuanming ( 365 – 427 ), sering juga dipanggil Tao Qian, penyair kita yang doyan arak ini memberi peringatan dalam puisinya, minum arak belum tentu bisa merawat hidup: bukan alat panjang umur! Katanya. Tetapi ada teks lain menulis: bukanlah alat pendek umur! Teks-teks simpang siur ini membuat maksudnya tidak jelas, tapi kalau menunjukkan tidak baik buat tubuh pasti tidak salah. Perkara ini makin rumit, sulit ada kesimpulan adil.
     Saya pernah membaca sebuah syair yang bercerita tentang perbedaan pandangan Buddhisme dan Taoisme terhadap arak, dan sebagainya dan seterusnya, ditutup dengan dua baris ini:

Minum arak belajar dewa,
pantang arak belajar Buddha.

Sikap ini memang sedap dan nyaman, namun baik dewa ataupun Buddha, itu hanya alasan saja, jadi boleh dikatakan sudah sejajar dengan permintaan Guru: sesuka hati tanpa harus melampaui norma. Silakan buka Lunyu: Bab II pasal 4

*
     Ada juga biksu yang ingin mencicipi arak dan daging, tentu sangat tidak patut, maka arak disebut [ sup prajna ], ikan disebut [ bunga rajutan air ], dan ayam disebut [ sayur penyusup pagar ]
     Su Shi ( 1037 – 1101 ), penyair Dinasti Song yang jujur, romantis, tapi sengsara ini terpaksa kritik:
” Membohongi diri sendiri, hanya menjadi bahan tawa dunia. ”
     Kemudian menambahkan: ” Ada juga orang demi kebohongan memainkan pena dengan nama-nama indah, apa bedanya dengan ini? ”
     Saya juga pernah diajak mencicipi berbagai macam daging olahan gluten di restoran vegetarian, tapi sering saya tolak, tidak sedap sambil makan terkenang-kenang Su Shi. Urusan ini sampai di sini saja, terlalu sensitif, tidak baik dilanjutkan.

*
     Ketika Torres berumur dua tahun, anak Spanyol ini dipastikan sebagai reinkarnasi Lama Thubten Yeshe, kemudian dikukuhkan sebagai pemimpin biara, itu adalah kejadian tahun 1987, dan ini sudah pernah saya tulis.
     Anak lelaki ini lahir di Granada, Andalusia, dunia tua agama Katolik. Namun, dia ternyata adalah reinkarnasi Lama Yeshe, kemudian menetap di Nepal, terkesima dan antusias ini juga pernah saya ceritakan.
     Beberapa tahun kemudian, saya pernah membaca berita Lama cilik kita ini menerima undangan Taipei. Kalau tidak salah waktu itu dia baru enam tahun. Para tukang gossip berbodong-bondong pergi bertamu, tentu membawa hadiah. Menurut desas-desus hadiah yang paling disukai Lama cilik kita yang berumur enam tahun ini, masih juga segala macam mainan, samasekali tidak berbeda dengan anak-anak lelaki umur enam tahun umumnya.
     Ini adalah satu hal yang hangat dan menyentuh hati, di dalam dunia nyata kita.
     Dia pernah menunjuk dan memastikan satu per satu benda-benda kudus dari hidup lalunya yang belum selesai, mahkota, tongkat, japa malas, jubah, dan sebagainya. Mungkin itu cara ajaibnya menunjukkan dirinya adalah Lama reinkarnasi, bisa dipahami. Sekarang dia menyukai mainan-mainan plastik, warna-warni pesawat terbang, mobil, dinosaurus, dan makhluk-makhluk aneh lain, terutama Ninja Turtle ( Waktu itu Transformers belum kesohor, Ben-Ten dan kawan-kawan Jepang yang lain juga belum ) yang disukai setiap anak lelaki. Ini juga sepenuhnya bisa dipahami. Selain sebagai reinkarnasi Lama, Torres tetap adalah seorang anak lelaki sehat berumur enam tahun dari Granada.

*
     Di dalam Perjanjian Baru tidak banyak menemui kisah tentang masa kanak-kanak Yesus. [ Injil Matius ] setelah menceritakan tanda-tanda kudus kelahirannya, selanjutnya adalah Yohanes Pembaptis tampil, berkotbah di padang gurun Yudea, katanya: ” Kerajaan Allah sudah dekat, bertobalah kalian. ” Kemudian adalah Yesus dibaptis di Sungai Yordan. [ Injil Matius ] dimulai dengan Yesus dibaptis, jadi sudah dewasa: Begitu keluar dari air, seketika melihat langit retak terbuka, Roh Kudus bagai merpati, turun di atas tubuhnya, lalu ada suara datang dari Langit berkata, kaulah anakKu yang Kukasihi, Aku berkenan padamu. Selanjutnya adalah percobaan empat puluh hari itu.
     Narasi [ Injil Yohanes ] kian padat dan ringkas. Dan salah satu bagian yang menceritakan percakapan Yesus dengan ibunya, adalah untuk mengubah air di dalam tempayan batu menjadi anggur, dan ini adalah mujizat pertama yang ditunjukkan Yesus. Saat itu Yesus telah memiliki pengikut, jadi juga sudah dewasa. Awalnya ibu Yesus berkata kepadanya: ” Mereka kehabisan anggur. ” Ternyata Yesus menjawabnya: ” Ibu, aku apa pula sangkut-pautnya dengan kamu? Waktuku masih belum tiba. ”
     Yesus ketika berumur dua belas tahun sudah mengucapkan kata-kata luar biasa, kisah ini dapat ditemui di dalam [ Injil Lukas ]. Paskah tahun itu, orang tuanya seperti biasa berangkat ke Yerusalem merayakan. Sehabis hari raya, di dalam perjalanan pulang ke Nazaret, mereka sangka Yesus ada di dalam rombongan mereka. Setelah berjalan satu hari, baru menyadari dia tidak ada, buru-buru kembali ke Yerusalem mencarinya. Lewat tiga hari, akhirnya menemukan dia duduk di dalam bait Tuhan bertanya jawab dengan guru-guru. Ibunya berkata: ” Anakku, mengapa engkau berbuat demikian kepada kami? Lihat, ayahmu dan aku begini cemas datang mencarimu! ”
     Yesus yang dua belas tahun berkata: ” Mengapa engkau mencari aku? Tidakkah engkau tahu aku harus selalu dalam urusan Bapa-ku? ”

*
    Maksud Yesus mengenai [ selalu dalam urusan Bapa-ku ], adalah [ bertanggung jawab terhadap Tuhan ]
    Begini sadar diri dan serius, luar biasa, beberapa kata ini dengan [ aku apa pula sangkut-pautnya dengan kamu ] di kemudian hari saling menyahut, membuat orang tercengang dan salah tingkah, tentu ketakutan, dan murung. Ketika Yesus masih di dalam gendongan, ibunya membawa dia keluar, bertemu Simeon; orang yang benar dan saleh itu. Simeon sudah tahu dia adalah Kristus, mengucapkan banyak kata-kata pujian, terakhir berkata kepada ibunya: ” Hatimu juga akan ditusuk tembus sebilah pisau. ”
     Namun, [ Injil Lukas ] dengan jelas menulis, Yesus sejak pulang dari Yerusalem, patuh kepada orang tuanya. Namun, hati yang ditusuk tembus sebilah pisau, adalah sakit tak terperikan seorang ibu yang harus mengalami anaknya menderita, menembus dosa, berdarah, mengorbankan diri.

*
     [ Ibu, aku apa pula sangkut-pautnya dengan kamu? Waktuku masih belum tiba ], Bagian ini saya terjemahkan langsung dari Alkitab Bahasa Mandarin terbitan awal abad ke-20, kemungkinan adalah terjemahan dari Versi King James, ternyata agak berbeda dengan New American Standard. Versi Bahasa Inggeris terbaru ini seandainya saya yang menerjemahkan, akan begini: ” Kamu jangan beritahu apa yang mesti aku lakukan. Waktuku masih belum tiba. ] Artinya, Yesus masih dalam masa persiapan, sesaat itu masih belum ingin menunjukkan dia mampu menciptakan mukjizat. Namun, beberapa waktu kemudian dia terpaksa juga menunjukkan, maka air pun menjadi anggur, itulah mukjizat pertama yang dia tunjukkan.

