Arsip Tag: catatan diary

Kisah di Balik Pintu: Menyingkap Rahasia Perempuan

Resensi Ragil Koentjorodjati

Hidup seseorang di luar sana, lewat dalam kesepian, dihantui oleh topeng-topeng manusia lain. Hidup pribadinya lewat dalam keheningan, dihantui oleh topeng diri sendiri.
(Eugene O’Neill)
buku soe tjen marchingSosok perempuan selalu menarik untuk diselisik. Ia seindah debur ombak di permukaan samudera sekaligus menyimpan misteri di bawahnya. Bara ambisi dapat rapi tersembunyi di balik sikap anggun, serapi hasrat seks yang kadang hanya terlihat seperti cahaya pendar. Tidak jarang banyak lelaki terpesona untuk turut mengobarkan setitik bara yang kadang tampak malu-malu tetapi mau. Namun tanpa terduga, perempuan mampu mengatakan “tidak” dengan tersenyum manis sehingga sering kali lelaki lebih percaya pada senyuman itu ketimbang kata “tidak” yang diucapkan. Kerap kali, dalam benak seorang lelaki, perempuan adalah paradoks itu sendiri. Paradoks di mana kata “iya” dapat berarti “tidak” dan kata “tidak” dapat berarti “iya”.
Simak kalimat Sulistina, istri Bung Tomo, pada biografinya yang dikutip Soe Tjen pada bukunya Kisah di Balik Pintu berikut:
Aku digendong dimuka para wartawan dan lampu blits berjepretan mengabadikan peristiwa itu. Aku malu sekali digendong didepan para wartawan…(Soetomo, 1995: 145)
Aneh. Malu tetapi ingin diketahui orang lain perihal malunya itu. Bahkan penting sekali bagi orang lain untuk melihat, mendengar dan menyaksikan rasa malu ini. Rasa malu yang sebenarnya tidak malu (hal. 47)
Acap kali muncul pertanyaan mengapa perempuan merasa perlu untuk menyembunyikan sebahagian dirinya dan pada saat yang sama memunculkan bagian dirinya yang lain. Simak misalnya pembelaan Inggit Garnasih ketika ia memutus suaminya, Sanusi, dan memilih Soekarno yang dua belas tahun lebih muda darinya. Dalam otobiografinya Kuantar ke Gerbang, sebagaimana dipaparkan dalam Kisah di Balik Pintu, ia menulis:
Yang jadi soal bagiku adalah justru suamiku sendiri, Kang Uci. Ia masih juga tetap suka sering keluar rumah. Dan aku sudah tidak bernafsu lagi untuk menegurnya. Biarlah ia mendapatkan kesenangannya sendiri, pikirku (Ganarsih, 1988:7)
Lalu pada bagian lain ia menjelaskan kemesraan hubungannya dengan Kusno atau Soekarno muda sebagai berikut:
Malam hari sering kali kami berduaan. Dengan tidak terasa saat-saat sepi telah direnggut oleh lautan asmara yang menjalar dan naik jadi pasang serta kami dengan tidak sadar telah tenggelam karenanya. Sampai pada satu saat Kusno merayu aku dan aku pun peka. Aku pun terdiri dari darah dan daging, manusia biasa yang luluh oleh kesepian dan musnah oleh pijar sinar cinta yang meluap (Ganarsih, 1988:16).
Jawaban pertanyaan “mengapa perempuan seperti membelah diri di atas” dapat beraneka ragam tergantung dari sudut pandang serta latar belakang si pemberi jawaban. Dan Soe Tjen Marching dengan bukunya Kisah di Balik Pintu menyediakan jawaban yang tidak saja menjelaskan mengapa tetapi juga bagaimana ideologi yang begitu dominan terutama seputar gender dan isu perempuan, mempengaruhi ekspresi para perempuan (hal.xix). Soe Tjen yang juga telah sukses dengan novelnya Mati, Bertahun yang Lalu, kali ini dengan Kisah di Balik Pintu menyediakan bukti-bukti analisis empiris bahwa ideologi yang bias gender punya andil besar dan turut bertanggung jawab atas identitas perempuan yang kadang seperti berkepribadian ganda. Buku ini juga memaparkan analisis serta bukti mengapa perempuan