Sebuah Catatan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (2)
Oleh Hendi Jo
PELABUHAN SABANG, 27 Januari 1933. Belasan kelasi pribumi tengah membersihkan lantai Kapal Tujuh yang sedang menurunkan jangkar di sana. Beberapa di antaranya, ngobrol dalam suara berbisik. Ketegangan meliputi wajah-wajah sawo matang tersebut. Pasalnya adalah keterangan dari seorang Kopral berkebangsaan Belanda yang mendapat informasi A1 (sangat valid) dari radio bahwa hari-hari itu tengah terjadi pemogokan besar-besaran memprotes penurunan gaji yang dilakukan oleh kawan-kawan mereka di Surabaya.
maud boshart pemimpin pemberontakan kapal tujuh
Kopral Maud Boshart—nama salah satu marinir Belanda totok yang pro pemogokan—kelak memberi kesaksian bahwa berita tersebut menjadi percikan awal dari api pemberontakan yang beberapa hari kemudian akan berkobar di Kapal Tujuh. “Kami semua resah, karena secara politis kami sangat mendukung aksi-aksi yang dilakukan oleh para marinir di Surabaya itu,”tulis Boshart dalam Muiterij in de Tropen (Pemberontakan di Daerah Panas).
Kasak-kusuk para marinir tersebut pada akhirnya mengerucut kepada rencana pemufakatan gelap untuk membahas soal itu besok harinya. Tempatnya mereka tentukan di sebuah gedung bioskop yang terletak di pusat kota Sabang. Dengan alasan untuk merayakan Hari Idul Fitri, permohonan izin pun kemudian diajukan ke Komandan Kapal yang bernama Eikenboom, seorang Belanda yang memiliki pangkat paling tinggi di Kapal Tujuh yakni Letnan Kolonel Laut.
Awalnya para perwira Belanda tidak menaruh syakwasangka dengan pengajuan izin para kelasi pribumi untuk turun ke darat itu. Kecurigaan mulai muncul saat mereka mengetahui ada 30 marinir bangsa Belanda pimpinan Maud Boshart dan Hendrik yang ikut turun juga ke darat. Pikir mereka, apa perdulinya orang-orang Belanda yang Kristen itu ikut-ikutan merayakan Hari Lebaran?
Tak mau ambil resiko, Eikenboom pun lantas berkoordinasi dengan pihak kepolisian setempat. Dan jadilah pertemuan yang tadinya akan bersifat rahasia itu itu diawasi oleh polisi. Namun dalam situasi kritis itu, tiba-tiba terjadi kebakaran besar di pusat kota. Saya menduga, peristiwa itu bukan suatu kebetulan.Bisa jadi itu sesungguhnya merupakan bagian skenario yang sudah dibuat para marinir itu untuk menghindari pengawasan polisi lokal.
Namun terlepas dari benarnya tidaknya dugaan itu, yang jelas saat terjadi kepanikan tersebut, semua polisi yang menjaga pertemuan para marinir itu seolah lupa dengan tugas utama mereka. Alih-alih tetap siaga di tempat, mereka dengan tergopoh-gopoh malah berlarian kearah pusat api. Begitu lepas dari pengawasan polisi, rapat kilat pun dilakukan. Pidato-pidato keras menolak penurunan gaji serta dukungan terhadap aksi Surabaya dengan lantang disuarakan.
Rombongan para polisi pengawas baru datang setelah acara rapat akan berakhir. Kendati luput mendengar pidato-pidato revolusiener dari para marinir, mereka sempat juga mendengar “para lelaki laut” itu mengumandangkan hymne perjuangan kaum buruh dunia yakni Internationale.
“Werkers, waar g’ ook zwoegt en lijdt Zijn wij niet van enen bloede? Striemt ons niet dezelfde roede? Een in’t juk, dat w’ allen dragen Een de strijd, die heft te wagen‘t Ganse proletariat
(Buruh, di mana saja kau membanting tulang dan menderita Tidakkah kita ini berasal dari satu darah? Tidakkah cambuk yang sama menghantam kita? Satu dalam beban yang kita sekalian pikul Satu saja perjuangan yang berani menempuh Segenap kekuasaan proletariat”.)
