濤 聲 迴 盪 兮 臘 月 的 街 巷
[ tāo shēng huí dàng xī là yuè de jiē xiàng ]
Dibalik selembar cahaya terkurung 70 tahun
demikian kau berkata. Deru ombak patahan
sajakmu, terus bergaung dari Minguo 32 tahun
hingga hari ini, bahkan bergulung berputar keluar
percikan buih-buih huruf Latin ku kenal:
[ Ah, deru ombak lorong-lorong Bulan Pertama ]
Aku melangkah di jalan imlek, angin laut bersiul
Pada jamanmu disebut Lorong Taopekong, lurus
menembus Lorong Pisang menembus kain gendongan
nenek mendekap aku nanar di depan Jalan Merdeka
kembali bercahaya setelah dihangus tahun 1959
Aku menembus timbangan karet mentah, arang bakau
tepung sagu, ikan asin, udang kering, mungkin
di atas meja kasir remaja bersinglet putih ini, kau
menjentik sempoa sambil merancang sepatah sajak
Melewati Hok An Kiong, sehabis hujan, jalanaan berpijar
Bagai berulang kali ditulis, variasi baris-baris puisi kita
terus menunggu tanpa peduli betapa jauh jalan gunung
jalan laut pengembara. Datang di tepi pantai ini ( kupu-kupu
istirahat di atas bunga liar dalam rindang pokok kelapa,
seolah julur tangan bisa tangkap ), bersiul perlahan,
bernyanyi melengking, semalam penuh kaki-kaki joget
dan kini mulai berserpih. Sehabis cahaya pagi, aku melihat
tangan-tangan berpukat melewati gulungan ombak.
Angin, mengibas laut musim semi bagai lembaran partitur
Kami petik senar petik kelapa, kami petik awan juga
berselancar nada ikut ayunan ombak. Kami bakar dupa,
kami tuang arak, kami panggang sajak bau samudera.
Angin senja bersiul, laut yang agung memberi kami
sebuah mesin peras, dengan gema gulungan ombak,
desir pelepah kelapa, memori putaran rumah keong
membantu rongsokan mimpi, perangkat keras hidup kami
diperas jadi jus dibawa angin, jilat telinga, lidah, dan dahi
Ah, musim semi, resmi dan sehat berdesir lagi
pecah di udara jadi lonceng es lilin, yang menolak
leleh kami jilat jadi puisi, jadi berbagai bau dermaga
dan kapal, pernah membawa kau pergi atau pulang
mengikuti asap dupa, mengikuti bintang Serigala Langit
melewati sederet tebing terjal, selaut angin amis,
sungai tenang, jerit siamang, seekor kupu-kupu di rawa
hutan bakau, sebab indah, tanpa maksud atau tanpa daya
jatuh di dalam cahaya celah dedaunan, menolak kepak sayap
Di luar jendela adalah Central Park. Pepohonan yang gugur habis dedaunan di dalam musim dingin menjulur hingga jauh dari bawah telapak kaki, menampakkan semacam sapuan warna keabuan ranggas dan kuning keemasan, di dalam diam senyap mengisyaratkan daya hidup yang tak terhingga. Pencakar langit di sisi dua jalan besar sebelah timur dan barat taman berdempetan naik turun seolah bergerak pergi, menatap ke bawah hamparan pepohonan itu. Langit adalah abu-abu diselingi warna biru muda. Pukul delapan pagi, mungkin bertepatan dengan hari minggu, kau akan merasakan New York adalah mati kaku, seperti baru saja terjadi sebuah kudeta, diam-diam dirasuki sedikit gelisah dan teror, orang-orang berada di dalam rumah menunggu, mengamati, tidak tahu apa yang mesti dilakukan, tidak tahu bagaimana mengurus satu hari ini, waktu sehari penuh ini.
Dari lantai enam belas memandang ke bawah, jalanan seakan kosong luas terbentang. Lampu lalu lintas masih berkedip seperti biasa. Di seberang jalan ada dua patung perunggu, dua-duanya adalah penunggang, dengan gaya pamer perkasa pamer wibawa, menebarkan hijau murung yang kuno, topi tentara dan tapak kuda membentuk sudut yang agak menggelikan, keseimbangan yang tak terkira. Pedang panjang penunggang menunjuk ke bawah, saya konsentrasi memandang ke arah itu, di bawah ujung pedang yang tajam ada dua lelaki mengelilingi sebuah drum sambil berloncat, di dalam drum dihidupkan segumpal api yang penuh asap, mungkin koran kemarin, dipungut dari tong sampah. Mereka menyulut koran dengan api, lalu berdiri di sisi drum mengambil kehangatan, mengerutkan leher menggosok telapak tangan, sesekali meloncat, juga berbicara, namun saya tidak dapat mendengar apa yang mereka ceritakan. Api berkobar sejenak kemudian melemah, mereka bergilir pergi mengorek ke dalam tong sampah yang di sisi jalan, setumpuk-setumpuk koran dilempar ke dalam drum, asap putih tiba-tiba memanjat naik, di pagi yang dingin beku, di satu pojok taman, di bawah ujung pedang patung penunggang perunggu.
