Arsip Kategori: Gerundelan

Adigang, Adigung, Adiguna

Renungan Agus Handoko

jika tidak mampu menjadi bintang di langit malam, jadilah sebatang lilin yang meneduhkan (retakankata)

Istilah adigang, adigung dan adiguna dikenal pada budaya jawa yang pada garis besarnya menunjukkan sifat sombong karena merasa memiliki suatu kelebihan. Kelebihan tersebut dapat beraneka ragam seperti kecantikan atau ketampanan paras, keelokan dan keindahan tubuh, status sosial – garis ningrat, keturunan priyayi atau bukan- dan bisa juga karena kepandaian ilmu pengetahuan serta kemahiran yang dipunyai. Sebagaimana tersirat dalam sebuah nasehat di komunitas jawa bahwa sifat adigang adigung dan adiguna hendaknya dijauhi dengan berpegang pada bahwa semua kelebihan hanyalah wujud kasih Sang Pencipta dan hanyalah sebuah titipan yang dikaruniakan Tuhan YME. Titipan yang sewaktu-waktu akan diambil dan diminta pertanggungjawabannya kelak.
Sifat dan perilaku Adigang sering kali digambarkan sebagai seekor menjangan atau rusa yang cantik menawan, elok rupawan dan bermahkota tanduk yang tiada duanya di dunia. Keelokan dan semua kelebihan penampilan wadag tersebut seringkali menggiring sang rusa memandang dirinya sendiri terlalu tinggi dan merasa paling berharga. Cara memandang seperti itu sering kali menjadikannya congkak, menyombongkan diri dan pamer kepada yang lain. Ia lupa bahwa karena tanduknya pula rusa mendapat malapetaka dengan dijadikan sasaran para pemburu. Ia juga lupa tanduknya yang indah begitu mudah tersangkut, terjepit di semak belukar yang kemudian menyebabkan kematiannya.
Sedang sifat dan perilaku Adigung dapat dicontohkan sebagai gajah yang besar dan kuat. Dengan segala keperkasaannya itu, ia merasa mampu melawan segala rintangan dari lawan-lawannya. Badannya gedhe ditakuti binatang lainya. Namun, apabila tidak disadari, kelebihan gajah tersebut juga menyimpan malapetaka bagi dirinya sendri. Gadingnya yang megah menjadi incara pemburu. Dan badan yang besar dan berat menyulitkannya menyelamatkan diri ketika terjerumus lubang buatan para pemburunya. Sifat adigung, mengandalkan kekuatan keperkasaannya semata sehingga tidak eling dan waspada akan marabahaya yang pada akhirnya mencelakakan dirinya.
Sifat dan perilaku Adiguna dianalogikan sebagai ular berbisa yang dengan racunnya mudah melumpuhkan bahkan membuat mati lawannya. Menggunakan kelebihannya dengan sembrono menjadikan ular dianggap sebagai binatang dan musuh yang berbahaya. Kesombongan yang bersumber dari kesaktiannya menjadikannya dimusuhi dan menjadi sumber malapetaka bagi dirinya.
Selain adigang, adigung dan adiguna di atas, jaman ini melahirkan juga adiwicara yang bisa dijelaskan sebagai sifat dan perilaku ceroboh dengan mengumbar pembicaraan. Seperti burung-burung yang berkicau ke sana kemari tanpa memperhatikan manfaat dan pengaruhnya terhadap yang mendengarkan. Dan seperti juga burung, jika kicauannya indah, burung itu akan dicari pemburu. Jika kicauannya buruk ia akan dibinasakan.
Tidak ada yang lebih pantas untuk dilakukan selain mencegah diri dari kesombongan karena berbagai karunia yang dimiliki. Eling lan wapada bahwa semua karunia hanyalah titipan Illahi. Semoga ramadhan kali ini memampukan kita semua untuk belajar mengendalikan hawa nafsu, berbenah untuk selalu sadar dan mawas diri agar menjadi lebih baik dan memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan. Semoga. Selamat menjalankan ibadah puasa. Rahayu, rahayu, rahayu.

Buruh Migran dalam Deretan Angka

Gerundelan Ragil Koentjorodjati

manusia yang terbelenggu
Berapa sebenarnya harga satu buruh migran? Tidak perlu kaget dengan pertanyaan semacam ini.
Jika kita merujuk pada berita di media massa, maka harga tangan senilai Rp 250 juta. Nyawa Darsem senilai Rp 4,5 milyar (kompas). TKI yang terancam hukuman mati 303 orang. Kalau dikalikan 4,7 milyar, menjadi sejumlah Rp 1.424,1 milyar. Satu trilyun lebih.
Merujuk pada keterangan Migrant Care, para buruh migrant memberikan penghasilan pada Kemenakertrans senilai rata-rata Rp 750 milyar setahun. Dari jumlah tersebut, Rp 500 milyar dari dana perlindungan yang dipungut dari TKI, yaitu sebesar USD 15 per TKI. Selain itu, calon TKI juga harus membeli asuransi seharga Rp 400.000 per orang. Setiap tahun, rata-rata 600.000 TKI diberangkatkan. Jika menghubungkan dengan data dari International Organization for Migration (IOM), pada tahun 2007, terdapat 2.700.000 TKI ke berbagai belahan dunia, maka saat ini terdapat kurang lebih 5.100.000 TKI. Pada tahun 2007, jumlah TKI kita masih menduduki urutan kedua setelah Filipina yang sejumlah kurang lebih 8.233.000 TKI.
Bayangkan perputaran uang yang ada di sana. Luar biasa besar. Pada tahun 2006, Bank Dunia memperkirakan bahwa adanya migrasi mampu mendorong perputaran uang senilai USD 150 milyar per tahun. Dan pada tahun 2009, pengiriman uang ke Negara-negara pengirim TKI mencapai USD 416,5 milyar. TKI kita berkontribusi sebesar 1,63% atau senilai USD 6, 788 milyar. Atau kalau dengan rupiah menjadi sebesar Rp 67.889,5 milyar.
Menakjubkan angka-angka dari bisnis buruh migrant ini. Menjadi sangat masuk akal jika berbagai pihak ingin terlibat mencicipi manisnya buruh migrant. Daro uraian tersebut menjadi sangat mudah menentukan berapa harga satu buruh migrant. Dengan menggunakan rata-rata, maka satu buruh migrant menghasilkan kurang lebih Rp 133 juta setahun. Jadi kalau harga tangan Rp 250 juta, maka itu sudah terlalu mahal. Apalagi Rp 4,7 milyar per orang.
Namun perlu saya tegaskan bahwa logika seperti itu amat sangat ngawur. Jika anda mencermati angka-angka tersebut, maka banyak pertanyaan yang semestinya dipikirkan berbagai pihak. Fakta menunjukkan, jumlah TKI menduduki peringkat kedua tertinggi di Asia, namun memberikan hasil sangat sedikit (hanya 1, 63%). Angka tersebut mengindikasikan bahwa kualitas TKI kita buruk. Kualitas yang buruk tentu disebabkan penanganan yang buruk dari berbagai pihak yang berkepentingan atas perputaran uang dari bisnis TKI. Kenyataan ini didukung dengan berbagai data yang menunjukkan adanya kasus 49 ribu lebih TKI menghadapi persoalan di luar negeri (Kompas). Persoalan yang disebabkan oleh TKI sendiri, disebabkan oleh system dan disebabkan oleh orang-orang yang tidak punya hati.
Angka-angka dan persoalan tersebut menunjukkan bahwa buruh migran melulu hanya dipandang sebagai sebuah komoditas. Bahkan jika pun itu dipandang komoditas, penanganannya pun sangat buruk. Yang ada di benak mayoritas pihak hanya bagaimana mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari para buruh migran. Sangat jauh harapan buruh migran diperlakukan sebagai manusia Indonesia yang tidak boleh dihargai dengan uang. Berapa pun mahalnya. Lalu apa yang seharusnya dilakukan?
Mereka adalah manusia. Meski di Arab ada kemungkinan dianggap budak, mereka adalah tetap manusia Indonesia. Perlakukan mereka sebagaimana layaknya manusia. Penanganan segala persoalan terkait paut dengan TKI yang butuh makan dan butuh hidup, harus ditegaskan dalam hukum yang memanusiakan manusia. Hukum dibangun sebagai landasan membentuk system yang melindungi mereka. Bila perlu sanksi berat dan tegas bagi pihak-pihak yang lalai dan melanggar aturan. Kita tahu banyak calo dan agen liar yang begitu mudah berkeliaran. Kita tahu institusi legal seperti perusahaan asuransi dan perbankan yang hanya mengambil keuntungan. Kenakan hukum tegas pada mereka, termasuk aparat pemerintah yang tidak becus menangani TKI. Adakan persyaratan yang memadai bagi infrastruktur buruh migran agar buruh migran tidak sekedar menjadi budak dengan sebutan pembantu. Bekali mereka dengan keahlian yang cukup.
Lebih penting dari semua itu adalah memanusiakan mereka di negeri sendiri. Sehingga mereka merasa memiliki rumah dan betah tinggal di rumah bernama Indonesia. Ciptakan pemerataan lapangan kerja buat mereka.

