Gerundelan John Kuan
Kolam teratai musim gugur hanya menyisakan serpihan bunga dan daun rapuh, melalui kisi-kisi jendela saya duduk merasakan kesunyian setelah seluruh warna musim panas pudar, merasakan waktu pelan-pelan mendinginkan secangkir teh Cina, merasakan semacam sepi yang mengharukan di dalam lukisan-lukisan Sanyu yang dipamerkan di Museum Sejarah Nasional Taiwan hari itu. Pameran lukisan Sanyu berjudul Di Mana Kampung Halaman
Sanyu, dalam Bahasa Mandarin dipanggil 常玉 ( baca: Chang Yu ) lahir di Provinsi Sichuan, Cina pada tahun 1901, berasal dari keluarga kaya. Sejak ke Paris belajar melukis ketika berumur 20 tahun hingga meninggal dunia di usia 67 tahun di Paris karena keracunan gas di studionya, dia hanya sekali saja kembali menginjak kakinya di tanah kampung halaman, sisa hidupnya hampir seluruhnya dihabiskan di perantauan, menjelma jadi sebutir bintang seni yang sunyi menggantung di tepi langit.
Sanyu tidak meninggalkan catatan apa pun, riwayatnya yang ada sekarang hanya berupa anekdot-anekdot dalam beberapa tulisan teman-teman sejamannya atau sesama pelukis Cina yang merantau ke Paris. Beberapa cerita itu muncul berulang kali dalam tulisan mengenai dirinya; seperti dia pernah menikah dengan seorang gadis Perancis, tetapi tidak bertahan lama, atau dia pernah hidup seatap dengan seorang gadis bertubuh montok, atau pun dia pernah hidup bersama dengan seorang gadis Jerman. Dalam tulisan lain diceritakan bahwa dia pernah akan dipromosikan oleh seorang agen lukisan yang sangat berpengaruh, namun tidak dapat menyerahkan 20 lukisan seperti yang dijanjikan tepat waktu, sehingga agen tersebut terpaksa mengangkat pelukis Asia yang lain, seorang pelukis Jepang: Foujita. Juga beberapa hal lain yang berhubungan dengan sifatnya yang agak eksentrik, tertutup, kurang bertanggung jawab, memuja kebebasan jiwa, seperti banyak kehidupan seniman di Paris sehabis Perang Dunia.
Agak kabur, tetapi ada dua hal yang sangat jelas. Pertama, hampir semua teman-temannya dan sesama pelukis mengakui Sanyu sebagai pelukis yang sangat berbakat. Kedua, hidup sengsara dan melarat di Paris, terutama setelah kakak sulungnya yang mendukung hidupnya di Paris meninggal. Kehidupannya di hari tua sangat menyedihkan, dia bertahan hidup sebagai tukang cat dan tukang kayu bagi teman-temannya sesama perantau Cina di Paris; pemilik restoran dan pemilik toko perabot. Pada masa-masa sulit inilah Sanyu melukis seekor gajah yang sangat kecil berlari di gurun yang tak bertepi. Sambil menunjuk gajah kecil yang hampir terkubur gurun itu berkata kepada temannya: Itulah diriku!
Melihat lukisan Sanyu di Museum Sejarah Nasional Taiwan bukan sekedar menikmati sebuah karya seni, tetapi seolah membaca sepotong sejarah senirupa Cina Moderen. Sekitar tahun 1968 Menteri Pendidikan Taiwan mengundang Sanyu mengadakan pameran lukisan di Taiwan. Sanyu setuju, dia memilih empat puluh dua lukisannya untuk dikirim ke Museum Sejarah Nasional Taiwan, dan pemerintah Taiwan juga segera mengirim biaya perjalanan untuknya. Setelah menerima uang Sanyu tiba-tiba berubah pikiran, dia merasa sinar matahari dan piramida Mesir jauh lebih menarik. Tetapi begitu pulang dari melancong dia sendiri juga bingung kemana mencari biaya untuk perjalanannya ke Taiwan, dia tidak muncul, museum terus menunggu, setelah menunggu beberapa waktu, tiba-tiba Sanyu meninggal dunia di Paris.
Sanyu tidak memiliki keturunan, maka museum akan selamanya mewakili dia menyimpan lukisan-lukisannya itu. Tidak tahu apakah ini sebuah kebetulan atau sesuatu yang sudah direncanakannya. Tanpa kebetulan ini sesungguhnya sangat sulit mengumpulkan lukisan-lukisan Sanyu dari berbagai periodenya dalam jumlah begitu banyak. Apalagi sekarang, lukisannya sudah merupakan lukisan cat minyak pelukis Cina yang paling mahal. Kalau melihat sikap dia terhadap karyanya seperti yang dicatat teman-temanya, dia mungkin sengaja mewariskan lukisan-lukisan ini kepada museum. Dia pernah berkata dengan enteng ketika seorang temannya bertanya kenapa dia menolak seseorang yang ingin membeli lukisannya: ” Saya tidak suka wajahnya, dan saya juga tidak ingin lukisanku hidup bersamanya ”
Banyak dari lukisan itu dilukis di atas selembar papan kayu atau daun pintu atau daun jendela, karena pelukisnya tidak ada uang untuk membeli kanvas, sehingga di dunia pun muncul ” lukisan cat minyak di atas papan kayu “. Hubungan antara cat dengan papan kayu kadang-kadang agak sulit, maka tak terelakan banyak sudut-sudut lukisan retak, mengelupas, tergores, membuat orang iba. Terindah dan terburuk bersama-sama hadir dalam sebuah lukisan, apakah bukan sebuah peringatan?
Ada satu masa, seperti semua pelukis Barat mesti melukis pot bunga, tentu termasuk pot bunga matahari milik Van Gogh itu. Bunga pelukis Barat selalu begitu cemerlang dan penuh sehingga mata orang yang melihat seolah kewalahan menangkapnya. Dan Sanyu juga melukis bunga, namun tidak seperti ” bunga potong ” pelukis Barat, bunga Sanyu selalu ditanam di dalam pot tanah liat berbentuk persegi. Menurut pandangan saya, pot itu pasti produk dari dapur pembakaran di kampung halamannya: Sichuan. Kenapa Sanyu melukis bunga mesti memberi juga kita satu pot tanah dangkal? Apakah itu cara dia bertahan? Hidup di perantauan, di Paris, di pusat kekuasaan keindahan Barat, dia melawan, mungkin saja bunga kecil dan lemah yang dia lukis itu adalah dirinya? Di dalam hatinya pasti juga menyisakan sepotong tanah sempit dan dangkal untuk dirinya hidup?
Anehnya, tanah di dalam pot begitu dangkal, bukan saja ada pohon yang tumbuh, bahkan berbunga, walaupun kecil-kecil, dan di sana-sini juga ada tunas mencuat, dan lebih mengejutkan adalah ada seekor burung hinggap di sana, dan ternyata burung itu sedang bernyanyi.
Saya merasa di belakang bunga, burung, dan pot tanah liat itu ada sepatah dua patah kata yang menunggu dijelaskan ——— namun, saya juga tidak ingin mengungkapkan, maka saya memilih pergi duduk melihat teratai layu di musim gugur, sambil menerka mengapa semua perempuan di dalam lukisannya tampak samping dan belakang?