     Yesus patuh pada orang tuanya.

     Versi Bahasa Inggeris menggunakan kata sifat obedient, buat menegaskan ketika menghilang dalam perjalanan dari Yerusalem menuju Nazaret, serta kata-kata yang dilontarkan kepada ibunya di bait Tuhan memang sedikit tidak patut, setelah pulang bersama, sekarang dia sudah baik, sudah patuh pada orang tuanya.

*
     Perjanjian Baru dalam terjemahan Bahasa Mandarin menggunakan kata ini: 顺从 ( baca: shùn cóng; artinya patuh ), tidak menggunakan kata: 孝顺 ( baca: xiào shùn; mungkin saya boleh artikan: berbakti ), saya rasa para penerjemah pasti tidak begitu suka dengan kata 孝 ( berbakti ) ini, konsep ini, tradisi besar ini. Dan memang, ‘ berbakti ‘ adalah ide dasar dan implementasi dalam ajaran Ru ( Konghucuisme ), sangkut-pautnya sangat luas dan dalam, setiap sudut bersenggolan dengan agama Kristen ( misalnya penyembahan leluhur ), seandainya bisa menghindari kata ini, lebih baik dihindari saja. Para penerjemah Perjanjian Baru pasti sangat jelas dan bijak.

*
     Para penerjemah awal itu bukan saja bijak, tetapi juga sangat menguasai pengetahuan Cina Klasik, kadang-kadang bahkan sangat berkesan dan dalam.
     [ Injil Yohanes ] dalam Versi King James begitu mulai sudah berkata, pada mulanya adalah Logos; Logos ini bersama-sama dengan Tuhan, dan Logos itulah Tuhan. Pada mulanya Tuhan dan Logos adalah bersama-sama. Kemudian melanjutkan, Tuhan melalui Logos menciptakan segala benda.
     Logos di dalam puisi maupun prosa Yunani Kuno, seperti karangan Homer, Thucydides, Pindar, Plato dan sebagainya, artinya tidak keluar dari [ kata ], [ bahasa ], [ ungkapan ], [ gagasan ], [ janji ], [ percakapan ], [ kisah ], [ sejarah ], lalu berkembang menjadi [ pikiran ], [ sebab-musabab ], dan [ penalaran ] sejenis pandangan-pandangan yang sangat abstrak.
     [ Injil Yohanes ] berkata Logos pada mulanya sudah ada. Tetapi dalam terjemahan Bahasa Inggeris Versi King James tidak tahu bagaimana memanggilnya, sebab dia bukan cuma [ kata ], juga bukan cuma [ gagasan ], sebaliknya dia seperti mengandung makna yang pertama dan memiliki berbagai penjabaran yang kedua. Oleh sebab itu Versi King James kewalahan, lebih baik tidak usah diterjemahkan saja, langsung disebut Logos. Di dalam versi New American Standard yang lebih mengarah ke bahasa sehari-hari, lalu mengubah kata Yunani itu menjadi Word, dengan begitu hanya dapat menangkap makna [ kata ], sekalipun dengan huruf kapital, dan membawa sedikit aroma misterius.
     Berbagai macam semangat melakukan percobaan ini perlu didukung, namun hasilnya seperti kurang memadai. Terus terang, kalau dibandingkan dengan versi terjemahan Bahasa Mandarin, masih kalah. Coba lihat pembukaan [ Injil Yohanes ]: Pada mulanya adalah Tao; Tao ada bersama-sama Tuhan, Tao itulah Tuhan. Tao ini pada mulanya bersama-sama Tuhan, segala benda melalui dia diciptakan…

*
     Entah dapat ilham dari mana, begitu saja sudah bisa memancing masuk kata [ Tao ], sempurna, semua kegalauan dalam terjemahan Bahasa Inggeris langsung terurai. Bukan demikian saja, bahkan bisa menghubungkan ajaran agama Kristen dengan intisari budaya Cina pra-Qin, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, ujung pangkal semuanya Tao, dan bukan hanya umat-umat biasa yang memuji, saya duga cendekia-cendekia tradisional juga ikut terpukau, siapa tahu.

*
     Lao Zi: ” Ada sesuatu berbaur jadi, sebelum Langit dan Bumi lahir…… Aku tidak tahu namanya, kusebut saja Tao. ” Kemudian: ” Tao melahirkan satu, satu melahirkan dua, dua melahirkan tiga, tiga melahirkan segala benda.
     Ini dengan [ Tao itulah Tuhan. Tao ini pada mulanya bersama-sama Tuhan, segala benda melalui dia diciptakan ] walau ada perbedaan tingkatan, namun sepintas akan membuat orang sangka membicarakan hal yang sama. [ Injil Yohanes ] memang berbeda dengan penulis Injil yang lain, gigih menyatakan Yesus adalah Logos Tuhan, menjelaskan Yesus adalah anak Tuhan, sebagai juru selamat, Tuhan melalui dia memberi orang hidup kekal, dan sebagainya dan sebagainya. Konsep ini ( bagi orang-orang terpelajar dalam tradisi Konghucuisme ) adalah tidak masuk akal, sebab di dalam ajaran Ru tidak ada jurusan ini. Namun, Dao De Jing pasal 4 ternyata juga blak-blakan: [ Tao adalah hampa, dan bila digunakan, hindari penuh. Begitu dalam! Bagai muasal segala benda./ Tumpulkan ketajaman, uraikan kekusutan, seimbangkan terang, berbaur ke dalam debu./ Begitu bening! Tao seakan terus ada, aku tidak tahu dia anak siapa, seakan tampil sebelum raja Langit. ]
     Seperti pernah mengenalnya?
     Bisa jadi banyak orang-orang terpelajar tradisional menyangka ini adalah itu, sama-sama ——— Guru berkata: Pagi mendengar Tao, malam sudah boleh mati! Silakan buka Lun Yu Bab IV pasal 8.

*
     Menerjemahkan Logos yang berasal dari Yunani menjadi Tao, kemudian ditambah dengan berbagai penjelasan, tentu sangat bijak dan cerdas, juga tampak maksud di baliknya.
     Namun, mesti juga tahu [ Tao yang bisa diucap, sudah bukan lagi Tao]

*
    Saya masih terus melacak perihal anak Spanyol yang Lama reinkarnasi itu, sudah bertahun-tahun tapi belum luntur, salah satu sebab adalah saya suka semacam transcendental mysticism yang dibawanya.
    Menurut sebuah berita yang saya baca ketika dia berkunjung ke Taiwan, adalah untuk mengumpulkan sumbangan buat mendirikan patung besar Buddha Maitreya di India.
    Patung besar Buddha Maitreya? Tidak tahu seberapa besar. Saya juga sering bertemu dengan patung-patung Buddha yang sangat besar. Selalu merasa patung tidak usah terlalu besar; besar belum tentu indah. Saya pernah melihat sebuah patung kecil Buddha Maitreya di luar Kuil Lingyin ( 灵隐寺 ) di Hangzhou, indah sekali.
    Karya seni di luar seni patung religi juga demikian, besar belum tentu indah.
    Walau patung perunggu di sudut-sudut kota Paris tak terhitung, tetapi patung Jeanne d’Arc yang tidak seberapa besar tetap sangat mengesankan sekalipun berada di antara gedung-gedung megah. Dia dengan baju perang di atas kuda, memancarkan semacam kharisma, ini adalah keindahan ekstrim yang lain.