Berita pengumandangan lagu Internationale tersebut, tak pelak membuat khawatir para perwira Belanda di Kapal Tujuh. Terlebih dari hari ke hari, mereka mendengar dari radio, aksi pemogokan para marinir Surabaya alih-alih berhenti malah semakin menggila. Karena itu adalah wajar jika kemudian mereka mulai menghubung-hubungkan dan timbul curiga pengaruh “Revolusi Surabaya” telah menyelusup sampai ke tubuh Kapal Tujuh.
Sebagai upaya mengantisipasi terjadinya pergolakan di Kapal Tujuh, pada 31 Januari 1933, Eikenboom mengumpulkan semua awak kapal. Di hadapan 460 para marinir Kapal Tujuh, ia mengatakan: “Berita yang saya terima mengatakan bahwa sekarang ini telah terjadi pemogokan di kalangan marinir di Surabaya. Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga di kapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji. Saya sangat menyesal bilamana kalian berbuat sesuatu yang tidak baik, karena di kapal ini sayalah yang bertanggung jawab. Jadi saya harap semua ABK Tujuh jangan sampai ikut dalam aksi pemogokan seperti yang terjadi di Surabaya itu!”
Bagi para sebagian besar awak Kapal Tujuh, pidato Eikenboom justru seperti membongkar api dalam sekam. Alih-alih membuat mereka menjadi lebih tenang, keinginan berontak justru semakin berkobar. Setelah melakukan serangkaian pertemuan diam-diam, para pimpinan awak kapal pribumi seperti Sukantaparadja, Rumambi, Gosal dan beberapa kawan-kawan mereka yang berkebangsaan Belanda namun pro terhadap perjuangan menuntut kenaikan gaji, sepakat untuk menjalankan sebuah pemberontakan.
Rencananya mereka akan mengambil alih kekuasaan atas Kapal Tujuh. Setelah itu, para pemberontak akan mengarahkan kapal kembali menuju Surabaya. Tujuannya, selain untuk membebaskan kawan-kawan mereka yang ditahan di Sukolilo, juga untuk menarik perhatian internasional terhadap upaya perjuangan mereka.
“Selama ini, saya sering mendengar para perwira kami mengejek bahwa kelasi-kelasi inlander tak lebih hanya penggosok tembaga saja. Mereka bilang, sebenarnya kalian sangat tidak pantas ada di sebuah kapal perang milik Kerajaan. Saya pikir, inilah waktunya untuk kawan-kawan membuktikan bahwa kaum pribumi pun dapat juga memimpin kapal perang dan menyumpal omong kosong mereka yang selalu menghina kita!” seru Boshart dalam sebuah pidato terakhir untuk merencanakan pemberontakan tersebut.
Sebagai komandan pemberontakan, para awak kapal memilih Kawilarang. Ia dibantu oleh Rumambi, Gosal, Paradja, Tumuhena, Suwarso, Hendrik dan Boshart. Mereka percaya bahwa sebuah pemberontakan lintas kebangsaan akan berlangsung di sebuah kapal perang kolonial!
ISU PEMBERONTAKAN di Kapal Tujuh bukannya tidak diketahui oleh para perwira kapal perang tersebut. Namun rupanya, sikap merendahkan potensi inlander lebih dominan bersingasana di benak mereka. “Babi-babi itu hendak melarikan sebuah kapal yang begitu besar? Itu tidak masuk akal, sedangkan sebelah kanan kapal saja mereka tidak dapat membedakan dari sebelah kirinya, apalagi melarikan sebuah kapal yang begitu besar !”ujar Eikenboom saat dilapori anak buahnya kelak saat para marinir sedang menyiapkan pemberontakan di kapalnya.
Tidak ada upaya antisipasi terhadap isu pemberontakan itu. Alih-alih begerak cepat menangkap para marinir yang dianggap sebagai pentolan pemberontakan, para elite pimpinan Kapal Tujuh malah membuat situasi blunder. Bentuknya, mereka memilih untuk pergi ke pesta dansa di kantin KNIL di Uleelheue, Aceh.