Merpati-merpati yang bangun pagi berpencar terbang datang.
Merpati-merpati lalu mendarat di lapangan, senyap sekali.
2.
Saya menarik sebuah kursi ke mulut jendela, duduk menguji kesunyian. Beberapa orang di kamar lain sedang berbicara tentang masalah kebebasan berpendapat. Sesungguhnya tidak ada yang perlu dibicarakan, sebab mereka saling menyetujui, hampir sepenuhnya saling menyetujui, kebebasan berpendapat adalah hak asasi, semuanya seperti berebut mengatakan, samasekali tidak bisa diubah dan sebagainya dan sebagainya. Mereka seperti bukan sedang bertukar pendapat, tetapi lebih mirip bertukar logat masing-masing. Sesekali terdengar ada suara mengaung: Chauvinism!
Sekarang di atas jalan yang membelah taman mulai ada beberapa mobil bergerak pelan-pelan, keluar masuk di antara pepohonan. Langit menampakkan sekeping biru, cahaya matahari dengan hangat menyorotinya. Di telingaku terdengar gaung suara orang-orang berbicara, tanpa henti, penuh diselingi suara gelas berbenturan dengan es batu, dan suara batuk yang sesekali melayang naik. Semua ini mengapung di dalam ruangan, cahaya lampu memenuhi hingga ke setiap sudut, dan di luar jendela adalah diam senyap.
Mereka bergiliran mengeluarkan pendapat, sepenuhnya saling menyetujui.
3.
Sore itu saya kembali ke mulut jendela melihat Central Park, pepohonan, dan pencakar langit yang berkilau di dua sisi. Hari itu sejak pagi, matahari masih belum mengundurkan diri. Di jalanan kian bertambah pejalan kaki, bahkan ada beberapa pedagang sedang menjual sweeter di mulut pintu taman, sehelai-sehelai digantung di minibus, berwarna terang, membuat orang berhalusinasi musim semi telah tiba.
Tapi musim semi belum tiba, atau mungkin sudah tiba. Saya melihat danau kecil berbentuk bulan sabit di dalam taman, setelah lama membeku, ternyata mengepak beterbangan beberapa ekor merpati yang riang. Merpati bermain air di beberapa bagian permukaan danau yang sudah mencair, bolak-balik menjulang menusuk, begitu mendekati permukaan air mengepak sayap mereka, cepat dan bernyali, menebarkan percikan air yang tak terhitung, begitu semangat bergiliran mengepak sayap, berebutan, tidak juga takut air danau yang baru mencair terlalu dingin.
Saya berdiri di tempat tinggi. Seumur hidup ini masih belum pernah melihat pemandangan yang begitu nyata, mencairnya sedanau air, setelah air danau itu menutup diri karena terlalu lama menahan dingin, setelah terkejut jadi retak-retak, tiba-tiba karena ada aliran hangat lewat, ternyata bisa juga dengan diam-diam mencair dari dalam, bahkan meluap keluar segenang air jernih, sekalipun di saat orang-orang bergegas memburu perjalanan, atau agak bosan terpaksa berdagang keliling sweeter, atau mengurung di satu sudut lantai tinggi berdiskusi Whitman, berdiskusi sastra anak-anak, memetik, meminjam, menghempas dengan keras sebuah ungkapan, mengisap rokok dengan gelisah, agak panik menggunakan Bahasa Inggris, sedang menguji-coba perlunya perdebatan dan unjuk diri, satu musim semi tiruan seakan telah tiba, air danau telah mencair, merpati dari tengah jalan terbang masuk ke dalam taman, sedang membersihkan sayap mereka di permukaan air yang dangkal.
Di bawah cahaya matahari musim dingin yang hangat dan warna-warni, merpati mengepakan sayap mereka dalam tempo cepat, gayanya yang bernyali itu bahkan membuat orang lupa bahwa sesungguhnya mereka mesti termasuk salah satu jenis burung berwarna abu-abu, sekarang tanpa henti memamerkan bulu-bulu mereka yang putih bersih, yang tersembunyi di tempat yang paling mendekati darah dan tulang, pernah di dalam dingin beku mempertahankan sedikit kehangatan. Saya dari atas menatap ke bawah, seolah mendengar sepotong alunan piano yang jernih, jari-jari tangan lentik bergerak berloncat dengan cepat beterbangan di atas tuts-tuts hitam dan putih, hanya melihat kumpulan merpati mendekati permukaan danau berputar, menusuk ke arah air jernih yang baru mencair, mengepak dengan sayap-sayap bergelora, menebarkan percikan air yang menyilaukan mata, berpijar bagai api.
*
See, they return; ah, see the tentative
Movement, and the slow feet,
The trouble in the pace and the uncertain
Wavering!
——— Ezra Pound
1.