*
    Venus de Milo.
    Saya rasa yang belajar seni lukis pasti pernah melukisnya. Rupa Venus tidak seragam, yang ini ditemukan pada tahun 1820 di Milos, sekarang disimpan di Museum Louvre. Patung ini tidak terlalu besar, sempurna di dalam keindahan yang cacat, dewi cinta ini mungkin jauh lebih kecil daripada yang dibayangkan.
    Di Museum Louvre juga ada patung Socrates setengah badan, dan Apollo, dan Athena, kalau tidak salah. Apollo, dewa matahari ini tidak berbeda dengan umumnya patung Yunani, telanjang bulat; Athena lilit sehelai kain panjang yang tipis, kerutannya sangat alamiah, kaki memakai sandal. Athena disebut sebagai dewi pelindung kota Athena, tetapi lebih sering sebagai dewi pelindung semua kota di Yunani.

*
    Athena.
    Athena di dalam mitologi Yunani sangat tidak lazim.
    Dewa utama Olimpus, Zeus selalu takut isterinya Metis akan melahirkan seorang anak yang lebih kuat dari dia, suatu hari setelah bersetubuh, dia menelan isterinya utuh-utuh ke dalam perut, walaupun katanya telah dijelma jadi serangga. Tidak tahu lewat berapa lama, Zeus sakit kepala, memerintah Hephaestus ( ada yang bilang Prometheus ) dengan kapak membelahnya, dari batok kepala yang terbuka, keluar seorang bayi perempuan, yaitu Athena
     Athena selain sebagai dewi pelindung kota, juga sebagai dewi seni dan kerajinan ( terutama tenun dan anyaman ), dan dewi pencipta suling. Dia bermata biru, dingin jelita, selalu dalam pakaian perang, pegang tombak dan perisai. Ini adalah rupa yang sering ditemui. Beberapa tahun yang lalu saya pernah melihat Athena yang tampak samping di dalam sebuah buku, dari tembaga tua, penuh ditutupi bercak, namun sangat indah, membuat orang tidak berani terus menatap.

*
     Apollo tentu adalah dewa matahari, juga merangkap pengobatan, musik, seni panah. Kadang-kadang dia juga sebagai dewa pelindung ternak dan pertanian. Apollo adalah lambang tertinggi kebenaran dan moral, melindungi kebaikan, mengusir kejahatan, menetap di Delfi sebagai Orakel.
     Ketika Socrates dituduh merusak generasi muda Athena, tetap tampil sendiri di pengadilan membela diri. Dia berkata: ” Saya bisa terkenal, tidak lebih karena saya bijaksana melampaui orang. ” Riuh rendah seketika di dalam luar pengadilan.
     ” Kebiijaksanaan yang seperti apa? Hanyalah kebijaksanaan manusia biasa! ” Socrates melanjutkan: ” Saya mungkin saja memiliki kebijaksanaan yang begini, tetapi yang dimiliki oleh orang-orang yang tadi saya sebut itu bisa jadi adalah kebijaksanaan manusia luar biasa, siapa tahu; kebijaksanaan begitu saya tentu tidak punya. Mengatakan saya memiliki kebijaksanaan manusia luar biasa adalah tidak benar, berarti sedang menghancurkan karakter saya. Harap tenang, saudara-saudara, sekalipun kalian  sangka saya sedang berbual. Berikutnya saya akan menceritakan suatu hal tapi bukan pengalaman sendiri, sebenarnya sumbernya sangat bisa dipercaya. Saya ingin meminjam nama dewa Delfi untuk menunjukkan kebijaksanaanku, yang masih ada, atau semacamnya. Kalian pasti sudah tahu Chaerephon, dia adalah kawan saya sejak kecil, juga adalah kawan kalian yang bersama-sama pulang dari pembuangan, bukankah begitu? Wataknya kalian pasti sangat jelas, segala hal tanpa tedeng aling-aling. Suatu kali dia pergi ke Delfi dan berusaha bertanya kepada Orakel ——— harap tenang, mohon jangan ribut, saudara-saudara ——— dia bertanya pada Apollo, apakah ada orang yang lebih bijak dari saya, Orakel berkata memang tidak ada orang lebih bijak daripada Socrates. Sayang Chaerephon sudah mati, saudaranya ada di pengadilan ini dan bisa menjadi saksi ”
    Demikianlah hubungan Socrates dan Apollo. Percakapan di atas dikutip dari catatan Plato.

*
    Ketika Socrates maju ke depan pengadilan membela diri usianya sudah tujuh puluh tahun, yaitu 399 Sebelum Masehi
    Dewan juri pengadilan kali itu sangat ramai, mencapai 501 orang. Di antara mereka selain orang-orang Athena yang mengadukan Socrates, juga ada sahabat-sabahat dan murid-muridnya yang mendukung. Musuh-musuh Socrates biasanya disebut kaum sofis. Hari itu Plato dan Xenophon termasuk sahabat-sahabat dan murid-muridnya yang ikut duduk di dewan juri.
     Seusai perkara, Plato berdasarkan pendengaran sendiri menulis [ Apologia ]

*
    Hubungan Xenophon dan Socrates ——— dan Apollo.
    Xenophon yang ingin ikut Cyrus berperang ke Persia, bertanya kepada Socrates. Socrates tahu Cyrus berhubungan baik dengan Sparta, jika menganjurkan muridnya ikut berperang, pasti akan disalahkan orang-orang Athena, dia lalu menyuruh Xenophon berangkat ke Delfi meminta petunjuk Apollo. Xenophon yang sudah kukuh pendirian, bertanya kepada Apollo: ” Aku mesti berdoa dan melakukan persembahan kepada dewa yang mana, agar bisa dengan terhormat pergi perang, dan selamat pulang? ”
     Apollo berkata: ” Berdoa dan lakukan persembahan kepada dewa yang bersangkutan sudah cukup ”
     Xenophon beritahu Socrates perihal tanya jawab dengan Apollo ini, Socrates memarahi dia kenapa tidak bertanya perjalanan ini berbahaya atau tidak, malah membuat keputusan sendiri,  bertekad ingin pergi. ” Baiklah! ” Kata Socrates: ” Sebab kamu sudah bertanya demikian, maka ikutilah petunjuk dewa! ”

*
     Xenophon berangkat berperang ke Persia di tahun 401 Sebelum Masehi. Pangeran Persia Cyrus mengerahkan sepuluh ribu prajurit Yunani yang terutama terdiri dari orang Sparta, menerjang ke timur, tujuannya adalah untuk merebut tahta dari saudaranya. Pasukan ini langsung menusuk masuk, mereka menyeberangi Sungai Eufrat tiba di Babylon, tanpa rintangan berarti. Namun dalam Pertempuran Cunaxa hancur tercerai-berai. Cyrus mati dalam perang, prajurit-prajurit Yunani berputar ke arah utara, bergerak mundur menyusuri Sungai Tigris, makin dalam terjerumus di sekitar Laut Hitam, membelakangi air bergerak ke barat, terus terbirit-birit masuk Byzantium, terakhir baru perlahan bergerak balik ke Yunani. Perjalanan ini disebut sebagai salah satu long march terpanjang dalam sejarah manusia. Xenophon di masa tua menyelami hati menulis [ Anabasis ] merekam peristiwa ini.
     Menurut catatan, Xenophon kembali ke Athena adalah tahun 399 Sebelum Masehi, itu adalah tahun Socrates dituduh, membela diri di pengadilan, mati dihukum minum racun.
     Tidak lama setelah Socrates mati, Xenophon juga dibuang, dosanya adalah ikut dalam perang Cyrus ke Persia dan bekerja sama dengan orang Spartan. Kalau begitu, maka yang dirisaukan Socrates sebelumnya bukan samasekali tanpa alasan.

