Arsip Tag: Bukan

(Lagi) Puisi-puisi Ahmad Yulden Erwin

gambar oleh AYE
gambar oleh AYE

——–

ITU

——–

 

Lelaki itu berpikir dia bisa baku tipu terus soal dunia

Bayang tubuhnya pas teng 12 siang fanatik benar

Sepuluh jarinya terjulur di ranting jadi tangan Budha  

 

 

————————

PENARI TOPENG

————————

 

Kadang dia melenggok ke kanan, buka-tutup

Topengnya sedikit-sedikit, kayak tak percaya

Orang jaman kini tak lagi ngotot butuh subyek

 

Dipertahankan mati-matian di balik topeng kayu;

Kerincing kaki, tarik biji mata dua-dua lirik ke kiri

Pikirnya dengan begitu obsesi tuntas keliling dunia

 

Bisa nyata, dia kira semua penontonnya bodoh apa?

 

 

———————————-

DARI MEMOAR MATSUO

———————————- 

 

1.

Tidak asing lagi secangkir teh hijau terasa

Di lidah orang bisa belajar kebajikan asal

Bukan yang tinggi, hanya sececap getah

 

Sepah pucuk rumput terasa manis berabad

Ini bukan kembara jauh, bilang kakiku dekat

Dua-tiga langkah ditarik ke sisi tak terduga

 

Sekarang, orang bisa jalan dengan lidahnya

 

2.

Bila tidak suka tinggi-tinggi, bilang aku bisa

Terjun ke samudera di sumsum mata kaki

 

3.

Bisa pilih jalan lempang, sudah jadi karunia

Suka-suka orang berpikir tahu arah pulang

Tengok belakang tengok depan cuma jejak

Kelinci atau rakun. Pasti jelas bukan embun  

 

4.

Penyair tidak paham debam ekor paus bikin

Ombak di piring orang lapar, matanya buta

Nekat saja ia tulis haiku sampai lupa pulang  

 

5.

Sok-sok-an begini dibilang rahasia, tidak lihat

Hujan daun sakura gugur dekat bunga nazuna

 

 

———————–

Agustus 2013

———————–

Tiga Puisi Ahmad Yulden Erwin

KITAB HALAMAN

Kini mulai kubaca lagi halaman rumahku:
Pagar batu, dua rumpun seruni, sepasang
kelinci, atau tiga larik haiku berlari memeluk

ranting petai cina. Kau tidak bisa bertanya:
Apakah Tuan tengah bermimpi atau terjaga?
Tiada batas kecuali dalam pikiranmu semata.

Tanah basah, genangan air bekas hujan, kilat
tiba-tiba menyergap seperti sekuntum anyelir
mekar penyap di fajar mataku. Jika kau dapat

melihat dengan jernih, maka akan kaudengar
sepasang kutilang berkicau di dahan mangga;
akan kaurasakan manis desir angin membelai

kuntum-kuntum widuri di halaman tetangga.
Pada saat itu, janganlah sungkan bertanya:
Apakah Tuan tengah bermimpi atau terjaga?

————————————————————————–

IMPROVISASI

                                       Aku pergi…
                                       – Tanzan

1
Hujan belum turun pada baris sajakmu,
juga ke jalan berbatu dan atap rumahmu.
Malam yang tersangkut ranting kering

tak juga bergeming oleh tatap matamu.
Kau tahu, semua mesti berakhir, seperti
bangkai capung yang terinjak sepatumu.

Pintu. Debu. Remah roti. Semut-semut
merayap di toples gula. Segalanya adalah
mimpi yang terbakar di telapak tanganmu.

Tak ada yang kekal, juga bayangan bulan
yang terpantul pada kedua bola matamu.
Sepatu kautaruh di raknya. Baju, celana,

singlet, sempak: kaugantung di samping
jendela. Kautatap tubuhmu di depan kaca:
Bukan sabda. Bukan kata. Bukan tanda.

2
Tak ada satori saat kautatap percik hujan
di nako jendela kamarmu. Tak ada kensho
saat petir menyergap gendang telingamu.

Kau tersenyum memandang kotak sampah
di pojok ruang tamu. Waktu telah menjadi
segelas air bening yang mengalir perlahan

di dinding ususmu. Kau tak lagi menatap
arloji di tangan kirimu. Kaubiarkan saja
detik-detik memercik pada tiga larik haiku.

Kautatap bunga-bunga krisan di meja tamu.
Kau tertawa. Semua menjelma metafora:
Bukan suara. Bukan udara. Bukan cahaya.

———————————————————————–
MENATAP KELUAR JENDELA

Ujung sebatang ranting
kering, langit biru bening,
sepasang capung hijau
hinggap di pucuk ranting.
Pikiran adalah lidah-lidah
kering, amat merindukan
setetes air: kesegaran dalam
kebeningan. Tapi langit,
di sana, terlihat amat jauhnya.

Kini kau kembali terkurung
dalam kenyerian kamar.
Mungkin ada baiknya kau
belajar mencintai kamar,
menghargai arti debu dan abu,
tumpukan kertas tak terpakai,
serakan pena tak terpakai,
sederet rencana di luar rencana.

Dari balik jendela,
di luar segala rencana,
kau mulai menyerap
kebeningan: kristal kilau maut,
pikiran hanyut menuju awal,
awal pun hanyut menuju akhir,
akhir yang berawal di jendela terbuka.

Kini, dalam kekinian
yang paling kini,
kau mulai menyadari
ada yang tak bisa kausadari.
Ujung sebatang ranting
kering, langit biru bening —
daun hijau tumbuh di pucuk ranting.

——————————————————

Bandarlampung, 2012 – 2013