Arsip Tag: metamorfosis

Hina Mulia Tubuh Ini

Gerundelan John Kuan

1.

Dari sebuah situs Kebudayaan Hongshan Zaman Neolitikum di Provinsi Liaoning, Cina Timur Laut, digali keluar sebuah patung perempuan, sudah cacat kurang berbentuk, tubuhnya hanya tinggal sekitar 5 cm, namun bisa jelas kelihatan adalah seorang perempuan hamil. Patung ini dengan Ibu Bumi dari situs-situs Zaman Neolitikum Mesopotamia maupun Eropa termasuk satu kategori. Dengan tubuh perempuan sedang mengandung sebagai simbol permohonan kesuburan, reproduksi dan berkembang biak. Di Zaman Neolitikum, periode awal pertanian dan pembuatan tembikar, citra perempuan dengan perut dan pinggul besar, hampir merupakan awal mula sejarah seni rupa di berbagai tempat di dunia.

Seni rupa Mesopotamia, India dan Mesir, setelah melewati tahap Ibu Bumi, dengan cepat transformasi menjadi wujud lelaki penguasa, kira-kira bersamaan waktu dengan berdirinya kekaisaran. Konsep pemerintah dengan sistem klan, membentuk struktur masyarakat patriarkis. Penguasa, pemimpin adat, atau pemimpin suku berjenis kelamin lelaki semuanya pasti dilengkapi dengan sifat ‘ kedewaan ‘, dan patung-patung dalam bentuk firaun, raja, ataupun dewa juga terus-menerus didirikan.

Tidak seperti patung Ibu Bumi yang kebanyakan dibentuk dari tanah liat, berukuran kecil, sederhana dan lembut, patung-patung lelaki penguasa ‘ kedewaan ‘ umumnya dibentuk dari batu, sangat menekankan terbuat dari bahan yang keras dan tahan lama; berukuran sangat besar, sehingga patung menampakkan suatu sifat agung, tinggi tak tergapai. Terutama di Mesopotamia dan Mesir, patung-patung lelaki yang berukuran puluhan meter adalah sangat umum, sehingga membuat struktur sosial politik patriarkis memiliki lambang yang tak tergoyahkan.

Tetapi Cina agak berbeda, sebab jaman purba-nya tetap tidak ditemukan patung yang berukuran besar. Sebagian besar patung manusia dari jaman Pra-Qin, baik dibentuk dari batu giok, tanah liat, perunggu ataupun kayu menampakkan suatu kondisi eksistensi yang lemah dan rendah. Keberadaan manusia seperti tanah di bumi, tampak begitu lemah dan rendah; datang dari debu bumi, kembali bersama debu bumi.

Sekalipun kecil dan lemah, patung-patung manusia tetap sangat jarang ditemukan di situs-situs purbakala Cina, yang digali keluar umumnya adalah perkakas, ini menunjukkan suatu karakter yang realistis di dalam kehidupan yang prihatin. Dari sedikit patung manusia yang ditemukan, kadang-kadang hanya merupakan bagian dari perkakas, misalnya menempelkan sebuah kepala manusia yang dibentuk dengan kasar di atas kendi atau bejana. Manusia berubah menjadi bagian dari perkakas, tertegun melihat diri sendiri, tertegun melihat perkakas, seperti tidak bisa dengan jelas melihat perbedaan antara dirinya dan perkakas.

Hampir semua kebudayaan kuno pernah membangun wibawa, harga diri, kemegahan, kekekalan, kemuliaan, dan berbagai estetika tubuh yang membuat iri di antara patung-patung raksasa mereka. Kecuali Cina, sampai hari ini masih belum pernah ditemukan patung manusia yang berukuran raksasa dan gagah. Kekurangan patung manusia di dalam seni rupa Cina Kuno mungkin bisa dijadikan semacam pelajaran penting kebudayaan buat direnungkan.

Di dalam kitab-kitab filsafat Pra-Qin sangat sedikit ditemukan uraian tentang tubuh manusia. Pembahasan tentang orang di dalam kitab-kitab penting ajaran Ru

( Konghucuisme ) langsung diletakkan di dalam kerangka etika. Orang, sangat kecil kemungkinan ditelaah secara mandiri, Xiao Jing ( Kitab Bakti; salah satu kitab utama ajaran Ru ) berkata:

     Tubuh adalah pemberian orangtua, tidak boleh dirusak dilukai

Dengan uraian begini, seandainya keberadaan tubuh memiliki makna tertentu, itu juga atas pemberian orangtua, dan tetap adalah uraian yang bersumber dari etika. Tubuh seperti tidak mungkin dibahas secara mandiri. Menekankan etika, berarti menekanan keberadaan komunitas, dan menyepelekan keberadaan pribadi.