*
     Xenophon muda sangat cerdas, tetapi bukan termasuk paling menonjol
     Suatu hari Socrates gandeng tongkat berputar-putar di jalanan Athena, bertemu dengan Xenophon di lorong sempit, dia lalu rintang tongkat menghalangi Xenophon, sambil tersenyum bertanya: ” Kemana bisa cicip arak, kemana bisa beli sandal ” dan berbagai macam pertanyaan, anak muda agak malu, tetapi jawabannya mengalir lancar. Socrates lalu memutar pertanyaannya, kemana bisa menciptakan manusia yang indah dan bijak. Xenophon tidak bisa menjawab.
     Socrates berkata: ” Ikuti aku, kuajari! ”

September Suatu Hari

Puisi John Kuan

1.

Petai cina sepuluh batang

tebang pilih tiga sisa tujuh

sekejap gemericik, derai

miring gerimis September

menabur di pekarangan jauh

Bunga jombang berlomba

guling di rumput hijau

hanya tidak diijinkan masuk pintu ———

Di balik pintu sekat ruang

sekat waktu, duduk hening, alis putih 

bunga anggrek, bonsai Buxus

agak jauh agak jauh ada sederet bambu

Kau menulis bunga plum

aku baca sejarah kolonial

 

Suhu hangat sedang mengukus

lumut hijau di sela bata merah

Tahun itu bukan April saja bisa keji

sehalaman bunga baru selesai merekah

di hutan karet tidak hanya cangkang biji meletus

 

2.

Bugenvil tetangga seperti satu malam

mekar semua, bahkan diam-diam menjulur lewat

dinding kayu, seperti juga ada sayap

seekor kupu-kupu putih mengaduk lembab

meriak semacam getaran sunyi

di sebelah dinding kayu: sungguh pekarangan hening

( Anak lelaki mereka luka parah di atas ranjang

September yang dingin ) Maukah

kita berdoa untuk kesehatannya?

 

Petai cina tujuh batang:

semacam romantis, pusing menaksirnya

September juga tidak setara musim gugur

Sebiji hati sesat di lorong-lorong batu hijau

tiba-tiba purnama agak basah di atas tembok, sorot

kau menulis bunga plum

aku baca sejarah kolonial

 

Petai cina tujuh batang

Tujuh batang juga bagus

Pilih Selembar Foto Buat Waktu

Puisi John Kuan

gambar diunduh dari http://www.yangunikcantik.blogspot.com

Selembar ini ada rintik hujan Chaplin,

bau mentol, amat sejuk, agaknya musim gugur.

Dua orang duduk berhadapan di kiri, sisanya

dibiarkan kelabu keluar hingga jauh.

Ada ranting sehabis menggugurkan daun-daunya

entah di mana, masuk berkecambah sunyi di sisi atas.

Sebuah meja pendek tegar di antara mereka, menjaga

poci dan cangkir teh tetap berasap, sentuh ranting sentuh awan.

Dia sedang meraba rambutnya, ujung jari menyentuh keringat

dan wangi melati akar rambut, menyusuri helai-helai hitam kilap

berhenti di lekuk leher giok putih. Air mendidih, dunia selembar kabut.

Di seberang meja dia sedang menyeruput hidup, ada aroma teh

ada senyum dikulum sekian tahun, ada harum tertinggal di akar lidah

untuk peristiwa selanjutnya agaknya hambar, atau semacam manis

berayun di antara ada dan tiada, bagai sepotong awan melayang

keluar dunia sejengkal, mungkin tidak lebih dari dua tiga helai

daun kering terapung atau mengendap di dalam cangkir.

Nyanyian Burung Merak di Tepi Sungai Brokat – Puisi-puisi Xue Tao ( 768? – 831 )

Gerundelan John Kuan

Suatu senja di akhir musim semi, seorang ayah duduk bersama anak gadisnya di pekarangan rumah. Mungkin karena tergoda warna pemandangan di depan mata, atau ingin menguji kemampuan anak gadisnya berpuisi, tangannya menunjuk sebatang pohon Wutong di samping perigi sambil mengucapkan sebait puisi:

Di ujung pekarangan ada sebatang Wutong tua,
ranting-rantingnya menerobos ke dalam awan.

Kemudian melirik anak gadisnya yang duduk di sisinya untuk menyambung, gadis kecil berumur delapan tahun itu seketika melengkapi sebait:

Dahan-dahan menyambut burung selatan utara,
dedaunan mengantar angin pergi dan datang.

Sebait puisi ini telah membuat ayah itu terdiam dan sedih, puisi adalah suara hati dan harapan, bagaimana seorang gadis bisa begini terapung dan terombang-ambing? Gadis itu akhirnya memang menjadi perempuan penghibur.
Ini adalah sepenggal cerita masa kecil Xue Tao yang sering ditemukan di dalam berbagai macam buku, tetapi sangat sulit mengetahui kebenarannya. Cerita serupa begini masih bisa ditemui di dalam catatan masa kecil beberapa penyair perempuan Cina Kuno yang lain. Sepenggal catatan pendek begini menyimpan berapa banyak bias gender di dalam masyarakat Cina Kuno, serta posisi perempuan terpelajar di dalam tradisi Konghucuisme selama ribuan tahun. Seandainya sebait puisi di atas keluar dari mulut seorang anak lelaki, maka komentar dan penilaian akan menjadi sangat berbeda. Sebait puisi dari seorang anak berumur delapan tahun yang begini lincah dan ceria, kenapa tiba-tiba berubah menjadi sebuah kutukan? Jawabannya mungkin akan terlalu panjang dan berat juga menyangkut sebuah tradisi yang sangat tua. Sudahlah, saya tebas paku potong besi, tidak usah bahas lagi.