Jangan Salahkan Jika Rakyat Kecil Berbohong!

image: 2.bp.blogspot.com
Sekali lagi kita terperangah adanya kasus ironis di negeri ini. Ny. Siami dan keluarga adalah pemicunya ketika prinsip-prinsip mereka bertentangan dengan kepentingan warga . Lalu beramai-ramai media massa (koran dan elektronik) termasuk pengamat moral menghakimi bahwa moral warga bobrok dan bahkan beberapa mencanangkan perlunya gerakan nasional kejujuran.
Saya tidak hendak mentertawakan perjuangan mereka yang mengutamakan kejujuran. Saya tidak hendak mentertawakan “kebodohan” Ny Siami dan keluarganya. Sungguh, saya juga turut prihatin dengan kondisi mereka. Tetapi saya juga harus tertawa sekeras-kerasnya. Mengapa? Karena di tengah hiruk-pikuk bahwa kejujuran itu penting TIDAK ADA yang bertanya mengapa yang dijadikan contoh dan diangkat media NY SIAMI? Mencermati isu itu, mau tidak mau saya jadi berprasangka buruk, bagaimana mungkin memperjuangkan kejujuran dengan mengelabui atau membuat pembodohan “bagaimana jujur yang seharusnya”.
Ada banyak korban-korban keculasan masyarakat di negeri ini. Ada banyak orang yang hancur karena jujur di berbagai instansi dan pelosok negeri. Tetapi mengapa Ny Siami yang diangkat? Apakah itu hanya kebetulan belaka media menemukannya? Mengapa bukan orang-orang penting yang diambil contoh sebagai tauladan bahwa kejujuran memang pantas diperjuangkan? Secara kasar media hendak mengatakan: lihat, orang kecil saja bisa jujur, mengapa kamu tidak?
Kejujuran dalam Belenggu Kekuasaan
Di mata saya, Ny Siami adalah wujud konkrit rakyat kecil yang benar-benar tertindas dari segi apapun. Lalu di mana letak pembodohan itu? Ketika orang lemah, tertindas secara politik, ekonomi bahkan tertindas dalam menafsirkan keutamaan, tetapi diposisikan untuk berjuang melawan masyarakat yang culas, pemilik kekuasaan yang tidak jujur, DI SITULAH pembodohan itu. Di tengah masyarakat yang serba kekurangan, mereka harus bertahan hidup dengan menjunjung tinggi keutamaan. Rakyat kecil harus fair play, tetapi pemilik modal dan kekuasaan boleh tidak fair play. Itulah yang saya sebut kejujuran dalam belenggu kekuasaan. Mengambil contoh pada titik akhir akibat dari satu persoalan menjadi sangat picik dalam kondisi Indonesia yang serba sakit.
Mari kita lihat posisi sekolah dalam persoalan itu. Mengapa mereka melakukan upaya “contek massal”? Apakah penganjur strategi contek massal dinilai tidak jujur di mata atasannya? Di situ muncul berbagai paradok yang tidak semudah mengatakan bahwa setiap orang harus jujur. Mungkin saja jika tidak dilakukan langkah “contek massal” akan berakibat pada kerusakan yang lebih luas karena banyaknya siswa yang tidak terselamatkan. Bukan hanya kerusakan fisik, tetapi juga kerusakan mental.
Perkembangan kejujuran membutuhkan situasi kondusif dari pemegang kekuasaan dan pemilik modal. Mereka juga harus jujur ke bawah jika menuntut yang di bawah berbuat jujur. Mereka harus memberi ruang yang lebih luas untuk berbeda pendapat demi menemukan kebenaran. Sangat tidak adil menuntut yang di bawah dengan alasan loyalitas pada kelompok, mereka harus jujur pada yang di atas, tetapi yang di atas bersikukuh, demi keutuhan komunitas, yang di atas boleh berbohong bahkan menyebarkan berbagai kebohongan. Ini tidak hanya berlaku pada sektor swasta, tetapi juga sektor pemerintah. Kejujuran justeru harus ditegakkan di mulai dari para pemimpin agama, pemerintah, bos-bos perusahaan, sehingga orang kecil mudah untuk menyerahkan loyalitas dan kejujuran pada siapa mereka mengabdi. Jadi, seandainya Ny Siami memilih tidak jujur, saya pun tetap mengerti pilihan itu. Karena sistem yang dibangun oleh orang-orang yang tidak jujur, dikelola orang-orang tidak jujur, hanya akan menghasilkan ketidakjujuran baru. Jangan salahkan jika rakyat kecil berbohong.

Hak Untuk Tidak Beragama?