“Pesta yang menghadirkan noni-noni Belanda itu, konon menelan biaya sampai 500 gulden,” tulis M. Sapiya dalam Pemberontakan Kapal Tujuh.
Untuk “mendinginkan” para marinir bumiputera, pada 4 Februari siang, Eikenboom malah menyelenggarakan pertandingan sepakbola antara anak buah kapal Tujuh dengan pihak tentara Angkatan Darat (KNIL) pada 4 Februari. Pertandingan persahabatan itu berakhir dengan kekalahan para marinir KM dalam skor 2-4.
Usai magrib, suasana tenang masih meliputi Kapal Tujuh. Para anak buah kapal terlihat santai. Di geladak, beberapa di antara mereka, masih terlibat perbincangan sekitar pertandingan sepakbola tadi siang. Sementara itu, rangkaian bunga sebagai tanda penghormatan dari pihak KNIL masih segar tergantung di dekat tangga kapal. Belakangan Boshart mengakui rangkaian bungai itu sengaja digantungkan oleh dirinya, sebagai taktik untuk mengelabui suasana tegang sebagian besar awak Kapal Tujuh yang tengah bersiap menjalankan pemberontakan.
“Rupanya pra kondisi yang kami lakukan berhasil, sekitar jam 8 malam Eikenboom, Meijer dan para perwira tanpa curiga memutuskan turun ke daratan untuk menghadiri pesta dansa di Aceh Club,”tulis Boshart.
Begitu iring-iringan para perwira tersebut hilang dari pandangan dan situasi dinilai kondusif, secara cepat Kawilarang mengatur tugas para kelasi bumiputera untuk menduduki pos-pos yang telah ditetapkan. Wahab, Saleh, Katenghado dan Manuputty memegang kemudi kapal, beberapa orang lainya mengurus mesin pengangkat jangkar, menyiapkan peta-peta untuk pelayaran menyusuri pantai Sumatera.
“Sementara para marinir bumiputera dipimpin langsung oleh Kawilarang, maka para marinir Belanda dan Indo dipimpin oleh saya dan Dooyeweerd,” ujar Boshart
Setengah jam setelah kepergian para perwira tersebut, Kawilarang memerintahkan ABK Subari (yang bekerja dalam ruangan makan para perwira) untuk memeriksa semua pistol yang ada di ruangan perwira. Ia pun memerintahkan ABK Hardjosuria (yang bekerja di dalam ruang makan bintara) untuk memeriksa tempat penyimpanan gewerrek (senjata kokang) dan gudang amunisi meriam 28 cm.
Para pemberontak pimpinan Boshart juga tak kalah cepat bergerak. Mereka masuk melalui schoorsteen (cerobong asap) kapal dalam gerak senyap dan turun ke bawah menuju kamar mesin dengan dibantu oleh kawan bumiputera yang bernama Ali Partodihardjo. Setiba di kamar mesin, mereka mulai memanaskan mesin sedemikian rupa sehingga orang tidak dapat menduga bahwa mereka sedang mengadakan persiapan untuk memberangkatkan kapal.
Di bagian lain, para kelasi bumiputera pimpinan Parinussa dan Suwarso mengawasi gerak para marinir Belanda yang dicurigai dan juga membantu menaikkan sekoci jika kapal berangkat.Semua tugas tersebut dilakukan sebelum pemberontakan dimulai. Salvo tanda dimulainya pemberontakan dilakukan dengan jalan meniup bootsmanfluitje (peluit serang) yang dilakukan oleh Kawilarang sendiri sebagai komandan tertinggi kapal.
Sekitar pukul 10 malam, para petugas piket berkebangsaan Belanda ribut. Saat memeriksa, pimpinan mereka yang bernama Letnan (Laut Kelas Dua) Van Boven mendapati peluru-peluru dalam lemari di atas geladak raib. Mereka lantas mencari Paradja yang menjadi penanggungjawab keberadaan peluru-peluru tersebut di Kapal Tujuh. Saat ditemui, Paradja ada dalam situasi yang tengah santai di geladak kapal dekat Meriam 28: bercelana jeans pendek dan berkaos oblong.