Komunitas biasanya akan diwakili dengan simbol komunitas, oleh sebab itu paras dan tubuh perorangan yang khas akan menjadi sangat sulit ditonjolkan. Dimulai dari batu giok, tembikar, terus sampai alat-alat perunggu banyak sekali ditemukan bentuk-bentuk hewan, terutama motif-motif naga, ular, dan burung feniks. Lembu, kambing, harimau, ikan, gajah, badak juga tidak sedikit, hanya saja bentuk [ orang ] yang hampir tidak ada. Motif-motif hewan yang ada di tembikar ataupun di alat-alat perunggu ini kemungkinan adalah semacam totem klan.

Totem-totem yang sangat menawan ini, dengan dua mata bercahaya, seolah adalah tatapan seluruh leluhur yang telah tiada pada setiap gerak-gerik anak-cucunya. Totem-totem bukan ditampilkan dengan paras dan bentuk tubuh pribadi tertentu, tetapi semacam simbol suci klan, kemudian mengental menjadi ingatan bersama sebuah komunitas, kurang lebih sama dengan bendera dan lambang negara masa kini, tetapi lebih memiliki semacam persembahan agama yang khidmat dan misterius. Begitulah, perorangan hilang di dalam totem-totem besar ini. Perorangan kehilangan arti keberadaan yang mandiri di dalam kebesaran kelompok.

Dipandang dari sudut estetika, Cina seolah sangat sulit membuat ‘ perorangan ‘ secara mandiri diapresiasi. Di dalam struktur masyarakat hierarkis, setiap pribadi mesti masuk ke dalam susunan tingkatan masyarakat. Keberadaan ‘ perorangan ‘ baru memberi makna ketika sudah berhubungan erat secara berurut dengan keluarga, komunitas, dan negara. Wajah ‘ perorangan ‘ adalah sangat kabur, perorangan juga tidak mungkin menonjolkan bentuk dan gaya yang mandiri. Mengorbankan begitu banyak kekhasan ‘ perorangan ‘, mungkin demi mengukuhkan simbol keagungan kelompok.

Kadang-kadang melihat patung-patung tanah liat dari jaman purbakala dengan raut wajah dan lekuk tubuh yang begitu samar, seakan tidak peduli terhadap keberadaannya, seperti serangga, seperti rumput, dengan rendah dan lemah bertahan hidup, dari dalam debu tanah kuning merangkak menggeliat keluar, juga tidak jauh berbeda dengan debu tanah kuning itu sendiri. Adalah semacam debu tanah juga, dengan bentuk yang tidak kokoh, setelah ditiup angin akan berubah jadi debu selangit, ketika disiram hujan becek menjadi lumpur.

Jika punya kesempatan berdiri di sisi lobang galian situs-situs purbakala Delta Sungai Kuning, melihat jejak-jejak yang bertahan selama beribu tahun, melihat sebuah boneka tanah liat yang serampangan dibentuk, setelah bosan dijadikan mainan, akan serampangan lagi dibuang. Begitukah sebuah peninggalan? Seketika bentuk-bentuk manusia yang merangkak dan menggeliat di dalam lobang tanah, bukan lagi boneka ribuan tahun yang lalu, namun adalah petani masa kini, begitu samar, selamanya demikian bertahan hidup, seperti tidak mempunyai pendapat apapun terhadap keberadaannya, tapi juga seperti suatu cara bertahan hidup yang paling tegar. Betul, adalah cara bertahan hidup yang paling tegar.

Kondisi hidup begini telah digambarkan Lu Xun di dalam ceritanya [ Kisah Nyata Ah Q ] yang menggundang iba dan tawa, tetapi dengan begitu keras kepala tetap bertahan hidup. Citra Ah Q seperti tidak cocok dipamerkan dengan pahatan batu ala Mesir, juga sulit dimuliakan dengan menggunakan bentuk patung dewa Yunani. Ah Q bertahan hidup di dalam suatu keadaan yang hina dan lemah, bahkan sedemikian menggelikan hingga membuat orang berpikir: Apakah cara bertahan hidup begini masih berarti? Dan boneka-boneka di dalam tanah kuning yang hanya samar-samar menampakkan seraut wajah manusia dengan bentuk yang demikian kasar, juga membuat orang curiga: Apakah yang begini juga boleh disebut [ manusia ]?