Biasanya orang mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk beragama. Hak asasi, begitu katanya. Kalau tidak percaya, lihat saja pasal 28I ayat 1 UUD’45, hak beragama merupakan salah satu hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Lalu bagaimana dengan hak untuk tidak beragama? Adakah pasal yang menyebutkan bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak untuk tidak beragama? Tidak ada pasal itu di UUD’45. Jika tidak ada di UUD’45, apakah kemudian itu sama artinya dengan bahwa “hak untuk tidak beragama” tidak ada?
Istilah “hak untuk tidak beragama” sama menariknya dengan ungkapan “hak untuk tidak memilih” dalam pemilu. Bedanya, “hak untuk tidak memilih” lebih populer karena hampir setiap tahun ada saja yang meneriakkan. Tentu saja setiap tahun, karena setiap tahun selalu ada yang menyelenggarakan pemilihan, entah legislatif maupun eksekutif. Namun, meski seringkali diteriakkan, “hak untuk tidak memilih” tetap tidak diakui baik secara de facto maupun de jure. Yang umum diterima adalah golput, golongan putih atau bisa juga golongan putus asa. Celakanya, golput justeru dianggap orang-orang di luar sistem, pengacau dan tidak bertanggung jawab atas keadaan. Memang terkadang lucu cara berpikir bangsa ini. Tersesat dengan pembodohan terus menerus.
Pertanyaan sederhana yang tidak pernah terselesaikan: Apakah salah jika orang tidak melaksanakan haknya? Supaya sangat mudah analoginya, bayangkan jika anda punya gaji kemudian gaji anda tidak diambil. Mendapat gaji adalah hak anda. Jika anda tidak merasa perlu untuk mengambil gaji, adakah yang melarang anda untuk tidak mengambil gaji. Anda senang, dan pemberi gaji anda juga senang karena uangnya tidak berkurang. Lalu masukkan analogi tersebut dengan hak untuk tidak memilih. Lebih jauh lagi, masukkan pada kontek hak untuk tidak beragama. Tidak ada yang dirugikan kan dengan tidak dilaksanakannya hak untuk tidak beragama?
Lain lagi ceritanya menurut orang hukum. Kalau yang dianut adalah hukum positif maka sepanjang suatu tindakan tidak diatur dalam suatu ketentuan, maka itu tindakan tersebut bukan suatu pelanggaran. Jadi, jika tidak ada pasal yang mengatur “hak untuk tidak beragama” sebagaimana diulas pada alinea pertama di atas, maka jika ada orang yang tidak beragama, itu bukan suatu pelanggaran. Akan menjadi pelanggaran jika disebutkan dengan jelas dalam suatu pasal, misalnya setiap warga Negara wajib beragama. Atau berbunyi: Setiap warga Negara dilarang untuk tidak beragama.
Saya tidak pandai hukum. Jadi boleh saja penjelasan tersebut diabaikan. Tidak kompeten. Saya lebih senang pada filsafat. Sehingga, pertanyaan yang menarik untuk diajukan adalah apakah adanya pasal dalam UUD 45 itu lebih mengarahkan ke menjadi manusia Indonesia seutuhnya? Apakah UUD’45 sebagai hukum telah menempatkan manusia sebagai subyek atau hanya obyek semata? Menurut saya, meski sangat buram, dalam kasus hak beragama, Pasal 28I UUD’45 sudah menempatkan manusia sebagai subyek, artinya, manusia indonesia mempunyai pilihan bebas untuk beragama maupun tidak beragama. Sayangnya hak tersebut tidak dijamin oleh Negara jika mengacu pada Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian, belenggu hak tersebut ditambah lagi dengan adanya istilah agama resmi yang diakui pemerintah, yang hanya mencakupi 6 Agama yang diakui. Sehingga berakibat pada manusia yang hanya menjadi obyek hukum, manusia hidup untuk hukum. Bukan sebaliknya, hukum ada untuk melayani manusia menjadi lebih manusiawi.
Memang terlalu jauh angan-angan untuk tidak beragama dinyatakan dalam hukum positif. Hal yang sudah nyata dalam pasal 29 ayat 2 saja masih banyak yang mengeluhkan. Masih banyak agama yang tidak diakui pemerintah dengan peraturan yang justru memandulkan Pasal 29 ayat 2 tersebut. Kebebasan beragama memang selalu menjadi persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Apalagi jika pemerintah justeru mengambil keuntungan dari keruwetan antar umat beragama, akan semakin jauh bangsa ini dari kebebasan yang cinta damai. Ingat! Kebebasan yang cinta damai, bukan kebebasan yang kebablasan!

Depag dan Devalidasi Moral

Oleh: Momon Sudarma*)