Saya ingin berbicara denganmu, dengan cara begini. Saya ingin duduk begini, duduk di mulut jendela, di luar hujan masih terus turun, seolah belum pernah berhenti sejak tadi malam. Di luar jendela kamar penginapan, langit dan bumi basah kuyup, dinding-dinding gedung tampak berwarna kuning pupus, jejak-jejak air malang melintang tercetak di atasnya, bergetar di dalam lembab dan dingin. Di satu sudut yang agak jauh tegak sebatang tiang bendera yang luar biasa besar, bendera yang terlalu lama direndam air hujan, menumpuk jadi segumpal kain basah dan berat, walaupun warnanya tampak jelas, tetapi lelah tergantung di sana, samasekali hilang semangat. Lebih jauh lagi apapun sudah tidak kelihatan, bersembunyi di belakang hujan senja, ada sedikit bayangan agak kabur, mungkin atap restoran, atau papan reklame, atau antena. Saya sesuka hati menyapu pemandangan di luar, ada semacam perasaan yang aneh: Bagaimana bisa bertemu dengan cuaca yang begini lembab, di Taipei?
Saya coba mengatur kembali pikiran yang kacau.
Hanya kacau saja, tidak apa-apa, bukan, bukan, bukan tidak senang, bukan gelisah.
Saya sudah lupa kapan pertama kali berkunjung ke kota ini, lima belas tahun yang lalu? Atau lebih? Musim panas tahun itu saya seorang diri datang ke kota ini. Kita berjanji bertemu di sebuah kedai kopi, seperti biasa, cerita-ceritamu membuat seluruh perjalanan menjadi ringan. Saya mesti mundur lagi lima tahun, teringat malam pertama kita, di atas sepuluh ribu kaki, membelah Lautan Teduh, saya ingin mengajak kau bicara, bersama-sama membunuh waktu yang tak terhingga di dalam sebuah penerbangan panjang, namun kau mati-matian menggenggam sebuah injil, membenamkan diri ke dalam cerita-cerita kudus, saya tidak tahu harus masuk dari celah sebelah mana. Akhirnya saya mengambil resiko dengan beberapa buah puisi, sebotol tabasco dan sesungai cerita ikan salmon melawan arus mempertahankan spesiesnya. Ternyata ampuh, kau mencair jadi searus air jernih, sebuah nyanyian merdu dari lembah yang hening, tanpa henti, dari Taipei hingga Anchorage hingga Seattle hingga New York, saya disihir jadi pendengar tak terhingga, dan kau tetap adalah gadis dari sekolah katolik yang ingin menjadi santa.
Kau membawa saya keluar masuk lorong-lorong sempit, bercerita tentang rencanamu pindah ke San Fransisco, membeli sebuah rumah di tepi laut. Kita berputar dan berputar lalu keluar di sebuah jalan yang cukup lebar, saya masih pendengar tak terhingga, tetapi di saat matahari senja dengan potongan-potongan besar cahayanya menumpah di atas bangunan di satu sisi jalan hingga terang dan mewah, konsentrasiku pecah, sedikit tersentuh melihat bangunan itu berkata:
” Matahari ini sungguh bagus ”
” Memang bagus. Begitu terang. Begitu hangat. ”
” San Fransisco pasti juga begitu. ” Saya berkata: ” Sesungguhnya belum pasti. Ada orang merasa California semestinya begini atau begitu, namun sering bukan demikian. Nathanael West pernah menulis sebuah novel… ”
” Novel apa? ”
” Judulnya sudah lupa. Begini kira-kira ceritanya, ada seseorang yang sejak kecil seluruh harapannya tertuju ke California. Dia tumbuh besar di sebuah kota kecil di Midwest. Dia berpikir, California sama dengan buah orange dan sinar matahari, dan sebagainya, dan sebagainya. Akhirnya dengan susah payah dia sampai di California — mungkin California Selatan — baru menyadari bahwa bukan di setiap tempat dapat menemui buah orange dan sinar matahari. Mungkin saja ada buah orange dan sinar matahari, namun juga ada hal-hal lain, seperti berbagai macam kekerasan, penipuan. Dia sangat kecewa. ”
” Lalu? ”
” Sangat kecewa, lelah, sedih. ”
” Lalu? ”
” Lalu mati. ”
” Mati? ”
” Mati. ”
Kau berkata bahwa saya benar-benar tidak pandai bercerita. ‘ Lalu mati ‘ bagaimana bisa dianggap sebagai penutup novel? Saat itu kita berputar masuk ke jalan lain, pelan-pelan bergerak ke depan menghadap matahari senja, seperti tak berujung, seperti menuju rumahmu yang di tepi laut, di San Fransisco itu. Kau kelihatan begitu bersemangat, mulai mendeskripsikan bagaimana dan bagaimana rumahmu yang di tepi laut itu. Saya kehilangan konsentrasi. Bukan tidak berminat, saya sangat nyaman memandang jalan yang terhampar di depan, cahaya matahari senja yang berpijar jatuh menutupi seluruh jalan, memantul di atas rumah-rumah bergaya kolonial, genteng merah, tembok putih, pagar rendah dan pohon hijau bunga merah. Kau terus mendeskripsikan rumahmu yang di tepi laut, saya hanya menyahutnya, tidak henti-hentinya mengangguk.