Zhuang Zi di dalam bab [ Sang Mahaguru ] ada deskripsi begini:  

Hidup diumpamakan sebagai kutil dan tonjolan daging yang melekat, dan mati adalah berpisahnya kutil dan berakhirnya isi tonjolan daging.

( 彼以生為附贅縣疣,以死為決病潰癰. )

[ Hidup ] dianggap sebagai sesuatu yang melekat dan menjadi beban tubuh, sebagai kutil, sebagai tonjolan daging, sebagai tumor yang merepotkan, dan mati, justru terbebas dari kutil, tumor yang melekat dan menyiksa. Mungkin sikap [ hidup ] yang tersimpan di dalam kitab-kitab Pra-Qin bisa dibaca beriringan dengan boneka-boneka buruk dan lemah di dalam situs-situs purbakala.

Ada sebuah massa maha besar, aku menumpang dalam wujud, aku bekerja keras dalam hidup, aku menyepi dalam tua, aku istirahat dalam kematian; apa yang membuat hidupku baik, juga akan membuat matiku baik.

(  夫大塊載我以形,勞我以生,佚我以老,息我以死。故善吾生者,乃所以善吾死也。)

Sepenggal sikap di dalam filsafat Zhuang Zi ini seolah sudah bukan lagi pandangan seorang filsuf, dan dalam kenyataan, ini mungkin sudah merupakan sikap hidup sebagian besar orang Cina.

Perhatian orang Mesir yang begitu terpusat dan teguh terhadap kematian, bagi orang Cina adalah sesuatu yang sangat sulit dimengerti. [ aku menyepi dalam tua, aku istirahat dalam kematian ] adalah dengan [ menyepi ] dan [ istirahat ] memandang kematian. Kematian bukan sedemikian tragis dan heroik, dan hidup juga bukan sedemikian riuh rendah dan menggemparkan. Hidup mati di dalam kehidupan masyarakat Cina, lebih mirip sesuatu yang alamiah, lebih mirip layu dan berkembangnya tumbuhan, di musim semi pecah kecambah, di musim gugur dan musim salju layu dan luruh, bukan begitu mengejutkan langit menggetarkan bumi.

[ Membuat hidupku baik ] menjadi semacam keteguhan. Seperti yang dikatakan Kongfuzi [ Belum tahu hidup, bagaimana tahu mati ]. Penekanan terhadap [ hidup ] mengisyaratkan bahwa segala macam bentuk [ hidup ] jauh lebih berarti daripada [ mati ]. Kemudian berubah menjadi semacam ungkapan yang beredar luas di dalam masyarakat [ Hidup hina daripada mati terhormat ]. Sebuah ungkapan kasar yang berasal dari jaman yang jauh dan kedengarannya hina dan menggelikan, tetapi jika digunakan untuk melihat boneka-boneka yang bertahan hidup di dalam kondisi lemah dan tidak perlu keteguhan di dalam lapisan tanah kuning situs purbakala, mungkin akan tiba-tiba sadar terhadap kepedihan yang terkandung di dalam [ hidup hina ] itu. Seakan bertahan di dalam keadaan paling hina, paling lemah, paling tak berarti, adalah hakikat dari [ hidup ].

2.

Sekitar Periode Musim Semi dan Gugur ( 771 SM – 400 SM ), seni rupa Cina dengan bentuk ‘ orang ‘ mulai berkembang pesat, pelan-pelan menggantikan totem-totem berbentuk hewan yang telah begitu lama mendominasi topik kesenian. [ Orang ], akhirnya memiliki kedudukan utama, dia mulai memperhatikan bentuk rupa sendiri, dia juga mulai merenungkan keberadaannya. Berbeda dengan burung yang terbang di langit, hewan yang merangkak di bumi, dan ikan yang berenang di air. [ Orang ] telah melepaskan diri dari kedunguan dan kekacauan, memiliki pandangan yang agak jelas terhadap dirinya.

[ Orang ] yang paling awal muncul di atas alat-alat perunggu, bukanlah seseorang yang mandiri, juga tidak menekankan mimik rupa perorangan yang khas, biasanya dengan ukiran timbul menggurat di atas alat perunggu sekelompok-sekelompok orang; barisan prajurit yang sedang menyerang tembok kota, sekelompok nelayan di atas perahu menangkap ikan di sungai, petani-petani bekerja di tengah ladang, ataupun perempuan-perempuan yang bermain alat musik dan menari di dalam sebuah pesta. Kesadaran terhadap [ orang ] pada periode ini masih ditampilkan dalam bentuk kelompok masyarkat.