Maraknya pemberitaan dugaan korupsi di lingkungan Departemen Agama (Depag) melahirkan beberapa penafsiran di masyarakat. Ada yang merespons dengan penuh keheranan, ah masa, kok bisa, aneh, masa iya sih…! Kelompok lain hanya tertawa dan mengganggap temuan di Depag itu sebagai bukan sesuatu yang aneh.Secara sosiologis, terhadap departemen yang membawa kata agama ini, muncul dua pandangan berbeda. Kelompok pertama termasuk ke dalam kelompok orang yang hyperperception, yaitu orang yang memosisikan Depag sebagai lembaga orang bersih, yang mengelola masalah keagungan dan keluhuran budi. Depag dianggap penjaga gawang dari elite moral. Sementara kelompok lain, memosisikan aparat pemerintah (tidak terkecuali Depag) adalah manusia biasa, yang memiliki potensi dapat dirayu materi. Kelompok terakhir ini memosisikan orang Depag, atau lembaga Depag setara dengan lembaga lainnya. Dapat disebut dengan kelompok underperception, yaitu kelompok yang memersepsikan lembaga pemerintah sebagai sesuatu hal yang rendahan, korup, dan buruk.
Sehubungan dengan masalah korupsi di Depag kali ini, ada tiga hal yang perlu dikritisi bersama, yaitu kasus korupsi depag dilihat dari sudut pandang struktural, simbol sosial, dan sikap keberagamaan.
Birokrasi memang Korup
Citra birokrasi negara kita masih buruk. Itulah hukuman sosial yang masih melekat dalam diri budaya birokrasi negara ini. Bukan hanya lamban dalam memberikan layanan kepada masyarakat, tetapi tidak efektif, berbiaya mahal, koruptif, dan sebutan buruk lainnya.
Stereotype (penyamarataan) seperti ini sudah barang tentu sangat tidak adil. Karena sebetulnya, masih bisa kita temukan birokrat yang berkinerja positif dalam budaya birokrasi kita, walau jumlahnya mungkin tidak besar. Merujuk pada stereotype di atas, terkuaknya dugaan korupsi dalam tubuh Depag, bukanlah hal yang aneh, dan bukan pula sebagai sebuah informasi baru.
Di lingkungan penegak hukum, misalnya, di kenal istilah mafia peradilan. Kelompok mafia ini, terdiri dari oknum kejaksaan, kepolisian, pengacara atau aparat penegak hukum yang lainnya. Mereka bermain, dan memainkan hukum, dengan satu kepentingan yang sama, yaitu mendapatkan uang. Kemudian, dugaan korupsi pun menguat di lingkungan pendidikan. Kedua departemen ini, merupakan sebagian contoh dari departemen pemerintahan yang memiliki citra buruk.
Ada satu hal yang menarik untuk dikemukakan, yaitu adanya kesamaan gejala korupsi antara satu departemen dengan departemen lainnya, yaitu korupsi kolektif dan kolutif. Korupsi kolektif, artinya tindak penyelewengan dana rakyat ini dilakukan secara bersama-sama. Disebut kolutif karena melibatkan instansi lain, baik legislatif (khususnya dalam memperlancar peraturan dan perundangan), maupun rekanan bisnis. Modus korupsi kolektif dan kolutif ini mampu membangun pertahanan pembelaan yang sangat kuat dibandingkan korupsi yang dilakukan sendirian. Modus seperti ini pun, terjadi pula dalam pengurusan masalah haji di lingkungan Depag.
Bila kita menganut pola pikir menyalahkan sejarah, gejala ini dapat ditarik ke belakang, dengan menyalahkan pemerintahan Orde Baru. Budaya KKN adalah budaya yang subur di lingkungan lembaga pemerintahan masa Orde Baru. Secara struktural dan sistemik, aparatur Depag adalah bagian dari sistem budaya Orde Baru. Oleh karena itu, sebagai sebuah subsistem budaya organisasi (corporate culture), maka budaya kerja di Depag tidak jauh beda dengan budaya organisasi di instansi lain. Mungkin iya ada perbedaan, tetapi dalam kerangka makro, budaya organisasi di lingkungan Depag tak jauh beda dengan budaya pemerintahan Orba lainnya. Oleh karena itu, masuk akal bila masyarakat saat ini masih menemukan sisa budaya Orba di lingkungan departemen ini.
Untuk memecahkan masalah seperti ini, kiranya publik perlu mendukung kebijakan Presiden SBY untuk melakukan penggantian pegawai eselon I di seluruh departemen atau instansi pemerintah lainnya. Kebijakan ini, selain strategis juga dapat mempercepat proses pemotongan budaya (pemotongan generasi) dan melakukan transformasi budaya menuju masyarakat yang beradab.
Uang tidak beragama
Ibarat menanti reality show di media elektronik, masyarakat Indonesia hari-hari ini sedang disuguhi drama eliminisasi (penyingkiran) elite politik dari pentas politik nasional. Satu per satu, orang yang menjadi penyakit bangsa dan beban masyarakat, dieliminasi dan dimasukkan ke dalam kotak (penjara). Entah butuh berapa lama, dan entah kapan, kita akan menemukan penghuni terakhir bangsa Indonesia yang menjadi pilihan rakyat dan bersih dari cacat politik dan cacat moral.
Reformasi 1999 telah menggusur TNI dan Polri dari rumah politik (DPR). Pejabat legislatif yang korupsi diancam kurungan penjara. Beberapa elite legislatif di berbagai daerah di Indonesia bahkan sudah masuk bui. Kasus korupsi di KPU telah mengusur elite akademik masuk ke dalam tahanan. Dan, kini, berita terbaru, elite Depag yang notabene elite agama, juga menghadapi tuduhan korupsi. Rangkaian dan catatan ini mungkin masih panjang lagi.
Tetapi pada intinya, masyarakat mencatat bahwa berbagai status sosial dengan latar belakang sosial yang berbeda, ternyata masih rentan terhadap serangan rayuan uang rakyat. Simbol keagamaan (kiai haji, ustaz, dan Depag), simbol pendidikan (sekolah, profesor), simbol ekonomi (konglomerat, pengusaha, dan bank), simbol politik (partai, DPR), simbol kekuatan-kekuasaan (polisi, TNI), simbol keadilan (kejaksaan, pengacara), ternyata masih rentan dari rayuan uang. Bahkan, kelompok mahasiswa pun, tidak steril dari rayuan uang ini. Publik masih ingat peran uang dalam memobilisasi massa demonstran? Masih ingat pula publik akan peran uang dalam memobilisasi rakyat kecil untuk demonstrasi? Kasus tersebut memberikan sebuah ketegasan kepada masyarakat bahwa lembaga dan simbol sosial tersebut, sampai saat ini, ternyata tak memiliki kekebalan moral dan kekebalan lembaga dari serangan virus korupsi.
Berdasarkan pemikiran ini, dapat ditarik beberapa simpulan pemikiran. Bahwa status sosial ternyata bukan sebuah jaminan untuk membentengi diri dari tindak pidana korupsi, karena memang uang tidak memiliki agama, uang tidak memiliki moral, dan uang tidak memiliki kartu keanggotaan yang tetap.
Uang, dengan semangatnya sendiri, dengan sifatnya sendiri, dengan karakternya sendiri, dapat mengalir bebas ke mana arah yang disukainya. Uang hanya memiliki sifat tunggal, yaitu sesuai dengan hukum pasar, ke mana permintaan tinggi, di sanalah uang akan mengalir. Maka tak heran, siapa pun orangnya atau apa pun lembaganya, pada saat ada kesempatan mengakses uang dan dirinya merasa butuh uang, maka si uang itu akan mengalir ke tangannya. Uang, memang tidak memiliki majikan (tuan) yang tunggal.
Penutup
Memang patut disayangkan kalau Depag menuai citra yang buruk. Padahal, lembaga ini adalah penjaga utama moralitas bangsa dan negara. Kendati demikian, kiranya masyarakat dapat menarik pelajaran terhadap adanya kejadian seperti ini. Pertama, Depag bukanlah agama, Depag bukan lembaga sakral yang bebas dari kelemahan. Depag hanya salah satu lembaga birokrasi yang diciptakan pemerintah dan diisi oleh aparatur pemerintah. Oleh karena itu, untuk memperbaiki citra yang buruk kali ini, mau tidak mau, seluruh aparatur departemen agama ini harus kembali bangkit untuk melakukan reformasi birokrasi dan mereformulasi budaya kerja departemennya.
Kedua, penyelewengan kewenangan adalah sebuah indikasi adanya ketidakberesan dalam administrasi dan atau manajemen organisasi. Oleh karena itu, perlu ada upaya profesionalisasi manajemen di lingkungan Depag, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengemukakan satu hal yang mungkin sekadar hipotesis, yaitu mungkin ada kesungkanan untuk melakukan kritik, bila pimpinan sebuah organisasi itu adalah seorang yang berkharisma atau dianggap berkarisma (misalnya kiai). Hilangnya kemampuan kritik, atau suburnya budaya sungkan, dapat memengaruhi kesehatan budaya organisasi.
Terakhir, pembongkaran kasus korupsi di lingkungan Depag ini mudah-mudahan menjadi awal dari proses desakralisasi Depag, desakralisasi kiai, dekomersialisasi haji, dan sebagainya. Simbol agama, ritual keagamaan, mudah-mudahan tidak lagi dijadikan sebagai sumber eksploitasi (tambang uang) bagi kalangan tertentu.
Hal yang lebih penting lagi yaitu perlunya objektivikasi sikap keberagamaan. Artinya, publik perlu kritis kepada siapa pun (entah kiai, ustaz, profesor, jenderal, mahasiswa, wartawan, atau siapa pun). Karena mereka pun adalah manusia. Dengan sikap objektif ini, mudah-mudahan perilaku kita terhindar dari budaya organisasi yang subjektif. Tidak perlu ditanya lagi sikap kita terhadap politikus, TNI, Polri, penegak hukum. Yang kita alami baru-baru ini adalah kita menganggap pintar dan bersih kepada akademisi, akhirnya terperangah dengan kasus KPU. Kita menganggap bersih dan bebas korupsi kepada ulama, kita kaget dengan kasus Depag.
Akhirnya, kita semua bertanya, siapakah dan manakah, rujukan moral yang valid (tepat) untuk dijadikan teladan? Rakyat kita saat ini tengah menonton perilaku politik yang melakukan devalidasi moral. Rakyat hari ini tengah melihat drama hidup dengan moralitas yang tidak sesuai dengan nurani kerakyatan, kebangsaan, dan keadaban. Drama yang ada adalah drama lisan moral yang tidak valid karena hanya sebuah hiasan bibir. Tindak-tanduk kita tidak valid karena hanya trik kepentingan politik. Kedermawanan kita tidak valid karena hanya kampanye sesaat. Kepedulian kepada umat kita tidak valid karena hanya sebuah upaya menggali simpati ekonomi rakyat untuk kepentingan pribadi. Keilmuan kita pun tidak valid karena dihinggapi kepentingan materialisme dan bukan kebenaran ilmiah. Moralitas pakaian kita tidak valid karena membuka aurat sosial yang menjijikkan. Inilah, hidup kita, hidup di masyarakat korup.
*)Penulis adalah penggiat sosiologi di Akper Aisyiyah dan Stikom Bandung
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 24 Juni 2005.

