Arsip Tag: john kuan

Empat Belas Baris Suratmu

Puisi John Kuan

kupu-kupu
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com

Ingin jadi seorang gadis Andalusia di hidup nanti, katamu

menari flamenco, hempas diri jadi sebentang laut.

mungkin sebatang pohon ceri di dataran tinggi Kurdistan,

melihat kuda hitam datang dan pergi, serpihan bunga jatuh

di jendela penyair tua, atau jadi saja sekuntum awan di atas Lhasa

geram guruh di langit cerah, mantera putar hidup putar musnah.

Sekarang malah jadi sekuntum lotus salju di pinggang Himalaya

sekejap Durga sekejap Parvati di atas rasa dingin sepuluh ribu kaki.

Atau jadi saja satu denting lonceng angin di sudut atap

suara rem mendadak di luar tiga potong jalan petang senyap.

Ingin jadi sesendok penuh kuah rasa matahari khatulistiwa,

panggang sebuah pesan pendek membeku beberapa abad, buatmu:

Jangan bilang kau telah jadi prajurit terakota tanpa zirah,

tiada sisik ongkang-ongkang di tepi laut tropis memancing hangat

Abelard, Heloise, Birahi dan Reinkarnasi

Gerundelan John Kuan

tragedy love story
Gambar diunduh dari http://www.derekdelintfansite.com

Sudah beberapa kali saya melepaskan kesempatan mengunjungi Cina, selalu merasa sebaiknya menjaga sedikit jarak, mungkin dengan begini akan lebih bagus terhadap panoramanya, produk budayanya, atau orang-orang yang hidup di dalam sejarahnya. Pernah seorang teman bertanya seandainya saya berkunjung ke Cina lagi, paling ingin kemana, saya menjawab Yicheng dan Tibet.    Yicheng dan sekitarnya adalah daerah pengembaraan dan tempat Li Bai menumpang hidup di masa tua. Nama tempat ini agak jarang disebut, ia terletak di barat laut provinsi Hubei, atau mungkin saya kasih titik koordinat saja: 111°57′-112°45′ bujur timur, 31°26′-31°54′ lintang utara.

Dan Tibet, adalah demi berbagai lapis perbandingan sejarahnya dan letak geografinya, tentu juga demi agamanya.

*

Reinkarnasi lama, saya kira, adalah satu hal yang paling misterius di dunia moderen ini. Dan yang percaya akan hal ini kelihatannya sungguh tidak sedikit ——— bahkan yang tidak percaya agama Buddha Tibet juga mengakuinya dalam diam. Ini adalah salah satu sisi yang memancarkan kebaikan dunia manusia, saya berharap akan terus berlangsung. Kadang-kadang penganut agama Kristen terhadap perihal tertentu bisa menjadi sangat ketat dan sempit, seringkali memiliki semacam gaya ‘ ketika menguasai sebuah perdebatan, akan mengejar hingga lawan kehabisan nafas ‘, tetapi terhadap reinkarnasi lama, seperti tidak ada orang yang tampil meragukannya. Mengikuti perkembangan ini, tampaknya kelanjutannya tidak ada masalah besar.

 

*

Reinkarnasi lama biasanya seperti tidak keluar dari lingkup Dataran Tinggi Tibet.

Pada 3 Maret 1984 Lama Yeshe mencapai nirwana di San Fransisco, tanggal 12 Februari tahun berikutnya ada seorang bayi laki-laki lahir di Granada, Andalusia Spanyol, ternyata adalah reinkarnasi sang lama. Granada adalah dunia agama Katolik Spanyol kuno, Federico Garcia Lorca pernah menulis sebuah puisi, judul dan temanya mengambil ‘ Santo Mikael ‘, dengan Malaikat Agung Santo Mikael sebagai malaikat pelindung Granada. Saya pernah coba menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia, puisinya sekitar enam puluh baris, bait pertama dan bait terakhir kira-kira begini:

 

Dari pagar balkon juga bisa kelihatan

bayang antara barisan keledai dan barisan keledai

penuh memikul bunga matahari, telah mendaki

gunung, gunung, gunung

 

……

 

Santo Mikael, raja segala benda Langit

raja diraja sejak dahulu kala

penuh dengan keagungan orang Berber

jeritan dan keanggunan jendela balkon

 

bagaimana seorang lama bisa memilih reinkarnasi di dunia seperti di atas? Tetapi menurut cerita, semasa hidup lama Yeshe pernah beberapa kali ke Granada menyebarkan Darma, dan kedua orangtua anak lelaki itu: Osel Hita Torres, adalah pengikut agama Buddha Tibet, ah, rupanya mereka adalah murid-muridnya!

Ketika Osel Hita Torres berumur dua tahun, dia dibawa orangtuanya ke India, Dalai Lama menatapnya dari dekat, memastikan bahwa anak Spanyol ini memang reinkarnasi lama Yeshe, maka prosesi masuk kuil dilakukan, dia menjadi pemimpin Kuil Kopan di Nepal, melanjutkan posisi lama Yeshe sebelumnya. Di seluruh dunia bukan sedikit orang yang tahu hal ini, saya kira, dan semua orang membelalakkan mata lihat, diam-diam mengakui maknanya yang penuh misteri itu, tanpa hingar-bingar.

Ini sungguh mitologi moderen yang paling menyentuh, sebuah kitab wahyu besar yang sulit dijelaskan. Saya sampai tidak tahan menulis sebuah puisi, meniru gaya nyanyian rakyat. Mengapa menggunakan gaya ini? Rupanya Malaikat Agung Santo Mikael yang di bawah pena Lorca membimbing saya, Granada yang dia lindungi membimbing saya.

 

     Datanglah datanglah, datang sampai di Andalusia

     Carilah daku carilah daku di Granada yang jauh…

 

*

Rasa kesunyian yang diberikan agama kepada manusia dapat saya bayangkan, bahkan saya percaya saya dapat menghargai kesunyian begini. Asketisme adalah sesuatu yang mulia, hal ini saya setuju juga, maka membaca karya sastra Barat abad pertengahan, masih bisa memahami.

Konon, agama juga memberi orang rasa khidmat dan puas. Mengenai ini saya masih belum bisa memahami. Kadang-kadang di dalam filem menunjukkan adegan demikian, misalnya seorang prajurit yang telah mengalami duka dan luka pelan-pelan bersujud menghadap angin dan awan di padang luas berdoa, rendah hati, lelah, dan di jauh seperti ada cahaya ilahi berpijar, menciptakan semacam rasa khidmat dan puas, seperti juga sangat mengharukan. Namun saya berpikir kembali, yang membuat hati tersentuh, bukan ‘ seperti ada cahaya ilahi berpijar ‘, bagi saya, yang menggetarkan hati, rupanya adalah efek yang dihasilkan dari crescendo musik latar.

*

Kesunyian relijius membuat orang tetap memiliki kesempatan kontemplasi, memang bagus.

Membuang dan menutup hawa nafsu seharusnya juga merupakan satu bagian dari kesunyian.

Saya sering berpikir: yang paling sulit di dalam kehidupan biara, pasti adalah membuang dan menutup hawa nafsu. Seorang lelaki atau perempuan di masa remaja karena hasutan sisi rohani meninggalkan kehidupan duniawi, masuk ke dalam kesunyian relijius, menjadi biarawan, memutuskan akar dari perasaan dan emosi alamiah, menekan birahi, bagaimanapun adalah sesuatu yang sulit dipercaya.

Walaupun sulit dipercaya, namun saya memilih sikap tidak begitu curiga ——— memang sulit, tetapi bukan samasekali tidak mungkin.

*

Perancis di abad ke-12 ada seorang teolog bernama Abelard, dengan pengetahuan yang luas dan penampilan yang menarik menjadi sangat terkenal di seluruh Eropa, kemudian karena hubungan percintaan dengan muridnya, seorang gadis bernama Heloise, dia menikah dan mempunyai anak secara rahasia, melanggar sumpahnya, mereka masing-masing dikurung di dalam biara, seumur hidup tidak bisa bertemu. Ada yang menceritakan bahwa di masa tua Abelard menulis surat kepada teman, menyayangkan cinta lamanya yang makin kabur; hal ini diketahui Heloise, lalu menulis surat mengutarakan cintanya yang masih tumbuh merambat. Setelah keduanya meninggal dunia, surat-surat cinta mereka dicetak dan dibaca, menjadi salah satu kisah legendaris abad pertengahan yang paling memilukan dan memukau. Penyair Inggeris abad ke-18 Alexander Pope menulis sebuah puisi panjang: Eloisa to Abelard, membayangkan penerimaan dan penolakan Heloise terhadap cinta dan nafsu, membuat orang tercengang. Salah satu bagian seperti begini:

 

Datanglah, Abelard! Apa yang membuat kau takut?

Obor Venus tidak dibakar untuk yang mati.

Kemampuan alamiah tidak teledor, hanya agama tidak perbolehkan;

sekalipun kau mati jadi dingin, Eloisa tetap mencintaimu.

Ah putus asa ini, lidah api tak padam! Seperti demi yang mati membakar

terang, percuma cahaya yang hangatkan tempat abu tulang.

 

Setiap kali aku beralih pandang, apa pula itu?

Paras yang akrab, ke arahnya aku terbang mengejar,

bangkit dari dalam pepohonan, bangkit di depan altar,

menodai jiwaku, membuat sepasang mataku berenang liar,

Berkeluh demi kau, meniup mati lampu doa subuh,

kau diam-diam ikut campur di antara aku dan tuhan,

di dalam setiap himne aku seperti bisa mendengar dirimu,

sebiji rosari dihitung, setetes airmata lembut jatuh,

dan di saat gulungan awan harum dari tungku membumbung,

suara organ penuh berisi naikkan jiwaku berkibar,

begitu teringat dirimu, semua kekhidmatan menghilang,

biarawan, lilin panjang, gereja, berenang di depan mataku:

jiwaku yang terempas karam di dalam lautan lidah api,

dan altar menyala, malaikat-malaikat geleng menoleh.

 

Aku menelungkup di dalam kesedihan yang rendah, di sini

butiran kelembutan, kebajikan berkumpul di dalam kelopak mata,

aku gementar berdoa, berguling di dalam debu dunia,

mulai tahu di kedalaman jiwa kehormatan berpijar bagai cahaya fajar ———

Datanglah, kau yang paling sempurna, jika berani

dengan diri melawan Langit, merebut hatiku,

datanglah, dengan lirikan sepasang mata yang menggoda

sirnakan seluruh gambaran benderang sepenuh langit!

Bawa seluruh kehormatan, kesedihan, airmata itu pergi,

bawa seluruh pengakuanku yang tak berbuah dan doa pergi,

renggut aku, satu tarikan ke atas, renggut aku dari tempatku yang diberkati,

bantu setan-setan merebut paksa diriku dari sisi tuhan!

 

Tidak, tinggalkan aku jauh-jauh bagai kutub selatan buat kutub utara!

biarkan Gunung Alpen memisahkan kita, lautan luas menggemuruh.

Jangan datang, jangan tulis surat, tolong jangan mengingat diriku,

juga jangan seperti aku karena dirimu hati menjadi pedih!

Sumpah dapat dibatalkan, aku akan menghapus kenangan masa lalu,

lupakan aku, buanglah aku, sungguh-sungguh membenciku.

Mata yang indah, tampang memikat ( aku bisa melihatnya )

adalah paras yang telah lama aku cinta dan harap, selamat tinggal!

Oh cahaya kehormatan khidmat, oh kebajikan seindah Langit,

kelupaan suci membebaskan kegelisahan rendah!

Harapan yang segar merekah, gadis riang lembut punya Langit,

dan Keyakinan, kekekalan dini kita!

Silakan masuk, setiap tamu yang damai, yang ramah,

terima diriku dan selimuti aku di dalam peristirahatan kekal.

 

 

Come, Abelard! for what hast thou to dread?

The torch of Venus burns not for the dead.

Nature stands check’d; Religion disapproves;

Ev’n thou art cold–yet Eloisa loves.

Ah hopeless, lasting flames! like those that burn

To light the dead, and warm th’ unfruitful urn.

