Arsip Kategori: Resensi

Antara Konsistensi Prinsip dan Goda Politik

Arif Saifudin YudistiraResensi Arif Saifudin Yudistira

Aku mencintai bahasa. Aku mencintainya karena perannya terhadap kehidupan kita, bagaimana bahasa menyediakan kita cara untuk mendedakan luka, keagungan nuansa dan kehalusan eksistensi kita (Maya Angelou)

Pram, begitulah kita mengenal sastrawan yang mencintai bahasa dan menggunakan bahasanya untuk berbuat. Pram barangkali adalah sastrawan yang tak hanya kritis tapi juga konsisten dengan apa yang disuarakan. Perjalanan karir dan hidupnya seperti lika-liku yang tak habis untuk dibaca. Di balik kebesaran dan nama Pram, kita mengenal sosok Pram yang lain, Pram dikenal sebagai sosok yang keras, tegas dan juga sangat kritis terhadap para pengkritiknya. Dunia sastra Indonesia seperti tak seimbang menempatkan posisi Pram di samping para sastrawan yang lain. Pram adalah luka, karena keberpihakannya pada PKI yang dinilai Pram sebagai partai paling konsisten terhadap revolusi. Pram pun mengalami nasib naasnya setelah peristiwa 65 dengan menanggung resiko karyanya dihanguskan dan dibuang di pulau buru. Tapi di sanalah Pram justru menciptakan kuartet pulau buru di tahun 1975 meski sudah dilisankan di tahun 1972.
pramoedya ananta toerKarya-karyanya erat dengan kehidupannya, ia seperti meniupkan nyawa dalam karyanya, hingga karya itu secara tak sadar adalah suara jiwanya. Meski demikian, ia menganggap karya sastra tetap tidak bisa dikontrol oleh sang pencipta itu sendiri. Ia adalah anak dan buah pikiran dari penulis yang terbuka terhadap kritik dan interpretasi pembaca. Di awal kepengarangannya, ia kerap diserang oleh para kritikusnya yakni balfas desember 1956 novel perburuan dinilai tidak terstruktur, akhir kisahnya dibuat-buat dan tokoh-tokohnya tidak meyakinkan. Pram pun akhirnya naik pitam dan menanggapi dengan cara yang emosional. Kritik ini dilancarkan setelah Pram dan teman-temannya mempelopori gelanggang seniman merdeka tahun 1947. Tahun 1950 ia ikut menandatangani “surat kepertjayaan gelanggang” 18 Februari 1950. Pramudya ikut menyepakati konsepsi “humanisme universal” yakni istilah yang dipopulerkan oleh HB.Jassin yang menandai angkatan 45. Buku karya Savitri Scherer ini membantu kita memahami mengapa dan bagaimana Pramudya bisa ikut luruh dalam peristiwa perdebatan dan polemik sastra yang semula ia ikut dalam “gelanggang seniman merdeka” hingga akhirnya ia pun tidak sepakat dan melepaskan diri dari kelompok gelanggang, ketika ia bergabung dengan lekra, ia pun mulai simpatik terhadap PKI dan juga terlibat dalam polemik sastra yang menyerang para generasi baru gelanggang dalam manifes kebudayaan 1963.
Goda Politik
Faktor-faktor yang menyebabkan Pram meninggalkan gelanggang dan akhirnya memutuskan hubungan dengan HB Jassin tidak semata persoalan politik semata, tapi juga karena Pramudya merasa dikhianati oleh prinsip-prinsip yang dinilainya tak sesuai dengan yang diajarkan Jassin kala ia mencetuskan “humanisme universal”. Pram menilai, Jassin dan para pengikutnya tak konsisten dan hanya “klenengan” dan tak mempedulikan rakyat sebagai aspek yang penting dalam karya sastra. Pram pun kecewa dengan sikap gurunya yang kemudian tak peduli ketika ia dipenjara karena menulis Hoa kiau di Indonesia (1960).
Buku ini mengurai dengan jelas mengapa Pramudya bergeser pada ideologi kiri dan memihak PKI. Meski ini berakibat dengan tuduhan ia adalah anggota PKI. Melalui lekra itulah ia bersuara dan menyuarakan prinsip-prinsipnya. Ia sadar betul, ide-ide awalnya bermula dari kritik para seniman dan kritikus lekra termasuk A.S Dharta yang membukakan matanya terhadap kenyataan-kenyataan sosial dan akan pentingnya arti rakyat dalam kesenian dan kesusasteraan. Ia pun tak mampu menahan goda politik yang waktu itu menjadi prinsip PKI bahwa politik adalah panglima, yang sebelumnya menggunakan demokrasi rakyat.
Melalui 10 bab dalam buku ini kita diajak tak hanya menelusuri karya Pramudya, riwayat kepenulisannya, tapi juga lika-liku politik dan kehidupan yang dijalani Pramudya sebagai penulis. Buku ini diawali dengan pendekatan kritis yang menganalisis terhadap perkembangan sastra Indonesia, kemudian menjelaskan kehidupan singkat Pramudya, bab berikutnya membahas tentang polemik sastra dan diikuti dengan pembahasan karya-karya Pramudya dan kontroversi karir Pram antara tahun 63-65. Menurut Savitri, Pramudya adalah penulis yang berdiri di tengah masyarakatnya dan bagian hakiki darinya, meminjam Teuw, Pram adalah “novelis yang tidak hanya mewakili Indonesia, melainkan juga seorang sastrawan yang mewakili kawasan Asia”.
Buku ini juga mendudukkan posisi Pram yang larut dalam posisi yang dilema antara berpihak pada corong partai atau tetap konsisten dengan karyanya yang dicipta. Ia menulis novel “Sekali Peristiwa di Banten” yang mencerminkan sikap Pramudya yang harmonis terhadap borjuasi nasional dan kekuatan angkatan bersenjata. Secara teoritis ini tidak sesuai dengan program pembentukan negara sipil sosialis. Di tahun 60, karya Pramudya yang membela minoritas tionghoa menyatakan siapa musuh Indonesia yang sebenarnya dan borjuasi nasional adalah bagian dari musuh tersebut. Savitri menyebut sikap ambivalen Ppramudya dapat dilihat cerminan akurat sikap ambivalen PKI terhadap “borjuasi nasional”.
Di akhir buku ini, Savitri menjelaskan bagaimana Pramudya menciptakan karyanya yang berbeda dari periode sebelum ia di pulau buru. Ia menciptakan “Bumi Manusia” dengan idealisme konservatif yang berbeda dengan “Gadis Pantai” dengan idealisme revolusioner. Bagaimanapun juga Pram adalah penulis yang tak pernah lepas dari prinsip-prinsip dan tujuan awal dia menulis yakni mendekapkan dirinya di tengah-tengah masyarakat dan tidak terlepas dari masyarakat. Pram adalah representasi dari sosok penulis yang konsisten dengan prinsip meski dengan sikapnya itu pula ia harus melibatkan diri dengan goda politik dan sikap politik partainya.

pramoedya ananta toerJudul buku : PRAMOEDYA ANANTA TOER , Luruh Dalam Ideologi
Penulis : Savitri Scherer
Penerbit : Komunitas Bambu
Hal : 190 halaman
ISBN : 978-602-9402-02-5
Harga : Rp.50.000,00

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Aktifis IMM, bergiat di Bilik Literasi Solo.