*

Xue Tao lahir di Chang’an antara tahun 768 sampai 770, tidak dapat dipastikan, di dalam catatan sejarah resmi tidak tercantum riwayat hidupnya, sekalipun Xue Tao selalu dianggap sebagai salah satu penyair perempuan Dinasti Tang yang paling berbakat dan penting.
Ayahnya adalah seorang pejabat pemerintah pusat, tetapi beberapa tahun setelah Xue Tao lahir, dia dipindah-tugaskan ke daerah Sichuan, memegang jabatan bendahara di kantor Gubernur Jenderal Sichuan.
Seluruh masa kecil, remaja hingga hari tua Xue Tao dihabiskan di Sichuan. Sichuan pada masa itu termasuk salah satu provinsi otonomi penuh yang disebut Provinsi Militer dalam catatan sejarah. Provinsi-provinsi ini biasanya dipimpin seorang Gubernur Jenderal, mereka selain memiliki tentara sendiri, bebas mengangkat dan menghentikan pejabat-pejabatnya juga tidak perlu menyetorkan pajak kepada pemerintah pusat di Chang’an. Dan satu-satunya hak intervensi pemerintah pusat terhadap Provinsi Militer adalah hak Kaisar mengangkat semua Gubernur Jenderal,  walaupun demikian, pembangkangan dari beberapa Provinsi Militer tetap terjadi sepanjang paruh kedua abad ke-8 hingga abad ke-9. Ini tentu adalah salah satu masalah yang paling mengerogoti keutuhan Dinasti Tang dan terakhir membuatnya ambruk.
Sichuan bukan Provinsi Militer pembangkang, cukup patuh. Tiap tahun tetap menyetor ke pemerintah pusat, tetapi bukan sebagai setoran pajak melainkan sebagai upeti, dan semua Gubernur Jenderal-nya juga diangkat atau ditunjuk oleh Kaisar. Sedikit kepatuhan ini telah membuat Sichuan agak stabil dibandingkan dengan Provinsi Militer lain, sehingga dapat berkembang menjadi daerah yang cukup makmur dan relatif aman di alam Tang yang terus bergolak. Sekalipun gangguan-gangguan di perbatasan Yunnan dan Tibet masih sering terjadi.
Tahun 782 ayah Xue Tao tiba-tiba meninggal dunia, ini adalah petaka yang mengubah jalan hidup Xue Tao. Ada beberapa versi tentang kematian ayahnya; dihukum mati, terbunuh dalam sebuah pemberontakan di Chengdu, atau sakit. Apapun versinya, Xue Tao yang masih berumur 14 tahun akhirnya harus menjalani hidupnya sebagai seorang perempuan penghibur di tempat hiburan yang dikelola oleh pemerintah untuk keperluan pejabat dan tamu-tamunya. Pada masa itu tempat-tempat hiburan begini berkembang pesat di daerah ‘ lampu merah ‘ Chengdu yang gemerlap. Jika ayahnya dihukum mati karena korupsi maka kemungkinan besar Xue Tao dimasukkan ke rumah hiburan milik pemerintah sebagai hukuman, dan lumrah pada masa itu. Jika ayahnya terbunuh dalam sebuah pemberontakan atau meninggal dunia karena sakit, kemungkinan Xue Tao sendiri yang mendaftar ke rumah hiburan milik pemerintah.
Apapun pilihannya atau hanya sekedar menjawab tantangan hidup, Xue Tao memang menjadi seorang perempuan penghibur resmi, masuk ke dalam sebuah dunia di mana perempuan dihargai sebagai pendamping bicara, tempat curhat, seniman, di mana bakat dan kecerdasan lebih diutamakan daripada kecantikan, tempat lelaki rileks atau membuat persekongkolan politik atau persetujuan bisnis atau mencari perempuan pendamping yang secara intelektual tidak mampu dipenuhi oleh isterinya yang terbatas pendidikannya. Tentu, seks juga merupakan bagian dunia ini, tetapi bukan bagian yang terbesar.
Perempuan penghibur di jaman Dinasti Tang tidak sesempit pemahaman sekarang. Perempuan penghibur pada masa itu terbagi dalam berbagai tingkatan sesuai keperluan, Xue Tao termasuk perempuan penghibur resmi, dia bekerja, diatur dan dilindungi pemerintah, dia juga harus membayar pajak. Perempuan-perempuan penghibur resmi juga sering tampil dalam acara-acara resmi, sehingga kesempatan mereka berkenalan dengan lelaki-lelaki yang memiliki kuasa dan terdidik lebih terbuka.
Xue Tao dengan bakatnya yang begitu menonjol dalam usia muda belia tentu telah mencuri perhatian tokoh-tokoh penting Sichuan. Dan memang, tiga tahun kemudian, dia sudah sering dipanggil untuk mendampingi Gubernur Jenderal Sichuan yang baru menjabat bernama: Wei Gao, dalam acara resmi maupun pesta pribadi. Hubungan mereka sangat khusus, tetapi kita tidak dapat menduga seberapa jauh hubungan tersebut, apakah hubungan kekasih atau teman atau patron. Wei Gao adalah salah satu Gubernur Jenderal Sichuan yang sangat berpengaruh, dia memegang jabatan ini selama 21 tahun, memberikan Sichuan ketenteraman dan kemakmuran yang jarang ada pada periode itu di dataran Cina.
Dua tahun kemudian, Wei Bao membantunya melepaskan diri sebagai perempuan penghibur. Setelah memperoleh kebebasan dia memilih menetap sendiri di tepi Sungai Brokat, usianya baru dua puluh tahun. Ini adalah sebuah pilihan yang sangat berani, pada jaman itu seorang perempuan muda berani memilih hidup sendiri sebagai veteran perempuan penghibur adalah tantangan yang sulit kita bayangkan. Dia tetap mencari hidup dengan menulis puisi, mendampingi Gubernur Jenderal dalam acara resmi maupun pesta pribadi hingga Wei Gao mendadak meninggal dunia di tahun 805. Pada masa itu selain sebagai pendamping Gubernur Jenderal dalam acara-acara resmi, Xue Tao juga mempunyai sebuah jabatan setengah resmi: nujiaoshu ( semacam sekretaris ), disebut tidak resmi karena pengangkatan ini tidak disetujui pemerintah pusat. Sekalipun setengah resmi, dan tugas jabatan ini juga sangat ringan, tetapi dia mungkin merupakan perempuan pertama yang masuk dalam birokrasi pemerintah dalam sejarah Cina. Mendampingi Gubernur Jenderal dalam acara resmi dan memegang jabatan jiaoshu setengah resmi ini terus dilakukan Xue Tao hingga hari tua, dia melewati sebelas periode Gubernur Jenderal.
Awal musim semi 809, melalui seorang teman Xue Tao berkenalan dengan Yuan Zhen. Sebagai penyair dan kaligrafer, nama Xue Tao sudah lama menyebar keluar daerah Sichuan, cukup terkenal di kalangan sastrawan dan kaum terpelajar, dan Yuan Zhen adalah sebiji bintang yang sedang bersinar di dunia sastra dan politik. Menurut cerita, dalam waktu singkat Xue Tao sudah jatuh cinta pada Yuan Zhen yang muda, berbakat dan flamboyan itu. Seandainya cerita ini benar, siapa bisa sangka perempuan sangat matang ini akan bertemu dengan sepotong cintanya yang paling mewah di saat begini. Dia 40 tahun dan Yuan Zhen 31. Seandainya cerita ini benar, maka kita pasti juga tahu hubungan ini tidak akan berhasil, terlalu banyak rintangan yang mesti dilalui, lagipula Yuan Zhen terkenal sebagai penyair Tang yang paling playboy. Tidak tahu ada berapa banyak perempuan telah membasuh muka dengan airmata demi dia. Sepotong kisah cinta ini sudah terlalu banyak kali ditulis ulang dan sangat sulit dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Dalam catatan pendek ini saya rasa tidak perlu lagi dipanjang-lebarkan.
Tidak sulit untuk memahami mengapa Xue Tao hidup sendiri hingga akhir hayat, terlepas dari benar tidaknya pengaruh hubungannya dengan Yuan Zhen yang singkat dan cepat menjadi masam itu. Dia jelas adalah seorang perempuan yang memiliki pikiran sangat mandiri, sekalipun untuk ukuran jaman sekarang. Bagi seorang perempuan yang sejak umur 14 tahun sudah menghidupi diri sendiri, saya kira dia juga sangat mandiri secara ekonomi. Ditambah namanya yang kian berkibar dan lingkungan pergaulannya, semua ini tentu membuat dia sulit menemukan pasangan yang cocok.
Di usia senja, Xue Tao lebih banyak menghabiskan waktu mempelajari ajaran Tao, sering berpenampilan sebagai pendeta Tao, hidup menyepi di tepi Sungai Brokat. Tetapi ini bukan pertapaan, dia masih melayani undangan-undangan dari Kantor Gubernur Jenderal, menerima teman-temannya dari dunia sastra dan politik hingga hidupnya berakhir. Dia meninggal dunia pada tahun 831, menikmati hidup 63 tahun. Xue Tao mungkin adalah penyair Tang Tengah yang paling luas pergaulannya. Dia pernah mendampingi sebelas orang Gubernur Jenderal Sichuan, dia kenal dan saling bertukar puisi dengan hampir semua penyair penting Tang Tengah, seperti: Bai Juyi, Yuan Zhen, Wang Jian, Zhang Ji, Liu Yuxi, Du Mu…
*

Puisi-puisi Xue Tao jarang ditemukan di dalam antologi-antologi yang disusun kemudian, termasuk antologi puisi Tang yang paling populer: Antologi 300 Puisi Tang. Di dalam Antologi Lengkap Puisi Tang terdapat satu bab puisi Xue Tao yang berisi 89 puisi. Jika melihat Antologi yang berisi 42.863 buah puisi dari 2529 penyair ini, dan hanya ada sekitar 600 buah puisi yang ditulis oleh 130 penyair perempuan, maka 89 buah puisi Xue Tao adalah jumlah yang luar biasa. Konon, Xue Tao juga pernah menerbitkan sebuah buku puisi yang diberi nama: Kumpulan Puisi Sungai Brokat, berisi 500 buah puisi-puisinya, sayang buku ini lenyap ditelan jaman.
Selain puisi, jejak-jejak Xue Tao masih bisa kita temui di sebuah taman bernama Taman Tatapan Sungai, yang berada di tepi Sungai Brokat, Chengdu. Pada masa Dinasti Qing ( 1644 – 1912 ) dibangun sebuah pagoda bernama Pagoda Tatapan Sungai untuk mengenang penyair ini, tidak jauh dari Gubuk Du Fu dan Kuil Zhuge Liang. Di dalam taman ini juga ada sebuah sumur yang diberi nama Sumur Xue Tao, dan rumahnya kemungkinan juga berada di dalam taman, sayang sudah tidak berbekas. Rumah penyepian ini dia beri nama: Pagoda Resital Puisi
Puisi-puisi terjemahan dalam catatan ini tetap tidak saya bahas seperti catatan-catatan terjemahan puisi Cina Klasik sebelumnya, biar pembaca yang budiman sendiri menilai dan menikmatinya.