 

What scenes appear where’er I turn my view?

The dear ideas, where I fly, pursue,

Rise in the grove, before the altar rise,

Stain all my soul, and wanton in my eyes.

I waste the matin lamp in sighs for thee,

Thy image steals between my God and me,

Thy voice I seem in ev’ry hymn to hear,

With ev’ry bead I drop too soft a tear.

When from the censer clouds of fragrance roll,

And swelling organs lift the rising soul,

One thought of thee puts all the pomp to flight,

Priests, tapers, temples, swim before my sight:

In seas of flame my plunging soul is drown’d,

While altars blaze, and angels tremble round.

 

While prostrate here in humble grief I lie,

Kind, virtuous drops just gath’ring in my eye,

While praying, trembling, in the dust I roll,

And dawning grace is op’ning on my soul:

Come, if thou dar’st, all charming as thou art!

Oppose thyself to Heav’n; dispute my heart;

Come, with one glance of those deluding eyes

Blot out each bright idea of the skies;

Take back that grace, those sorrows, and those tears;

Take back my fruitless penitence and pray’rs;

Snatch me, just mounting, from the blest abode;

Assist the fiends, and tear me from my God!

 

No, fly me, fly me, far as pole from pole;

Rise Alps between us! and whole oceans roll!

Ah, come not, write not, think not once of me,

Nor share one pang of all I felt for thee.

Thy oaths I quit, thy memory resign;

Forget, renounce me, hate whate’er was mine.

Fair eyes, and tempting looks (which yet I view!)

Long lov’d, ador’d ideas, all adieu!

Oh Grace serene! oh virtue heav’nly fair!

Divine oblivion of low-thoughted care!

Fresh blooming hope, gay daughter of the sky!

And faith, our early immortality!

Enter, each mild, each amicable guest;

Receive, and wrap me in eternal rest!

 

Bait pertama di atas dengan cahaya api melambangkan cinta, disebut ‘ obor Venus ‘, adalah biarawati memohon Abelard datang, masuk ke dalam hati dan pikirannya, hidup nyalakan cinta dan birahinya, membuka kemampuan alami hidup dan nafsu. Bait kedua makin jelas menggambarkan yang siang malam dibayangkan Heloise adalah paras Abelard, sekalipun di depan altar juga tidak sirna, sehingga merasa Abelard telah masuk mengacau penglihatannya, berdiri di antara dia dan tuhan. Empat baris di awal bait ketiga, Heloise sendiri merasa terguncang oleh lindungan tuhan, merasa telah kehilangan kekuatan hati buat memikirkan Abelard, maka kian tidak peduli dengan bergelora memanggil nama Abelard, memohon dia dengan cintanya melawan tuhan, merebut hatinya, menghapuskan gambaran-gambaran malaikat di depan matanya, lalu bergabung dengan setan, merampas dirinya dari dekapan tuhan. Sekarang kita tahu nafsu adalah tidak baik, atau setidaknya di depan altar adalah sesuatu yang buruk, yang berlumuran dosa, yang dikuasai setan ——— dan Heloise dengan lantang meminta Abelard bersama setan, menuntaskan cinta dan birahinya terhadapnya. Ini adalah klimaks dari cinta yang menggelora dan gila, membuat pikiran orang terombang-ambing. Bait terakhir dimulai dengan [ Tidak ], Heloise jatuh dari puncak kegilaan cinta ke dalam kenyataan yang mati senyap, kembali ke dalam kesunyian yang mengelilingi biara, lelah, takut, lemah, hilang rasa, memohon malaikat menerimanya sebagai seorang biarawati yang taat, dan [ menyelimutinya di dalam peristirahatan kekal ].

Puisi Pope ini, telah memiliki kerangka discovering psychology, beberapa ratus tahun setelahnya, bagi yang pernah bersentuhan dengan psikologi analisis Freud, pasti akan melihat isyarat-isyarat seksualitas yang kuat di dalamnya. Dengan sedikit lebih dekat memperhatikan penggalan puisi yang tidak sampai lima puluh baris ini, dapat menguak gambaran yang diberikan Pope, mungkin adalah semacam proses masturbasi, adalah proses segelombang-segelombang menggulung naik gemuruh tumpukan fantasi seks Heloise. [ Merebut paksa diriku dari sisi tuhan ] tentu adalah klimaks, selanjutnya pelan-pelan surut, masuk ke alam kegelisahan, bimbang, penyesalan, dan putus asa.

*

Sesuai data sejarah sastra, ketika Heloise digoda, dirinya masih seorang gadis muda, sedangkan Abelard sudah lama melampaui parobaya. Setelah skandal ini meletus, Abelard dikebiri, dikurung di biara, Heloise juga dikurung di biara perempuan, membawa kenangan yang tak terkira.

Bagi Abelard, menghadapi [ biarawan, lilin panjang, gereja ] tidak terlalu sulit, walaupun masa lalu membuat sedih dan putus asa. Bagi Heloise, semua itu adalah hukuman tambahan yang dipaksakan dunia luar kepadanya: dia kehilangan kekasih, anak, dusun dan ladang, disekap di balik tembok biara; masa lalu tentu membuat orang sedih dan putus asa, yang terpampang di depan mata juga membuat sedih dan putus asa.

 

*

Umpama Heloise tidak mengalami sepenggal kisah dengan Abelard itu, umpama dia sejak gadis dan masih perawan sudah dibawa masuk ke biara sebagai biarawati, dia tentu tidak akan mempunyai nafsu yang begitu kuat bagai arus pasang naik. Kita seperti bisa begitu mengumpamakan, namun juga belum pasti.

Dengan demikian, kesunyian seharusnya adalah ritme kehidupan yang paling alamiah. Dia menengadah ke arah tuhan dan malaikat, khusuk mendengar lonceng doa subuh, bayang cahaya lilin panjang membawa damai hening dan ketaatan. Di bawah situasi begini, Heloise mungkin tidak akan mengalami pertentangan antara tubuh dan jiwa. Kemungkinan akan begini, namun juga belum pasti. Hal ini begitu sulit, begitu sulit benar-benar dipahami.

*

Mengekang nafsu di mulut dan perut, kekuasaan dan harta, nama dan lain-lain bisa dipahami, bisa dilaksanakan, hanya mengekang birahi adalah tantangan paling besar dalam hidup, dan yang bisa benar-benar teguh melaksanakannya sepanjang hidup sungguh sangat sedikit.

*

Apakah tuhan juga perlu mengekang birahi?

*

Maksud saya tuhan yang esa, apakah dia perlu mengekang birahi? Saya pikir, tuhan, yang esa itu, awalnya juga tidak mengekang birahi, kalau tidak dia tentu hanya menjadi tuhan bagi biarawan-biarawan yang teguh dan suci, dan tidak akan sejak awal sudah menjadi tuhan yang kita menengadah bersama.

 

*

Agama mendidik penganutnya dengan ‘ pengekangan nafsu ‘ yang terkandung di dalamnya, adalah hal yang baik. Seandainya ingin melalui pengekangan nafsu, meraba ke arah pertapaan, kesunyian, kehampaan, maka pasti harus ada sedikit ketentuan ——— yang disebut terakhir itu bukan setiap orang memerlukannya. Menurut saya, melakukan pengekangan nafsu, manusia masih bisa terus berkembang biak dan berkelanjutan, namun terhadap yang lain-lain mungkin agak sulit diduga.

Kecuali kita sungguh percaya perihal reinkarnasi itu.

Bukan Sekali Duduk di Mulut Jendela

Cerpen John Kuan

*

1

lelaki di balik jendela
Gambar diunduh dari kolomkita.detik.com

Di luar jendela adalah Central Park. Pepohonan yang gugur habis dedaunan di dalam musim dingin menjulur hingga jauh dari bawah telapak kaki, menampakkan semacam sapuan warna keabuan ranggas dan kuning keemasan, di dalam diam senyap mengisyaratkan daya hidup yang tak terhingga. Pencakar langit di sisi dua jalan besar sebelah timur dan barat taman berdempetan naik turun seolah bergerak pergi, menatap ke bawah hamparan pepohonan itu. Langit adalah abu-abu diselingi warna biru muda. Pukul delapan pagi, mungkin bertepatan dengan hari minggu, kau akan merasakan New York adalah mati kaku, seperti baru saja terjadi sebuah kudeta, diam-diam dirasuki sedikit gelisah dan teror, orang-orang berada di dalam rumah menunggu, mengamati, tidak tahu apa yang mesti dilakukan, tidak tahu bagaimana mengurus satu hari ini, waktu sehari penuh ini.

Dari lantai enam belas memandang ke bawah, jalanan seakan kosong luas terbentang. Lampu lalu lintas masih berkedip seperti biasa. Di seberang jalan ada dua patung perunggu, dua-duanya adalah penunggang, dengan gaya pamer perkasa pamer wibawa, menebarkan hijau murung yang kuno, topi tentara dan tapak kuda membentuk sudut yang agak menggelikan, keseimbangan yang tak terkira. Pedang panjang penunggang menunjuk ke bawah, saya konsentrasi memandang ke arah itu, di bawah ujung pedang yang tajam ada dua lelaki mengelilingi sebuah drum sambil berloncat, di dalam drum dihidupkan segumpal api yang penuh asap, mungkin koran kemarin, dipungut dari tong sampah. Mereka menyulut koran dengan api, lalu berdiri di sisi drum mengambil kehangatan, mengerutkan leher menggosok telapak tangan, sesekali meloncat, juga berbicara, namun saya tidak dapat mendengar apa yang mereka ceritakan. Api berkobar sejenak kemudian melemah, mereka bergilir pergi mengorek ke dalam tong sampah yang di sisi jalan, setumpuk-setumpuk koran dilempar ke dalam drum, asap putih tiba-tiba memanjat naik, di pagi yang dingin beku, di satu pojok taman, di bawah ujung pedang patung penunggang perunggu.

Merpati-merpati yang bangun pagi berpencar terbang datang.
Merpati-merpati lalu mendarat di lapangan, senyap sekali.

2.

Saya menarik sebuah kursi ke mulut jendela, duduk menguji kesunyian. Beberapa orang di kamar lain sedang berbicara tentang masalah kebebasan berpendapat. Sesungguhnya tidak ada yang perlu dibicarakan, sebab mereka saling menyetujui, hampir sepenuhnya saling menyetujui, kebebasan berpendapat adalah hak asasi, semuanya seperti berebut mengatakan, samasekali tidak bisa diubah dan sebagainya dan sebagainya. Mereka seperti bukan sedang bertukar pendapat, tetapi lebih mirip bertukar logat masing-masing. Sesekali terdengar ada suara mengaung: Chauvinism!

Sekarang di atas jalan yang membelah taman mulai ada beberapa mobil bergerak pelan-pelan, keluar masuk di antara pepohonan. Langit menampakkan sekeping biru, cahaya matahari dengan hangat menyorotinya. Di telingaku terdengar gaung suara orang-orang berbicara, tanpa henti, penuh diselingi suara gelas berbenturan dengan es batu, dan suara batuk yang sesekali melayang naik. Semua ini mengapung di dalam ruangan, cahaya lampu memenuhi hingga ke setiap sudut, dan di luar jendela adalah diam senyap.

Mereka bergiliran mengeluarkan pendapat, sepenuhnya saling menyetujui.

3.

Sore itu saya kembali ke mulut jendela melihat Central Park, pepohonan, dan pencakar langit yang berkilau di dua sisi. Hari itu sejak pagi, matahari masih belum mengundurkan diri. Di jalanan kian bertambah pejalan kaki, bahkan ada beberapa pedagang sedang menjual sweeter di mulut pintu taman, sehelai-sehelai digantung di minibus, berwarna terang, membuat orang berhalusinasi musim semi telah tiba.