Candik Ala 1965: Luka Sejarah di Mata Bocah

Resensi Ragil Koentjorodjati
novel tinuk yampolskySatu pikiran terlintas di benak saya ketika mata saya tertahan pada sebuah novel berjudul Candik Ala 1965 karya Tinuk Yampolsky adalah hal baru apa yang ditawarkan pengarangnya. Kita tahu, sudah banyak cerita berlatar belakang apa yang disebut banyak orang sebagai “Pemberontakan G 30 S PKI”. Beberapa dari kita yang lahir pada masa orde baru telah begitu karib dengan kekerasan fisik seperti pembunuhan sadis, sayatan silet serta teror mental seiring dengan pemutaran film G 30 S PKI yang itu-itu saja. Masih lekat di benak saya bagaimana serombongan bocah SD digiring untuk nonton film itu ramai-ramai. Setiap tahun. Mengenang jasa para pahlawan revolusi. Dan pada saat itu tidak ada yang lebih mengasyikkan selain berpelukan atau berhimpit saling mendekap sesama kawan karena ketakutan tiada tara. Beberapa kawan perempuan ada yang sekedar ngompol saking jerihnya. Hanya karena sebuah film. Lalu bagaimana jika kekerasan fisik dan psikologis itu terjadi di depan mata?
Menyelami kepribadian Nik, tokoh dalam novel Candik Ala itu, serasa saya diajak mengenang kembali ke masa awal orde baru. Kemiskinan yang meraja lela, makan telor-terigu dadar – saya sebut telor terigu dadar karena lebih banyak tepung terigunya ketimbang telurnya yang hanya satu-, lalu juga penculikan-penculikan dan penembakan misterius (petrus). Agak merinding juga mengikuti cerita Nik ini, apalagi ketika bersamanya menyaksikan banyak orang di jemur di bawah terik sambil mata mereka harus menatap matahari. Seperti menonton film perang Indonesia-Jepang. Mengasyikkan sebagai sebuah tontonan. Sekaligus mengerikan!
Lalu saya teringat cerpen Candik Ala karya GM Sudarta yang juga berlatar belakang tahun 65-an. Secara tidak sengaja nalar saya membandingkan antara novel dengan cerita pendek berjudul nyaris sama, hanya berbeda pada ‘1965’. Meski sebenarnya tidak dapat diperbandingkan, candik ala – candik ala tersebut sepertinya mengangkat hal yang nyaris sama: luka sejarah di mata bocah. Satu hal yang pasti, tahun 65-an telah mempopulerkan istilah ‘candik ala’ yang sangat digemari banyak penulis. Kita tahu, candik ala adalah ketika warna jingga kemerah-merahan mengembang di barat cakrawala senja. Itu selalu memunculkan rasa sepi dan kehilangan yang menyedihkan. Dulu, pada saat seperti itu, (bukan mengutip cerpen GM Sudarta) ibu saya selalu mengingatkan untuk segera masuk ke dalam rumah sebab Bathara Kala sedang mencari mangsa. Aroma kengerian yang sangat, persis kengerian tokoh ‘aku’ dalam cerpen Candik Ala dan tokoh Nik dalam novel.
Hal yang cukup berbeda dalam novel Candik Ala adalah nuansa sekarat lalu bangkitnya kembali sebuah pemahaman pada masa peralihan (awal tahun 80-an). Sehingga sepintas novel ini lebih mirip balada ideologi ketimbang perjalanan hidup seseorang, meski banyak catatan-catatan semacam buku harian seorang militan sehingga kadang saya merasa sedang membaca novel dan pada saat yang sama juga membaca kumpulan cerpen. Ada bagian-bagian novel yang asyik dinikmati sebagai sebuah fragmen yang terpisah dari alur utama novel. Mungkin model kisahan seperti itu juga hal baru yang ditawarkan novel ini, seperti misalnya mengubah tokoh Nik dari ‘ia’ menjadi ‘aku’.
Jika ada hal yang sedikit mengganggu, mungkin lebih pada masalah teknis bahasa. Awalnya saya ingin menjadikan “tata cara penulisan” pada novel itu sebagai salah satu acuan menulis. Tentu saja saya punya alasan kuat terkait hal ini. Lihat saja, orang-orang besar dalam dunia sastra seperti Goenawan Mohamad dan Joko Pinurbo terlibat dalam pembuatan novel ini. Namun, saya menjadi sedikit kecewa dan ragu-ragu setelah meneliti lebih lanjut. Banyak hal berbeda dalam cara penulisannya. Saya berpikir, mungkin saya ketinggalan pedoman penulisan karya sastra.
Tetapi, tentu saja soal sastra tidak melulu soal teknis bahasa. Itu hal yang sangat mudah diperbaiki. Di lain sisi, malah bahasa yang digunakan dalam novel ini menjadi daya ungkit tersendiri sehingga nuansa geger 65 di kota para priyayi jawa menjadi begitu hidup dan nyata. Hal-hal yang ‘waktu itu’ hanya sekedar tontonan menjadi tampak jelas ‘kekerasan psikologinya’ terhadap seorang anak. Dan itu mencipta trauma berkepanjangan. Tidak hanya bagi seorang bocah bernama ‘Nik’ tetapi sebuah generasi yang harus ikut merasakan sakitnya luka sejarah bangsa ini. Meski mungkin sebagian hanya tahu lewat cerita.

novel tinuk yampolskyJudul : Candik Ala 1965 – sebuah novel
Pengarang : Tinuk R. Yampolsky
Penerbit : Katakita
Tahun : Juni 2011
Tebal : 222 hal
ISBN: 978-979-3788-66-2

Nilai Sufistik Dunia Pakeliran (Pewayangan)

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*)

“Hanonton ringgit menangis asekel muda hidepan, huwus wruh tuwin, jan
walulang inukir molah angucap” (Lukman Pasha)

