Menggapai Kebahagiaan Bersama Ki Ageng Suryo Mentaram

Resensi Arif Saifudin Yudistira*)

Spiritualitas jawaKi Ageng Suryo Mentaram adalah sosok pemikir orisinil negeri ini. Sebagaimana dalam kosmologi jawa, Ki Ageng Suryo Mentaram melakoni “laku”. Laku yang dilakukan dengan meninggalkan segala yang duniawi, kekayaan, harta dan kekuasaan. Semua itu ditinggalkan untuk melakukan pencarian hidup yang sejati. Atau dalam istilah orang jawa sering dikatakan “sejatinya hidup itu apa?”

Ki Ageng tampak juga melakoni hidup ala falsafah budha. Ia meninggalkan hal yang bersifat materi untuk memuaskan hasrat rohaniah. Hasrat rohaniah ini ia jalani bersama kawula alit, di sanalah ia merasakan hidup dan kehidupan yang sebenarnya hingga berkesimpulan “Aku bukan aku” yang artinya bahwa kehidupan kita tak lain adalah bagian dari kehidupan orang lain. Adanya rasa kasih sayang dan tidak mementingkan diri sendiri. Marcel Bonnef menyebut langkah Ki Ageng Suryo Mentaram mirip Siddharta, untuk menyibak penderitaan manusia, kemudian mengawali pencarian yang berakhir pada “pencerahan”

Falsafah hidup

Pelajaran penting dari falsafah hidup Ki Ageng Suryo Mentaram penting untuk menghadapi dunia yang semakin materialistis dan bersifat rasionalitas mekanik. Ia menganggap hidup itu seperti layaknya takdir yang mesti dijalani. Bila seseorang sudah menganggap hidup itu adalah bagian dari takdir, maka seseorang akan menerima dengan iklas bahagia, sengsara, kaya ataupun miskin, atau juga warna-warni kehidupan. Ia mengajarkan “tidak ada sesuatupun di atas bumi dan di kolong langit yang pantas untuk dikehendaki dan dicari, atau sebaliknya ditolak secara berlebihan”. Artinya dalam kehidupan ini sifat “narima ing pandum” menerima bahagian hidup kita dengan iklas (hal. 15).

Di dalam buku ini, kita akan menemukan bagaimana sebenarnya Ki Ageng Suryo Mentaram penting diangkat kembali dalam khasanah pemikiran filsafat kita. Pemikirannya tentang falsafah hidup kebahagiaan perlu kita jadikan pelajaran penting. Ia mengajarkan pada kita tentang makna mawas diri. Hal ini mirip dengan yang dilakukan oleh syair yang diciptakan Paku Buwono IV: “benar atau salah keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan /atau kemalangan penyebabnya ditemukan/ dalam tiap-tiap diri kita/ dan bukan dalam diri orang lain/ maka dari itu kita mesti berhati-hati (pupuh VII,durma 3).

Pelajaran atau ilmu Ki Ageng sering disebut dengan istilah kawruh jiwa. Ki Ageng menjelaskan yang dimaksud kawruh jiwa itu tak lain adalah “pengetahuan tentang rasa”. kawruh jiwa bukan agama, yang mengajarkan baik dan buruk sebagai petunjuk harus berbuat begini dan begitu, bukan pula kewajiban atau larangan. Kawruh jiwa hanyalah pengetahuan, yang mencoba memahami jiwa dan hal-hal yang terkait tentang itu, sebagaimana pengetahuan tentang hewan dan pengetahuan tentang tanaman dan sebagainya (hal.57). Intinya pelajaran tentang kawruh jiwa adalah pengetahuan tentang bagaimana memahami “rasa” atau “jiwa” manusia. Di dalam kawruh jiwa itulah, kita akan menemukan falsafah hidup yang membawa manusia kepada kebahagiaan sejati, atau sejatinya kebahagiaan. Sebab dalam pandangan kawruh jiwa, hidup itu tak lain dari sementara atau kehidupan yang ibarat hanya mampir ngombe.

Ilmu bahagia

Bagaimana ilmu bahagia yang diajarkan Ki Ageng Suryo Mentaram? Hidup itu mesti dijalani dengan enam “sa”.  Sabutuhe (sebutuhnya), saperlune (seperlunya), sacukupe (secukupnya), sabenere (sebenarnya), samesthine (semestinya) dan sakpenak’e (sepantasnya). Dengan menjalani kehidupan yang enam “sa” tadi, diharapkan manusia itu tidak berlebihan, dan senantiasa menyikapi bagian dari hidup ini dengan sewajarnya dan waspada. Ki Ageng juga menggambarkan ini seperti mulur-mungkret, artinya hidup ini kadang harus diterima dengan dada yang lapang, kadang kita cukup, kadang kita mengalami saat kurang.

Dengan seperti itulah maka Ki Ageng tak merasa kekurangan, merasa dicukupkan dalam hidup meski ia bersama rakyat jelata dan meninggalkan istana dan segenap kemewahannya. Penggambaran Ki Ageng Suryo Mentaram ini ada dalam puisi Saini Kosim sebagaimana ditulis ulang oleh Bandung Mawardi. “Kutinggalkan gelar dan istana untuk menjadi penggali sumur. Kulepas dunia bayang-bayang dan kuraih wujud” (hal.135). Karena tindakan ini Ki Ageng mendapatkan cacian dari keraton dan atas kemauan kuatnya itu pula ia menemukan kebahagiaan sejati. Bahwa kebahagiaan menurut Ki Ageng yakni tidak mementingkan diri sendiri, dan selalu memperhatikan “rasa” dan perasaan orang lain.

Dari pengelanaan pemikirannya Ki Ageng menemukan konklusi: bila orang sudah memiliki “rasa” aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia. Maka dalam mengawasi keinginannya sendiri dan perjalanan hidupnya sendiri ia merasa itu bukan aku. Begitu juga dengan menanggapi dunia seisinya dan semua kejadian-kejadian orang pun akan merasa “itu bukan-aku”. Demikianlah rasa aku itu bahagia dan abadi. (hal.143).

Esai-esai dalam buku ini tak lain adalah untuk mengangkat kembali khasanah pemikiran Ki Ageng Suryo Mentaram tentang bagaimana menggapai kebahagiaan sejati. Pemikiran Ki Ageng dihadirkan kembali di abad 21 dengan pamrih orang atau manusia modern akan menilik ulang bagaimana kehidupan ini menjadi semakin rusak atau bahagia karena tak memahami “rasa” sebagaimana yang dituturkan oleh Ki Ageng Suryo Mentaram. Dengan membaca buku ini, kita menjadi semakin mengerti bahwa hidup itu mesti tak dijalani dengan puja uang, puja kekuasaan dan puja kemahsyuran. Sebab bila kita menilik pemikiran Ki Ageng, semua itu berarti belum menemukan “aku” yang sejati. Aku yang sejati bahagia dan abadi, tidak lain adalah aku yang menyadari bahwa semua yang ada dalam kehidupan ini tak lain adalah bukan dari “ aku” itu sendiri. Selamat menyelami pemikiran Ki Ageng yang tersaji dalam buku ini.

Spiritualitas jawaJudul Buku: Matahari Dari Mataram
Penulis: Afthonul Aif, dkk
Penerbit: KEPIK
Tahun: Oktober 2012
ISBN: 9 786 029 960 877

*) Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi Solo, Pengelola kawah institute Indonesia

Beri Tanggapan