Tapi musim semi belum tiba, atau mungkin sudah tiba. Saya melihat danau kecil berbentuk bulan sabit di dalam taman, setelah lama membeku, ternyata mengepak beterbangan beberapa ekor merpati yang riang. Merpati bermain air di beberapa bagian permukaan danau yang sudah mencair, bolak-balik menjulang menusuk, begitu mendekati permukaan air mengepak sayap mereka, cepat dan bernyali, menebarkan percikan air yang tak terhitung, begitu semangat bergiliran mengepak sayap, berebutan, tidak juga takut air danau yang baru mencair terlalu dingin.

Saya berdiri di tempat tinggi. Seumur hidup ini masih belum pernah melihat pemandangan yang begitu nyata, mencairnya sedanau air, setelah air danau itu menutup diri karena terlalu lama menahan dingin, setelah terkejut jadi retak-retak, tiba-tiba karena ada aliran hangat lewat, ternyata bisa juga dengan diam-diam mencair dari dalam, bahkan meluap keluar segenang air jernih, sekalipun di saat orang-orang bergegas memburu perjalanan, atau agak bosan terpaksa berdagang keliling sweeter, atau mengurung di satu sudut lantai tinggi berdiskusi Whitman, berdiskusi sastra anak-anak, memetik, meminjam, menghempas dengan keras sebuah ungkapan, mengisap rokok dengan gelisah, agak panik menggunakan Bahasa Inggris, sedang menguji-coba perlunya perdebatan dan unjuk diri, satu musim semi tiruan seakan telah tiba, air danau telah mencair, merpati dari tengah jalan terbang masuk ke dalam taman, sedang membersihkan sayap mereka di permukaan air yang dangkal.

Di bawah cahaya matahari musim dingin yang hangat dan warna-warni, merpati mengepakan sayap mereka dalam tempo cepat, gayanya yang bernyali itu bahkan membuat orang lupa bahwa sesungguhnya mereka mesti termasuk salah satu jenis burung berwarna abu-abu, sekarang tanpa henti memamerkan bulu-bulu mereka yang putih bersih, yang tersembunyi di tempat yang paling mendekati darah dan tulang, pernah di dalam dingin beku mempertahankan sedikit kehangatan. Saya dari atas menatap ke bawah, seolah mendengar sepotong alunan piano yang jernih, jari-jari tangan lentik bergerak berloncat dengan cepat beterbangan di atas tuts-tuts hitam dan putih, hanya melihat kumpulan merpati mendekati permukaan danau berputar, menusuk ke arah air jernih yang baru mencair, mengepak dengan sayap-sayap bergelora, menebarkan percikan air yang menyilaukan mata, berpijar bagai api.

*

See, they return; ah, see the tentative

    Movement, and the slow feet,
    The trouble in the pace and the uncertain
    Wavering!

 

      ——— Ezra Pound

1.

Saya ingin berbicara denganmu, dengan cara begini. Saya ingin duduk begini, duduk di mulut jendela, di luar hujan masih terus turun, seolah belum pernah berhenti sejak tadi malam. Di luar jendela kamar penginapan, langit dan bumi basah kuyup, dinding-dinding gedung tampak berwarna kuning pupus, jejak-jejak air malang melintang tercetak di atasnya, bergetar di dalam lembab dan dingin. Di satu sudut yang agak jauh tegak sebatang tiang bendera yang luar biasa besar, bendera yang terlalu lama direndam air hujan, menumpuk jadi segumpal kain basah dan berat, walaupun warnanya tampak jelas, tetapi lelah tergantung di sana, samasekali hilang semangat. Lebih jauh lagi apapun sudah tidak kelihatan, bersembunyi di belakang hujan senja, ada sedikit bayangan agak kabur, mungkin atap restoran, atau papan reklame, atau antena. Saya sesuka hati menyapu pemandangan di luar, ada semacam perasaan yang aneh: Bagaimana bisa bertemu dengan cuaca yang begini lembab, di Taipei?

Saya coba mengatur kembali pikiran yang kacau.

Hanya kacau saja, tidak apa-apa, bukan, bukan, bukan tidak senang, bukan gelisah.

Saya sudah lupa kapan pertama kali berkunjung ke kota ini, lima belas tahun yang lalu? Atau lebih? Musim panas tahun itu saya seorang diri datang ke kota ini. Kita berjanji bertemu di sebuah kedai kopi, seperti biasa, cerita-ceritamu membuat seluruh perjalanan menjadi ringan. Saya mesti mundur lagi lima tahun, teringat malam pertama kita, di atas sepuluh ribu kaki, membelah Lautan Teduh, saya ingin mengajak kau bicara, bersama-sama membunuh waktu yang tak terhingga di dalam sebuah penerbangan panjang, namun kau mati-matian menggenggam sebuah injil, membenamkan diri ke dalam cerita-cerita kudus, saya tidak tahu harus masuk dari celah sebelah mana. Akhirnya saya mengambil resiko dengan beberapa buah puisi, sebotol tabasco dan sesungai cerita ikan salmon melawan arus mempertahankan spesiesnya. Ternyata ampuh, kau mencair jadi searus air jernih, sebuah nyanyian merdu dari lembah yang hening, tanpa henti, dari Taipei hingga Anchorage hingga Seattle hingga New York, saya disihir jadi pendengar tak terhingga, dan kau tetap adalah gadis dari sekolah katolik yang ingin menjadi santa.

Kau membawa saya keluar masuk lorong-lorong sempit, bercerita tentang rencanamu pindah ke San Fransisco, membeli sebuah rumah di tepi laut. Kita berputar dan berputar lalu keluar di sebuah jalan yang cukup lebar, saya masih pendengar tak terhingga, tetapi di saat matahari senja dengan potongan-potongan besar cahayanya menumpah di atas bangunan di satu sisi jalan hingga terang dan mewah, konsentrasiku pecah, sedikit tersentuh melihat bangunan itu berkata:

” Matahari ini sungguh bagus ”

” Memang bagus. Begitu terang. Begitu hangat. ”

” San Fransisco pasti juga begitu. ” Saya berkata: ” Sesungguhnya belum pasti. Ada orang merasa California semestinya begini atau begitu, namun sering bukan demikian. Nathanael West pernah menulis sebuah novel… ”

” Novel apa? ”

” Judulnya sudah lupa. Begini kira-kira ceritanya, ada seseorang yang sejak kecil seluruh harapannya tertuju ke California. Dia tumbuh besar di sebuah kota kecil di Midwest. Dia berpikir, California sama dengan buah orange dan sinar matahari, dan sebagainya, dan sebagainya. Akhirnya dengan susah payah dia sampai di California — mungkin California Selatan — baru menyadari bahwa bukan di setiap tempat dapat menemui buah orange dan sinar matahari. Mungkin saja ada buah orange dan sinar matahari, namun juga ada hal-hal lain, seperti berbagai macam kekerasan, penipuan. Dia sangat kecewa. ”

” Lalu? ”

” Sangat kecewa, lelah, sedih. ”

” Lalu? ”

” Lalu mati. ”

” Mati? ”

” Mati. ”

Kau berkata bahwa saya benar-benar tidak pandai bercerita. ‘ Lalu mati ‘ bagaimana bisa dianggap sebagai penutup novel? Saat itu kita berputar masuk ke jalan lain, pelan-pelan bergerak ke depan menghadap matahari senja, seperti tak berujung, seperti menuju rumahmu yang di tepi laut, di San Fransisco itu. Kau kelihatan begitu bersemangat, mulai mendeskripsikan bagaimana dan bagaimana rumahmu yang di tepi laut itu. Saya kehilangan konsentrasi. Bukan tidak berminat, saya sangat nyaman memandang jalan yang terhampar di depan, cahaya matahari senja yang berpijar jatuh menutupi seluruh jalan, memantul di atas rumah-rumah bergaya kolonial, genteng merah, tembok putih, pagar rendah dan pohon hijau bunga merah. Kau terus mendeskripsikan rumahmu yang di tepi laut, saya hanya menyahutnya, tidak henti-hentinya mengangguk.

2.

Saya membawa sebuah payung hitam turun ke jalan, keluar masuk lorong-lorong, berputar dan berputar, tergesa-gesa menyeberang, saya ingin begini berbicara denganmu, dalam suara hujan, dalam suara nafas saat berjalan, mobil-mobil bergerak pelan dan senyap, samasekali tidak terdengar suara mesin. Air hujan yang jatuh di atas payung, menimbulkan suara tumpul yang menggema, membuat saya terasa begitu aman, benar-benar aman. Di atas trotoar bata merah orang lalu lalang, tidak kelihatan ada raut wajah tidak bahagia. Taipei telah hujan. Muka toko besar maupun kecil semuanya bergantungan butiran air dan uap, namun di dalamnya masih seperti biasa, banyak orang berdiri atau duduk, sedang memilih lagu-lagu di dalam cakram, sedang menutup dan membuka buku, sedang memperhatikan sebuah baju rajutan, sedang mencoba sebuah topi, sedang tertunduk menyeruput sup, sedang dengan sendok keramik menikmati pangsit rebus, ada orang angkat kepala minum anggur, matanya menatap lurus keluar jendela, tepat mengenai saya. Di sudut lobi sebelah sana, terpisah sebuah meja ada lelaki berbicara dengan perempuan, di dinding tergantung beberapa lembar poster, selembar adalah New York, selembar adalah Brussel, selembar adalah Sydney, selembar adalah Bali.

Saya samasekali tidak ada ekspresi tidak senang, sesungguhnya saya sangat senang, saya dan kau yang hidup di dalam nafasku, kita cukup tidur, kondisi prima, samasekali tidak ada masalah jetlag. Saya tertarik memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar, berani pastikan yang menyeberang ke sana kemari sebagian besar adalah turis, turis semacam diriku, di musim dingin, karena suatu keperluan harus melakukan perjalanan, mungkin bisa menemui sedikit kesulitan, mungkin juga tidak, dan dengan santai sudah mendarat di Taipei.

3.

Di hari kedua hujan sudah berhenti, saya masih juga keluar masuk lorong-lorong, berputar dan berputar. Orang-orang telah mengatupkan payung pegang di tangan, agak ringan mengayunkan kaki, lihat sana lihat sini. Dari satu sudut jalan yang agak jauh meniup datang sedikit suara seruling atau alat tiup lain, orang-orang mengitari satu pojok itu, kelihatannya seperti turis, iya, turis yang mirip diriku dan dirimu ini. Saya menpercepat langkah, sebab musik itu menarikku. Seorang polisi muda dengan seragam biru berputar keluar dari samping lalu bergerak maju serentak bersamaku. Dia mungkin juga tertarik oleh musik itu, matanya menatap lurus ke pojok jalan yang ada kerumunan. Suara musik kian dekat, nada yang tidak asing, seperti nyanyian, sahutan, keluhan orang Indian, juga seperti nyanyian Spanyol, membawa sedikit irama religi abad pertengahan yang bertahan hingga hari ini, displin agama Katolik dan puasa agama Islam, seolah, atau mungkin, adalah penyatuan syair dan nada itu, semacam harapan dan permohonan yang berulang kali ditumpuk, bermaksud, bersabar, dengan irama cepat disiarkan kemari, menceritakan, seolah, atau mungkin saja, seolah menceritakan sepotong dan sepotong kisah yang hampir sama, yang terjadi di dataran tinggi, di dalam lebat hutan hujan, di dalam sungai besar yang menggemuruh, di padang datar dan bukit yang dekat laut berangin, seorang lelaki dan perempuan saling mencintai, ternak diam-diam memamah rumput, di atas dahan burung-burung bercericit, dua ekor elang berputar di langit biru, di dalam dusun lelaki sedang menimba air sumur, sedang memperbaiki tapal kuda, sedang memberi makan keledai, perempuan-perempuan duduk menjadi lingkaran, di bawah pohon rindang sedang mengupas kacang, rambut tebal dibiarkan jatuh di pundak, di belakang punggung, di dalam gelap menembus sedikit keemasan misterius.