Angin

Sehabis mengejutkan anggrek, wangi lembut bersemilir
jauh, terbang menyentuh senar kecapi jadi satu denting.

Pucuk pepohonan terang bersih, daun-daun berebut jatuh
gemericik, sepanjang setapak hutan pinus, malam sejuk sepi


猎蕙微风远,飘弦唳一声。
林梢明淅沥,松径夜凄清。
Menatap Musim Semi
1.

Bunga mekar, siapa berbagi nikmat
Bunga gugur, siapa berbagi pilu.
Ingin tanya, di mana rindu paling mengaduk
saat bunga mekar atau saat bunga gugur.

2.

Petik rumput dan ikat, satu simpul kekasih
buat kukirim yang tahu nyanyian hati
Baru saja potong kusut gelisah musim ini,
ai, burung terperangkap musim semi menjerit lagi

3.

Bunga di dalam angin, hari ditiup tua. Musim
terindah kita, seakan telah pupus dan jauh
Tiada orang mengikat simpul hati, percuma
petik rumput mengikat simpul kekasih.
4.

Bagaimana menahan, bunga rekah sedahan
penuh, berkepak berguling jadi dua buah rindu.
Untaian giok bening gantung di cermin pagi,
tahu atau tidak dia, hei, angin musim semi?
春望词四首

1.

花开不同赏,花落不同悲。
欲问相思处,花开花落时。
2.

(扌监)草结同心,将以遗知音。
春愁正断绝,春鸟复哀吟。
3.

风花日将老,佳期犹渺渺。
不结同心人,空结同心草。
4.

那堪花满枝,翻作两相思。
玉箸垂朝镜,春风知不知。
Dalam Pembuangan ke Tanah Perbatasan Mengenang Tuan Wei
( dua nomor pilih satu )
Pernah dengar kota perbatasan pahit
empedu, habis mencicip baru tahu
Kian malu, telah kupetik irama dari balik
pintumu, nyanyi bersama prajurit di tanah jauh

罚赴边有怀上韦令公二首

闻道边城苦,而今到始知。
却将门下曲,唱与陇头儿。

Menjawab Orang Bercengkerama dengan Bambu Sehabis Hujan
Saat hujan musim semi tiba di langit selatan,
bisa cermati lagi —— o, betapa ganjil —— gerak lekuk
embun beku dan salju. Seluruh tumbuhan sedang rindang
hijau berbaur, tinggal dia sendiri tegar hampakan hati.
Di situ tujuh bijak hutan bambu bertahan mabuk arak dan puisi,
daunnya sejak dulu berbintik airmata pilu Sang Permaisuri.
Bila tahunmu masuk musim dingin, tuan, kau pantas kenal
dia lagi, hijau dingin kelabu, beruas langka dan kukuh

Catatan:
Tujuh bijak hutan bambu adalah tujuh orang sastrawan yang melawan pemerintah Dinasti Jin ( 265 – 420 ) dengan tidak menerima jabatan apapun dari Kaisar, lebih memilih cara hidup yang agak bohemia, sering berkumpul di hutan bambu minum arak sambil berpuisi.

Sang Permaisuri adalah isteri Raja Shun yang dipercaya hidup pada abad ke-23 SM, karena sedih akan kematian suaminya, menurut legenda percikan airmatanya telah menempel jadi bintik-bintik di daun bambu yang kemudian dikenal sebagai bambu berdaun bintik

酬人雨后玩竹

南天春雨时,那鉴雪霜姿。
众类亦云茂,虚心宁自持。
多留晋贤醉,早伴舜妃悲。
晚岁君能赏,苍苍劲节奇。

Serpihan Bunga Dedalu
Awal Maret bunga dedalu ringan juga gemulai,
angin musim semi goyang membuai baju orang.
Dia aslinya memang benda tiada rasa, sudah
bilang terbang selatan malah terbang utara

柳絮咏

二月杨花轻复微,春风摇荡惹人衣。
他家本是无情物,一向南飞又北飞。

Tepi Sungai
Mendadak angin barat melapor, berpasang-pasang angsa liar
telah tiba, dunia fana, hati dan rupa merosot berdua.
Jika bukan tersebab surat rahasia di perut ikan, ada mantera
cinta, siapa kuat mimpi bersambung mimpi tegak di tepi sungai.

江边

西风忽报雁双双,人世心形两自降。
不为鱼肠有真诀,谁能夜夜立清江。

Jalan-jalan ke Pinggiran Kota di Musim Semi: Buat Suhu Sun
Pagi ini biarkan mata bermain wangi semerbak,
sehelai kain bunga melingkar gaun ujung berenda.
Sepenuh lengan sepenuh kepala sepenuh genggam,
biar orang tahu aku baru pulang melihat bunga.

春郊游眺寄孙处士二首

今朝纵目玩芳菲,夹缬笼裙绣地衣。
满袖满头兼手把,教人识是看花归。

Buat Seseorang di Jauh
( dua nomor pilih satu )
1.

Sekali lagi habicus jatuh, gunung Tanah Su
masuk musim gugur,
buka sepucuk surat bersulam syair, hanya bersua sedih.
Di kamar perempuan, kami tidak tahu apapun
tidak pedang tidak kuda,
saat bulan tinggi, kembali daki menara janda menatap jauh.

赠远二首

芙蓉新落蜀山秋,锦字开缄到是愁。
闺阁不知戎马事,月高还上望夫楼。

Tentang Kuil Pucuk Awan
1.

Konon lumut di Kuil Pucuk Awan, saat angin tinggi
matahari dekat, terbebas dari segala debu dunia.
Awan lintas memercik mewarna dinding padma,
seolah sedang menunggu penyair dan bulan mustika.
2.

Konon bunga di Kuil Pucuk Awan, terbang di udara,
berputar di tangga batu, menyusuri lengkung sungai.
Kadang juga bisa mengunci cermin Chang’er, sang bulan
mengukir awan semu merah di istana Ratu Langit Barat.

赋凌云寺二首
闻说凌云寺里苔,风高日近绝纤埃。
横云点染芙蓉壁,似待诗人宝月来。
闻说凌云寺里花,飞空绕磴逐江斜。
有时锁得嫦娥镜,镂出瑶台五色霞。

Antar Seorang Teman
Malam negeri sungai, pucuk gelagah berselaput embun
beku, bulan gigil gunung berpijar, serentak hijau kelabu
Siapa bilang seribu li dimulai malam ini, jarak mimpi
sepanjang jalan menuju gerbang perbatasan.