2.
Saya membawa sebuah payung hitam turun ke jalan, keluar masuk lorong-lorong, berputar dan berputar, tergesa-gesa menyeberang, saya ingin begini berbicara denganmu, dalam suara hujan, dalam suara nafas saat berjalan, mobil-mobil bergerak pelan dan senyap, samasekali tidak terdengar suara mesin. Air hujan yang jatuh di atas payung, menimbulkan suara tumpul yang menggema, membuat saya terasa begitu aman, benar-benar aman. Di atas trotoar bata merah orang lalu lalang, tidak kelihatan ada raut wajah tidak bahagia. Taipei telah hujan. Muka toko besar maupun kecil semuanya bergantungan butiran air dan uap, namun di dalamnya masih seperti biasa, banyak orang berdiri atau duduk, sedang memilih lagu-lagu di dalam cakram, sedang menutup dan membuka buku, sedang memperhatikan sebuah baju rajutan, sedang mencoba sebuah topi, sedang tertunduk menyeruput sup, sedang dengan sendok keramik menikmati pangsit rebus, ada orang angkat kepala minum anggur, matanya menatap lurus keluar jendela, tepat mengenai saya. Di sudut lobi sebelah sana, terpisah sebuah meja ada lelaki berbicara dengan perempuan, di dinding tergantung beberapa lembar poster, selembar adalah New York, selembar adalah Brussel, selembar adalah Sydney, selembar adalah Bali.
Saya samasekali tidak ada ekspresi tidak senang, sesungguhnya saya sangat senang, saya dan kau yang hidup di dalam nafasku, kita cukup tidur, kondisi prima, samasekali tidak ada masalah jetlag. Saya tertarik memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar, berani pastikan yang menyeberang ke sana kemari sebagian besar adalah turis, turis semacam diriku, di musim dingin, karena suatu keperluan harus melakukan perjalanan, mungkin bisa menemui sedikit kesulitan, mungkin juga tidak, dan dengan santai sudah mendarat di Taipei.
3.
Di hari kedua hujan sudah berhenti, saya masih juga keluar masuk lorong-lorong, berputar dan berputar. Orang-orang telah mengatupkan payung pegang di tangan, agak ringan mengayunkan kaki, lihat sana lihat sini. Dari satu sudut jalan yang agak jauh meniup datang sedikit suara seruling atau alat tiup lain, orang-orang mengitari satu pojok itu, kelihatannya seperti turis, iya, turis yang mirip diriku dan dirimu ini. Saya menpercepat langkah, sebab musik itu menarikku. Seorang polisi muda dengan seragam biru berputar keluar dari samping lalu bergerak maju serentak bersamaku. Dia mungkin juga tertarik oleh musik itu, matanya menatap lurus ke pojok jalan yang ada kerumunan. Suara musik kian dekat, nada yang tidak asing, seperti nyanyian, sahutan, keluhan orang Indian, juga seperti nyanyian Spanyol, membawa sedikit irama religi abad pertengahan yang bertahan hingga hari ini, displin agama Katolik dan puasa agama Islam, seolah, atau mungkin, adalah penyatuan syair dan nada itu, semacam harapan dan permohonan yang berulang kali ditumpuk, bermaksud, bersabar, dengan irama cepat disiarkan kemari, menceritakan, seolah, atau mungkin saja, seolah menceritakan sepotong dan sepotong kisah yang hampir sama, yang terjadi di dataran tinggi, di dalam lebat hutan hujan, di dalam sungai besar yang menggemuruh, di padang datar dan bukit yang dekat laut berangin, seorang lelaki dan perempuan saling mencintai, ternak diam-diam memamah rumput, di atas dahan burung-burung bercericit, dua ekor elang berputar di langit biru, di dalam dusun lelaki sedang menimba air sumur, sedang memperbaiki tapal kuda, sedang memberi makan keledai, perempuan-perempuan duduk menjadi lingkaran, di bawah pohon rindang sedang mengupas kacang, rambut tebal dibiarkan jatuh di pundak, di belakang punggung, di dalam gelap menembus sedikit keemasan misterius.
*
Begitu masuk saya langsung terpukau dengan semua yang ada di luar jendela, merasa kapan saja buka mata memandang keluar, seperti bisa diduga, akan terjadi sesuatu, misalnya matahari pagi dan cahaya senja bagaimana timbul tenggelam, awan dan angin bagaimana berubah, warna pulau-pulau, jejak kapal melintas, bahkan mungkin saja dapat melihat kibasan ekor ikan hiu — konon perairan ini adalah tempat ikan hiu berkembang biak. Tempat ini di ketinggian lantai sembilan, seandainya memiliki cukup kesabaran, bisa saja memandang hingga sangat jauh. Awalnya memang demikian, terhadap penorama asing ini memiliki semacam pandangan yang polos, tulus, antusias, romantis, oleh sebab itu tidak henti-hentinya mengatur jarak pandang, semoga dapat melihatnya dengan sangat teliti, paling bagus adalah teliti namun tidak begitu jelas; semoga membiarkan ia memelihara sedikit misteri, sehingga saya bisa bertahan lebih lama mencarinya, karena tidak mengerti maka lebih ingin mencari, tentu saya tidak tahu apa yang dicari, atau kenapa pernah mencarinya, sekalipun antusias, romantis.