pandawaMakna dari kalimat di atas adalah bahwa ada orang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya. Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara.
Begitu membaca buku Tasawuf Pandawa (Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa) sekan-akan kita diajak menelusuri pemikiran penulis, kemudian berdialog dan selanjutnya seakan-akan kita menjadi sutradara dadakan yang mempunyai peran terbesar atas alur sebuah peristiwa. Pembaca diberi kebebasan dalam mengembangkan pemahamannya akan isi buku ini, pembaca menjadi dalang sekaligus lakonnya.
Muhammad Zaairul Haq menyadari bahwa wayang merupakan hasil kebudayaan yang sarat akan nilai kehidupan sehari-hari. Lima belas tahun yang lalu kita masih bisa melihat pertunjukan wayang di desa-desa dengan penuh hikmat. Pertunjukan wayang ini selain sebagai penghibur juga berperan besar dalam penyebaran Ad-dienul Islam. Namun, kini kesenian wayang sudah kehilangan gaungnya, ia hanya sebatas cerita turun temurun secara lisan yang diturunkan oleh pendahulu-pendahulu kita, dan kenyataannya kini kian lama kian terkikis. Bahkan wayang kembali menjadi perbincangan elit segelintir orang saja. Melihat kondisi seperti ini rupannya penulis dengan penuh kesadaran ingin menghadirkan kembali nilai-nilai yang terdapat di dalam jagad pakeliran. Sebagaimana diungkapkan di dalam bukunya “Wayang sebagai kesenian sudah habis, tetapi sebagai budaya ia masih hidup dalam diri kita”, nilai-nilai yang terdapat di dalamnya memang tidak pernah akan hilang.
Di dalam buku ini diceritakan terjadinya perang Bharatayuddha, yang mengisahkan terjadinya perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang besar antara tokoh protagonis dan antagonis, satu peperangan yang membuka hijab kegelapan dan kejahatan, satu peperangan yang mengisahkan arti penting dari kemuliaan dan kebenaran. Peperangan besar yang memiliki makna simbolik bahwa kebenaran pasti akan menang dan kejahatan bagaimanapun besar dan dahsyatnya pasti akan terkalahkan.
Di sisi lain perang saudara ini bisa menjadi cermin dari setiap insan sepenuhnya bahwa kecenderungan setiap manusia adalah menyukai harta benda serta kekayaan. Kecenderungan setiap manusia adalah marah serta tidak ikhlas ketika harta benda mereka diusik sedemikian rupa apalagi dijajah atau diambil secara paksa.
Disebutkan oleh Muhammad Zaairul Haq, sang penulis buku ini, bahwa Korawa selalu hidup dalam dunia kegelapan, bermegah-megahan serta tak pernah memikirkan kebutuhan rohaninya. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh pendidikan yang diajarkan kepada Korawa, yaitu pendidikan kegelapan. Ini simbol dari kebutaan yang dialami oleh sang ayah serta tabiat sang ibu yang ikut-ikutan membutakan kedua matanya dengan kain. Kebutaaan ini secara simbolik memiliki arti bahwa kegelapan selalu menyertai putra-putra mereka. Keberpalingan Gendari dari mensyukuri nikmat Tuhan berupa penglihatan dapat diartikan sebagai keberpalingan Korawa, dan Korawa memilih menjadi pengikut kegelapan.
Pesan lain yang dimunculkan dalam buku ini adalah tentang kekalnya suatu kaum karena perbuatan mereka sendiri. Sebagaimana tersebut “sesungguhnya kekalnya suatu bangsa adalah selama akhlaknya kekal (mereka masih memiliki akhlak yang baik) tetapi jika akhlaknya sudah lenyap, musnah pulalah bangsa itu”. Tidak dapat dipungkiri jika akhirnya Korawa hilang dari peradaban oleh tingkah mereka sendiri, dan akhirnya Pandawa-lah yang menjadi pemenangnya.
Ketika pernyataan di atas kita sinkronkan dengan pilar-pilar yang ada dalam rumah tangga islam, “buniyal islamu ‘ala khomsin”. Lima pilar utama yang akan menjadikan umat islam kokoh, rukun islam menjadi pondasi kita dalam beragama islam. Rupanya hal inilah yang ingin dicerminkan oleh keluarga pandawa yang senantiasa memenuhi kebutuhan jasmani serta rohaninya.
Puntadewa sebagai simbol seorang yang sabar dan mampu mengayomi saudara-saudaranya. Puntadewa memiliki sebuat jimat bernama jamus kalimasada, jimat ini bermakna syahadatain. Di mana syahadatain di sini merupakan pondasi awal bagi seorang ketika dirinya telah percaya sepenuhnya terhadap keberadaan Allah Swt. Dengan kata lain, seseorang tidak akan bisa mencapai kesempurnaan bangunan islam dan iman sebelum ia bersyahadat.
Kehidupan spiritual selalu identik dengan olah-batin, hal ini menjadi sarana untuk mendapatkan kesempurnaan hidup. Yang padanya dicari suasana yang sejiwa dan sesuai dengan prinsip-prinsip hidup, sehingga batin menjadi siap ditanami dengan berbagai ilmu kerohanian. Dalam konteks keislaman, muka Bima (Werkudara) seperti orang menunduk dan belakangnya yang tiinggi digambarkan seperti orang sedang sholat. Dia tidak melayani orang lain jika pekerjaannya sendiri belum selesai. Isyarat bahwa sholat tidak boleh dibatalkan.
Titisan Bathara Indra yang memiliki sifat sebagai seorang yang tekun dan khusyuk dalam bertapa, pancaran mukanya cerah seperti matahari, menjadikan dirinya seorang kesatria yang terkemuka. Di sisi lain Arjuna juga sosok yang mampu khusyuk dalam bertapa dan tabah dalam menghadapi godaan. Dalam konteks keislaman sosok Arjuna dicirikan dengan orang yang selalu berpuasa, menahan diri dari godaan-godaan duniawi.
Nakula sebagai seorang yang tak pernah lupa terhadap segala hal yang dialaminya. Begitulah gambaran seorang yang selalu mensucikan diri akan keberadaan hartanya. Dalam keluarga Pandawa ia layaknya dewa pengobat, senang mengeluarkan zakat. Titisan dari Bathara Aswin ini identik dengan manusia tipe “zakat” arti bakunya yakni orang yang suka beramal atau shodaqoh kepada fakir-miskin.
Kembaran dari Nakula, yaitu Sadewa tercitra sebagai seorang yang tampan, cerdas, rajin, serta patuh dan berbudi bawaleksana. Sadewa menjadi seorang yang ahli peternakan, Sadewa tumbuh menjadi manusia yang “sebenarnya” kaya raya. Digambarkan sebagai sosok manusia yang mampu (secara materi) melakukan ibadah haji dikarenakan hartanya yang cukup, kaya dan terpenuhi sandang pangan serta dermawan.
Secara keseluruhan cerita wayang sebenarnya mendidik, tetapi orientasi pendidikan itu berupa penyajian kejadian yang artinya dapat dirasakan dan ditafsirkan oleh penontonnya menurut kemampuannya masing-masing dan kapasitasnya masing-masing. Pesan yang disampaikan melalui sajian peristiwa ini menggambarkan bagaimana perjalanan seorang manusia menjadi insan kamil, yang dimulai dengan muhasabah al-nafs, kemudian al-iffah dan yang terakhir adalah tazkiyatun nafs.

pandawaJudul buku : Tasawuf Pandawa
(Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa)
Penulis : Muhammad Zaairul Haq
Penerbit : Pustaka Pelajar
Harga : Rp. 50.000
Tahun : 2010
Tebal : 399 halaman
ISBN : 978-602-8479-91-2

*) Peresensi adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta Program Studi Pendidikan Biologi Semester IV

Perempuan di Tengah Badai: Sederhana dan Tidak Mudah

Resensi Ragil Koentjorodjati
kumcer kit roseDari perempuan untuk perempuan, itu yang awal terlintas di benak saya ketika membaca kumpulan cerita pendek “Perempuan di Tengah Badai” karya Kit Rose menyusul buku pertamanya “Melukis Langit”. Kemudian buku itu saya buka lembar demi lembar, saya baca dan nikmati, tanpa terburu-buru. Ada warna hitam mendominasi di sampul buku, separuh langit di sampul belakang menjadi seperti penuh warna mendung, setangkai mawar hitam menggantung di sudut atas kiri. Kemudian ada foto wajah, setengahnya tertutup gelap.
Di sampul belakang tertulis:
“Mahligai rumah tangga dengan landasan cinta yang tulus dan suci, seringkali dijadikan perhentian terakhir setiap perempuan. Itulah yang membuat perempuan sering terjebak pada perasaan dan nalar manusia dalam memegang sucinya cinta, yang tanpa syarat dan tidak menyakiti.”
Sejenak saya tertegun. Ada harapan perempuan tersirat di sana. Harapan akan sebuah keluarga yang nyaman, damai penuh cinta dan bahagia. Harapan sederhana hampir kesemua wanita. Sederhana dan tidak mudah. Sebab harapan itu juga harapan akan adanya pasangan hidup yang baik, lelaki yang memahami dan bersedia bekerja sama mewujudkan mimpi-mimpi mahligai rumah tangga. Dan pada akhirnya, harapan itu menjadi harapan bersama –lelaki dan perempuan-.
Jadi, ternyata buku ini tidak hanya “dari perempuan untuk perempuan” sebagaimana awal terlintas di benak saya. Buku kumpulan cerpen ini juga untuk lelaki, lelaki yang mau memahami harapan perempuan, lelaki yang bersedia mendengarkan keluh kesah dan tentu saja ratapan yang tersembunyi di kegelapan malam. Di sinilah buku ini menjadi sangat berharga, menyampaikan hal-hal tersembunyi, hal-hal yang tidak terungkapkan dari perempuan yang menyelami kehidupan berumah tangga tanpa abai pada lingkungan sosialnya.
Buku kumpulan cerpen ini dibagi menjadi tiga bagian, Meletakkan Cinta dan Prahara pada Tempatnya; Meraih Cinta Menetapkan Hati; dan Pedih adalah Indahnya Cinta. Masing-masing bagian diisi lima buah cerita pendek dan masing-masing bagian terdapat pengantar singkat, sangat membantu pembaca untuk memahami persoalan dan tema yang diangkat. Misalnya, pada Meletakkan Cinta dan Prahara pada Tempatnya, tertulis:

“Pada saat kita menemukan cinta kita mengalami ujian atau godaan, baik pada diri sendiri atau pada pasangan, sebenarnya ini adalah penguat atas kokohnya cinta yang terbungkus dalam kedewasaan. Perjuangan seorang istri dalam mempertahankan pernikahannya ketika sang suami tergoda mencari kesenangan di luar, dengan tanpa amarah, adalah contoh dari bagaimana cinta mengalami pendewasaan.”