*

Begitu masuk saya langsung terpukau dengan semua yang ada di luar jendela, merasa kapan saja buka mata memandang keluar, seperti bisa diduga, akan terjadi sesuatu, misalnya matahari pagi dan cahaya senja bagaimana timbul tenggelam, awan dan angin bagaimana berubah, warna pulau-pulau, jejak kapal melintas, bahkan mungkin saja dapat melihat kibasan ekor ikan hiu — konon perairan ini adalah tempat ikan hiu berkembang biak. Tempat ini di ketinggian lantai sembilan, seandainya memiliki cukup kesabaran, bisa saja memandang hingga sangat jauh. Awalnya memang demikian, terhadap penorama asing ini memiliki semacam pandangan yang polos, tulus, antusias, romantis, oleh sebab itu tidak henti-hentinya mengatur jarak pandang, semoga dapat melihatnya dengan sangat teliti, paling bagus adalah teliti namun tidak begitu jelas; semoga membiarkan ia memelihara sedikit misteri, sehingga saya bisa bertahan lebih lama mencarinya, karena tidak mengerti maka lebih ingin mencari, tentu saya tidak tahu apa yang dicari, atau kenapa pernah mencarinya, sekalipun antusias, romantis.

Hampir tengah hari, saya ingat adalah di saat matahari tengah hari sedang berpijar, saya berjalan ke arah mulut jendela yang di sisi pintu kaca menuju balkon, pasti kelihatan lelah dan serius, wajah yang baru keluar dari tumpukan buku kurang lebih mesti begitu, dan di dalam ruangan sunyi senyap. Saat itu, cahaya matahari yang dipantul masuk dari arah tenggara sudah mundur habis, namun di empat dinding masih berpijar kehangatan, mungkin ditebarkan oleh bayangan air berkilau di permukaan laut yang jauh. Saya melihat seekor elang.

Dia begitu nyata berdiri di sana, di atas pagar balkon, mungkin hanya sedepa di luar pintu kaca, membuat saya demikian terkesima memandangnya, lalu dengan lirikannya yang mempesona memandangku sebelah mata, seperti samasekali tidak mengacuhkan, elang memandang saya sekali lagi, matanya persis seperti mata barbar yang dinyanyikan Du Fu, tapi kepalanya berputar lalu berhenti menatap air laut yang berpijar, lama sekali, baru memutar kembali, tetapi pasti bukan demi melihatku, dia begitu kanan kiri berputar mengamati, saya pikir itu hanya semacam gaya angkuh bawaan, refleksi pundak dan leher, tegar, tegas, berwibawa. Saya menahan nafas melihatnya, dia berdiri di dalam cahaya matahari, di belakang pagar balkon yang berwarna hijau apel adalah biru air laut yang luas, dan langit yang tak terhingga, menampilkan sebuah latar yang amat misterius sekaligus sangat biasa, timbul tenggelam berjalin dengan alunan tipis musik yang seolah dekat seolah jauh. Saya melihat, mendengar semua ini.

Elang begitu saja berdiri di atas pagar balkon, memamerkan pada saya gaya indahnya yang lengedaris. Kepalanya kokoh, warnanya hijau keabuan membawa sedikit kuning gelap; kedua matanya bergerak sangat cepat, dan paruhnya yang melengkung seperti setiap saat dapat melumpuhkan ular dan kalajengking di padang tandus. Bulu-bulu di sayapnya berwarna terang, mengikuti corak kepala dan leher menjulur, menutup, setiap helai bulu mungkin saja telah diatur, disusun, tidak ada sedikit pun kekusutan, berlawanan, begitu teratur, begitu tenang, terpenjam istirahat, samasekali tidak menaruh perhatian terhadap antusias dan eksistensiku. Dengan cakarnya yang laksana besi bagai rantai erat-erat mencengkeram pagar balkon, lihat kanan lirik kiri.

Mungkin di dalam hati terbesit berbagai macam bentuk dan suara yang berbeda. Atau mungkin di satu dunia lain yang jauh, saya juga pernah bertemu dengannya, dengan antusias, kaget, dan satu ketulusan yang sama untuk mengingat dia selamanya, dan menangkapnya, tidak perlu jaring perangkap atau anak panah, gunakan puisi:

Dengan kedua tangan bengkok dia cengkeram tebing;
mendekati matahari di tanah yang agak sunyi,
selingkaran dunia biru mengitarinya, dia berdiri

Laut penuh kerutan merayap di bawahnya;
dari sebaris dinding gunung, dia memandang,
lalu berguling jatuh, bagai halilintar membelah langit

——— Alfred, Lord Tennyson

Elang seketika seperti terganggu, sejenak setelah saya membisikkan enam baris serpihan puisi Inggeris ini, menghadap sepuluh juta garis cahaya emas yang bergetar, dia benar-benar menggulingkan tubuh jatuh, membuka sayap, begitu ringan, merentangkan kedua sayapnya yang kokoh, menggores langit, pergi.

Tujuh Jurus dari Nyonya Wei ( 7 )

Gerundelan John Kuan

Jurus Ketujuh: Ombak Berkejar Guruh Menggelinding
Kaligrafi Huang Tingjian ( 1045 -1105, Dinasti Song )
Jurus terakhir dari Formasi Tempur Kuasadalah satu goresan yang sering disebut ‘ Kereta Jalan ‘, yakni goresan terakhir dari karakter 道 ( baca: dao, artinya: jalan,… ). Saat dengan kuas menggoreskan garis ini, akan terasa tidak putus diseret dan ditarik. Seperti kaligrafi Huang Tingjian ——— [ Satu gelombang tiga putar ]. Seperti satu goresan itu terus diseret dan diseret, di dalam kekuatan timbul lagi kekuatan, kekuatan menyambung kekuatan.

    Saya sangat tertarik bagaimana Nyonya Wei mengajari Wang Xizhi jurus terakhir ini? Bagaimana merasakan goncangan, gulungan di dalam goresan ini, bagaimana merasakan hubungan tarik menarik antara ketegangan dengan ketegangan? mengenai satu goresan ini, Nyonya Wei seperti biasa tetap memberikan empat kata: Ombak Berkejar Guruh Menggelinding

Gelombang di laut atau di sungai, bergerak berkejaran ke depan, sambung menyambung, terus menggulung tanpa henti. Pada masa Nyonya Wei mengajari Wang Xizhi kaligrafi, dia sedang menetap di Cina Selatan yang dekat laut, mungkin di sekitar Nanjing atau Zhejiang. Mereka mempunyai kesempatan bertemu laut, dapat merasakan gemuruh pasang surut air laut atau pun sungai, dapat merasakan ombak berkejar. Gelombang saat air pasang naik, segulung segulung berlari menerjang datang, sampai di tepi tanggul, tiba-tiba seluruhnya menghantam pecah berderai, seperti ombak kaget meretak tebing, pecah menjadi selapis bunga gelombang.

Wang Xizhi yang belajar kaligrafi sudah bukan seorang anak kecil lagi, dia telah mengalami berat dan kecepatan batu jatuh, mengalami gerakan lapisan awan di atas cakrawala, mengalami ketegaran rotan kering sepuluh ribu tahun di kedalaman hutan; hidupnya telah menumpuk cukup banyak rasa, menumpuk cukup banyak cerita dan fenomena alam semesta. Dia telah mengenal cula badak, gading gajah yang ditebas putus; dia juga telah mengenal kekuatan dan kelenturan luar biasa ketika menarik lengkung sebuah busur.

Seorang guru yang menuntun masuk ke dalam keindahan hidup, pada pelajaran-pelajaran terakhir, mungkin tidak perlu lagi menjelaskan terlalu banyak.

Nyonya Wei dan Wang Xizhi mungkin bersama-sama berdiri di tepi sungai atau di tepi laut, bersama-sama mendengar suara air pasang dan surut, pada musim yang berbeda, waktu yang berbeda, purnama atau bulan sabit, subuh atau senja, keadaan air pasang dan surut juga akan berbeda. Kadang-kadang suara ‘ sha, sha ‘ seperti daun bergesekan dalam hujan dan angin, seperti ulat sutera menguyah daun murbei; ada juga kalanya ‘ gong ‘ gong ‘ , seperti sepuluh ribu barisan kuda berpacu menerjang.

Berdiri di tepi pantai, guru dan murid sama-sama dapat merasakan kekuatan yang terpendam di dalam kejaran ombak yang menggetarkan hati. Kekuatan ini berbeda dengan kekuatan lepas dari Busur Melepas Seratus Pikul; ‘ Ombak Berkejar ‘ adalah kekuatan yang lebih kalem, lebih terpendam, sambung menyambung, tidak putus tidak selesai, berkejar menuju pukulan terakhir yang sudah ditakdirkan.

Kaligrafi Huang Tingjian ( 1045 – 1105, Dinasti Song )

Pada masa peralihan antara musim semi dan musim panas, persentuhan antara hangat dan dingin Kanglam yang segera berakhir, panas dan dingin tumpang tindih, Yin dan Yang saling mendorong, di udara ada kegerahan yang siap meledak, dari jauh terdengar suara guruh yang terpendam, teriakan yang tertahan dalam geram, seperti sesaat tidak dapat menemukan mulut keluar. Di antara langit dan bumi yang luas, mengikuti sabetan halilintar, satu-satu suara guruh, juga mirip suara kejaran ombak yang datang dari jauh.

Suara guruh pada musim panas, bagaikan menggelinding datang dari tempat yang jauh, suaranya dari kecil lalu pelan-pelan menjadi besar, segelombang segelombang, ada kekuatan yang bersambungan tanpa jeda, ini yang disebut ‘ guruh menggelinding ‘, yaitu goresan terakhir ketika menulis karakter 道. Satu goresan yang diseret panjang, berkelanjutan, adalah ombak laut menerjang, adalah guruh mengemuruh.

Ombak Berkejar Guruh Menggelinding ——— empat kata ini, adalah ingatan pada ombak laut dan suara guruh. Bukan cuma mata melihat ombak laut, Nyonya Wei seolah ingin Wang Xizhi berubah jadi ombak, merasakan tubuhnya bergerak, menggelegak. Demikian juga dengan guruh yang menggelinding. Di dalam semesta yang luas, ada suara terus menerus menyiar, seperti ada kegerahan luar biasa, mirip guruh di musim panas. Dari dalam kegerahan dan tekanan yang tak terkira, tiba-tiba melepaskan teriakan, agak terpendam, selapis-selapis menumpuk datang.

Mungkin banyak yang mengenal seorang kaligrafer besar bernama Wang Xizhi, dan mungkin juga mesti tahu dia ada seorang guru yang mahir membukakan jiwanya dan menuntun hidupnya ——— Nyonya Wei.

 

SELESAI

Baca Jurus Nyonya Wei sebelumnya

Tujuh Jurus dari Nyonya Wei ( 6 )

Gerundelan John Kuan

Jurus Keenam: Persendian Kuat Tali Busur
Contoh kaligrafi gaya ‘ Resmi ‘ Dinasti Han, diambil dari [ Epitaf Cao Quan ]
Satu jurus lagi dari Nyonya Wei yang menggunakan perumpamaan pemanahan: Persendian Kuat Tali Busur , dan jurus ini bukan membicarakan kelenturan, ketegangan, namun ingin Wang Xizhi memperhatikan sebuah busur, bagaimana menggulung mengikat tali busur dan dahan busur menjadi satu. Sebuah busur, seandainya sambungan tali busur dan dahan busur ( limb ) tidak bagus, maka sangat sulit menghasilkan kekuatan.     Persendian Kuat Tali Busur membicarakan tentang ‘sambungan’ di kelokan tajam pada goresan pertama di dalam karakter 力 ( baca: li, artinya: tenaga ). Goresan ini bermula dari ‘ garis horizontal ‘ lalu berputar tajam lurus ke bawah menjadi ‘ garis vertikal ‘, menjaga kekuatan goresan ‘ garis horizontal ‘ agar tetap berlanjut ke dalam ‘ garis vertikal ‘, bagaimana supaya di antara dua goresan yang berbeda arah, berbeda kekuatan menemukan ‘ sambungan ‘ yang paling mantap. Persis seperti persendian tubuh manusia, karena harus menahan kekuatan yang sangat besar lalu menjadi rumit. Pergelangan dan siku tangan, lutut, pergelangang kaki, semuanya juga begitu.