Hampir tengah hari, saya ingat adalah di saat matahari tengah hari sedang berpijar, saya berjalan ke arah mulut jendela yang di sisi pintu kaca menuju balkon, pasti kelihatan lelah dan serius, wajah yang baru keluar dari tumpukan buku kurang lebih mesti begitu, dan di dalam ruangan sunyi senyap. Saat itu, cahaya matahari yang dipantul masuk dari arah tenggara sudah mundur habis, namun di empat dinding masih berpijar kehangatan, mungkin ditebarkan oleh bayangan air berkilau di permukaan laut yang jauh. Saya melihat seekor elang.
Dia begitu nyata berdiri di sana, di atas pagar balkon, mungkin hanya sedepa di luar pintu kaca, membuat saya demikian terkesima memandangnya, lalu dengan lirikannya yang mempesona memandangku sebelah mata, seperti samasekali tidak mengacuhkan, elang memandang saya sekali lagi, matanya persis seperti mata barbar yang dinyanyikan Du Fu, tapi kepalanya berputar lalu berhenti menatap air laut yang berpijar, lama sekali, baru memutar kembali, tetapi pasti bukan demi melihatku, dia begitu kanan kiri berputar mengamati, saya pikir itu hanya semacam gaya angkuh bawaan, refleksi pundak dan leher, tegar, tegas, berwibawa. Saya menahan nafas melihatnya, dia berdiri di dalam cahaya matahari, di belakang pagar balkon yang berwarna hijau apel adalah biru air laut yang luas, dan langit yang tak terhingga, menampilkan sebuah latar yang amat misterius sekaligus sangat biasa, timbul tenggelam berjalin dengan alunan tipis musik yang seolah dekat seolah jauh. Saya melihat, mendengar semua ini.
Elang begitu saja berdiri di atas pagar balkon, memamerkan pada saya gaya indahnya yang lengedaris. Kepalanya kokoh, warnanya hijau keabuan membawa sedikit kuning gelap; kedua matanya bergerak sangat cepat, dan paruhnya yang melengkung seperti setiap saat dapat melumpuhkan ular dan kalajengking di padang tandus. Bulu-bulu di sayapnya berwarna terang, mengikuti corak kepala dan leher menjulur, menutup, setiap helai bulu mungkin saja telah diatur, disusun, tidak ada sedikit pun kekusutan, berlawanan, begitu teratur, begitu tenang, terpenjam istirahat, samasekali tidak menaruh perhatian terhadap antusias dan eksistensiku. Dengan cakarnya yang laksana besi bagai rantai erat-erat mencengkeram pagar balkon, lihat kanan lirik kiri.
Mungkin di dalam hati terbesit berbagai macam bentuk dan suara yang berbeda. Atau mungkin di satu dunia lain yang jauh, saya juga pernah bertemu dengannya, dengan antusias, kaget, dan satu ketulusan yang sama untuk mengingat dia selamanya, dan menangkapnya, tidak perlu jaring perangkap atau anak panah, gunakan puisi:
Dengan kedua tangan bengkok dia cengkeram tebing;
mendekati matahari di tanah yang agak sunyi,
selingkaran dunia biru mengitarinya, dia berdiri
Laut penuh kerutan merayap di bawahnya;
dari sebaris dinding gunung, dia memandang,
lalu berguling jatuh, bagai halilintar membelah langit
——— Alfred, Lord Tennyson
Elang seketika seperti terganggu, sejenak setelah saya membisikkan enam baris serpihan puisi Inggeris ini, menghadap sepuluh juta garis cahaya emas yang bergetar, dia benar-benar menggulingkan tubuh jatuh, membuka sayap, begitu ringan, merentangkan kedua sayapnya yang kokoh, menggores langit, pergi.
Gambar diunduh dari mw2.google.comPemberontakan An Lushan yang bertahan delapan tahun ( 755 – 763 ) telah menyapu habis seluruh kebesaran dan kemegahan Dinasti Tang. Sejak itu Dinasti Tang di mata penyairnya telah berubah menjadi selingkar matahari musim dingin di ufuk barat. Sekalipun kadang-kadang masih kelihatan berpijar kemerah-merahan, tetapi bagaimana pun sedang perlahan-lahan terbenam. Dan kelapangan dada, semangat bergelora, dan keyakinan mencengangkan yang diwakili oleh Li Bai dan Du Fu, telah layu dan gugur di dada penyair. Mungkin kadang-kadang masih berkedip sekejap di dalam satu dua puisi penyair masa itu, tetapi sudah tidak bisa bertahan lama lagi. Ini mungkin dapat disebut suatu penyakit zaman: Realita yang merosot telah meracuni jiwa penyair ——— realita yang terpampang jelas di depan mata, siapa pun tidak mampu berlagak tidak kelihatan.