Selain kisah-kisah ringan dan mudah dicerna, pembaca juga disaji puisi-puisi segar dan romantis di setiap cerita pendek. Simak saja salah satu puisi dalam cerita “Pangeran Cinta” berikut ini:

Rembulan menyapa wajah malu-malu dalam remang indahnya.
Angin malam membelai dinding hati membisikkan cinta penuh mesra.
Dan redupnya bintang mengukirkan lukisan hangat pada senyap yang kian rakus menggerogoti kesunyian mimpi.

Di sini aku masih menatap kelam.
Aku tetap memeluk mimpi.
Aku merintih kedinginan di tengah alunan cinta.
Dan aku mencari di mana sang kekasih hati hendak menjemput.
Aku juga masih merajut dongeng pangeran pujaan hati singgah di hati yang tak pernah bicara ini.
Adakah tersisa dongeng itu untukku walau hanya sekejap?
Aku ‘kan menunggu sampai kering hausku dan lenyap dibawa nyanyian bisu.
Dan aku masih bersama cintaNya merangkai hari indah.

Tentu model penulisan seperti ini tidak untuk menggalaukan pembaca tetapi lebih pada menguatkan bagaimana perempuan melewati badai kehidupannya dengan memetik pesan dan manfaat dari kisah yang disampaikan. Sebab kisah adalah jembatan pelangi yang menghubungkan “yang tidak terungkap” dengan realita.

kumcer kit roseJudul buku : Perempuan di Tengah Badai
Penulis : Kit Rose
Penerbit : Pensil-324
Tahun : 2011
Tebal : xvi+254 halaman
ISBN : 978-979-3622-91-0

Teka-teki Mati dalam Kematian

Resensi Riza Fitroh K*
Editor Ragil Koentjorodjati

Kematian, adalah kejadian paling pasti yang memberikan konfirmasi
atas kesementaraan ini. Adanya kematian sejelas adanya diri kita: maka,
tak ada alasan untuk tidak membicarakannya.
buku muhammad dammMengungkap tabir akan arti dari sebuah kematian antara ada dan mengada-ada. Kematian sering kita lihat dalam kehidupan bersosial. Fenomena kematian sangatlah dekat dengan kita, bahkan kematian adalah suatu sisi lain dari kehidupan. Namun, tahukah kita akan makna dari kematian itu sendiri. Konsep kematian yang berkembang di tengah masyarakat pada umumnya adalah berpisahnya antara ruh dan tubuh. Dalam kehidupan bersosial kematian selalu dinilai dengan hilangnya harapan, terputusnya cita-cita dan hilangnya eksistensi diri dari kehidupan nyata.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah kematian itu berwujud? Mengapa pula kematian harus kita takuti, mengapa pula kematian dianggap sebagai sebuah kondisi yang meniadakan apapun yang ada pada manusia sedangkan kematian itu sendiri menjadi sesuatu yang nyata untuk kita. Dalam buku ini kita akan banyak bertanya-tanya tentang bagaimanakah hakikat dari kematian itu sendiri dan apakah sebenarnya kita membutuhkan kematian itu. Teka-teki tentang kematian tak akan pernah hilang dan lenyap begitu saja tanpa kita menyelami dari makna mati itu sendiri.
Persepsi yang terbangun tentang apakah yang menentukan keberadaan seorang individu adalah tubuh biologisnya, jiwanya atau kemampuan untuk memiliki kesadaran diri, merupakan persoalan yang tak bisa kita abaikan ketika membicarakan tentang kematian yang terjadi pada manusia. Jikalau kematian selalu diidentikan dengan tangisan, bendera putih, batu nisan, kain mori, dan diiringi dengan berselang selingnya tangisan dari para peziarah, benarkah kematian selalu identik dengan kesedihan dan keputusasaan?
Mengingat akan fenomena penciptaan manusia, di sana harus ada beberapa peristiwa kematian, dalam perkembangannya kita harus merelakan pula kematian-kematian itu sehingga terwujudlah bentuk yang sangat sempurna seperti yang ada pada diri masing-masing kita. Ketika kita membicarakan tentang kematian, kemudian kita akan menjumpai istilah bahwa kematian adalah sebuah pilihan atas keadaan, seperti apa yang dilakukan oleh Socrates yang mati karena meminum racun cemara. Lalu benarkah kematian sebagai sebuah noktah atas penerimaan diri akan takdir?
Konsepsi yang mengendap dalam alam pikiran kita tentang kematian adalah kematian yang terjadi pada tubuh korporeal, karena tubuh korporealah yang pernah dilahirkan sehingga memiliki kehidupan, sedangkan tubuh sosial tak pernah dilahirkan namun di-ada-kan. Dalam diri manusia tidak hanya melekat satu tubuh. Namun juga tubuh yang diadakan pula, yang bukan dihasilkan secara institusionalisasi. Mampukah tubuh sosial ini lenyap pula?
Steven Luper (2009:44-46) mengadakan satu eksperimen yang bisa membuat manusia hidup kembali dengan cara; meletakkan atom-atom penyusunnya, lantas diletakkan di tempat mereka semula, sebelum kematian itu terjadi, sehingga orang yang bersangkutan bisa hidup kembali. Bertolak dari teori Steven Luper, Sigmund Freud memperkenalkan sebuah teori Death Drive yang merenungkan tentang dorongan untuk melakukan perubahan melalui disolusi, sebuah dorongan untuk mengubah keadaan dengan mengobrak-abrik situasi yang sudah ada dan terbangun. Dalam teori ini sangat erat dengan munculnya bunuh diri sebagai sebuah perwujutan untuk mendapatkan harapannya.
Dari buku Kematian Sebuah Risalah Tentang Eksistensi Dan Ketiadaan ini kita akan mengetahui di manakah kita akan menemukan kehidupan dan dari manakah kita tahu akan keberadaan kematian itu. Pengetahuan akan kematian ini akan membuat kita lebih memahami akan kehidupan, karena kematian hanya menjadi urusan bagi orang-orang yang masih hidup, tidak pernah menjadi urusan mereka yang telah mengalaminya. Namun, hal ini tidak membawa kita semakin dekat pada pengetahuan paripurna. Di sini kita akan menemukan tentang manakah orang yang mati dan manakah orang yang hidup.

buku muhammad dammJudul buku : KEMATIAN
Sebuah Risalah Tentang Eksistensi Dan Ketiadaan
Penulis : Muhammad Damm
Penerbit : Kepik
Harga : Rp. 30.000
Tahun : 2011
Tebal : 115 halaman
ISBN : 978-602-99608-1-5