Demi menyaksikan pemandangan tersebut, Van Boven menegur keras Paradja sambil memerintahkan untuk segera berpakaian lengkap dan pergi menghadap atasannya di daratan. Mendapat teguran keras tersebut, Paradja naik pitam. Alih-alih, menemui atasanya untuk melapor, ia malah turun ke ruangan makan khusus untuk kelasi bumiputera, tempat para pemberontak bersenjata lengkap tengah bersiap.
“Hai, saudara-saudara sekalian, sekarang sudah tiba saatnya untuk berontak, marilah kita berontak, ayo, serbu sekarang!” teriaknya.
Salah satu orang Belanda yang ikut memimpin pemberontakan: Maud Boshart
Kawilarang yang mendengar suara Paradja langsung meniup peluit serangnya sebagai tanda pemberontakan dimulai pada jam 10 malam itu. Begitu peluit berbunyi, seluruh lampu kapal tiba-tiba padam diiringi aksi penyerangan mendadak dibawah pimpinan Paradja, Gosal, Sudiana, Mitje J, Parinussa dan Suahardjo serta para ABK bangsa Belanda dan Indo pimpinan Boshart dan Dooyeweerd. Lima belas pemberontak lainnya langsung menguasai dan bekerja di kamar mesin.
”Seluruh pasukan lawan dapat kami lumpuhkan dan semua ruangan dalam kapal akhirnya kami bisa kuasai, kecuali ruang radio,” kisah Boshart.
Untuk menguasai ruangan radio tersebut, Kawilarang memerintahkan pasukan Boshart untuk menanganinya. Begitu pasukan pemberontak sampai di ruangan radio, terlihat perwira Belanda bernama Baron Devos Van Steenwijk tengah menghardik seorang kelasi Belanda untuk segera menyiarkan terjadinya pemberontakan di Kapal Tujuh.
Boshart balik membentak Baron Devos. Dengan mengacungkan pistolnya, marinir yang merupakan aktivis serikat buruh sosialis itu berteriak “Ga Weg, jij, of ik schiet (pergi dari situ atau kau aku tembak)!”Demi melihat ramainya para marinir sebangsanya datang bersenjata lengkap dan memandangnya dengan mata penuh ancaman, perwira radio itu pun memutuskan untuk menyerah.
Dua perwira berkebangsaan Belanda: Vels dan Bolhouwer -yang pada malam itu ditugaskan untuk mengawasi kapal selama Eikenboom dan perwira lainnya turun ke daratan- berhasil lolos. Saat proses penguasaan Kapal Tujuh dilakukan, mereka diam-diam meloloskan diri lewat patrijspoort (jendela kapal) dan berenang menuju daratan. Seorang kelasi bumiputera coba membidik mereka.Namun sayang, tembakannya luput. Bisa jadi mereka berdua radiusnya sudah terlalu jauh.
Beberapa perwira Belanda lainnya juga ada yang berhasil lolos. Sebelum meloloskan diri, mereka sempat mengunci kemudi kapal, hingga tak bisa digunakan oleh para pemberontak. Di tengah kesulitan karena kemudi terkunci, Kawilarang dengan tangkas menggunakan dua buah mesin (stuurboord dan backboard) sebagai pengganti kemudi yang sudah lumpuh itu. Kendati Pelabuhan Oleh Le banyak dipenuhi oleh pulau-pulau kecil dan ranjau-ranjau karang, pelaut asal Sulawesi itu berhasil membawa kapalnya dengan selamat keluar dari pelabuhan tersebut.
Lepas dari Pelabuhan Oleh Le, Kapal Tujuh memutar haluannya menuju Surabaya. Atas perintah Kawilarang, kemudi yang terkunci dengan slot merek Lips, dibongkar paksa dengan mengggunakan sebuah palu besi seberat 8 kg. Dengan demikian kemudi Kapal Tujuh itu dapat berfungsi kembali.