Coba perhatikan sebuah busur yang bagus, di dua ujung dahan busur baik terbuat dari kayu maupun besi, tersambung dengan tali yang terbuat dari urat atau kulit binatang. Dan di antara tali dan busur, agar tidak lepas, digunakan perekat, digulung dan diikat dengan tali dan benang, sangat mirip persendian tubuh manusia, sangat kuat dan bertenaga. Sewaktu tali busur ditarik, ketegangannya membuat kita merasa ada kekuatan yang tersimpan di dalamnya.

 Jurus Persendian Kuat Tali Busur juga merupakan semacam perubahan di masa peralihan dari gaya 汉隶 ( baca: Han Li ), yaitu gaya ‘ Resmi ‘ pada masa Dinasti Han menuju gaya 楷书 ( baca: Kai Shu ) atau gaya ‘ Umum ‘ pada masa Dinasti Tang.

Kaligrafi Ouyang Xun ( 557 – 641, Dinasti Tang )
Di dalam gaya ‘ Resmi ‘ Dinasti Han, kelokan di ujung ‘ garis horizontal ‘ menuju ‘ garis vertikal ‘, tidak tampak ada perhentian kuas. Namun, di dalam gaya ‘ Umum ‘ Dinasti Tang sudah jelas kelihatan perhentian kuas di kelokan tersebut. Seperti saat menulis karakter 力, di ujung ‘ garis horizontal ‘ gerakan kuas pelan-pelan diangkat sedikit, lalu berhenti sesaat, baru menikung turun menjadi goresan ‘garis vertikal ‘

Di dalam gaya ‘ Umum ‘ Dinasti Tang, perhentian kuas ini telah menjadi ciri khas, seperti dapat dilihat dalam kaligrafi Ouyang Xun, Yan Zhenqing ( contoh kaligrafinya ada di catatan sebelumnya ) dan Liu Gongquan.

Persendian Kuat Tali Busurdari Nyonya Wei ini bukan hanya salah satu pelajaran kaligrafi kepada Wang Xizhi saja, tetapi mungkin menyimpan beberapa isyarat perubahan gerakan kuas di masa peralihan dari gaya ‘ Resmi ‘ Dinasti Han menuju gaya ‘ Umum ‘ Dinasti Tang.

Kaligrafi Liu Gongquan ( 778 – 865, Dinasti Tang )
Dan setelah menulis enam jurus Formasi Tempur Kuas, saya merasa mungkin tidak mesti sepenuhnya mengikuti perumpamaan Nyonya Wei. Fenomena alam seperti dalam jurus Batu Jatuh dari Puncak Tinggi, Arakan Awan Seribu Li, Rotan Kering Sepuluh Ribu Tahun, bisa dipahami jaman dahulu maupun sekarang. Mengenai pemahaman terhadap kekuatan, ketegangan sebuah busur, sebenarnya bisa diubah sesuai tempat dan waktu. Saya kira banyak alat-alat moderen yang dapat digunakan sebagai perumpamaan ketegangan dan kelenturan. Formasi Tempur Kuas sudah melewati seribu tujuh ratus tahun, mungkin sudah perlu perumpamaan-perumpamaan baru.

Tujuh Jurus dari Nyonya Wei ( 5 )

Gerundelan John Kuan

Jurus Kelima: Busur Melepas Seratus Pikul

Kaligrafi Ouyang Xun ( 557 -641, Dinasti Tang )
Waktu kecil belajar kaligrafi ada banyak ‘ aturan ‘, kemudian baru pelan-pelan menyadari, ternyata bukan semuanya tentang kaligrafi, tetapi adalah ‘ aturan ‘ bersikap terhadap orang maupun dunia luar. Misalnya, waktu kakek mengajari saya menulis karakter Han, selalu menekankan ‘ lurus dan benar ‘, kalau duduk dengan posisi benar dan punggung lurus, pena dengan sendirinya akan ‘ lurus dan benar ‘, maka ‘ lurus dan benar ‘ adalah pelajaran kaligrafi saya yang pertama.

Sebelum mulai menulis, melatih tubuh duduk ‘ lurus dan benar ‘, dua kaki dibuka, selebar bahu. Kakek berkata: ” Ruang di antara kakimu harus bisa ‘ tidur ‘ seekor anjing. ” Perumpamaan ini agak aneh. Suatu sore yang panas, saya sedang latihan kaligrafi, Si Hitam tiba-tiba menyusup ke kolong meja, berbaring tepat di antara kakiku. Saya menunduk lihat anjing itu, senang sekali, sore itu sangat tenang latihan menulis. Saya kira sekarang Si Hitam pasti menemani kakek di atas sana, terakhir kali melihatnya sudah beberapa puluh tahun yang lalu, dia kelihatan lemah dan murung, mungkin depresi karena dua kali berturut-turut gagal membesarkan anaknya. Akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir di dalam semak. Kakek berkata: ” Anjing baik tidak akan mati di depan tuannya, dia bahkan berusaha agar kita tidak menemukan jasadnya ” Saya yang menemukan dia tergeletak kaku di dalam semak. Latihan menulis pada masa kecil seperti dilengkapi dengan berbagai kenangan yang tidak mudah aus.  Mungkin kakek menyuruh saya melebarkan kedua kaki, hanya ingin tubuh saya tidak terkekang, terasa lepas.

Kaligrafi Su Dongpo ( 1037 – 1101, Dinasti Song )

‘ Pergelangan Gantung ‘ adalah salah satu latihan penguasaan kuas, dengan kuas di tangan, pergelangan dan siku tangan menggantung, tidak boleh bersandar pada permukaan meja.  Satu sisi adalah untuk menjaga tubuh tetap ‘ lurus ‘, dan yang lebih penting adalah setelah ‘ Pergelangan Gantung ‘,  maka gerakan kuas tidak lagi hanya dari jari-jari tangan, kekuatan gerakan akan melalui pergelangan tangan yang lentur, menggerakkan siku, lengan dan bahu. Terutama waktu menulis karakter besar, bersama gerakan dari bahu, punggung, sangat menyerupai kungfu, bisa bercucuran keringat.

Kakek selalu berkata bahwa kaligrafi juga semacam olah raga, mungkin karena gerakan dalam kaligrafi mirip Tai Chi, melatih pernafasan dan keseimbangan tubuh, dengan menggunakan tarik lepas gerak diam tubuh, memang sangat mirip dengan latihan pernafasan dalam olahraga Timur.

Berbicara tentang kungfu dan olahraga, jurus kelima dalam Formasi Tempur Kuas adalah pelajaran yang berhubungan erat dengan keduanya: memanah, dan jurusnya disebut Busur Melepas Seratus Pikul

Memanah dan kaligrafi adalah dua dari enam pelajaran ( seni ) yang mesti diikuti kaum terpelajar pada jaman Dinasti Qin ( 221 SM – 207 SM ), sehingga sangat wajar menghubungan goresan kuas dengan pemanahan. Busur Melepas Seratus Pikul di dalam Formasi Tempur Kuas membicarakan ‘ garis vertikal ‘ yang memiring ke kanan, dan ujungnya disertai dengan satu gerakan menekuk jadi mata kail, seperti dalam karakater 戈 ( baca: ge, semacam mata tombak )

Ketika Nyonya Wei mengajari Wang Xizhi menulis karakter seperti 戈 begini, dia mengingatkan Wang Xizhi yang masih kecil, di dalam goresan ada suatu kelenturan yang sangat kuat, seperti busur yang memiliki kekuatan seratus pikul, siap melepaskan sebatang anak panah.

Nyonya Wei tidak menekankan bentuk busur atau pun anak panah, namun adalah kelenturan yang luar biasa setelah tali busur ditarik hingga menegang, maka, kata ‘ Lepas ‘ berubah menjadi sangat penting ——— satu goresan kuat yang penuh kelenturan, yang dapat melepaskan anak panah.

Memanah harus menggunakan busur, menarik tali busur, ada tarikan antara bahu dan busur, kuat atau lemah tarikan itu hanya sendiri saja yang bisa merasakan. Nyonya Wei memang ingin Wang Xizhi merasakan kekuatan lenturan saat anak panah melesat pergi, dan menggunakan pengalaman ini untuk menulis goresan di dalam karakter 戈

Ini sudah merupakan pelajaran estetika, bukan sekedar teknik menulis. Melalui pelajaran menulis, mengembalikan apa yang dialami tubuh sendiri untuk memahami hidup.

Kaligrafi Yang Ningshi ( 873 -954, Dinasti Tang )

 

Tujuh Jurus dari Nyonya Wei ( 4 )

Gerundelan John Kuan

Jurus Keempat: Tebas Putus Cula dan Gading

Kaligrafi Su Dongpo ( 1037 – 1101, Dinasti Song )
Kalau melihat tiga jurus sebelumnya, dapat diketahui bahwa yang diajarkan Nyonya Wei kepada Wang Xizhi seperti bukan sepenuhnya kaligrafi, tetapi membiarkan Wang Xizhi sendiri merasakan berbagai macam bentuk, berat, tekstur, dan gejala di alam terbuka.

Hubungan goresan kaligrafi dengan alam yang ada di dalam tiga jurus sebelumnya tidak sulit dipahami oleh anak sekarang. Namun, jurus keempat ini saya rasa tidak mudah, dan juga telah melanggar perlindungan binatang: Tebas Putus Cula dan Gading.

Tebas Putus Cula dan Gadingadalah berbicara tentang satu unsur di dalam karakter Han: Tendangan kuas menurun ke arah kiri yang disebut 撇 (baca: pei), misalnya karakter 匕 (baca: bi, bisa diartikan, sendok, sekop, mata panah…), pada goresan terakhir ada satu tendangan kuas menurun dari kanan ke kiri, itu yang disebut ‘pei’. Ini adalah gerakan kuas lawan arah, ujung kuas bergerak ke arah berlawanan, harus seperti cula badak yang tajam ditebas putus, atau seperti gading gajah yang melengkung ditebas putus, mesti terasa tajam dan keras.

Dua benda yang diumpamakan dalam jurus keempat ini tidak mudah kita temui hari ini, mungkin sesekali dapat melihatnya di kebun binatang, tetapi tetap terasa sangat asing. Jurus Tebas Putus Cula dan Gading adalah dari tubuh binatang memahami tendangan kuas ke arah kiri dalam kaligrafi, seperti dalam jurus Rotan Kering Seribu Tahun belajar ‘ garis vertikal ‘ yang lentur dan kuat dari tumbuhan. Begitulah Formasi Tempur Kuas, menggunakan berbagai benda di alam untuk mempelajari kaligrafi. Oleh sebab itu, jika bisa memahami inti dari Formasi Tempur Kuas, mungkin bisa menggunakan contoh yang berbeda di jaman yang berbeda pula.

‘Tendangan ke kiri’ di dalam karakter Han, harus tajam, keras, dan ada terasa semacam gerak lawan arus. Satu goresan begini, misalkan di jaman sekarang, tidak tahu Nyonya Wei akan mengumpamakan benda apa untuk menjelaskan kepada Wang Xizhi?