*Riza Fitroh K adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta

Harmoni Keberagaman

Resensi Aris Hasyim*
islam moderatMenengok catatan kelam sepanjang 2011 perihal aksi barbarian yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan agama, intensitasnya boleh dibilang sangat mengkhawatirkan. Sebut saja, tragedi pembantaian warga Ahmadiyah di Ciukesik, ke rusuhan Temanggung, bom bunuh diri di Masjid Mapolres Cirebon dan hanya berselang beberapa bulan bom bunuh diri mengguncang Gereja Kepunton di Kota Solo.
Aksi-aksi keji yang dilakukan sekelompok masa yang tak bermoral itu, memperpanjang daftar kekerasan bernuansa agama di seantero negeri ini. Menyikapi perihal fenomena konflik agama di dalam masyarakat bhineka seperti di Indonesia, bangsa ini perlu mengimplementasikan kembali bahwa kemajemukan merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak.
Saling menghormati perbedaan baik itu di ranah agama, suku, ras, dan budaya adalah langkah konkret yang patut dijadikan sebuah pandangan hidup, cita-cita, dan sebagai dasar pijak dalam mengarungi bahtera kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, cita-cita luhur itu, kini mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman. Beruntung, meredupnya citacita luhur itu langsung direspons dan berusaha digelorakan kembali oleh salah satu akademisi muslim yaitu Dr. Machasin.
Machasin melalui buku bertajuk Islam dinamis, Islam harmonis ingin menegaskan kembali bahwa terorisme dan kekerasan serta mengingkari kearifan lokal dan pluralisme merupakan ‘antitesis’ terhadap islam sebagai ‘rahmatan lil’alamin’ (kasih sayang bagi seluruh alam). Manifestasi Islam yang dinamis, Islam harmonis salah satunya berpijak pada penyebaran kasih sayang.
Berawal dari kasih sayang, umat Islam diharapkan lebih erat dalam merajut hubungan interaksi dan berdialog antarsesama manusia tanpa me mandang perbedaan ras, suku, dan agama. Abdul Wahid Hasan penyunting buku ini turut mendeskripsikan bahwa Islam yang dinamis adalah Islam yang mampu menggerakkan dan digerakkan oleh pemeluknya tanpa mengingkari landasan dari Alquran dan Hadits. Lebih dari itu, Islam yang dinamis memberi ruang dialog dengan tradisi dan budaya, serta mampu merespons tantangan lokal dan global.
Melalui buku ini Machasin tidak membenarkan tindakan para kaum fundamentalis yang tidak sejalan dengan norma, hukum, dan agama. Manifestasi Islam yang dinamis, Islam harmonis diharapkan selalu dikedepankan oleh kaum muslim untuk menjalin tali persaudaraan dengan penyebaran kasih sayang terhadap sesama tanpa memandang ras, suku, dan agama. Langkah ini penting sebagai upaya membangun harmoni keberagamaan di seantero negeri ini.

• Islam Dinamis, Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralisme, Terorisme.
• Machasin
• LKIS, Yogyakarta
• Cetakan I/2011
• 342 Halaman

Penulis adalah Peneliti Kajian Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga

Sumber: Harian Bisnis Indonesia, Edisi Minggu, 18 Maret 2012.

Segala Yang Tak Lengkap

Resensi Arif Saifudin Yudistira*
Editor Ragil Koentjorodjati

Alangkah nistanya dan tidak enaknya bila hidup ini dikelilingi dengan ketidaklengkapan. Keganjilan bukan suatu hal yang membuat teka-teki, membuat kita jadi seorang detektif dalam mencari keganjilan itu, tetapi keganjilan dan ketidaklengkapan itu adalah sesuatu yang dipaksakan untuk melengkapi hidup ini. Tragedi 65 adalah sejarah buram negeri ini yang menyimpan beratus kisah yang tak henti-henti mengalir deras paska kematian Suharto. Orang-orang seperti menjadi corong yang bebas bersuara tidak tahan menahan trauma, menahan derita fisik dan jiwa hingga mereka menuangkan dalam bentuk wawancara, dokumentasi pribadi catatan harian, ataupun memori yang masih tersimpan di otaknya. GM Sudarta adalah bagian dari itu, ia mengangkat kepedihan, kepiluan, kebiadaban, kebar-baran zaman itu, dengan lihai. Bukan karena bumbu-bumbu cerita yang ia buat, melainkan cerita itu adalah nafas dan suara korban yang merasai cinta, dendam, juga prahara dan teka-teki yang tak lengkap dari para korban tragedi 65.
kumcer gm sudartaBuku kumpulan cerpen berjudul “Bunga Tabur Terakhir: Cinta, Dendam dan Karma di Balik Tragedi 65” tak hanya elok karena menceritakan epik sejarah yang indah, realis, dan nyata di hadapan kita peristiwa kebiadaban di tahun-tahun silam. Namun buku ini juga menceritakan kelucuan dan keluguan anak-anak yang terlambat mengenali mbahnya. Di salah satu judul cerpennya “Mbah Broto” GM Sudarta berhasil mengolah kelucuan, dan gejala psikologis seorang yang eks-tapol berhasil menghibur sebagai tukang gali kubur, tukang binatu, hingga tukang bengkel bersama cucunya. Ia hanya ingin, kelak cucunya mengerti dengan kisah yang ada pada dirinya, dan di akhir cerita, betapa terkejutnya cucunya ketika menerima pusaka “madilog” sebagai warisan untuk cucunya. Kisah ini begitu dramatis, tapi penuh keindahan yang menghiasi akhir-akhir kematian Mbah Broto. Ia senang di alamnya, dan tenang, karena telah lega berjumpa dengan malaikat yang ditunda-tunda datangnya daripada teman-temannya yang dipanggil lebih duluan. Akan tetapi , Mbah Broto tampak lain, ia seperti memanggil malaikatnya sendiri, dan merasa puas sudah meninggalkan cerita dan kisahnya yang jujur pada cucunya. Setidaknya cucunya tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Sepuluh judul cerpen seperti mewakili kisah cinta, dendam, dan siksa pedih yang terjadi waktu itu, sekali lagi GM Sudarta, tak hanya berperan sebagai sosok yang melihat, ia berhasil melibatkan pengarang menyatu dengan kisah yang diceritakan, sehingga kita seperti diajak untuk tak hanya melihat ilustrasi-ilustrasi sebagaimana ia menggambar dalam keseharian sebagai kartunis, tapi oom pasikom ini berhasil mendeskripsikan dan menggambarkan cerita dan peristiwa 65 hadir di mata pembaca.
Cita-cita PKI sebagai organisasi yang membela buruh tani dan menggapai kesejahteraan rakyat, mengusir kapitalis jadi hancur, berantakan dan tiba-tiba penuh teror setelah terjadi pembunuhan jenderal. Banyak masyarakat tidak faham, jadi saling bunuh, saling dendam, dan saling tuduh menggunakan kata “terlibat”. GM Sudarta mengemas ini dalam beberapa kisah dalam kumcer ini di beberapa judul cerpennya sepeti :Sum; Orang-orang Yang Tidak Mau Masuk Kubur; Candik Ala; Merindu Jerit Kematian; hingga Perburuan Terakhir.
Di sana ada kisah cinta, ada pembunuhan kejam atas motif politik, ada yang memanfaatkan situasi, di situlah sebenarnya teror kemanusiaan bermula. Sejak itulah sejarah menjadi gelap, saling serang, dan tak memenuhi titik pangkal dari apa yang sebenarnya terjadi. Kumpulan ini tak hanya membuka memori gelap sejarah kita, tak hanya untuk mengingatkan, tapi juga sengatan, bahwa akankah kekejaman, kebengisan, dendam, dan darah menjadi hal yang wajar dan dibolehkan, ketika tragedi dan politik bermain di sana, sedang kita membiarkan begitu saja?.
Kumpulan cerpen ini begitu kuat menarasikan peristiwa bertahun-tahun silam, meski kita melacak tanggal penulisan cerpen ini sekitar 4 tahun berjalan seperti tahun 2003, 2007, bahkan 2011. GM Sudarta, barangkali bukan hanya bercerita tentang khayalan dia, tapi juga peristiwa yang dialaminya sehari-hari sewaktu remaja. Mengapa GM Sudarta menulis kumpulan cerpen ini? Ia menjawab, karena ada sisi-sisi kehidupan yang serasa lebih pas dan cocok bila disajikan dalam bentuk cerpen daripada dalam kartun dan lukisan.
Jika sebagai kartunis dan pelukis ia mengajak para pembaca kartunnya atau pembaca lukisannya untuk menyelami lebih dalam apa yang ada dalam kartunnya. Di kumcer ini pun demikian, ia seolah-olah mengajak ada narasi besar, ada peristiwa suram, ada teka-teki, ada pergulatan, ada banyak kisah yang mesti kita cari benang merah dan membuka misteri itu hingga kita benar-benar tahu sejarah sebenarnya dari tragedi 65 itu. Meminjam istilah Kontras : “Ketika sejarah digelapkan, di situ manusia dan kemanusiaan tersingkirkan”.
Kumpulan cerpen ini juga mengingatkan kepada pembaca semua, dan kita bahwa “hidup yang tak lengkap” sebagaimana dikisahkan dalam cerpen-cerpen GM Sudarta sangat tidak mengenakkan. Gejala teror psikis, siksa fisik, hingga siksa batin yang luar biasa mengakibatkan trauma yang dalam, mengakibatkan dendam yang membara, sehingga kita buta, dan mencari apa yang tidak lengkap tadi. Ketidaklengkapan yang dimaksud GM Sudarta tidak lain dan tidak bukan adalah ketidaklengkapan sejarah 65.
Sebagaimana yang ditanyakan Julius Pour dalam bukunya “G30 S: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang”: Apakah kita akan membiarkan selama 46 tahun berlalu,dan mengubur peristiwa ini lebih dalam? Jika jawabannya adalah ya, berarti kita telah memutuskan hidup dengan ketidaklengkapan. Ketidaklengkapan sejarah itu pula yang kelak dikhawatirkan oleh GM Sudarta sebagaimana judul kumcernya “Bunga Tabur Terakhir: Cinta, Dendam dan Karma di Balik Tragedi 65”. Yang penuh dengan segala yang tak lengkap.