Seni rupa Yunani pada periode yang sama, kebanyakan adalah patung perorangan yang menunjukkan kekhasannya. Tiga dimensi, kurang lebih sebesar manusia biasa, diletakkan di dalam kuil atau di balai kota, patung-patung ini membuat seni rupa Yunani menunjukkan makna keberadaan perorangan yang mandiri. Orang Yunani percaya, makna [ orang ], berada di dalam pencapaian perorangan.

Di dalam epik dan mitologi Yunani penuh dengan pencapaian perorangan, dan perorangan-perorangan ini tidak perlu direnungkan dari sudut masyarakat atau komunitas, bahkan tidak perlu memikul beban moralitas kelompok, perorangan melakukan pencapaian yang tidak mungkin tergantikan oleh orang lain: Medea di tengah keputus-asaan terhadap cinta berlinang airmata mencelakakan anaknya demi membalas dendam; tubuh muda Icarus jatuh mati demi mengejar cita-citanya untuk terbang tinggi; sakit derita tubuh Prometheus yang tiada habis dicabik-cabik cakar tajam elang, dan sebagainya dan seterusnya. Sastra Yunani Kuno menurunkan berbagai cerita tentang [ orang ], mungkin itulah jiwa sesosok-sesosok patung Yunani yang didirikan.

Seni rupa Cina pada periode ini mungkin masih berusaha mencari bentuk bersama dari [ orang ].

[ Orang ] di sini bukan perorangan, [ orang ] hanya salah satu unsur rangkaian kecil di dalam susunan masyarakat yang sangat besar. Mereka bekerja, perang, bertani atau berpesta, samasekali tidak ada wajah [ perorangan ], tidak ada khas perorangan, hanya merupakan satu unsur dasar [ orang ]

Seandainya menggunakan epik Yunani [ Odissei ] atau [ Iliad ] melihat [ Kitab Puisi ] Cina, juga akan merasakan perbedaan antara perorangan dan pahlawan, dengan keseharian dan rakyat jelata. Di dalam [ Kitab Puisi ] sangat sedikit pahlawan, juga jarang ada tragedi yang menusuk hati dan menggetarkan tulang. [ Kitab Puisi ] lebih banyak adalah lelaki dan perempuan yang berada di pematang atau di tepi sungai, mereka tidak memiliki nama di dalam catatan sejarah, mereka adalah orang biasa dan bersikap pasrah, hidup turun-temurun di atas tanah pertanian, ada harapan terhadap cinta, ada kesedihan akan hilangnya cinta, ada perang, ada pengungsian, namun hampir tidak ada peristiwa yang begitu luar biasa hingga harus menggunakan epik memuji dan meratapnya.

Di dalam [ Kitab Puisi ] penuh dengan nuansa muda-mudi yang sederhana:

Bujang kelana bujang lapuk,

peluk kain dagang sutera,

bukan datang dagang sutera,

mengitariku dia berkupu-kupu.

( 氓之蚩蚩,抱布贸丝, 匪来贸丝,来即我谋 )

di dalam [ Kitab Puisi ] kita tidak akan menemukan balas dendam cara Medea, juga tidak ada Echo yang bersembunyi ke dalam gua menjadi gema yang gelisah dan menyiksa diri sendiri. Kesedihan yang ada di dalam [ Kitab Puisi ] adalah seperti perputaran musim, tetap begitu tenang dan terkendali seperti [ orang ] yang hidup di atas tanah pertanian, tidak akan ada tragedi yang menyesakkan:

Ai, murbei sudah gugur

yang kuning semua luruh

( 桑之落矣,其黄而陨。 )

Tanpa kemurkaan dan kepedihan yang membahana langit dan mencakar bumi, adalah sangat sulit berkembang menjadi epik yang agung dan pilu menggemuruh; kesedihan dan keriangan di dalam [ Kitab Puisi ] adalah sangat jelata, ada ketergantungan kepada alam di dalam musim yang silih berganti, ada kepuasan dan ketenangan dapat berdiri di atas bumi dari hari ke hari, tidak peduli hidup bisa bagaimana riang dan sedih, kemungkinan besar tidak akan ada pengembaraan dan pertualangan keluatan cara Yunani.