Pemberontakan memang berhasil dipadamkan, tetapi kedaulatan dan kekuasaan Dinasti Tang telah jauh berbeda. Untuk memadamkan pemberontakan ini Klan Li sebagai penguasa Dinasti Tang telah melakukan berbagai kompromi politik dan meminta bantuan militer dari jenderal-jenderal asing yang berkuasa di perbatasan. Tentu bantuan militer begini bukan tanpa imbalan; ada yang dijanjikan untuk menjarah kota yang berhasil direbut, ada yang dijanjikan jabatan Gubernur Jenderal setelah berhasil menguasai daerah itu. Keputusan-keputusan begini yang kemudian membentuk provinsi-provinsi yang memiliki otonomi penuh yang biasa disebut Provinsi Militer atau dalam catatan sejarah Cina disebut 藩镇 ( baca: fanzhen ). Provinsi-provinsi ini sesungguhnya memiliki kedaulatan penuh atas teritorinya, mereka juga tidak menyerahkan pajak ke pemerintah pusat, yang mereka lakukan terhadap pemerintah pusat di Chang’an tidak lebih daripada lip service. Permbangkangan provinsi militer serta pertikaian politik istana antara gerombolan kasim yang mengitari Kaisar dengan pejabat-pejabat tinggi dan jenderal-jenderal yang masih setia kepada kerajaan menjadi pemicu utama runtuhnya Dinasti Tang.
Menyusul krisis politik tentu adalah krisis sosial. Setelah provinsi-provinsi militer menolak menyetor pajak ke kas negara, dan biaya besar yang mesti dikeluarkan untuk memerangi pemberontakan yang meletup di sana-sini, keuangan kerajaan pada dasarnya sudah bangkrut, dan keadaan ini telah menggoyahkan sendi-sendii perekonomian, ditambah lagi kota-kota besar seperti Chang’an dan Louyang sudah tinggal puing setelah berulang kali dijarah, baik oleh tentara pemberontak, tentara asing maupun tentara kerajaan, maka pengungsian terjadi di mana-mana, kehidupan rakyat merosot dratis.
Gelombang pengungsian terus mengalir ke daerah selatan Cina, terutama ke Zhexi ( Provinsi Zhejiang ), Suzhou ( Provinsi Jiangsu ), Guangdong, dan Fujian. Daerah-daerah ini cukup aman dan belum begitu tersentuh api perang, perekonomian dan kebudayaan juga cukup berkembang.
Pengungsian sejumlah besar intelektual dari Cina bagian utara telah mengairahkan kehidupan budaya di daerah selatan ini, terutama sastra. Pada masa inilah komunitas-komunitas sastra berkembang pesat di daerah ini. Sebagian besar komunitas begini dibentuk atau didirikan oleh biksu penyair ( biksu yang suka menulis puisi ) yang cukup terpandang ataupun pejabat penting setempat, dan mereka biasanya melakukan pertemuan, diskusi, pembahasan puisi di kuil ataupun tempat yang disediakan pejabat. Antologi puisi mereka juga berhasil melewati kekacauan jaman dan masih bisa kita nikmati hari ini. Salah satu bentuk puisi yang agak menonjol dari komunitas sastra masa ini adalah Puisi Berantai atau Puisi Kolaborasi yang dalam Sastra Cina Klasik disebut 联句 ( baca: lianju ). Sekalipun bentuk puisi ini tidak pernah mendapat tempat dalam Sastra Cina Klasik ——— bentuk ini sudah mulai digunakan sejak Dinasti Han ( 202 SM – 220 ), tetapi mungkin adalah bentuk awal yang dibawa ke Jepang dan kemudian berkembang menjadi Renga yang merupakan cikal bakal Haiku. Dalam catatan pendek ini saya tidak bermaksud dan juga tidak memiliki kapasitas untuk membahasnya, mengenai hubungan Lianju dan Renga yang ditulis di sini hanyalah sebuah bersitan pikiran, untuk membahas hubungan mereka saya rasa masih perlu pendalaman.
Sekarang seperti sudah saatnya menampilkan tokoh utama dalam catatan ini: Meng Jiao. Dia hidup di dalam waktu dan ruang seperti yang digambarkan dalam paragraf di atas, lahir pada tahun 751 di Huzhou ( sekarang Wukang, Provinsi Zhejiang ). Seluruh masa mudanya dihabiskan di daerah ini, dia mungkin pernah bergabung dengan salah satu komunitas sastra yang dibentuk oleh biksu di sana, tidak jelas, namun ada satu hal yang bisa dipastikan adalah dia pernah hidup sebagai pertapa sebelum meninggalkan kampung halamannya pada usia 30 tahun. Hanya itulah yang kita ketahui tentang masa mudanya, dan beberapa paragraf di atas memang khusus ditugaskan membawa dia ke hadapan pembaca yang terhormat.