送友人

水国蒹葭夜有霜,月寒山色共苍苍。
谁言千里自今夕,离梦杳如关塞长。

Kirim Sajak Lama Buat Yuan Zhen
Terangsang mengaduk puisi siapa juga punya,
hanya aku sendiri tahu menangkap lekuk rinci
angin dan cahaya, bersenandung bunga di bawah bulan,
sedih akan yang pupus dan layu, atau tulis dedalu
di pagi gerimis, demi rerantingnya lengkung berayun.
Perempuan bagai giok hijau simpan di dasar rahasia,
tapi aku tetap sesuka hati menulis di kertas syair merah.
Tumbuh menjadi tua, siapa bisa rangkum karya lama
dan memperbaiki seluruh kesalahan, maka aku kirim
sajak ini buatmu, tampak seolah mengajar seorang bocah

寄旧诗与元微之
诗篇调态人皆有,细腻风光我独知。
月下咏花怜暗淡,雨朝题柳为欹垂。
长教碧玉藏深处,总向红笺写自随。
老大不能收拾得,与君开似好男儿。

Kembali ke Hindia Belanda

Puisi John Kuan

merah putih compang camping
gambar diunduh dari gerrilya.file.wordpress.com

Terbang satu setengah jam, aku tiba di Hindia Belanda
topi demang masih di kepala, baju safari belum dibasuh,
lars kompeni ada bercak darah, campur getah tanaman paksa.
Api liar masih membakar akar rumput, sunda kelapa adalah pokok tua,
sudah lama henti berbuah, tinggal janur kuning masih melambai.

Naik kereta api satu hari satu malam, aku tiba di Hindia Belanda
Nusantara terbaring lemah, di leher Jawa bengkak, di pinggang Borneo
tertikam, wajah Sumatra ada luka bakar, sayatan Celebes bernanah
kaki Papua siap diamputasi. Terlalu pengap, aku buka jendela, kemiskinan
berkeluyuran, di sini kelaparan dan penyakit sering bersua mesra
senapan dan peluru mengokang ke arah wajah ingatan.

Setengah mati mengayun selangkah, aku tiba di Hindia Belanda
sejarah dicuci antiseptik tinggal sayup-sayup pedih, setelah mimpi
Indonesia Raya membalikkan tubuh, bom rakitan menggantikan obor
meledakkan legenda-legenda tua jadi serpihan berita, hijau zamrud pudar
dan kian pudar, hingga tinggal sebuah bilangan negosiasi perdagangan karbon,
sebatang nyiur melambai di dalam saluran National Geographic :
One thousand places you have to visit before you die.
Kapitalisme berdesah basah di hutan hujan perawan:
[ Borneo, hari sudah gelap
kami bantu kau nyalakan setitik lampu! ]

Habiskan enam puluh tujuh tahun, aku tiba di Hindia Belanda
bankir dunia menggorek sisa nasi sayur kemanusiaan di sela gigi palsunya
dengan selembar transaksi, menyetor hak asasi manusia ke dalam rekening
bank dunia, kurs jadi sebuah perang, seuntai zamrud khatulistiwa tertutup rapat
di dalam tas kerja, bersama telepon genggam, sebuah pesan pendek peradaban,
membangunkan secercah cahaya fajar rindu purba kampung halaman.
Terbang satu setengah jam, tidak lebih tidak kurang, pas tegak
jadi patung perunggu, seperti sudah bosan terus menunjuk
arwah leluhur yang tidak menemukan pintu.

Engkau dalam Lima Elemen

Puisi John Kuan

five element
gambar diunduh dari http://www.ariellucky.files.wordpress.com

Jika kau adalah mimpi, bagai api di sumbu
lilin, cahayamu di kaca jendela menjilat embun beku.
Jika kau adalah api, mata hangat, nostalgia mendidih,
udara kamar menggelegak, bara cengkeh berdesis
di antara bibir. Jika kau adalah mimpi, iya, kau adalah api,
petir, guruh, lintang kemukus, setitik lampu tidak sengaja
terbuka di satu sudut badai, mimpi menyala

Jika kau adalah mimpi, bagai air mencair di dasar
tempayan musim semi, selamatkan dahaga seekor burung sesat.
Jika kau adalah air, sepenuh rongga tubuh, bawa perahu
ke lengkung teluk, hujan menjelang subuh, menetes tembus
buah rindu. Jika kau adalah mimpi, iya, kau adalah air,
salju, sungai, kelenjar, uap, setetes kafein di petang senyap
mengapungkan serpihan waktu, mimpi hanyut

Jika kau adalah mimpi, bagai logam di tungku
ingatan, melebur setiap partikel giwang rebah di bantal.
Jika kau adalah logam, sebuah hati emas, setua bumi
gantung di lekuk leher, mendekati jantung, cakram rem
di tikungan maut. Jika kau adalah mimpi, iya, kau adalah logam,
rambut perak, kulit tembaga, jarum dalam tumpukan jerami
cahaya mata seribu satu malam, mimpi memuai

Jika kau adalah mimpi, bagai kayu seranting
bunga plum, makin dingin makin pecah kecambah.
Jika kau adalah kayu, suara bakiak tersenyum di ujung lorong,
empat kaki meja, satu bangku di stasiun terlantar, selembar kertas
tertulis rapi. Jika kau adalah mimpi, iya, kau adalah kayu,
duri mawar, inang benalu, pijar batubara, menunggumu sejajar
di luar garis lingkaran tahun, mimpi membatu

Jika kau adalah mimpi, bagai tanah penuh
debu cinta, diterbangkan angin hasrat ke ladang-ladang kekal.
Jika kau adalah tanah, segel sebuah fosil di antara bibir,
jejak kaki hujan, aroma lumpur musim semi, rawa ilalang
persembunyian angsa liar. Jika kau adalah mimpi, iya, kau adalah tanah,
bejana, malam savana, pagi tundra, sungai-sungai mengalir
lewat, aku mengayuh sampai di jendelamu, mimpi tumbuh

Isis dan Pangu

Gerundelan John Kuan
isis dan osiris
Gambar diunduh dari theusesofenchantment.com

Kecuali datangnya sakit dan bencana, pada umumnya, kita jarang memiliki perasaan yang mendalam terhadap kematian.    Kematian seolah adalah sesuatu yang begitu jauh dari kita. Atau begini saja: kita tidak merasa kematian mempunyai hubungan dengan kita. Tapi Jean-Paul Sartre berkata: ” Dimulai dari sesaat dilahirkan, kita akan selangkah-selangkah berjalan menuju kematian. “Kesadaran terhadap kematian sering menyebabkan perubahan sangat besar dalam kehidupan.Orang Mesir Kuno memiliki renungan yang dalam dan kokoh terhadap kematian.

Peradaban baru mulai, memanfaatkan lumpur kaya kandungan yang dibawa banjir Sungai Nil mengembangkan pertanian, membentuk kota, mendirikan negara. Namun, di awal mulainya kemajuan peradaban, juga merupakan awal mulainya rasa tak berdaya terhadap kematian, orang Mesir menciptakan mitologi begini:

Dewa utama Osiris dan adik perempuannya Isis mengikat sebagai suami-isteri, melahirkan seorang anak lelaki bernama Horus; mereka hidup bahagia seperti di dalam hampir semua cerita.

Osiris adalah lambang kebenaran, kebaikan, ketekunan, namun menimbulkan kebencian dan iri dari Dewa Kegelapan Set; setelah membunuh Osiris, Set memasukkan tubuh Osiris ke dalam peti kayu, dibuang ke dalam Sungai Nil.

Isis yang kehilangan suami, siang malam menangis. Dia menyembunyikan anaknya Horus di rawa berilalang, meminta dewi laut menjaganya, dan sendiri mengembara ke empat penjuru, mencari tubuh suaminya.

Setelah melewati berbagai kesulitan dan derita, Isis akhirnya berhasil menemukan tubuh Osiris. Dia bersujud di sisi tubuh kaku itu, menjerit pilu, berharap Osiris bisa hidup kembali.

Isis harus segera menyembunyikan kembali tubuh Osiris, balik menjemput anaknya Horus. Tak duga, Set yang penuh benci dan dengki, menggunakan kesempatan ini, dengan segala cara berhasil menemukan tubuh Osiris, agar bisa tuntas membinasakan Osiris, dia mengoyak tubuh Osiris menjadi potongan-potongan kecil, lalu ditebarkan ke dalam Sungai Nil.