[ Kitab Puisi ] sepenuhnya terpusat pada ketenangan dan kedamaian ‘ orang ‘, seolah di atas bumi yang luas, karena jarak pandang yang terlalu jauh, sehingga tidak dapat melihat jelas apakah sedang gembira atau bersedih. seluruh kegembiraan dan kesedihan orang seperti alam, bagai pohon dedalu di musim semi, juga seperti hujan dan salju di musim dingin, sebab itu tidak akan ada yang luar biasa:

Ai, dulu waktu aku pergi,

ranting dedalu gemulai gemulai;

hari ini aku balik tertegun,

salju hujan bertabur bertabur

( 昔我往矣,杨柳依依。今我来思,雨雪霏霏。)

dan ini:

Hijau hijau kerah abang,

sunyi sunyi hatiku terkapar,

walau aku tidak pergi bersua,

tidak bolehkah abang bocorkan kabar?

( 青青子衿,悠悠我心。纵我不往,子宁不嗣音?)

Kedalaman rindu dan cinta [ orang ] tidak akan lebih dari ini, sudah pasti tidak akan berkembang menjadi darah pembunuhan mengenangi kota ala kuda troya. sudah pasti tidak akan ada jelita Helene yang membinasakan, dan juga pasti tidak akan ada Agamemnon yang membawa kepedihan sepanjang hayat.

Yunani Kuno dengan sistem politik negara-kota memunculkan sosok-sosok unggul, mungkin pahlawan dengan keperkasaannya atau perempuan dengan kecantikannya, mereka adalah [ dewa ] di antara manusia, mereka bijaksana, cerdas dan cakap, mereka menantang nasib, mereka mengharapkan pertualangan lautan; kesepian menjadi semacam kesombongan, mengembara juga menjadi semacam pembuangan diri yang angkuh.

Sedangkan landasan pertanian Cina adalah dibangun di atas rakyat jelata yang berjumlah besar dan tersebar luas, mereka memetik daun murbei, menangkap ikan, bersawah, membuka perigi; di dalam kehidupan mereka jarang ada gejolak-gejolak luar biasa yang aneh atau berbahaya. Mereka bukan sosok pahlawan atau sang jelita, mereka puas menerima posisinya sebagai [ orang ], dan dengan tegar dan nyata menjalani hidupnya. Pertanian sesungguhnya tidak perlu terlalu banyak merintangi bahaya. Pertanian perlu kesabaran, perlu semacam keyakinan dan ketergantungan terhadap tanah, perlu pemahaman dan rasa terhadap peralihan musim, dengan demikian hidup mati dan cinta dendam manusia juga akan seperti tanah dan musim, bersiap-siap menjadi kekal.

Sebuah keganjilan dalam seni rupa Cina purbakala terjadi di Sanxingdui, sebuah situs Zaman Perunggu di Sichuan. Pada 1986 dari situs ini digali keluar sebuah patung perunggu yang tingginya lebih dari dua meter, sangat menyedot perhatian. Patung-patung perunggu dari situs ini umumnya berpenampilan khidmat, memakai topeng emas, menampakkan wibawa manusia dewa atau dukun pemimpin upacara agama, atau pemimpin adat; misterius dan agung, menimbulkan rasa hormat.

Seni rupa Sanxingdui paling tidak ada tiga titik pokok yang tidak ditemui di atas alat-alat perunggu yang ditemukan di Delta Sungai Kuning pada periode yang sama ( Dinasti Shang hingga Dinasti Zhou Barat; 1600 SM – 771 SM ): Pertama, Alat perunggu Delta Sungai Kuning kebanyakan menggunakan bentuk hewan, jarang dengan rupa manusia. Kedua, sebagian kecil patung yang ditemukan di Delta Sungai Kuning umumnya berukuran kecil dan merupakan bekal kubur, ini mungkin menunjukkan dia sebagai pendamping kubur atau budak dalam tingkatan paling rendah, sedangkan yang ditemukan di Sanxingdui berukuran besar, kebanyakan adalah raja atau pemimpin adat yang berpenampilan khidmat. Ketiga, Topeng emas dan tongkat emas Sanxingdui jelas berbeda dengan tradisi penyembahan batu giok di Delta Sungai Kuning.