Pancasila(isme)

Waktu jaman sekolah dulu, saya paling benci pelajaran Pe-eM-Pe (Pendidikan Moral Pancasila). Selain membosankan, model pembelajaran yang diberikan lebih mirip mencekoki ayam dengan gumpalan nasi yang dipadatkan. Yang dicekoki modot molet, mata mendelik keloloten. Tidak mengerti apa-apa tapi merasa kenyang. Pelajaran penuh indoktrinasi. Setelah sekian tahun menerima tanpa sempat mengkritisi, dengan memberanikan diri berpikir bebas saya bertanya, mengapa Pancasila kok urutannya begitu? Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua…, tiga.. dan seterusnya. Masih hapal tho? Biadab kalau tidak hapal.
Meski tidak suka dengan Pe-eM-Pe, bukan berarti nilai saya jelek. Tidak bagus, iya. Tapi setidaknya pernah lomba cerdas cermat Pe Empat. Itu semacam lomba menghapal nilai-nilai luhur Pancasila. Indoktrinasi (lagi) yang dilombakan. Setelah bertahun kemudian, saya tambah bingung karena begitu banyak hal-hal yang dilekatkan ke Pancasila. Ambil contoh rumusan Pancasila sebagai hasil produk pemikiran, Pancasila sebagai proses, Pancasila sebagai pandangan hidup, Pancasila sebagai ideologi, Pancasila sebagai sistem filsafat. Dan masih banyak lagi pemikiran-pemikiran terkait dengan Pancasila. Sepertinya proses menggali Pancasila tidak akan menemukan titik akhir. Celakanya, lebih mengasyikkan mengkaji dan berwacana ketimbang penerapannya.
Gerundelan ini tidak hendak mengupas berbagai hal tersebut di atas. Itu akan menjadi sama membosankan dengan indoktrinasi Pancasila jaman dulu. Pancasila jaman dulu, baik jaman orde lama maupun orde baru, menurut saya perlu diupdate. Misal dari lambangnya saja, garuda pancasila, mengapa mesti meleng ke kanan? Apakah itu sebab bangsa kita lebih fanatik ke kanan daripada ke kiri? Radikalisme lebih di mulai dari sisi kanan. Kondisi ini tentu saja perlu ada terobosan baru yang tidak hanya mengembalikan Pancasila pada tempatnya, tetapi jauh lebih ke depan, mendorong Pancasila(isme). Isme yang berasal dari Indonesia dan jika perlu menularkan virus Pancasilaisme ke berbagai belahan dunia.
Untuk itu, ada baiknya jika kita melakukan permenungan terlebih dahulu di peringatan hari lahir Pancasila ini. Permenungan ini perlu untuk merumuskan kembali Pancasilaisme yang tidak seperti sebelumnya, antara lain dengan mempertanyakan kembali, mengapa Pancasila kok urutannya begitu? Apakah pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD’45 itu merupakan suatu urutan? Menurut saya kok tidak. Pancasila yang menjadi dasar negara sebagaimana dalam pembukaan tersebut bukan suatu yang bertingkat melainkan setara, sama pentingnya. Lalu bagaimana dengan pancasila sebagai ideologi? Apakah itu sesuatu yang sudah jadi atau sesuatu yang harus dicapai? Jika Pancasila merupakan sesuatu yang harus dicapai, maka saya lebih suka mengubah urutan Pancasila sesuai dengan kondisi dan persoalan terkini.
Persoalan bangsa terkini membutuhkan indonesia yang kompak untuk menghadapi persaingan global. (Sebenarnya kita bersaing dengan siapa sih?) Tanpa kekompakan, kita akan mudah dilibas bangsa lain, dipecah belah dan diekploitasi habis-habisan. Tidak mudah untuk kompak di tengah prahara sektariasnisme. Persatuan Indonesia, apapun agamanya, apapun suku dan asalnya, itu yang sekarang mendesak untuk ditekankan kembali.
Untuk apa kita bersatu menyepakati konsensus berbangsa dan bernegara? Tentunya untuk mencapai keadilan sosial yang di dalamnya juga berarti kemakmuran bersama. Adanya rasa aman dari persatuan menjadi landasan kuat untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Baru kemudian jika persoalan muncul, maka asas kerakyatan diutamakan. Dengan kata lain, dalam menghadapi persoalan sehari-hari, kebutuhan rakyat banyak menjadi pertimbangan utama. Jika musyawarah tidak bijaksana, maka mufakat juga tidak bijaksana. Jika musyawarah tercapai mufakat, namun jika bertentangan dengan kerakyatan, maka itu mufakat yang tidak bijaksana.
Jika kondisi-kondisi ideal pada tataran pragmatis tersebut dapat dicapai, maka mengkaji dan berpikir tentang kemanusiaan dan ketuhanan dapat maju dan berkembang. Hal tersebut bukan berarti bahwa dalam tataran praktik boleh abai terhadap kemanusiaan dan ketuhanan, tetapi justru sebaliknya. Persoalan kemanusiaan dan ketuhanan akan menjadi bukan apa-apa jika tidak ada perbuatan konkrit dalam keseharian. Cara pandang yang ada sekarang ini lebih berfokus pada bagaimana memenuhi tuntutan agama daripada bagaimana mewujudkan surga di bumi. Ketuhanan telah melenceng menjadi keagamaan yang kemudian diturunkan untuk mengatur kemanusiaan. Ketuhanan diletakkan paling bawah, karena memang pada intinya, semestinya menjadi pondasi, bukan diartikan sebagai bukan prioritas awal.
Membangun yang tampak itu lebih mudah ketimbang yang tidak tampak. Jika kebutuhan primitif manusia terpenuhi, manusia indonesia lebih mudah diajak meraih capaian lebih tinggi, yaitu manusia yang menjadi berkat bagi semesta, berkemanusiaan dan berketuhanan. Untungnya, berkemanusiaan dan berketuhanan membutuhkan praktik nyata, bukan hanya retorika di tempat ibadah
Dengan uraian demikian, maka Pancasila menjadi sebagai berikut:
1. Persatuan Indonesia;
2. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
4. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
5. Ketuhanan yang maha esa.
Yah, beginilah generasi baru Pancasila(isme). Generasi yang tidak boleh hanya berhenti pada indoktrinasi. Generasi yang semestinya memberikan wajah baru Pancasila sehingga Pancasila menjadi sesuatu yang indah, menarik, populer dan menjadi budaya baru. Karena Pancasila butuh pembaharuan. Ia butuh kemasan baru, meski content-nya tetap sama. Itulah tugas pengikut Pancasila(isme). Tugas pertama mendekonstruksi Pancasila sesuai situasi dan kondisi daerahnya. Monggo…