Judul buku : Bunga Tabur Terakhir: Cinta, Dendam dan Karma di Balik Tragedi 65
Penulis : GM Sudarta
Penerbit : Galang Press Jogja
Tahun : 2011
Tebal : 156 halaman
Harga : Rp.30.000,00
ISBN : 978-602-8174-65-7

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Presidium Kawah Institute Indonesia

WITCHBLADE | the movie

Resensi Rere ‘Loreinetta

Witchblade adalah senjata mistis yang memberi kekuatan super bagi para pemakainya – seorang wanita untuk setiap generasi .
Dari generasi ke generasi, para wanita pejuang pemilik Witchblade selalu menggunakannya untuk menghancurkan kejahatan yang mengancam kemanusiaan. Pemegang senjata mistis ini harus juga melawan kekuatan kegelapan yang sangat menginginkan kekuatan Witchblade .
Daftar pengguna Witchblade sangat panjang dan terdiri dari beberapa wanita yang paling terkenal dalam sejarah kita, di dalamnya termasuk Cleopatra dan Joan of Arc.
Cleopatra adalah seorang Ratu Mesir kuno, anggota terakhir dinasti Ptolemeus. Sedangkan Joan of Arc) adalah pahlawan negara Perancis dan orang suci (santa) dalam agama Katolik.
Namun menjadi pemilik Witchblade juga memiliki resiko sangat besar karena jika tidak hati-hati atau kuat mentalnya akan bisa menjadi budak senjata hidup yang mempunyai pikiran yang tidak selalu sejalan dengan pemiliknya.
Itulah yang digambarkan dalam film aksi laga hasil besutan sutradara Ralph Hemecker pada tahun 2000 yang berdasarkan komik karya Marc Silvestri yaitu “Witchblade”.
Selama beberapa dekade terakhir ini Witchblade tidak muncul di dunia, namun kini pada awal abad ke-21 ini Witchblade telah memilih pemilik barunya dan maka perang antara kebaikan dan kejahatan pun dimulai.
Kisahnya dimulai pada suatu hari ketika Detektif Polisi NYPD Sara Pezzini (Yancy Butler) bersama mitranya Danny Woo menyelidiki kematian teman Sara semasa kecil.
Ketika mengejar pembunuh temannya hingga ke sebuah museum, Sara menghadapi kenyataan pahit karena mitranya tewas. Bahkan Sara hampir saja tewas jika ia tidak mengenakan Witchblade yang tersimpan di museum.
Ketika pembunuh menembaknya, Witchblade yang tersimpan dalam kaca pecah terkena peluru pembunuh, terjadi kejadian aneh karena Witchblade secara ajaib mendadak sudah dikenakan (terpakai) Sara sehingga berhasil memantulkan peluru yang menuju ke arahnya.
sebelumnya memang Sara seperti terhipnotis oleh keberadaan waitchblade yang ternyata mempunyai mata merah yang bisa terbuka dan tertutup. Belum habis keheranan Sara, ia menemukan mitranya tergeletak tewas tanpa bisa ditolongnya.
Kemarahan dan kesedihan Sara ternyata membuat senjata Witchblade-nya menjadi hidup dan menunjukkan angkara murkanya sehingga anak buah pembunuh Danny pun tewas mengenaskan. Sara tentu saja terkejut karena tidak menyangka senjata barunya memiliki pikiran sendiri tanpa bisa dikendalikannya.
Kini Sara harus belajar bagaimana mengendalikan Witchblade agar tidak bertindak semaunya. Selain itu muncul dua pria misterius yaitu Ian Nottingham dan majikannya Kenneth Irons yang memiliki kaitan erat dengan Witchblade itu.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Siapakah Ian Nottingham dan Kenneth Irons yang begitu menaruh perhatian terhadap Sara?

Title: Witchblade
Director:Ralph Hemecker
Actors: Yancy Butler, Eric Etebari, Anthony Cistaro, Will Yun Lee, David Chokachi
Studio: Warner Home Video
DVD Release Date: July 29, 2008
Run Time: 1122 minutes

Data Sumber: Amazon.com

DEVI DJA DALAM CATATAN RAMADHAN KH

Oleh Rere ‘Loreinetta

Menurut catatan Ramadhan KH, Devi Dja atau “Bintang Dari Timur” lahir pada 1 Agustus 1914 di Sentul, Yogyakarta, dengan nama kecil Misria dan kemudian menjadi Soetidjah. Dia sering menguntit kakek dan neneknya, Pak Satiran dan Bu Sriatun, ngamen berkeliling kampung memetik siter. Devi Dja memang memiliki minat seni sejak kecil. Dia juga berangkat dari keluarga Jawa yang miskin di awal abad ke-20.

Dan sejak itu, karirnya di Dardanella mulai menanjak. Perlahan tapi pasti ia berhasil menjadi menyaingi ketenaran Miss. Riboet dan Fifi Young, dua wanita pemeran utama Dardanella. Bersama Tan Tjeng Bok, Soetidjah menjadi sosok penting dalam kisah sukses grup Dardanella. Dia lalu terkenal dengan nama Miss. Devi Dja.

Saat Dardanella pertama kali mentas di luar negeri, Devi Dja baru 17 tahun. Usia yang kata Devi Dja lagi seger-segernya. Menurut catatan Ramadhan KH, saat Dardanella manggung di luar negeri, nama kelompok Dardanella mulai berganti-ganti, dengan personil yang juga berganti-ganti. Kecuali Pedro dan Devi Dja tentunya.

Dardanella lalu main di Hongkong, New Delhi, Karachi, Bagdad, Basra, Beirut, Kairo, Yerusalem, Athena, Roma. Terus keliling Negeri Belanda, Swiss, dan Jerman. Pada Mei 1937 saat manggung di India, rombongan mereka disaksikan oleh Jawaharlal Nehru yang kemudian jadi pemimpin negeri itu. Kabarnya Pedro dan Devi Dja sempat menginap di rumah Mahatma Gandhi.

Dan seperti dituturkan Devi Dja pada Majalah Tempo di tahun 80-an, saat bermain di luar negeri, Dardanella berubah namanya menjadi “The Royal Bali-Java Dance”. “Kami lebih mengutamakan tari-tarian daripada sandiwara, sebab khawatir penonton tidak tahu bahasanya,” katanya.