Disebabkan temuan di Sanxingdui, sumber dan keunikan Budaya Shu ( Berpusat di Dataran Sichuan ) kembali hangat dibahas. Pada jaman purbakala, setidaknya jika ditinjau dari seni rupa, Budaya Shu sangat mandiri, dan tampak berbeda dengan kebudayaan Han yang berkembang di dua sisi Sungai Kuning dan Sungai Huai pada periode yang sama. Dan topeng emas membuat pikiran orang langsung berasosiasi dengan Mesopotamia, Tutankhamun di Mesir, dan topeng emas Agamemnon di Mykenai, Yunani. Bagaimanapun, patung berukuran besar dan topeng emas yang ditemukan di Sanxingdui telah menunjukkan suatu perbedaan yang sangat mencolok dalam estetika tubuh dengan kebudayaan Delta Sungai Kuning, keunikan dan kemandirian [ orang ] seperti lebih mendapat perhatian di dalam Budaya Shu.

Selain seni rupa Budaya Shu di situs Sanxingdui yang berbeda dengan Delta Sungai Kuning, [ orang ] di dalam Budaya Chu ( boleh disebut sebagai budaya Cina Selatan ) juga lebih memiliki kemandirian dan kebebasan. Pada tahun 1973 digali keluar sebuah lukisan di atas kain sutera dari abad ke-5 SM yang diberi nama [ Lelaki Penunggang Naga ] dari kuburan kuno di Changsha, Hunan, lukisan seorang lelaki dengan jubah panjang berlengan lebar, memakai topi, dengan sebilah pedang terselip di pinggang, dia menunggang naga, gayanya luwes, samar-samar membuat teringat deskripsi Qu Yuan terhadap tubuh di dalam puisinya [ Nyanyian Chu ] pada jaman yang sama:

Buat daun teratai dan singhara

sebagai baju, oh

kumpul bunga lotus sebagai gaun

( 製芰荷以為衣兮,集芙蓉以為裳。)

Tinggi menjulang aku bertopi tinggi, oh

seuntai panjang giok berjuntai aku pergi

( 高余冠之岌岌兮,長余佩之陸離。)

Tidak peduli baik dari diksi yang mewah ataupun bentuk kalimat yang mendayu, [ Nyanyian Chu ] sangat berbeda dengan [ Kitab Puisi ]. Di dalam nyanyian-nyanyian Tanah Chu lebih banyak menyuarakan [ perorangan ] dan pribadi yang mandiri. Juga menampilkan sosok unggul yang berbeda dengan rakyat jelata umumnya.

[ Nyanyian Chu ] sarat dengan deskripsi rasa sayang [ orang ] terhadap tubuhnya. Topi tinggi di atas kepala menjulang bagai puncak gunung, untaian giok yang tergantung di tubuh bergoyang-goyang, petik dan kumpul teratai dan lotus buat pakaian. Cinta dan rasa sayang terhadap tubuh [ perorangan ] menunjukkan gaya Tanah Chu yang romantis.

Di suatu tempat yang hangat dan makmur di Tanah Selatan, di antara sungai-sungai yang tenang meliuk lewat, orang bisa demikian taruh harapan, boleh demikian memanjakan tubuh dan masa muda yang indah dan ceria, juga boleh demikian bersedih terhadap tubuh yang melorot, layu dan tua:

Ranting bercabang daun lebat bunga memerah,

semoga tunggu saat matang aku datang memetik;

walau daun layu bunga gugur juga tidak bersedih,

hanya pilu seluruh bunga rerumput hilang wangi.

( 冀枝葉之峻茂兮,願俟時乎吾將刈。

雖萎絕其亦何傷兮,哀眾芳之蕪穢。)

Budaya Chu di Selatan telah melepaskan kekangan budaya agraris, sudah ada petualangan, sudah ada pengembaraan, sudah ada semangat yang berkobar, juga ada pilu dalam keputus-asaan, seni rupa di dalam Budaya Chu menampakkan wajah yang berubah-ubah, panjang gemulai, anggun, di dalam harapan menunjukkan adanya kepercayaan diri akan eksistensinya.

3.

Penemuan patung-patung terakota dari Dinasti Qin ( 221 SM – 206 SM ) pada tahun 1970-an memberikan data-data yang sangat penting buat sejarah seni rupa Cina. Patung-patung yang digali dari makam Kaisar Qin Shihuang umumnya adalah prajurit, menampilkan sisi maskulin yang keras, menjadi perbedaan yang sangat mencolok dengan Budaya Chu yang halus gemulai.