Kiamat dan Ratu Adil

ilustrasi dari shutterstock.com
Hari ini, Sabtu 21 Mei 2011, sudah berjalan hingga lewat tengah hari. Sebagian besar orang Kristen yang mendengarkan “maklumat” Presiden Family Radio, Howard Camping, sudah dag-dig-dug, jam berapa ya kiamatnya? Mungkin, bagi orang yang “termakan” maklumat Camping, tadi malam menekuk lutut, bertobat habis-habisan. Mengucapkan janji-janji ampun-ampunan, semoga dosanya terampuni dan sanggup menyongsong kiamat. Bagi yang sudah terlanjur frustasi, semalam suntuk mabuk-mabukan dan bersuka ria, siapa tahu besok sudah tidak mungkin lagi. Setelah hari ini berjalan seperti biasa dan baik-baik saja, apa yang terlintas di benak mereka? Mungkin sebagian besar kembali seperti biasanya dan dengan bodohnya mengucap syukur kiamat tidak jadi sehingga pertobatan bisa ditunda lagi sampai ada pengumuman kiamat berikutnya.
Lain lagi reaksi orang yang apatis pada tokoh agama. Dalam hati mungkin bergumam, kayak dia tahu rencana Tuhan saja. Ketika ucapan tokoh agama tidak terbukti, semakin kikislah legitimasinya sebagai penyambung lidah Tuhan. Bayangkan kalau tokoh-tokoh agama asal bicara, overclaim dan merasa dialah wakil Tuhan di bumi ini, lalu ucapannya melampaui batas-batas wewenang manusia, bukankah dia sedang membusukkan agamanya sendiri? Masih pantaskah tokoh-tokoh semacam itu dipercaya dan dijadikan panutan masyarakat? Akhirnya, orang yang apatis akan semakin apatis dan tak jarang berujung pada penolakan terhadap agama.
Kiamat menandai kedatangan Isa kedua kalinya di dunia ini. Meski berulang kali ada pihak yang meramalkan kapan kiamat terjadi dan berulang kali juga tidak terbukti, tetapi mengapa kebiasaan “menakut-takuti” akan datangnya kiamat tetap bermunculan? Apakah ini dapat diartikan sebagai bentuk rasa frustasi akan hilangnya harapan bahwa dunia ini tidak beranjak menjadi lebih baik? Lalu jalan pintas ditempuh supaya orang segera berbalik arah memperbaiki diri? Mungkin begitu bentuk frustasi orang Amerika.
Lain di Amerika, lain lagi di Indonesia. Selama ini, meski banyak yang frustasi, belum ada yang berani meramalkan kiamat secara terbuka. Tidak berani mengumumkan secara terbuka tersebut bisa jadi karena takut dihujat, atau memang religius atau sebenarnya memang takut mati. Paling pol yang keluar adalah harap-harap cemas ratu adil. Soekarno pernah menjawab soal ratu adil begini:
“Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya datangnya Ratu Adil. Dan sering kali kita mendengar di desa sini atau di desa situ telah muncul seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”. Tak lain tak bukan, karena rakyat menunggu dan mengharap pertolongan.” (Indonesia Menggugat)
Apa jadinya jika ratu adil yang ditunggu tak kunjung datang? Ada yang frustasi semakin parah hingga stress ringan, depresi bahkan gila. Mengharap pertolongan tapi tak pernah ada yang datang menolong lama-lama “kenthir” sendiri. Sakit psikologis merajalela. Dan ketika sakit ini dibiarkan berlarut-larut, maka tindakan-tindakan manusianya semakin menjauh dari rasionalitas manusia. Bunuh diri, anarkis, apatis, ekstrimis dan mencari bentuk-bentuk baru dengan harapan ada pelepasan beban secara instan. (Memang ada jamu anti melarat yang cespleng?) Berbagai aliran seperti jamur di musim hujan, berkembang dengan pesat. Akal sehat manusia benar-benar menjadi tumpul. Dan tak jauh-jauh dengan Amerika, isu kiamat pun bisa jadi dikumandangkan, meski sembunyi-sembunyi. Semua itu berawal dari depresi berkepanjangan. Rekoso kok ra sudo-sudo…
Ada hal sederhana yang terlupa bahwa sejatinya manusia mendapat tugas menjaga bumi dan kehidupan di dalamnya. Apakah tugas itu sudah diemban dengan baik? Mengapa kita lebih suka menunggu “penyelamat” itu datang? Waktu yang digunakan untuk menunggu itu mungkin sudah dapat menghasilkan tiga atau empat pemimpin besar dalam satu abad ini. Tugas menjaga bumi berarti pula tugas menyemai, memelihara dan menjaga benih-benih penyelamat. Mengkader pemimpin-pemimpin baru. Mengapa kita meragukan kepercayaan yang dimandatkan Tuhan pada manusia yang menjadi bukti nyata bahwa manusia mampu menjaga bumi dan kehidupan di dalamnya? Mari berbangkit dengan menajamkan prasangka baik. Positive thinking! Hingga tidak ada lagi model intimidasi, menakut-takuti ala agama dan harapan semu ratu adil. Pegang dan pupuklah apa yang ada di tangan. Karena hal-hal besar selalu dimulai dari hal-hal kecil yang ada di depan mata.

Andai Google Bisa Bicara

Set Me Free!!!
Tulisan ini boleh dibilang hasil “daur ulang” dari artikel yang pernah saya posting sebelumnya di sebuah blog, pada tahun lalu ketika kedatangan Miyabi ke Indonesia menjadi pemicu kontroversi di negeri ini. Artikel yang bermula dari keisengan mencari kata kunci yang “berpengaruh” pada mesin pencari di dunia maya. Dengan bantuan zeitgeist, yaitu alat yang disediakan google untuk mengetahui trend kata yang paling sering dicari di internet, dan google trends for website, keluarlah kata-kata yang paling sering dicari di Indonesia pada saat itu, dengan urutan sebagai berikut:
1. wikipedia indonesia
2. primbon
3. bokep
4. suster keramas
5. rin sakuragi
6. games co id
7. miyabi
8. indowebster
9. download mp3 gratis
10. kaskus
Melihat hasil tersebut, rasa ingin tahu berkembang menjadi pertanyaan, daerah mana yang mengakses situs bertema hantu dan sex tersebut. Dan hasilnya adalah sebagai berikut:
data diolah dari google