***

Urutan goresan kuas [ Delapan Unsur Karakter Yong ]
   Formasi Tempur Kuas selain sebagai sebuah cara belajar, juga membuka dunia pengetahuan dan rasa yang kaya bagi seorang anak.
Di masa antara Dinasti Chen ( 557 – 589 ) dan Dinasti Sui ( 589 – 618 ) mulai beredar buku pelajaran kaligrafi bernama: 永字八法 ( baca: Yong Zi Ba Fa, (artinya: Delapan Unsur Karakter Yong), dengan cara membongkar karakter Han, dibagi menjadi delapan unsur, sebagai dasar seorang anak mengenal karakter Han. Delapan Unsur Karakter Yong sangat jelas dikembangkan dari Formasi Tempur Kuas, dan pengelompokan unsur dasar karakter Han menjadi lebih sempurna. Namun, Delapan Unsur Karakter Yong agak abstrak, membongkar karakter 永 berdasarkan urutan goresan kuas menjadi delapan unsur ——— 侧 ( baca: ze, artinya: menyamping ) sama dengan ‘titik’ dalam Formasi Tempur Kuas ; 勒 ( baca: le, artinya: tali kekang ) sama dengan ‘ garis horizontal ‘ dalam Formasi Tempur Kuas ; 努 ( baca: nu, artinya: berusaha, berupaya ) sama seperti ‘ garis vertikal ‘ dalam Formasi Tempur Kuas ; 趯 ( baca: ti, artinya: lompat ) sama dengan ‘ mata kail ‘ dalam Formasi Tempur Kuas ; 策 ( baca: ce, artinya: memcambuk ) sama dengan ‘ garis horizontal menengadah ‘ dalam Formasi Tempur Kuas ; 掠 ( baca: lue, artinya: merebut, merampas ) sama dengan ‘ tendangan panjang ke kiri ‘ dalam Formasi Tempur Kuas ; 啄 ( baca: zhuo, artinya: mematuk ) sama dengan ‘ tendangan ke kiri ‘ dalam Formasi Tempur Kuas ; 磔 ( baca: zhe, artinya: membelah ) sama dengan ‘ tendangan ke kanan ‘ dalam Formasi Tempur Kuas

Kaligrafi Huang Tingjian ( 1045 -1105, Dinasti Song )
Walaupun pengelompokan unsur dasar menjadi lebih sempurna, terutama dapat membagi ‘ tendangan kuas ‘ menjadi empat unsur: 策 ( memcambuk ), 掠 ( merampas ), 啄 ( mematuk ), 磔 ( membelah ) lalu dibagi lagi menjadi bagian-bagian yang lebih terperinci ( saya rasa kurang cocok dimasukkan semuanya di sini ), namun dari segi pengajaran ——— terutama untuk seorang anak, kurang perumpamaan yang mudah dimengerti, sehingga belajar kaligrafi kehilangan pemahaman estetika, terjerumus ke dalam penjiplakan bentuk belaka.

Saya sendiri lebih menyukai Formasi Tempur Kuas, karena cara pengajarannya berdiri di atas landasan ‘ apresiasi keindahan ‘, bukan hanya mengajari bentuk saja, tetapi lebih menekankan seorang anak sendiri merasakan dan memahami proses belajar itu.

Saya rasa apresiasi keindahan mesti berhubungan erat dengan kegiatan dalam kehidupan sendiri, seandainya kehilangan itu, seni dan keindahan tidak lebih hanya bentuk saja.

Tujuh Jurus dari Nyonya Wei ( 3 )

Gerundelan John Kuan

Kaligrafi 徐渭 ( Xu Wei, 1521 – 1593, Dinasti Ming )
Pelajaran ketiga dari Nyonya Wei untuk Wang Xizhi adalah ‘ garis vertikal ‘, inilah garis di tengah yang ditarik memanjang ketika menulis karakter 中 ( baca: zhong , artinya: tengah ). Ketika menulis karakter Han, menggoreskan satu garis tegak lurus ini memang sedap. Waktu kecil saya sering melihat tukang obat memamerkan kemampuannya di depan kelenteng, selain jual obat, juga memperagakan jurus kungfu, gambar jimat, sering juga menulis kaligrafi, dia akan di atas selembar kertas besar menulis karakter 虎 ( baca: hu, artinya: harimau ) yang juga sangat besar. Karakter ‘ harimau ‘ ini jika ditulis dengan salah satu gaya kaligrafi: ‘ Gaya Rumput ‘ ( semacam stenografi ), maka garis terakhir akan ditarik sangat panjang, memanjang hingga ke ujung kertas, satu ‘ garis vertikal ‘ yang sungguh panjang.Saya pernah melihat tukang obat menggunakan sebuah kuas yang kurang lebih sebesar sapu, penuh tinta, leluasa dan meluap, dengan gerakan tarian atau kungfu, seakan terbang dengan kuas di atas kertas, qi-nya penuh meluap. Ketika menulis hingga goresan terakhir, kuasnya berhenti di satu tempat di atas kertas, bersiap menarik ke bawah satu goresan ‘ garis vertikal ‘, muridnya harus sigap menarik kertas ke depan, ditarik jadi satu garis yang sangat panjang. Kecepatan tarikan garis begini harus benar-benar terjaga, dan garis itu akan timbul semacam bentuk yang disebut putih terbang. Putih Terbang ini terjadi karena tinta di dalam kuas tidak cukup, dan kuas kering akan menciptakan garis-garis tipis, seperti serat-serat di dalam rotan kering, di indera penglihatan berubah menjadi sangat indah. Seperti pohon tua, seperti rotan kering, seperti serat-serat di dalam kayu atau bambu yang penuh kelenturan dan tidak mudah ditarik putus.

Bagian Putih Terbang dalam kaligrafi Cina menciptakan perasaan kecepatan kibasan dan kealotan. Nyonya Wei membawa Wang Xizhi ke dalam hutan, dari rotan kasar dan tua belajar kekuatan gerakan kuas.

Lukisan 徐渭 ( Xu Wei, 1521 – 1593, Dinasti Ming )
Nyonya Wei mengajari Wang Xizhi melihat Rotan Kering Sepuluh Ribu Tahun, saat mendaki gunung berpegang pada sepotong rotan kering, sepotong yang di dalam perjalanan waktu yang panjang tumbuh menjadi kehidupan. Anak itu meminjam kekuatan rotan, menaikkan tubuhnya ke atas, meminjam kekuatan rotan, menggantung di udara. Tubuh yang menggelatung di udara dapat merasakan kealotan sepotong rotan ——— kekuatan yang alot dan keras yang tidak dapat ditarik putus.

Rotan tua tidak bisa ditarik putus, alot dan keras, ingatan ini kemudian berubah menjadi penghayatan di dalam menulis kaligrafi. ‘ Garis vertikal ‘ ini mesti ditulis hingga tidak bisa ditarik putus, ditulis menjadi alot, ditulis menjadi lentur, di dalamnya akan ada daya yang meluap keluar dari dua sisi.

Rotan Kering Sepuluh Ribu Tahun bukan hanya tumbuhan di alam terbuka, ia telah diumpamakan menjadi sepotong garis kehidupan yang tegar dan kuat dalam kaligrafi Cina. Rotan Kering Sepuluh Ribu Tahun terhadap apa saja kelihatan sangat tua, tetapi ada kehormatan terhadap ketegaran hidup yang samasekali tak tertaklukan.

Wang Xizhi masih anak kecil, namun Nyonya Wei melalui Rotan Kering Sepuluh Ribu Tahun membuat dia di dalam perjalanan hidup yang pelan dan panjang memiliki kekuatan yang alot. Keindahan kaligrafi, selalu saling berhubungan dengan kehidupan.

Batu Jatuh dari Puncak Tinngi mempelajari berat dan kecepatan

Arakan Awan Seribu Li mempelajari kelapangan dada

Rotan Kering Sepuluh Ribu Tahun mengerti keteguhan dan ketegaran

Nyonya Wei adalah guru kaligrafi, dia juga guru kehidupan

 

Tujuh Jurus dari Nyonya Wei ( 2 )

Gerundelan John Kuan

Jurus Kedua: Arakan Awan Seribu Li

Kaligrafi Yan Zhenqing, 709 -784, Dinasti Tang
Banyak sisi dari Formasi Tempur Kuas milik Nyonya Wei yang pantas untuk direnungkan. Pelajarannya yang kedua adalah membawa Wang Xizhi mengenali unsur dasar lain dari tulisan Han, yaitu ‘ garis horizontal ‘ atau karakter Han [ 一 ] yang artinya ‘ satu ‘

Seandainya menarik keluar [ 一 ] dari sebuah karakter, kita akan menemukan beberapa rahasia kaligrafi: [ 一 ] dan ‘ titik ‘ sama-sama adalah unsur dasar pembentukan tulisan Han. Pelajaran kaligrafi yang diberikan Nyonya Wei kepada Wang Xizhi memang dimulai dari latihan unsur dasar. Saya ingin memberikan beberapa contoh [ 一 ] dari kaligrafer-kaligrafer berbagai Dinasti setelah Wang Xizhi, seperti: 颜真卿 ( Yan Zhenqing, 709 -784, Dinasti Tang ), 宋徽宗 ( Song Huizong, 1082 -1135, Dinasti Song ), 董其昌 ( Dong Qichang, 1555 – 1636, Dinasti Ming ), 何绍基 ( He Shaoqi, 1799 -1873, Dinasti Qing ). Karya-karya mereka sangat berpengaruh dan berkarakter, jadi sekalipun mereka yang tidak begitu kenal dengan kaligrafi Cina juga dapat membedakan unsur [ 一 ] di dalam karya kaligrafi mereka.

Unsur [ 一 ] dalam karya Yan Zhenqing dan Song Huizong berbeda sangat jauh, ‘ garis horizontal ‘ Yan Zhenqing begitu kokoh dan berat, sedangkan ‘ garis horizontal ‘ Song Huizong kurus langsing dan di ujungnya ditekuk jadi mata kail; begitu juga unsur [ 一 ] dalam karya Dong Qichang dan He Shaoqi juga tidak sama, ‘ garis horizontal ‘ Dong Qichang tipis jernih bagai benang sutera melambai di dalam air, dan unsur [ 一 ] He Shaoqi ada ketegaran yang kusut mengikat.

Kaligrafi Song Huizong, 1082 -1135, Dinasti Song

Pada jaman Nyonya Wei mengajari Wang Xizhi menulis, masih belum begitu banyak maestro dari Dinasti sebelumnya yang dapat dijadikan panutan, dan Nyonya Wei seperti juga tidak menganjurkan seorang anak terlalu cepat mencontoh kaligrafer yang sudah ‘ jadi ‘. Oleh sebab itu, Wang Xizhi bukan mulai mengenal garis horizontal dari [ 一 ] yang ditulis kaligrafer sebelumnya.
Kaligrafi Dong Qichang, 1555 – 1636, Dinasti Ming
Pelajaran pengenalan terhadap unsur [ 一 ] ini justru berlangsung di alam yang luas.

Nyonya Wei membawa Wang Xizhi keluar rumah, seorang anak kecil, berdiri di padang datar yang luas, menatap cakrawala, menatap cakrawala yang merentang jauh, menatap barisan gumpalan awan di atas cakrawala pelan-pelan bergerak ke dua arah. Nyonya Wei berbisik di telinga anak itu: ” Arakan Awan Seribu Li

Kaligrafi He Shaoqi, 1799 -1873, Dinasti Qing
Arakan Awan Seribu Li, empat kata ini tidak mudah dijelaskan, selalu merasa menulis [ 一 ] hanya perlu pergi memperhatikan cakrawala. Sesungguhnya Arakan Awan Seribu Li adalah menunjukkan barisan awan di atas horizon. Awan rendah-rendah memenuhi, berbaris, menggelinding di atas horizon, itu yang dimaksud Arakan Awan Seribu Li. Ada perasaan yang luas, ada perasaan terbuka menjulur di kedua sisi. Saya agak lama berpikir, mengapa mesti mengunakan dua kata ini, ‘ arakan awan ‘?

Ketika awan membuka barisan, ada semacam gerakan yang sangat pelan, sangat mirip dengan kandungan air kuas perlahan diserap dan menebar di atas kertas. Maka, Arakan Awan Seribu Li adalah hubungan antara kuas, tinta, dan jenis kertas yang kuat menyerap. Menggunakan pena atau pensil atau alat tulis berujung keras sangat sulit merasakan Arakan Awan Seribu Li

Waktu kecil belajar kaligrafi, sering mendengar orang berkata bahwa kaligrafi yang bagus mesti seperti ‘ bekas bocoran di dinding ‘ Waktu itu saya kurang mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud ‘ bekas bocoran ‘ itu. Kemudian baru pelan-pelan menemukan, sewaktu menulis kaligrafi, di sekitar goresan kuas akan meninggalkan segaris bekas air agak bening di atas kertas kasar, ini adalah bekas yang menebar dari serapan air tinta, bukan sesuatu yang yang sengaja digores kuas. Sebab bukan garis yang sengaja digores, sehingga mirip kesederhanaan yang primitif dan ketidak-beraturan yang dicapai bekas-bekas yang tercetak alamiah, oleh sebab itu kelihatan agak kalem.
Air bocor merambat dari atap, tanpa warna, bekasnya tidak jelas. Namun setelah lama diendap waktu, bekas-bekas ini akan timbul warna yang agak kuning, agak cokelat, agak merah, dan itu adalah jejak dari penderitaan waktu, oleh sebab itu adalah tingkat teratas apresiasi keindahan.