Suatu malam di awal musim semi 792, Meng Jiao duduk sendiri di mulut jendela sebuah kamar penginapan di Chang’an. Dia sedang bersedih, pengembaraan selama sepuluh tahun untuk mengumpulkan keberanian dan biaya mengikuti Ujian Negara telah sia-sia, tadi pagi namanya tidak muncul di papan pengumuman lulus. Tanpa terasa malam telah berangsur-angsur mundur dan pagi musim semi yang menyongsong terasa luar biasa dingin dan kecut. Bulan yang tergantung di satu sudut langit seperti sekeping cermin bulat, pucat dan redup. Tunas-tunas daun di ranting pohon seluruhnya tertutup embun beku, tidak ada kepakan burung yang memberitakan pagi musim semi. Dia tahu dunia pagi ini masih bulat, hanya saja terlalu hening dan sunyi. Dan sunyi ini telah masuk dan mengiris-iris tulang sepinya.
Dia tentu tidak tahu ini bukan terakhir kali dia mencicipi kekalahan, tahun berikutnya 793, dia kembali gagal dalam Ujian Negara. Dunianya mungkin sudah lama tidak utuh, tetapi kali ini dentingan serpihannya terasa jauh lebih menyayat.
Meng Jiao mungkin termasuk salah satu penyair Tang yang paling menderita hidupnya, dia tidak pernah benar-benar berhasil melepaskan diri dari kemiskinan yang mengerogotinya sejak kecil, dan kemalangan-kemalangan yang menimpanya sepanjang hidupnya telah membuat puisi-puisinya memiliki ciri khas yang tidak dapat ditiru penyair lain: dingin, pahit dan eksentrik.
Tetapi kekalahan demi kekalahan dan kemalangan yang datang beruntun dalam hidupnya tidak membuatnya roboh, kekuatan penopang ini terutama datang dari orang-orang yang tidak kenal lelah mendukungnya; ibunya, isterinya, dan seorang teman karibnya: Han Yu. Dia dan Han Yu membentuk satu kelompok penyair yang kemudian menjadi salah satu kelompok yang paling menonjol dalam puisi Tang Tengah, biasanya disebut Perkumpulan Mbeling atau Eksentrik. Sekalipun Han Yu adalah tokoh sentral dalam kelompok ini, tetapi Meng Jiao merupakan penyair terpenting dalam kelompok ini, dan namanya juga disejajarkan dengan Han Yu, sehingga dalam Sastra Cina Klasik juga disebut Perkumpulan Han Meng.
Dia mengenal Han Yu mungkin sewaktu menempuh Ujian Negara di Chang’an, antara 791 sampai 792, persahabatan ini bertahan sepanjang hidupnya. Walaupun umur mereka terpaut jauh, Han Yu lebih muda 17 tahun dari Meng Jiao, tetapi mereka memiliki pandangan yang sangat dekat tentang puisi, mungkin ini yang menyebabkan mereka selalu dianggap mewakili suatu kelompok penyair eksentrik yang suka menggunakan kata-kata kuno dan menciptakan suasana surealis dalam puisi-puisi mereka. Namun sesungguhnya puisi penyair-penyair ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar dengan Meng Jiao maupun Han Yu.
Atas dorongan dan dukungan Han Yu, Meng Jiao kembali mencoba Ujian Negara dan berhasil lulus pada tahun 796, waktu itu usianya sudah 45 tahun. Upaya selama bertahun-tahun akhirnya membawa hasil. Kegembiraan dan hati yang meluap-luap ini dia tuangkan dalam sebuah puisi; walaupun puisi itu kedengaran sedikit lupa diri, tetapi kegalauan yang terpendam selama bertahun-tahun ketika dilepaskan pasti agak sedikit bau, saya rasa masih wajar, lagipula puisinya jarang ada yang bersuasana riang:
Gelisah tempo hari gemeretak di sela gigi
tidak usah diungkit,
pagi ini lepas kendali pikiran mengapung
tak bertepi
Angin musim semi meniup hati angkuh
tapak kuda melesat pergi.
Satu hari mata menyapu seluruh bunga
Chang’an habis
登科后
昔日龌龊不足夸,今朝放荡思无涯。
春风得意马蹄疾,一日看尽长安花。
Keriangan yang meluap ini sebentar saja sudah berubah menjadi sebuah penantian pahit. Setelah menunggu empat tahun yang melelahkan, Meng Jiao yang sudah berumur setengah abad ini akhirnya diberi sebuah jabatan kecil di kota Liyang ( Provinsi Jiangsu ). Hanya beberapa bulan berkantor di sana dia sudah dilaporkan melalaikan tugas. Dilaporkan bahwa dia sering seorang diri naik keledai ke pinggiran kota, memandang gunung menatap sungai, saya rasa pasti juga menulis sajak.