Ada beberapa hal yang cukup menarik dari kesimpulan statistik google tersebut. Urutan pertama dalam daftar pencarian adalah Wikipedia. Sebagian besar dari kita tentu tahu bahwa Wikipedia merupakan website yang berisi pengetahuan. Dari hal tersebut mungkin dapat ditarik inferensi bahwa masyarakat kita masih menempatkan pengetahuan pada tempat tertinggi. Dengan kata lain rasa ingin tahu masyarakat akan pengetahuan (umumnya) relative tinggi. Dapat diduga bahwa sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa jawaban dan penjelasan atas pertanyaan yang ada dalam pikiran mereka terdapat di Wikipedia.
Setelah kata Wikipedia, kata kunci berikutnya, secara berurutan, kata primbon, bokep, suster keramas, rin sakuragi, games co id, miyabi, indowebster, download mp3 dan kaskus. Rin sakuragi dan miyabi adalah bintang film porno asal Jepang. Cukup menarik jika melihat beberapa kata kunci sepertinya terasosiasi dengan “dunia perhantuan” dan pornografi. Jika dihubungkan dengan kata kunci yang lain, maka sepertinya dunia internet didominasi kalangan muda untuk tujuan “mencari kesenangan”.
Terkait dengan daerah pengakses, cukup sulit untuk menarik suatu kesimpulan karena banyak faktor lain yang tentu saja berpengaruh seperti ketersediaan jaringan, kepadatan penduduk, daya beli masyarakat dan lain sebagainya. Meski demikian, kecenderungan (trend) yang ditunjukkan google cukup member informasi bahwa dari daerah-daerah tersebutlah kata-kata kunci mendominasi search engine. Apakah ini berhubungan dengan banyaknya jumlah pemuda dan pelajar di daerah tersebut, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Jaman mungkin saja berubah. Data tahun ini mungkin saja berbeda dengan data tahun 2010 lalu. Jika ada kesempatan, cukup menarik jika perkembangan diteliti secara sederhana terus menerus. Adakah perubahan, atau masih berkisar pada “yang itu-itu” saja. Kita tentu tidak ingin mendengar ada yang berkata “andai google bisa bicara, mungkin dia akan bilang, wah otak orang Indonesia isinya takhayul sama sex, pantesan ngurus yang lain kedodoran 😀 “.

Bahasa Menunjukkan Bangsa: Turunan Kaum Misuh?

sumber: http://www.deadline.com
Siapa yang belum pernah misuh? Kalau memang ada, saya acungkan 6 jempol untuknya. Dua jempol tangan, dua jempol kaki, dua jempol bayangan jempol tangan. 😀
Misuh, kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia sama dengan mengumpat, yaitu mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar) sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel (KBBI). Kata-kata yang dikeluarkan disebut umpatan yang mana memiliki 12 padanan kata, yaitu bentakan, cacian, cercaan, dampratan, hardikan, hujatan, jerkah, makian, semburan, semprotan, sentakan dan sumpah serapah. Banyak juga ya turunan dari umpatan tersebut.
Banyaknya turunan tersebut tampaknya untuk memfasilitasi banyak ragam amarah yang berkecamuk di dada kaum misuh. Berikut ini beberapa contoh penggunaan umpatan disertai penjelasan kapan biasanya digunakan:
> Dasar anak tengik! (Ayah membentak sang anak ketika si kecil rindu diajak bermain sama bapaknya tapi malah dianggap mengganggu aktivitasnya yang sibuk dengan dunianya sendiri )
> Bisanya cuma mencaci tanpa solusi, dasar beo! (Orang yang mencaci ketika sedang lupa mencaci. Cacian deh lu!)
> Tulisan kayak gitu aja dibanggain, tulisan apaan tuh! (BlogWalker mencerca tulisan bloger lain yang laris manis dibaca. Sirik kali ya?)
> Menteri kok yang diurus cuma alat vital, apa nggak ada urusan lain! (Rakyat yang mencerca menteri, misal karena terpengaruh video ariel dkk).
> Dasar laki-laki brengsek lu! (Makian cewek yang tertipu cowok keren biasanya mendamprat seperti itu)
> Dasar anak tak tahu diri, minggat kau! (adegan menghardik di sinetron indonesia. Ngajarin misuh melulu nih sinetron!)
> Waduh, kok banyak sekali ya contoh umpatan. Kampret, sialan, kutu kupret. (ini contoh sumpah serapah karena ternyata contohnya bisa jadi sangat banyak dan bikin males kasih ilustrasi 😀 )
Ternyata berbagai ragam umpatan di bahasa Indonesia ini teramat banyak. Padanan kata umpatannya saja sampai dua belas. Contoh umpatannya bisa berlembar-lembar. Kalau kita baca koran atau media, rasa-rasanya hampir tiap hari berisi hujatan, cercaan dan makian. Bad news is good news jadi amunisi kritikus mencaci maki. Oh, ya, pernah juga anggota DPR misuh-misuh juga lho. Jangan-jangan kita ini turunan kaum misuh? Yo..mbuhlah…
Lawan dari sifat suka mengumpat adalah bersyukur. Bersyukur berarti berlega hati, berterima kasih kepada Allah karena suatu hal. Itu kata Kamus Besar Bahasa Indonesia lho. Ternyata bersyukur hanya punya dua padanan kata! Itu tadi, berlega hati dan berterima kasih. Ungkapan bersyukur paling banter “Alhamdulillah”, “Puji Tuhan”, Terima kasih”, (aduh, sialan kehabisan kata untuk bersyukur nih! Wah, saya sudah misuh lagi nih, hehehe).
Kalau di-othak-athik gathuk (direka-reka, dihubungkan) sepertinya kita menggunakan 12 kali mengumpat dan hanya dua kali bersyukur. Atau dengan kata lain ternyata bangsa ini lebih banyak memaki ketimbang bersyukur. Lebih sering mencerca daripada berterima kasih. Ah, jangan-jangan memang benar kalau kita ini turunan kaum misuh yang lebih suka misuh ketimbang bersyukur? Entahlah.