Ramadhan KH menulis, di tengah kegelisahan masyarakat Eropa khususnya, Pedro kemudian mengambil keputusan menyeberang ke Amerika saat mereka sedang berada di Belanda. Akhirnya bersama rombongan kecil Dardanella, Devi Dja naik kapal “Rotterdam” menuju Amerika.

Perhitungan Pedro ketika itu barangkali karena negara Amerika relatif lebih menjanjikan, lagipula Amerika tidak terlibat terlalu jauh dalam perang dunia pertama.

Dengan nama tenar yang disandangnya, sesampainya di Amerika mereka mendapat sponsor dari Columbia untuk mementaskan karya-karya mereka di hampir seluruh kota besar Amerika. “Kami keliling, tidur di trem saja. Cuma di New York menetap dua minggu,” tutur Devi Dja

Kisah di Balik Pintu: Menyingkap Rahasia Perempuan

Resensi Ragil Koentjorodjati

Hidup seseorang di luar sana, lewat dalam kesepian, dihantui oleh topeng-topeng manusia lain. Hidup pribadinya lewat dalam keheningan, dihantui oleh topeng diri sendiri.
(Eugene O’Neill)
buku soe tjen marchingSosok perempuan selalu menarik untuk diselisik. Ia seindah debur ombak di permukaan samudera sekaligus menyimpan misteri di bawahnya. Bara ambisi dapat rapi tersembunyi di balik sikap anggun, serapi hasrat seks yang kadang hanya terlihat seperti cahaya pendar. Tidak jarang banyak lelaki terpesona untuk turut mengobarkan setitik bara yang kadang tampak malu-malu tetapi mau. Namun tanpa terduga, perempuan mampu mengatakan “tidak” dengan tersenyum manis sehingga sering kali lelaki lebih percaya pada senyuman itu ketimbang kata “tidak” yang diucapkan. Kerap kali, dalam benak seorang lelaki, perempuan adalah paradoks itu sendiri. Paradoks di mana kata “iya” dapat berarti “tidak” dan kata “tidak” dapat berarti “iya”.
Simak kalimat Sulistina, istri Bung Tomo, pada biografinya yang dikutip Soe Tjen pada bukunya Kisah di Balik Pintu berikut:
Aku digendong dimuka para wartawan dan lampu blits berjepretan mengabadikan peristiwa itu. Aku malu sekali digendong didepan para wartawan…(Soetomo, 1995: 145)
Aneh. Malu tetapi ingin diketahui orang lain perihal malunya itu. Bahkan penting sekali bagi orang lain untuk melihat, mendengar dan menyaksikan rasa malu ini. Rasa malu yang sebenarnya tidak malu (hal. 47)
Acap kali muncul pertanyaan mengapa perempuan merasa perlu untuk menyembunyikan sebahagian dirinya dan pada saat yang sama memunculkan bagian dirinya yang lain. Simak misalnya pembelaan Inggit Garnasih ketika ia memutus suaminya, Sanusi, dan memilih Soekarno yang dua belas tahun lebih muda darinya. Dalam otobiografinya Kuantar ke Gerbang, sebagaimana dipaparkan dalam Kisah di Balik Pintu, ia menulis:
Yang jadi soal bagiku adalah justru suamiku sendiri, Kang Uci. Ia masih juga tetap suka sering keluar rumah. Dan aku sudah tidak bernafsu lagi untuk menegurnya. Biarlah ia mendapatkan kesenangannya sendiri, pikirku (Ganarsih, 1988:7)
Lalu pada bagian lain ia menjelaskan kemesraan hubungannya dengan Kusno atau Soekarno muda sebagai berikut:
Malam hari sering kali kami berduaan. Dengan tidak terasa saat-saat sepi telah direnggut oleh lautan asmara yang menjalar dan naik jadi pasang serta kami dengan tidak sadar telah tenggelam karenanya. Sampai pada satu saat Kusno merayu aku dan aku pun peka. Aku pun terdiri dari darah dan daging, manusia biasa yang luluh oleh kesepian dan musnah oleh pijar sinar cinta yang meluap (Ganarsih, 1988:16).
Jawaban pertanyaan “mengapa perempuan seperti membelah diri di atas” dapat beraneka ragam tergantung dari sudut pandang serta latar belakang si pemberi jawaban. Dan Soe Tjen Marching dengan bukunya Kisah di Balik Pintu menyediakan jawaban yang tidak saja menjelaskan mengapa tetapi juga bagaimana ideologi yang begitu dominan terutama seputar gender dan isu perempuan, mempengaruhi ekspresi para perempuan (hal.xix). Soe Tjen yang juga telah sukses dengan novelnya Mati, Bertahun yang Lalu, kali ini dengan Kisah di Balik Pintu menyediakan bukti-bukti analisis empiris bahwa ideologi yang bias gender punya andil besar dan turut bertanggung jawab atas identitas perempuan yang kadang seperti berkepribadian ganda. Buku ini juga memaparkan analisis serta bukti mengapa perempuan tidak mampu atau tidak berani tampil jujur apa adanya sebagaimana dilakukan kaum lelaki? Dalam istilah sekarang, mengapa harus jaim (jaga image)? Apakah salah jika perempuan ingin berkuasa sebagaimana lelaki? Apakah salah jika perempuan menunjukkan hasrat seksualnya dengan tampil lebih berani, meminta dipeluk atau bahkan memeluk dan mencium, menyampaikan dan mewujudkan ketertarikan pada lawan jenis? Apakah perempuan harus anteng, nurut dan nrimo, cukup sekedar menjadi konco wingking menjalankan tugas-tugasnya di dapur, di sumur dan di kasur?
Jawaban berbagai persoalan perempuan dan telitian tentang identitas perempuan telah cukup banyak disajikan para peneliti dan penggiat pemberdayaan perempuan, sebut saja misalnya buku Identitas Perempuan Indonesia: Status, Pergeseran Relasi Gender, dan Perjuangan Ekonomi Politik yang memuat kompilasi berbagai masalah perempuan di dunia ketiga. Namun Kisah di Balik Pintu sejatinya merupakan penelitian komprehensif atas keterbukaan dan kerahasiaan identitas pribadi perempuan Indonesia. Buku hasil terjemahan desertasi Soe Tjen dalam meraih Ph.D di Australia berjudul The Discrepancy between the Public and the Private of Indonesian Women yang telah diterbitkan sebelumnya oleh The Edwin Mellen Press, New York, 2007 ini, menggunakan buku harian dan otobiografi sebagai pintu masuk menyingkap rahasia-rahasia perempuan yang tidak diketahui publik. Meski terjemahan tersebut menimbulkan kendala bahasa tersendiri seperti salah tulis dan ketidaksepadanan kalimat, namun secara keseluruhan karya empiris yang cukup berat menjadi lebih enak dibaca dan terasa ringan. Harus diakui tidak ada yang lebih menarik selain membaca buku harian orang lain sebab itu seperti mengintip jendela hati seseorang, banyak hal menarik sekaligus mengejutkan.
Pada Kisah di Balik Pintu, setidaknya terdapat sembilan buku harian perempuan dengan berbagai latar belakang dan delapan otobiografi tokoh perempuan Indonesia yang diteliti dan diperbandingkan. Dapat diduga bahwa perbedaan latar belakang penulis buku harian dimaksudkan untuk mementahkan dugaan adanya pengaruh lain seperti suku atau agama. Membaca serta menganalisis “keliaran” perempuan dalam diary atau buku hariannya tentu menimbulkan rasa ingin tahu. Dan itu tidak kalah menarik dengan analisis otobiografi para tokoh seperti Sujatin Kartowijono (Mencari Makna Hidupku, 1983), Rachmawati Sukarno (Bapakku, Ibuku, 1983), Herlina (Pending Emas, 1985; Bangkit dari Dunia Sakit, 1986), Inggit Garnasih (Kuantar ke Gerbang, 1988), Ratna Djuami (Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno, 1992), Sulistina Soetomo (Bung Tomo Suamiku, 1995), Lasmidjah Hardi (Lasmidjah Hardi: Perjalanan Tiga Zaman, 1997). Dengan begitu banyak sumber, Kisah di Balik Pintu menjadi begitu kaya dan membuka banyak ruang penafsiran dan pemikiran tentang berbagai persoalan perempuan seperti emansipasi, hasrat diri, kekuasaan, kepuasan seksual dan bagaimana perempuan menempatkan diri pada lingkungan yang dihegemoni maskulinitas.
Lalu untuk apa mengetahui hal-hal yang tersembunyi itu? Temukan jawabannya dari buku setebal 256 halaman terbitan Penerbit Ombak Yogyakarta ini. Buku yang begitu kaya dengan mutiara yang menunggu untuk dituai.