Patung-patung terakota ini adalah bekal kubur, dan sebagai bekal kubur, penciptaan patung-patung ini bukan untuk dinikmati orang hidup, jadi tidak ada motivasi buat apresiasi. Penemuan patung terakota Qin adalah suatu kecelakaan. Di dalam pandangan kaisar jaman kuno, makam raja adalah sesuatu yang luar biasa rahasia, tidak mudah ditemukan, juga tidak ada maksud dipamerkan untuk umum seperti di masa sekarang. Patung-patung ini menampakkan mimik dan gerak tubuh yang cerdas dan cekatan, suatu kekaleman dan percaya diri yang diperoleh dari latihan yang ketat dan beraturan dalam jangka waktu yang panjang, sehingga penonton dapat melalui patung-patung ini membuktikan keunikan-keunikan tertentu di dalam budaya Qin.

Dalam keadaan normal, patung bekal kubur seharusnya tidak terlihat oleh orang hidup. Oleh sebab itu, pembuatan patung-patung terakota Qin yang begitu persisi dan realis bukan berasal dari motif kesenian dan apresiasi. Kepala, badan, dan empat tungkai patung-patung ini dibuat dengan cetakan, hanya dengan demikian patung-patung ini baru dapat diproduksi secara massal. Tetapi, patung-patung pada saat yang sama juga sangat menekankan keunikan satu per satu. Maka setelah dicetak, perlu lagi diberi sedikit pemolesan, memberi alis dan mata, kumis dan janggut, gaya rambut yang berbeda dengan halus dan terperinci.

Cara produksi dengan membaurkan [ massal ] dan [ terperinci ] ini mencerminkan budaya Qin yang dibawah politik Legalisme demikian haus [ kebenaran ]. Arus utama kebudayaan Cina, baik itu Konghucuisme ataupun Taoisme, selalu mendudukkan [ kebajikan ] jauh di atas [ kebenaran ]. Konghucuisme dengan sepenuh kekuatan mengejar hubungan antar manusia dan ketertiban yang harmonis berdasarkan etika, Taoisme justru di atas etika berusaha keras melepaskan perorangan dari ikatan masyarakat. Baik Konghucuisme maupun Taoisme, sama-sama berusaha berpikir dengan sebuah hati yang bermoral. Sedangkan [ hukum ] yang menjadi pijakan Legalisme bagaimanapun tetap diletakan di bawah moralitas di dalam arus utama kebudayaan ini.

Dinasti Qin adalah suatu jaman di mana negera dibangun di atas landasan hukum yang sangat sedikit ditemui di dalam sejarah Cina. Pelatihan hukum yang ketat membuat budaya Qin memiliki semangat menaati aturan yang objektif. Realisme di dalam patung-patung terakota Qin pada dasarnya adalah semacam aturan objektif dalam [ mencari kebenaran ]. Patung-patung ini begitu terperinci, tinggi dan lekuk tubuh patung dibentuk sesuai dengan orang nyata, juga parasnya, letak tulang alis, bentuk mata, tonjolan tulang pelipis, bentuk bibir dan potongan rambut, semuanya begitu terperinci. Ini jelas berbeda dengan seni rupa Cina pada umumnya yang lebih menekankan penangkapan image.

Semangat Dinasti Qin dalam mengatur negara dengan hukum benar-benar tercermin di atas patung-patung terakota, dan sebab itu patung-patung ini memancarkan gaya yang maskulin, wibawa, serius dan tegas yang jarang ditemui di dalam seni rupa Cina. Garis lekuk tubuh patung penuh dengan garis lurus dan tegang, terutama di sudut-sudut potongan rambut, hampir semuanya membentuk sudut 90 derajat, tajam dan samasekali tidak menyisakan tempat buat melengkung, sehingga patung-patung yang khidmat ini seolah menyimpan semacam kekuatan membunuh. Sangat mengerikan.

Patung-patung ini kurang bermakna apabila dipandang satu per satu, sulit merasakan kekuatannya. Kita baru merasakan kekuatan yang mendesak dan mendominasi ketika sudah berada di makam Qin Shihuang, melihat ribuan prajurit terakota terbentang dalam barisan-barisan yang panjang dan rapat, ini seharusnya dipandang sebagai satu karya utuh.

Tidak seperti patung Yunani yang selalu menonjolkan keindahan tubuh yang khas, yang tersendiri, misalnya, keindahan terhormat ketika seorang atlet menerima mahkota laurel, keindahan Appolo sebagai dewa cahaya yang tiada duanya, keindahan Afrodit ketika terlahir di dalam air yang tak tergantikan…Indah adalah sesuatu yang jarang, yang minoritas. Sedangkan kekuatan patung terakota Qin adalah bersifat kelompok, adalah tekad yang mengkristal di dalam kehidupan bersama, perorangan tidak bisa terlepas dari kelompok.