tidak mampu atau tidak berani tampil jujur apa adanya sebagaimana dilakukan kaum lelaki? Dalam istilah sekarang, mengapa harus jaim (jaga image)? Apakah salah jika perempuan ingin berkuasa sebagaimana lelaki? Apakah salah jika perempuan menunjukkan hasrat seksualnya dengan tampil lebih berani, meminta dipeluk atau bahkan memeluk dan mencium, menyampaikan dan mewujudkan ketertarikan pada lawan jenis? Apakah perempuan harus anteng, nurut dan nrimo, cukup sekedar menjadi konco wingking menjalankan tugas-tugasnya di dapur, di sumur dan di kasur?
Jawaban berbagai persoalan perempuan dan telitian tentang identitas perempuan telah cukup banyak disajikan para peneliti dan penggiat pemberdayaan perempuan, sebut saja misalnya buku Identitas Perempuan Indonesia: Status, Pergeseran Relasi Gender, dan Perjuangan Ekonomi Politik yang memuat kompilasi berbagai masalah perempuan di dunia ketiga. Namun Kisah di Balik Pintu sejatinya merupakan penelitian komprehensif atas keterbukaan dan kerahasiaan identitas pribadi perempuan Indonesia. Buku hasil terjemahan desertasi Soe Tjen dalam meraih Ph.D di Australia berjudul The Discrepancy between the Public and the Private of Indonesian Women yang telah diterbitkan sebelumnya oleh The Edwin Mellen Press, New York, 2007 ini, menggunakan buku harian dan otobiografi sebagai pintu masuk menyingkap rahasia-rahasia perempuan yang tidak diketahui publik. Meski terjemahan tersebut menimbulkan kendala bahasa tersendiri seperti salah tulis dan ketidaksepadanan kalimat, namun secara keseluruhan karya empiris yang cukup berat menjadi lebih enak dibaca dan terasa ringan. Harus diakui tidak ada yang lebih menarik selain membaca buku harian orang lain sebab itu seperti mengintip jendela hati seseorang, banyak hal menarik sekaligus mengejutkan.
Pada Kisah di Balik Pintu, setidaknya terdapat sembilan buku harian perempuan dengan berbagai latar belakang dan delapan otobiografi tokoh perempuan Indonesia yang diteliti dan diperbandingkan. Dapat diduga bahwa perbedaan latar belakang penulis buku harian dimaksudkan untuk mementahkan dugaan adanya pengaruh lain seperti suku atau agama. Membaca serta menganalisis “keliaran” perempuan dalam diary atau buku hariannya tentu menimbulkan rasa ingin tahu. Dan itu tidak kalah menarik dengan analisis otobiografi para tokoh seperti Sujatin Kartowijono (Mencari Makna Hidupku, 1983), Rachmawati Sukarno (Bapakku, Ibuku, 1983), Herlina (Pending Emas, 1985; Bangkit dari Dunia Sakit, 1986), Inggit Garnasih (Kuantar ke Gerbang, 1988), Ratna Djuami (Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno, 1992), Sulistina Soetomo (Bung Tomo Suamiku, 1995), Lasmidjah Hardi (Lasmidjah Hardi: Perjalanan Tiga Zaman, 1997). Dengan begitu banyak sumber, Kisah di Balik Pintu menjadi begitu kaya dan membuka banyak ruang penafsiran dan pemikiran tentang berbagai persoalan perempuan seperti emansipasi, hasrat diri, kekuasaan, kepuasan seksual dan bagaimana perempuan menempatkan diri pada lingkungan yang dihegemoni maskulinitas.
Lalu untuk apa mengetahui hal-hal yang tersembunyi itu? Temukan jawabannya dari buku setebal 256 halaman terbitan Penerbit Ombak Yogyakarta ini. Buku yang begitu kaya dengan mutiara yang menunggu untuk dituai.

buku soe tjenJudul Buku : Kisah di Balik Pintu (Identitas Perempuan Indonesia: Antara Yang Publik & Privat)
Penulis : Soe Tjen Marching
Penerbit : Ombak
Cetakan : I, 2011
Tebal : xxi + 256 halaman

Tulisan Terkait:
Siapa Soe Tjen Marching?