Dulu saya tidak bisa mengerti mengapa sebuah kesempatan yang ditunggu dengan susah payah selama puluhan tahun bisa dibuang begitu saja. Untung akhirnya saya paham. Paham akan frustasi seorang lelaki berumur 50 tahun yang mungkin seumur hidupnya belum pernah menyentuh birokrasi pemerintah, tiba-tiba sudah berada di dalam sebuah sistem yang kusut masai. Apakah ini bukan suatu hal yang membosankan dan melelahkan? Dia mungkin gagap atau enggan belajar, tetapi jabatan yang diberikan kepadanya memang terlalu kecil, semacam pegawai rendah di kantor kecamatan. Jabatan Meng Jiao ini akhirnya tetap dipertahankan atas bantuan teman-temannya di pemerintah pusat, namun gajinya dipotong separuh untuk mengangkat seorang wakil yang akan membantu dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Keuangannya yang baru sedikit membaik kembali terpuruk.
Keadaan ini tidak bertahan lama, dia akhirnya mengundurkan diri dan membawa keluarganya kembali ke kampung halamannya: Huzhou pada tahun 804. Kemudian pindah menetap di Changzhou ( Provinsi Jiangsu ), di sini dia membeli rumah dan sawah. Pada tahun 806 pindah lagi ke Chang’an dan setahun kemudian pindah ke Louyang. Walaupun berpindah-pindah, tetapi kehidupannya pada tahun-tahun ini termasuk tenang dan berkecukupan.
Tetapi kemalangan kembali menghampirinya. Dia kehilangan anak bungsunya pada tahun 808, waktu itu usianya sudah 58 tahun. Dari puisi-puisinya kita tahu dia kehilangan tiga anak lelaki, dua meninggal ketika masih bayi, dan satu lagi meninggal pada usia sepuluh tahun. Di ujung senja usia dia tiba-tiba mendapati dirinya sudah tidak memiliki keturunan, hal ini adalah pukulan terberat bagi Meng Jiao. Dia adalah seorang pengikut Kongfuzi, dan tidak memiliki keturunan adalah durhaka terbesar dalam Konghucuisme. Penderitaan batinnya tidak usah ditulis lagi.
Ibunya meninggal dunia di tahun berikutnya. Pukulan demi pukulan telah menghancurkan sedikit ketenangan yang tidak mudah dia peroleh di usia senja. Pada masa-masa inilah Meng Jiao menulis cukup banyak puisi-puisi sekuens yang panjang, dingin, dan pahit. Ini adalah cara dia mengobati dirinya. Penderitaan tahun-tahun terakhirnya di Louyang sangat sulit dibayangkan; tua, miskin, dan sunyi. Walaupun demikian, keinginan untuk berbuat sesuatu untuk negara ( dunia? ) masih belum padam.
Pada awal musim semi 814 dia menerima tawaran seorang kenalannya, Zheng Yuqing – 郑余庆 ( waktu itu memegang jabatan sekretaris jenderal biro eksekutif ) sebagai penasehat. Dia berangkat bersama isterinya, tetapi jatuh sakit di tengah perjalanan, dan meninggal beberapa waktu kemudian. Dia meninggal dalam keadaan miskin, tanpa anak, jauh dari rumah. Bab penutupnya ini terlalu menyedihkan. Pemakamannya diurus oleh Han Yu dan beberapa temannya yang merupakan penyair Tang Tengah terkenal, seperti Zhang Jie, Wang Jian, dan Jia Dao. Dia dikubur di sebelah timur luar kota Louyang.
Puisi-puisi Meng Jiao baru mulai dikumpulkan dan dibukunya pada awal Dinasti Song ( 960 -1279 ), sehingga jumlah puisi yang hilang mungkin tidak kalah dengan yang berhasil dikumpulkan. Kumpulan puisinya yang beredar hingga hari ini adalah sebuah buku berisi 511 puisi yang disusun oleh sejarawan Dinasti Song: Song Minqiu – 宋敏求 ( 1019 – 1079 ). Dari 511 puisi saya memilih 13 puisi untuk diterjemahkan.
Di catatan ini saya rasa tidak usah lagi membahas puisi-puisinya, terlalu pahit dan dingin, mungkin dilompati dengan satu dua kalimat saja, dan tulisan ini memang sudah terlalu panjang. Hidupnya yang malang tertuang seluruhnya di dalam puisi-puisinya, ini sangat mudah kita rasakan. Dia hampir tidak menggunakan alusi dalam puisi-puisinya, cara ini dianggap aneh bagi pembaca puisi Cina Klasik. Dia suka menggunakan kata-kata kuno, atau yang mati suri, atau yang jarang digunakan. Dia sengaja menciptakan irama janggal yang terasa menusuk bagi telinga-telinga tradisional. Dia suka menciptakan pemandangan artifisial atau fantasi dan menghadirkan indah dan buruk secara beriringan…