Lokasi deretan prajurit-prajurit terakota Qin tentu juga adalah lokasi kebudayaan Qin, setiap keunikan patung menghilang. Di tempat ini, hanya terasa kekuatan Dinasti Qin yang pamer kuasa pamer wibawa, samasekali tidak ada perorangan.

Apakah mungkin suatu hari dari tempat ini akan digali keluar patung Qin Shihuang? Dia adalah tuan yang mengerahkan berpuluh ribu prajurit terakota, dia adalah pemilik sebuah Dinasti yang menggemparkan, tapi tubuhnya, di mana tubuhnya?

Berbeda dengan makam-makam kuno di Mesir, di sana firaun selamanya akan menjadi pemeran utama di dalam seni rupa, selalu hadir dengan patung yang besar dan bernilai. Tetapi di Cina, sampai hari ini patung yang diekskavasi dari makam-makam kuno kebanyakan adalah bekal kubur: Prajurit, kerani, budak. Di dalam barisan budak yang berjejal bagaimanapun tidak bisa menemukan tubuh tuannya.

Berdiri di lokasi barisan patung terakota Qin, menunggu tuannya yang tidak bisa ditemukan, [ tubuh ] akhirnya hanya tenggelam di dalam debu waktu. Atau mungkin [ waktu ] yang sesungguhnya adalah tuan di sini, dia mengauskan semua tubuh! Prajurit-prajurit terakota yang awalnya berwarna-warni dan berkilau kini sudah retak dan pudar, menampakkan dasar tanah kuningnya. Mereka putus tangan patah kaki, atau kehilangan kepala, namun masih tetap tegar berdiri. Patung-patung terakota Qin telah menunjuk arah pemikiran kepada sejarah seni rupa Cina, antara perorangan dan kelompok, antara budak dan tuan, antara kehormatan negara dan kebebasan pribadi…

Dan indah, di dalam debu waktu berubah menjadi gema kosong. Ketika sebuah dinasti dalam semalam lenyap, kemewahan sebuah makam kaisar tertimbun, menunggu beberapa ribu tahun kemudian baru pelan-pelan siuman satu kali. Setelah bangun, seolah semua tubuh yang pernah hidup ada begitu banyak kata-kata yang ingin diungkapkan, namun seperti sudah lupa cara mengeluarkan suara, mereka terus membisu, membiarkan orang tunjuk sana tunjuk sini.

Hukum, objektivitas, realisme jaman Qin, di dalam sejarah seni rupa Cina bagai mata sekejap

Tunggu hingga berdirinya Dinasti Han ( 206 SM – 220 Masehi ) yang sengaja menggunakan Budaya Chu dari daerah selatan sebagai landasan, untuk mengimbangi kekerasan Qin, memoles sudut-sudut tajam, mengubah garis-garis lurus dan kaku menjadi garis-garis lembut melengkung, menciptakan semangat Dinasti Han yang moderat.

Patung-patung terakota dari makam Han Jingdi ( Kaisar Jing Dinasti Han ) yang baru diekskavasi pada akhir tahun 1980-an dengan jelas menunjukkan metamorfosis dalam seni rupa Cina setelah terpaut sekitar setengah abad dengan patung terakota Qin. Patung-patung yang sering disebut patung terakota Yangling ini membulatkan sudut-sudut tajam potongan rambut, raut wajahnya juga tidak lagi tegang seperti patung terakota Qin. Di wajah yang tembam dan lembut itu muncul sebuah senyum yang kalem dan bahagia.

Senyuman di wajah patung terakota Yangling mengisyaratkan semacam pelepasan. Catatan sejarah tentang Han Jingdi yang tidak perlu menggunakan hukuman selama empat puluh tahun dia bertahta, seperti bisa dicerminkan dari sesosok-sesosok patung dengan wajah tersenyum. Setelah memasuki Dinasti Han, patung-patung terakota yang sebagai bekal kubur seolah memiliki kesempatan untuk menjadi tubuhnya sendiri. Atau mungkin kita sudah terlalu optimis, di dalam seni rupa Cina, patung terakota, bagaimanapun hanya budak bekal kubur, tubuh yang mandiri apakah benar-benar memiliki kesempatan tersadarkan?