Kaligrafi Wang Xizhi, 303? -361?, Dinasti Jin
Kalau jaman dulu mengajar kaligrafi mesti membawa anak-anak pergi melihat ‘ bekas bocoran ‘, pergi mengubah jejak yang ditinggalkan waktu ke dalam kaligrafi, mungkin Arakan Awan Seribu Li juga mempunyai makna tersendiri? Yaitu ketika menulis garis horizontal, bagaimana agar ia ditarik terbuka sehingga tercipta hubungan yang bergerak beraturan antara kuas, tinta dan kertas, adalah timbulnya ingatan terhadap lapisan awan yang bergerak tenang di atas padang luas yang senyap, memahami kebesaran, keheningan kehidupan, dan setelah itu jika menulis [ 一 ] lagi, baru mungkin ada gema percakapan antara langit dan bumi.

Inilah pelajaran kedua Wang Xizhi

Tulisan sebelumnya: Tujuh Jurus dari Nyonya Wei ( 1 )

Tujuh Jurus dari Nyonya Wei ( 1 )

Gerundelan John Kuan

Tidak banyak yang tahu nama ini, kecuali mereka yang tertarik dengan sejarah kaligrafi Cina. Dia samasekali tidak meninggalkan jejak tulisan tangannya, kita hanya dapat menduga tulisannya dari delapan baris jiplakan dalam cetakan kayu yang tersimpan di dalam sebuah buku bernama: Kumpulan Kaligrafi Chunhua ( 淳化阁帖, baca: Chun Hua Ge Tei, terbit sekitar tahun 992 ). Dialah Wei Shou – 卫铄, biasa dipanggil Nyonya Wei, hidup di masa Dinasti Jin ( 265 -420 ). Mungkin sedemikian saja yang kita ketahui tentang dirinya.Walaupun Nyonya Wei tidak meninggalkan karya penting, tetapi memiliki pengaruh besar yang tidak bisa diabaikan: Dia telah berhasil melatih seorang kaligrafer paling penting dalam sejarah kaligrafi Cina: Wang Xizhi – 王羲之 dan sebuah karangan pendek mengenai teknik penguasaan kuas Cina: Formasi Tempur Kuas ( 笔阵图, baca: Bi Zhen Tu ). Karangan ini sering dimuat di dalam berbagai macam buku yang membahas kaligrafi, semacam pelajaran dasar kaligrafi Cina. Dan bagi saya, makna Formasi Tempur Kuas adalah untuk memahami bagaimana Nyonya Wei mengajari Wang Xizhi memasuki dunia kaligrafi pada masa itu.

***

Tulisan tidak pasti sama dengan kaligrafi, menulis mungkin hanya ingin menyampaikan maksud. Bentuk tulisan yang dibangun dari garis, belum pasti akan menimbulkan getaran keindahan bagi indera penglihatan. Artinya, fungsi sebagian tulisan hanya bersifat praktikal. Namun, seandainya kita melihat sepucuk surat yang ditulis seseorang, sehabis membaca, setelah mengerti maksudnya, tidak tahan masih ingin melihat lagi, begitu ‘ melihat ‘ berulang kali, pelan-pelan melupakan artinya, mulai merasa lekuk garis-garisnya amat indah, bentuknya amat indah, bidang kosongnya amat indah, saat itu baru disebut kaligrafi. Kaligrafi bukan hanya teknik, kaligrafi adalah semacam apresiasi keindahan. Melihat keindahan garis, keindahan antara titik dan goresan, keindahan bidang kosong, masuk ke dalam mabuk apresiasi keindahan yang murni, dengan begitu sisi seni kaligrafi baru akan tampak.

Sewaktu kecil, Wang Xizhi dilatih menulis oleh Nyonya Wei, saya ingat waktu kecil juga dilatih menulis tulisan Han oleh kakek dengan sejenis buku tulis bernama ‘ sembilan petak ‘. Buku tulis ini adalah untuk melatih struktur tulisan, setiap halaman penuh dengan kotak-kotak yang dibagi dengan garis merah menjadi sembilan petak.

Jumlah goresan setiap karakter Han bisa sangat jauh berbeda. Bisa banyak hingga tiga puluh sampai empat puluh goresan, misalnya 籲 ( baca: yu, artinya: mengimbau ); ada yang sesederhana hanya satu goresan, misalnya 一 ( baca: yi, artinya: satu ), tidak peduli tiga puluh dua goresan atau pun satu goresan semuanya mesti ditaruh ke dalam ‘ sembilan petak ‘, menempati ruang yang sama, mencapai keseimbangan, serasi, harmonis, mantap dan penuh.

Andaikan mengembalikan kaligrafi ke strukturnya yang paling dasar, dia sesungguhnya adalah latihan indera penglihatan yang sangat menarik. Keseimbangan, keserasian, interaksi, isi dan hampa, berbagai macam latihan dasar apresiasi keindahan ada di dalamnya.

Di dalam sebuah kotak kecil, seperti seorang arsitek, latih menggunakan dan mengatur ruang. Memasukkan karakter dengan goresan paling banyak dan paling sedikit ke dalam ruang ‘ sembilan petak ‘ yang sama besar. Penguasaan setiap ruang harus seolah sama ——— sisi ini paling menarik, sebab sekalipun [ 一 ], di dalam ‘ sembilan petak ‘ juga tidak boleh terasa terlalu lapang, terlalu sedikit, terlalu sepi, sebaliknya, mesti seolah penuh memenuhi ruang. Demikian juga dengan [ 籲 ] yang ditaruh di dalam ‘ sembilan petak ‘, tidak boleh terasa terlalu sesak, terlalu ramai. Dan di saat ini, di antara isi dan hampa, di antara garis dan titik, akan ada perubahan-perubahan yang tak terduga banyaknya.

***

Jurus Pertama: Batu Jatuh dari Puncak Tinggi

Pertama kali membaca Formasi Tempur Kuasyang ditulis Nyonya Wei, saya agak terkejut, sebab catatan yang diwariskan ini terlalu sederhana, sederhana hingga sedikit sulit menafsirkannya. Misalnya, dia membongkar sebuah karakter ( huruf ), setelah dibongkar terdapat sebuah unsur, mungkin adalah unsur paling dasar dalam kaligrafi Cina ——— sebuah titik. Titik ini digunakan di banyak karakter. Menulis 江 ( baca: jiang, artinya: sungai ) ada tiga titik di sisi kiri, namun arah, tekanan, ukuran, gaya ketiga titik ini tetap sedikit berbeda.

Titik, di dalam struktur kaligrafi adalah dasar yang sangat penting

Walaupun hanya berupa sebuah titik, tetapi perubahannya sangat banyak. Misalnya, karakter 無 ( baca: wu, artinya: hampa, tiada ), ada empat titik di bagian bawah, cara menulis empat titik ini baik arah, tekanan, ukuran, maupun gaya kemungkinan juga berbeda. Di lain kesempatan ketika melihat sebuah tulisan Han, mungkin bisa perhatikan apakah ada unsur ‘ titik ‘, atau coba analisa watak ‘ titik ‘ itu, renungkan sejenak ‘ titik ‘ itu, apakah seperti Batu Jatuh dari Puncak Tinggi yang disebut Nyonya Wei.

Kalau melihat Formasi Tempur Kuas, Nyonya Wei seperti tidak mengajari Wang Xizhi menulis, tetapi membongkar karakter ( huruf ), dan ketika sebuah karakter dibongkar, maka maknanya akan menguap. Dia menuntun Wang Xizhi memasuki apresiasi keindahan indera penglihatan, hanya mengajari dia menulis sebuah ‘ titik ‘, melatih ‘ titik ‘, merasakan ‘ titik ‘. Dia ingin Wang Xizhi kecil melihat bekas yang ditinggalkan kuas yang telah mencelup tinta di atas permukaan kertas, sekalian menjelaskan frasa ini: Batu Jatuh dari Gunung Tinggi.

Dia ingin anak ( Wang Xizhi ) yang belajar kaligrafi ini merasakan, merasakan di atas tebing ada sebongkah batu jatuh, ‘ titik ‘ itu, persis seperti kekuatan batu jatuh dari tempat yang tinggi.

Mungkin ada yang curiga: Sebenarnya Nyonya Wei sedang mengajari Wang Xizhi kaligrafi atau gerak jatuh bebas ilmu fisika? Kita tahu yang diajarkan Nyonya Wei kepada Wang Xizhi seperti bukan kaligrafi saja. Saya selalu berpikir, mungkin Nyonya Wei benar-benar membawa anak ini ke atas gunung, membiarkan dia merasakan batu, lalu menjatuhkan sebuah batu dari puncak, atau bahkan melempar sebuah batu agar Wang Xizhi menyambut. Kalau begini, pelajaran Batu Jatuh dari Puncak Tinggi pasti menjadi sangat menarik.

Batu adalah sebuah benda, di indera penglihatan ada wujud, saat dipegang ada berat. Bentuk dan berat berbeda. Tangan memegang batu, dapat menimbang beratnya, merasakan lekukannya. Saat batu jatuh, akan memiliki kecepatan, kecepatan sendiri di dalam rangka ‘ jatuh ‘ masih memiliki percepatan yang ada di ilmu fisika; menghantam ke atas tanah, akan menimbulkan kekuatan benturan dengan permukaan tanah ——— semua ini begitu kaya rasa diserap seorang anak kecil. Kaya rasa adalah permulaan apresiasi keindahan.

Kata Pengantar Lanting
Kata Pengantar Lanting 兰亭序

Saya tidak tahu ‘ titik ‘ yang ditulis Wang Xizhi setelah dewasa, apakah ada hubungannya dengan pendidikan yang diberikan Nyonya Wei. Banyak yang berkata bahwa titik di setiap karakter 之 yang ada di dalam karya kaligrafinya yang paling terkenal: Kata Pengantar Lanting兰亭序 ( baca: Langting Xu ) berbeda. Ini adalah sebuah draft yang ditulis Wang Xizhi ketika mabuk, oleh sebab itu ada salah tulis, ada coretan. Setelah sadar, dia sendiri mungkin juga terkejut, bagaimana dirinya bisa menghasilkan kaligrafi yang begitu indah, dan mungkin mencoba lagi, namun bagaimana pun sudah tidak bisa menghasilkan yang sebagus ‘ draft awal ‘

Di belakang karya kaligrafi terkenal ini tersembunyi beberapa hal yang menarik, membuat kita menerka: mengapa Nyonya Wei tidak begitu peduli tulisan Wang Xizhi baik atau tidak, malahan sangat peduli Wang Xizhi mampu atau tidak merasakan kekuatan batu jatuh?

Sebenarnya pelajaran pertama Nyonya Wei ini meninggalkan banyak bagian kosong, saya tidak dapat menduga Nyonya Wei membiarkan Wang Xizhi latih berapa lama, apakah waktunya mencapai beberapa bulan atau beberapa tahun, baru dilanjutkan dengan pelajaran kedua? Namun jurus dasar mengenai ‘ titik ‘ ini, seperti sangat dalam mempengaruhi seorang kaligrafer besar di kemudian hari.

Memburu Penyihir

Gerundelan John Kuan

memburu penyihir
Woman & La Bete, diunduh dari 3bp.blogspot.com
Ini adalah satu halaman paling kelam dalam sejarah Abad Pertengahan Eropa, karena manusia pada masa itu panik terhadap ketidak-jelasan masa depan, ditambah diskriminasi terhadap kemerdekaan berpikir kaum perempuan, sehingga pelan-pelan terbentuk sepotong sejarah panjang pemburuan penyihir selama tiga abad. Dan Vaud ( Swiss ) adalah tempat pemburuan penyihir yang paling gaduh. Dari abad ke-15 hingga abad ke-17, tertangkap sekitar lima ribu penyihir di daerah ini, sekitar tiga ribu lima ratus penyihir dihukum mati, tujuh puluh persen adalah perempuan.