Isis yang kembali bersama anaknya, menemukan suaminya telah menjadi serpihan, luar biasa sedih, konon, airmata pilunya mengalir jadi banjir Sungai Nil yang datang setiap tahun di awal musim panas.

Walaupun begitu, Isis tidak menyerah, dia mencari ke setiap sudut, mengumpul kembali setiap potongan tubuh Osiris yang hanyut di dalam sungai, menggunakan jarum dan benang menyatukan serpihan-serpihan itu, dia akan dengan setiap jahitan mengembalikan tubuh suaminya.

Karena airmata Isis, banjir tahunan Sungai Nil membawa datang endapan lumpur yang kaya kandungan, menyuburkan tanah, membangkitkan pertanian; karena cinta Isis, tubuh Osiris dari serpihan utuh kembali, hidup kembali.

Alam dewata tersentuh, banyak dewi-dewi membuka sayap, mengibaskan angin kehidupan, Anubis membawa datang linen, selapis-selapis dibalut dibungkus, membantu Isis menghidupkan kembali suaminya Osiris.

Menurut cerita, itulah mumi Mesir yang pertama.

Di dalam mumi tersimpan sedih pilu orang Mesir Kuno terhadap kematian, cinta kepada yang telah mati, harapan yang teguh dan berkobar terhadap hidup kembali.

Orang Mesir terlalu teguh atau mungkin bisa disebut keras kepala, mereka percaya, asalkan tubuh masih ada, sekalipun disobek jadi serpihan, tetap bisa dijahit utuh kembali; mereka percaya, asalkan tubuh ada, pasti ada kemungkinan berlanjutnya hidup.

Osiris kemudian dinobatkan sebagai Dewa Kematian, di mulut pintu maut menerima orang-orang yang sampai di alam lain. Di dalam banyak makam-makam Mesir Kuno masih meninggalkan pahatan atau mural begini: Osiris merentangan kedua tangan menyambut, Anubis dan isterinya Isis berdiri di samping menemaninya, juga ada dewi-dewi yang membuka sayap, mengibas angin hidup kembali.

Mumi-mumi kering mengerut yang tersimpan di British Museum, bisa membuat orang terguncang, dengan cara yang begitu mendalam dan sedih meneror yang hidup, menyaksikan bentuk terakhir dari hidup ini!

Orang Mesir terlalu rasional, mereka samasekali tidak menghindari kematian sebagai suatu kenyataan, mereka menciptakan orang mati menjadi mumi, mereka menggunakan granit memahat patung-patung raksasa, mereka terus berharap kekekalan tubuh ini.

Cara Mesir menghadapi kematian adalah khidmat dan pilu.

Mengenai kesadaran orang Cina Kuno terhadap kematian adalah begini:

pangu
Gambar diunduh dari 2.bp.blogspot.com

Pangu yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya, suatu hari mati, dia rebah di atas bumi, dagingnya berubah menjadi tanah ladang, tulang-belulangnya berubah jadi pegunungan, keringatnya mengalir jadi sungai-sungai, rambut, janggut dan bulu tubuhnya berubah jadi rumput dan pohon, mata kirinya menjadi matahari, mata kanannya menjadi bulan, nafasnya menjadi awan dan angin di langit…

Saya selalu menyukai cerita ini, seperti banyak cerita di dalam mitologi Nusantara, sedih pilu terhadap kematian berubah menjadi keceriaan hidup baru, hidup perorangan mengikat menyambung dengan segala hal dan segala benda di dalam semesta, kematian menjadi semacam persembahan, kematian adalah bentuk cinta yang lain…

 

     Bunga gugur itu bukan benda tiada rasa,

     menjelma jadi lumpur musim semi lindungi bunga.

落红不是无情物,

luòhóng bù shì wúqíng wù

化作春泥更护花。

huà zuò chūnní gēng hù huā

Tiba-tiba teringat sepenggal puisi penyair Dinasti Qing: Gong Zizhen ( 1792 -1841 ) ini. Tafsir terhadap kematian yang begini, lebih matang, lebih cermat, mungkin adalah kearifan yang diperoleh dari pengamatan terhadap perubahan alam. Ini juga sangat mirip dengan orang Ibrani Asia Barat Kuno yang berkata di dalam injil: Sebiji gandum jatuh ke dalam tanah dan mati, akan tumbuh keluar lebih banyak biji gandum lagi.

Tidak tahu juga apakah karena Pangu, orang Cina setelah periode Lima Dinasti ( 907 – 960 ) menjadi kurang begitu melukis figur manusia, tetapi sangat suka melukis pemandangan alam. 

Kesukaan orang Cina melukis pemandangan alam benar-benar sangat terkenal dan tidak usah diceritakan lagi. Pemandangan alam seolah bentuk lain dari figur manusia. 

Pegunungan adalah tulang belulang manusia, ladang dan sawah adalah daging manusia, hutan adalah rambut manusia, dan sungai-sungai besar yang terus menerus mengalir, pasti adalah airmata dan cairan darah yang tidak henti mengalir dari jaman ke jaman. 

Saya berulang kali menceritakan kisah Isis dan Pangu ini kepada orang-orang di sekitar saya, terus berusaha mencari penjelasan yang masuk akal di dalamnya. Namun, setelah beberapa kali menceritakan, akhirnya saya menemukan bahwa bagian terbaik dari cerita-cerita kuno ini, bukan berada pada penjelasan yang masuk akal, tetapi pada cerita mereka yang disampaikan dengan begitu asli dan polos.

Sejak adanya istilah ‘ sastra ‘ yang amat merepotkan ini, dan malangnya lagi sejak ‘ sastra ‘ terus-menerus diulas oleh peneliti-peneliti di sekolah-sekolah tinggi, cerita pun karam.

Saya agak malu pada umur segini masih sering kepergok terjerumus bersama anak-anak kecil di depan rak-rak buku dongeng, sesungguhnya saya belum pernah benar-benar terlepas dari cengkeraman legenda, dongeng, mite, dan lain-lain yang pokoknya bernama cerita.

Setelah menulis Isis dan Pangu, saya merasa sedikit bosan dengan motif sendiri mencari penjelasan yang masuk akal terhadap mitologi-mitologi tua. Bersandar di kursi istirahat, teringat satu per satu legenda, dongeng, fabel yang diceritakan nenek, dari bintang sampai kupu-kupu, dari burung pipit sampai ayam jago, manusia-manusia pertama yang turun dari langit, keluar dari batu, menetas dari telur, keluar dari bambu di dalam mitologi Nusantara, Echo dan Narcissus dari mitologi Yunani, cerita-cerita Jataka. Semua cerita-cerita ini begitu sederhana, namun bukan sebuah penjelasan masuk akal yang dapat mengantikannya.

hitam dan putih
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com

Di dalam cerita-cerita itu, saya tiba-tiba merasa memperoleh kebebasan yang luar biasa, seolah tiba-tiba terlepas keluar dari bingkai ‘ sastra ‘ yang sesak dan membosankan itu, kembali memiliki ruang yang lapang. Di antara cerita dan cerita, di antara kenyataan dan imajinasi, di antara jaman dahulu dan jaman sekarang, dapat menerobos, tanpa sekat, datang dan pergi sesuka hati.

Kadang-kadang kenyataan yang terselubung akan menjadi kepedihan cerita, dan sejarah mungkin juga menjadi kesuraman cerita; namun, bagaimana pun hidup pasti akan berlanjut, dan bukan hanya saja berlanjut, bahkan ingin mendengar cerita-cerita bagus, cerita-cerita indah, cerita-cerita sedih, cerita-cerita yang bisa dijelaskan dan yang tidak bisa dijelaskan, sebab hidup belum berakhir, bait puisi belum berakhir, saya sering merasa tokoh-tokoh cerita-cerita tua ini di sekelilingku, mempunyai nyanyian tangisan tawa dan airmata yang sama.