buku soe tjenJudul Buku : Kisah di Balik Pintu (Identitas Perempuan Indonesia: Antara Yang Publik & Privat)
Penulis : Soe Tjen Marching
Penerbit : Ombak
Cetakan : I, 2011
Tebal : xxi + 256 halaman

Tulisan Terkait:
Siapa Soe Tjen Marching?

Ketika Delapan Bidadari Bersimfoni (24 – Senarai Kisah dari Kampung Fiksi)

Buku 24 - Senarai Kisah dari Kampung Fiksi
Apa yang kau rasakan ketika menyaksikan delapan bidadari bersimfoni? Gundahkah? Resahkah? Atau terbengong-bengong terhujam selaksa rasa yang sepertinya hanya ada dalam imaji khayalmu? Cinta. Rindu. Bahagia. Lega. Harap. Mimpi. Maya. Atau hanya rasa sederhana: suka!
Aku? Terpelanting pada rasa tidak percaya. Delapan bidadari itu memainkan simfoni kata-kata. Saling mengisi. Saling melengkapi. Hingga nada sumbang menjadi tembang. Dan tarian kata mencipta pesan nyata: hidup ini indah!
Seperti ketika engkau berdiri di tepi laut biru. Mencecap aromanya setetes demi setetes. Lalu desah debur ombaknya dapat kau rasa bersama Lelaki yang Melukis Negeri di Seberang Laut yang berkata: Akan kulukis negeri ini, seperti indahnya negeri seberang yang terletak di balik horizon, nun jauh di sana. Itu persis seperti ketika engkau menikmati nada lembut alunan organ yang mengalir tanpa sela hingga membawamu melayang, Bertualang dalam Lamunan bersama Indah Widianto yang terperangkap angan bersama Francesco Totti.
Jangan salahkan dirimu jika ketika menyaksikan delapan bidadari bersimfoni lantas kau nyaris ekstase. Permainan denting-denting melodi G pada Bayi dalam Diksi menimpali nada sederhana 13 Perempuan Endah Raharjo hingga mungkin saja ekstasemu nyaris semakin menjadi-jadi. Jangan pula salahkan dirimu jika kemudian engkau menjadi ketagihan. Sebab, simfoni itu Bagai Shabu-sabhu. Melambungkanmu ke awan. Berulang. Berkali-kali. Up-down-up-down yang kemudian mengajakmu untuk mengulang lagi, lagi, sekali lagi dan lagi.
Untuk menjagamu tetap sadar, selingi keasyikanmu dengan menyantap Cupcake Cinta Winda Krisnadefa. Agar selagi engkau menikmati simfoni, tetaplah kakimu berpijak pada bumi seperti Sri dan Merapi. Tak perlu Takut kehilangan, karena ada kata Setia Ria Tumimomor. Hidup ini memang indah, meski kadang berbalut kesah bagai Wanita di Balik Jendela yang mungkin tersiksa Gara-gara Main Hati. Saat resah menyapa, dengarkan simfoni dari delapan bidadari. Pagi. Siang. Senja. Malam. Jangan kau penggal-penggal nadanya. Jangan kau acak-acak aransemennya. Sebab, jika engkau begitu, engkau tidak akan mendapat yang lebih sempurna. Dengarkan secara utuh. Lihat tarian kata dengan penuh. Niscaya sampai Akhir Sebuah Perjalanan, semua terasa indah. Bersama delapan bidadari bersimfoni -Winda Krisnadefa, Deasy Maria, Endah Raharjo, G, Sari Novita, Indah Widianto, Ria Tumimomor, dan Meliana Indie– melantunkan 24 Senarai Kisah dari Kampung Fiksi.

Judul Buku : 24 – Senarai Kisah dari Kampung Fiksi
Penulis : @Kampung Fiksi (Winda Krisnadefa, Deasy Maria, Endah Raharjo, G, Sari Novita, Indah Widianto, Ria Tumimomor, dan Meliana Indie)
Penerbit : Kampung Fiksi
Cetakan : I, 2011
Tebal : 196 halaman

Selamat Datang di Ibukota Serigala

Ledakan ekspresi kebebasan, itulah yang ingin saya sampaikan untuk sebuah buku kumpulan puisi Ibukota Serigala. Ada marah yang tertahan. Ada sedih yang tertindih. Ada duka yang terlupa. Kejahatan tersembunyi yang terus menerus menjangkiti sendi-sendi kehidupan. Basa basi busuk. Semua tersimpul dalam dua kata sederhana: kekerasan psikologis! Jika dada tidak mampu lagi menahan luka, maka puisi menyuarakan yang tak berbunyi. Bagi Maria Immaculata Ita, semua rentetan kejahatan psikis tersebut terangkai menjadi sesuatu yang indah sekaligus ironis dalam Ibukota Serigala sebagaimana dapat kita simak pada penggalan bait puisinya;
: ingatkan aku untuk selalu mengucapkan salam saat memasuki pintu gerbangnya, wahai maria sofia
ingatkan aku untuk selalu membantu mengelap keringat wanita-wanita berantena,
ingatkan aku untuk mengamini ajakannya berdisko ria,
lalu kita akan tertawa bersama karena ternyata kita amnesia/

Tidak dapat dipungkiri bahwa karya penyair muda kelahiran 6 Oktober 1985 ini sarat dengan aroma kebosanan pada status quo generasi tua. Satu dari sekian banyak anak muda yang berani menyuarakan bahwa tua belum tentu dewasa, lama belum tentu baik, berkuasa belum tentu bijak. Kemapanan yang diterima sebagai sesuatu yang benar karena banyak orang mengamininya, itulah yang ingin didobrak. Menjadi sesuatu yang sangat masuk akal jika fenomena sekitar kita menunjukkan tingginya berbagai bentuk pemberontakan kaum muda. Inilah suara hati mereka:
Litani Sakit Hati
lama terdiam,
akhirnya ego kami melawan/
lama dibungkam,
akhirnya ego kami menyerang/
lama menangis,
membuat mata kami bengis/
lama menurut,
membuat ego kami menuntut/
lama ditirani,
membuat ego kami berani/
lama sendiri,
membuat kami tak perduli/
lama ditipu,
membuat kami berlalu/
lama merenung,
membuat kami susah tersenyum/
lama disakiti,
membuat kami sakit hati/

Selain puisi-puisi tersebut, Ibukota Serigala menyajikan 66 puisi yang sangat spontan dan cenderung impulsive. Sesuatu yang memikat sekaligus membutuhkan pencernaan yang baik di otak pembaca. Cerminan kegilaan yang memukau dari sang penulis di tengah badai hedonisme yang menggila. Sangat Layak dibaca. Proficiat! Selamat Datang di Ibukota Serigala.

Judul Buku : Ibukota Serigala
Penulis : Maria Immaculata Ita
Penerbit : Greentea
Cetakan : I, 2010
Tebal : xv + 110 halaman