Kastil anggun Chateau de Chillon yang berdiri di tepi Danau Jenewa adalah tempat pengurungan dan eksekusi pada masa itu, sekarang telah menjadi tempat wisata yang mendunia.

Sebenarnya kaum perempuan cukup dihormati di Eropa sebelum Abad Pertengahan, terutama mereka yang mahir meramu obat, melakukan pengobatan, atau pun yang bisa membaca dan menulis. Tetapi mengapa sampai di abad ke-15 ” pemburuan penyihir ” bisa berpusat pada kaum perempuan? Semua ini terutama karena terbitnya sebuah buku, judulnya: Malleus Maleficarum, Martil Para Penyihir. Ini adalah salah satu buku yang paling jahat dan keji dalam sejarah manusia.

Tahun 1487, Malleus Maleficarum terbit di Jerman, menguakkan pintu pengadilan yang sangat gila, dan memperparah pandangan bias dan cenderung merusak terhadap perempuan di Eropa pada masa itu. Isi buku mengajari orang bagaimana mengenali ilmu sihir, membuktikan penyihir perempuan dan melaksanakan hukuman kejam terhadap mereka.

Menurut teori buku ini, karena ” penyihir perempuan ” telah diperdaya iblis, mereka tidak lagi peka terhadap rasa sakit, sehingga bisa sesuka hati melakukan hukuman kejam. Misalnya, menggunakan sekeping besi panas memerah membakar tangan mereka, seandainya tangan terluka, membuktikan mereka berdosa; menyuruh mereka mengambil sebentuk cincin suci di dalam air mendidih, kemudian tangannya diperban dan distempel, tiga hari kemudian jika ada bekas, berarti berdosa; atau pun langsung saja diikat dengan sebongkah batu lempar ke dalam danau, jika bisa selamat, berarti tidak berdosa.

Dalam tiga abad, ” penyihir perempuan ” yang dieksekusi di Kastil Chateau de Chillon berjumlah 3371 orang, kebanyakan dengan pembakaran, sebab waktu itu beredar isu bahwa penyihir perempuan harus dibakar agar tidak bisa reinkarnasi. Korban-korban ini kebanyakan berasal dari lapisan masyarakat bawah, mereka adalah perempuan-perempuan tua, sakit, miskin, tinggal sendiri, dan yang belum menikah.

Meteorologi tentu masih belum begitu dipahami pada masa itu, orang-orang mengalihkan ketakutan dan kegusarannya terhadap cuaca ke ilmu sihir, mereka menganggap ilmu sihir yang menyebabkan bencana yang datang sambung menyambung. Walaupun Gereja telah menolak ada hubungan antara cuaca dan ilmu sihir, namun masyarakat tetap saja sangat percaya. Cuaca yang tak terduga menyebabkan panen tidak stabil, lalu kelaparan menyusul, dan kelaparan menyebabkan tekanan sosial yang dashyat.

Kelaparan ditambah wabah yang meluas, kepanikan makin lama makin tak terkendali, emosi sosial kian perlu terobosan dan pelepasan, terakhir mendesak penguasa mengeluarkan perintah pemburuan penyihir, dan ini adalah salah satu cara masyarakat patriarki mempertahankan kuasa.

Begini tercatat di dalam sejarah Vaud:

Tahun 1572 terjadi kelaparan dan harga pangan melambung, penyihir perempuan pertama, Verena Gehrig mati dibakar. Kelaparan pada tahun 1589 juga menyebabkan beberapa penyihir perempuan dieksekusi. Wabah hitam yang meletus di tahun 1628 menyebabkan makin banyak penyihir perempuan mati… Orang-orang memasukkan berbagai macam bencana ini sebagai perbuatan penyihir perempuan, oleh sebab itu pemburuan penyihir pada tahun-tahun itu mencapai puncaknya, sedikit pun tidak aneh, lagipula semua penyihir perempuan ini termasuk secara terbuka mengakui diri mereka adalah penyebab semua bencana itu.

Berapa orang yang kuat menahan hukuman kejam itu, pengakuan mereka kemungkinan besar adalah karena tidak mampu atau tidak ingin lagi menahan siksaan, dengan kondisi dan kedudukan mereka pada masa itu, bagaimana mereka membela diri mereka?

Dari tahun lalu hingga Juli 2012, Kastil Chateau de Chillon yang pernah mengadili dan mengeksekusi begitu banyak penyihir perempuan ini, memamerkan sepotong sejarah pemburuan penyihir yang penuh bercak darah, ini adalah satu irisan masyarakat yang kehilangan nalar di Abad Pertengahan. Sepotong sejarah kelam ini, menjadi saksi sejarah perjalanan manusia dari ketidak-tahuan menuju peradaban.

Di Mana Kampung Halaman

Gerundelan John Kuan

Kolam teratai musim gugur hanya menyisakan serpihan bunga dan daun rapuh, melalui kisi-kisi jendela saya duduk merasakan kesunyian setelah seluruh warna musim panas pudar, merasakan waktu pelan-pelan mendinginkan secangkir teh Cina, merasakan semacam sepi yang mengharukan di dalam lukisan-lukisan Sanyu yang dipamerkan di Museum Sejarah Nasional Taiwan hari itu. Pameran lukisan Sanyu berjudul Di Mana Kampung Halaman

Sanyu, dalam Bahasa Mandarin dipanggil 常玉 ( baca: Chang Yu ) lahir di Provinsi Sichuan, Cina pada tahun 1901, berasal dari keluarga kaya. Sejak ke Paris belajar melukis ketika berumur 20 tahun hingga meninggal dunia di usia 67 tahun di Paris karena keracunan gas di studionya, dia hanya sekali saja kembali menginjak kakinya di tanah kampung halaman, sisa hidupnya hampir seluruhnya dihabiskan di perantauan, menjelma jadi sebutir bintang seni yang sunyi menggantung di tepi langit.

Sanyu tidak meninggalkan catatan apa pun, riwayatnya yang ada sekarang hanya berupa anekdot-anekdot dalam beberapa tulisan teman-teman sejamannya atau sesama pelukis Cina yang merantau ke Paris. Beberapa cerita itu muncul berulang kali dalam tulisan mengenai dirinya; seperti dia pernah menikah dengan seorang gadis Perancis, tetapi tidak bertahan lama, atau dia pernah hidup seatap dengan seorang gadis bertubuh montok, atau pun dia pernah hidup bersama dengan seorang gadis Jerman. Dalam tulisan lain diceritakan bahwa dia pernah akan dipromosikan oleh seorang agen lukisan yang sangat berpengaruh, namun tidak dapat menyerahkan 20 lukisan seperti yang dijanjikan tepat waktu, sehingga agen tersebut terpaksa mengangkat pelukis Asia yang lain, seorang pelukis Jepang: Foujita. Juga beberapa hal lain yang berhubungan dengan sifatnya yang agak eksentrik, tertutup, kurang bertanggung jawab, memuja kebebasan jiwa, seperti banyak kehidupan seniman di Paris sehabis Perang Dunia.

Agak kabur, tetapi ada dua hal yang sangat jelas. Pertama, hampir semua teman-temannya dan sesama pelukis mengakui Sanyu sebagai pelukis yang sangat berbakat. Kedua, hidup sengsara dan melarat di Paris, terutama setelah kakak sulungnya yang mendukung hidupnya di Paris meninggal. Kehidupannya di hari tua sangat menyedihkan, dia bertahan hidup sebagai tukang cat dan tukang kayu bagi teman-temannya sesama perantau Cina di Paris; pemilik restoran dan pemilik toko perabot. Pada masa-masa sulit inilah Sanyu melukis seekor gajah yang sangat kecil berlari di gurun yang tak bertepi. Sambil menunjuk gajah kecil yang hampir terkubur gurun itu berkata kepada temannya: Itulah diriku!

Melihat lukisan Sanyu di Museum Sejarah Nasional Taiwan bukan sekedar menikmati sebuah karya seni, tetapi seolah membaca sepotong sejarah senirupa Cina Moderen. Sekitar tahun 1968 Menteri Pendidikan Taiwan mengundang Sanyu mengadakan pameran lukisan di Taiwan. Sanyu setuju, dia memilih empat puluh dua lukisannya untuk dikirim ke Museum Sejarah Nasional Taiwan, dan pemerintah Taiwan juga segera mengirim biaya perjalanan untuknya. Setelah menerima uang Sanyu tiba-tiba berubah pikiran, dia merasa sinar matahari dan piramida Mesir jauh lebih menarik. Tetapi begitu pulang dari melancong dia sendiri juga bingung kemana mencari biaya untuk perjalanannya ke Taiwan, dia tidak muncul, museum terus menunggu, setelah menunggu beberapa waktu, tiba-tiba Sanyu meninggal dunia di Paris.

Sanyu tidak memiliki keturunan, maka museum akan selamanya mewakili dia menyimpan lukisan-lukisannya itu. Tidak tahu apakah ini sebuah kebetulan atau sesuatu yang sudah direncanakannya. Tanpa kebetulan ini sesungguhnya sangat sulit mengumpulkan lukisan-lukisan Sanyu dari berbagai periodenya dalam jumlah begitu banyak. Apalagi sekarang, lukisannya sudah merupakan lukisan cat minyak pelukis Cina yang paling mahal. Kalau melihat sikap dia terhadap karyanya seperti yang dicatat teman-temanya, dia mungkin sengaja mewariskan lukisan-lukisan ini kepada museum. Dia pernah berkata dengan enteng ketika seorang temannya bertanya kenapa dia menolak seseorang yang ingin membeli lukisannya: ” Saya tidak suka wajahnya, dan saya juga tidak ingin lukisanku hidup bersamanya ”

Banyak dari lukisan itu dilukis di atas selembar papan kayu atau daun pintu atau daun jendela, karena pelukisnya tidak ada uang untuk membeli kanvas, sehingga di dunia pun muncul ” lukisan cat minyak di atas papan kayu “. Hubungan antara cat dengan papan kayu kadang-kadang agak sulit, maka tak terelakan banyak sudut-sudut lukisan retak, mengelupas, tergores, membuat orang iba. Terindah dan terburuk bersama-sama hadir dalam sebuah lukisan, apakah bukan sebuah peringatan?

Ada satu masa, seperti semua pelukis Barat mesti melukis pot bunga, tentu termasuk pot bunga matahari milik Van Gogh itu. Bunga pelukis Barat selalu begitu cemerlang dan penuh sehingga mata orang yang melihat seolah kewalahan menangkapnya. Dan Sanyu juga melukis bunga, namun tidak seperti ” bunga potong ” pelukis Barat, bunga Sanyu selalu ditanam di dalam pot tanah liat berbentuk persegi. Menurut pandangan saya, pot itu pasti produk dari dapur pembakaran di kampung halamannya: Sichuan. Kenapa Sanyu melukis bunga mesti memberi juga kita satu pot tanah dangkal? Apakah itu cara dia bertahan? Hidup di perantauan, di Paris, di pusat kekuasaan keindahan Barat, dia melawan, mungkin saja bunga kecil dan lemah yang dia lukis itu adalah dirinya? Di dalam hatinya pasti juga menyisakan sepotong tanah sempit dan dangkal untuk dirinya hidup?

Anehnya, tanah di dalam pot begitu dangkal, bukan saja ada pohon yang tumbuh, bahkan berbunga, walaupun kecil-kecil, dan di sana-sini juga ada tunas mencuat, dan lebih mengejutkan adalah ada seekor burung hinggap di sana, dan ternyata burung itu sedang bernyanyi.

Saya merasa di belakang bunga, burung, dan pot tanah liat itu ada sepatah dua patah kata yang menunggu dijelaskan ——— namun, saya juga tidak ingin mengungkapkan, maka saya memilih pergi duduk melihat teratai layu di musim gugur, sambil menerka mengapa semua perempuan di dalam lukisannya tampak samping dan belakang?