Daya Magis Kata

Konon katanya, semua berawal dari kata. Ketika roh Allah melayang-layang, Ia berfirman (mengeluarkan kata) jadilah bumi! Maka bumi ini pun jadilah. Tentu saja dengan kuasa Allah bumi ini ada. Namun, kata, dengan tanpa mengabaikan siapa yang mengeluarkannya, secara hakiki memiliki kekuatannya sendiri yang luar biasa. Kata bukan sekedar rangkaian huruf vocal dan konsonan yang bersanding disana-sini. Tetapi ia merupakan suatu rangkaian ajaib yang memberikan daya magis bagi siapa pun yang mendengar maupun membacanya. Tanpa perlu tahu siapa yang mengucapkannya, atau siapa yang menuliskannya, kata akan mempengaruhi anda.
Bayangkan ketika suatu hari anda berimpitan dalam sebuah bus di tengah udara panas dan campur aduk bau keringat. Jengkel, marah dan bosan serasa siap meledak dari ubun-ubun. Lalu di sebuah kursi terdapat coretan “damai itu indah”. Maka, seperti bara yang mendapat setetes air, terasa berkurang panasnya, meskipun mungkin tidak memadamkan api kemarahan itu. Setidaknya anda akan bertahan sebentar dan mencoba berdamai dengan lingkungan dan kondisi yang tidak menyenangkan itu.
Akan lain lagi ceritanya jika coretan yang tertulis di kursi “persetan”. Maka kemarahan itu akan menjadi seperti bara yang tersiram minyak. Rasa marah dan tidak perduli menuntun anda untuk menyikut, mendorong, menginjak kaki atau mendesak orang lain agar posisi anda lebih nyaman. Ketika batin membisikkan “mbok jangan gitu”, jawaban yang keluar adalah “persetan”.
Kata “damai” dan “indah” di mata saya memiliki kekuatan positif seperti juga kata “cinta”, “kasih”, “jujur”, dan “percaya”. Sedangkan kata “persetan” memancarkan energi negative seperti juga kata “buruk”, “jahat”, “benci”, “bohong” dan “marah”. Saya memiliki keyakinan bahwa semakin sering seseorang berinteraksi dengan kata-kata tertentu, maka perilakunya akan terpengaruh oleh kekuatan dari kata-kata tersebut. Mari kita ambil contoh kata “terima kasih”. Ucapkan dan tuliskan kata tersebut pada orang yang sungguh keras hati untuk mengucapkan terima kasih. Pelan tapi pasti, saya yakin orang tersebut akan mulai juga untuk menulis terima kasih, kalau masih berat untuk mengucapkannya.
Diantara banyak kata, saya paling suka dengan kata “kasih” yang kalau diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi LOVE. (Jadi ingat lagunya Michael Bolton, A Love is Beautiful). Karena begitu sukanya saya dengan kata itu, maka saya memaknai LOVE sebagai akronim dari LIFE; OPPORTUNITY; VIRTUE; EMPATHY. Suatu keadaan bernuansa kasih jika keadaan tersebut membawa kehidupan, memberi kesempatan (memaafkan dan tidak egois), membawa kebajikan, dan turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang dikasihi. Jika suatu tindakan bertentangan dengan keempat kata tersebut, maka sulit dikatakan bahwa ada kasih disana. Demikian juga jika ada yang berkata pada anda “I Love U” tapi tidak mengandung life, opportunity, virtue dan empathy, maka jangan terburu-buru untuk percaya. 😀
Sayangnya, akhir-akhir ini kata-kata dengan energy positif retak disana-sini tergusur kata-kata negative.
Adalah hak kita semua untuk mendapat energy posistif dalam bertumbuh kembang bersama. Retakan kata itu perlu ditutup dan kata dimurnikan. Kita membutuhkan kata-kata untuk dapat tetap bertahan. Tulislah terus harapan demi harapan. Suarakan terus kedamaian, rendah hati dan suka cita. Mari kita perbanyak menggunakan kata positive dalam keseharian. Yakinlah, kita bisa!

14 Februari 2011

Reformasi Politik Tanpa Revolusi Budaya Adalah Pekerjaan Sia-sia

image from shutterstock
Sejak reformasi 98 kita telah mengalami pergantian kekuasaan (baca presiden) sebanyak empat kali. Mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY. Penting untuk diingat bahwa turunnya Soeharto membawa benih budaya baru, yaitu penurunan paksa seorang presiden. Sejak saat itu tak henti-hentinya bangsa kita penuh dengan kegaduhan politik. Demonstrasi lebih sering dilakukan seiring dengan wacana demokrasi yang berkembang pesat. Mulai dari guru SD, petani, buruh, karyawan dan mahasiswa, semua menjadi akrab dengan demonstrasi. Tidak jarang demonstrasi tersebut malah berujung pada konflik kekerasan. Demonstrasi di peringatan setahun SBY-Boediono merupakan contoh aktual fenomena tersebut . Kebebasan berpendapat begitu luas sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tampak tinggal selangkah ke depan, seandainya bangsa ini siap menerima anugerah itu.
Ketidaksiapan bangsa ini dianalogikan beberapa tokoh sebagai ketidaksiapan menampung aliran sungai demokrasi yang sekian lama terbendung kemudian secara tiba-tiba terbuka lebar. Air mengalir liar tanpa kendali. Ibarat air yang semestinya menghidupi para petani justeru menjadi sumber mala petaka karena merusak kehidupan petani sebagai simbol rakyat kecil. Terbuka lebarnya kran demokrasi juga melahirkan otonomi daerah yang dirasa beberapa ahli sudah cenderung kebablasan. Beberapa aturan yang terbit saling tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi. Demokrasi telah termaknai sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya, bahkan kalau mungkin bangsa ini tanpa pimpinan dan aturan. Pancasila sebagai landasan demokrasi terabaikan dan seolah terkriminalisasi yang mana menyebut Pancasila adalah bagian dari orde baru yang tidak layak dipertahankan.
Perlahan kita menyadari bahwa banyak masalah yang belum terselesaikan. Pendekatan politik dan hukum sudah terbukti kurang efektif dalam mempercepat tumbuh kembangnya bangsa ini. Korupsi masih tetap tinggi. Kesenjangan sosial masih lebar bahkan semakin lebar dengan meningkatnya pola kapitalistik dan konsumtif. Perilaku masyarakat bukan mengarah ke hal yang lebih konstruktif namun justeru menjauh dari apa yang dicita-citakan sebagai manusia indonesia seutuhnya. Pergaulan bebas, pola hidup serba instan dan berbagai kecurangan di berbagai sendi kehidupan seolah menjadi suatu kewajaran. Perilaku mengemudi merupakan cerminan kecil dari perilaku orang dalam hidup keseharian. Ketika di jalan saling berebut, saling serobot, dan hidup seperti dikejar ketakutan, begitu pula perilaku hidup di tengah-tengah masyarakat. Takut gagal, takut miskin, takut kalah, dan semua jenis ketakutan yang mendorong setiap orang untuk membabi buta bertahan hidup.
Pertanyaan bagaimana membangun masyarakat indonesia yang berpancasila, yaitu masyarakat yang berketuhanan, menjunjung tinggi kemanusiaan, memiliki nasionalisme, mengutamakan musyawarah dan mufakat, serta berkeadilan sosial, menjadi mendesak untuk dijawab. Pendekatan politik, hukum dan beberapa mainstream agama selama ini, dalam tanda petik, menggunakan asumsi bahwa manusia perlu diatur karena buruk dan jahat. Kita lupa bahwa setiap manusia senantiasa menyimpan niat baik, paling tidak niat berbuat baik bagi orang-orang yang di cintainya. Inilah modal awal bahwa kehidupan ini masih bisa terus ditumbuhkembangkan. Pendekatan budaya menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan dalam rangka memelihara dan memberi makna baru dari niat baik setiap orang. Sebagaimana dikatakan Herskovits dan Malinowski bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam budaya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat (Edward Burnett Tylor), yang merupakan hasil karya cipta, rasa dan karya masyarakat (Selo Soemardjan).
Budaya yang baik akan menghasilkan proses (politik) dan hasil politik yang baik. Begitu juga budaya yang baik akan menghasilkan proses dan produk hukum yang baik. Menumbuhkan budaya malu berbuat curang akan menghasilkan budaya menghormati karya orang lain, sesederhana apapun karya yang dihasilkan orang lain. Budaya memberi arti lebih pada proses ketimbang hasil. Dampaknya, budaya dalam proses politik menjadi lebih penting dan bermakna ketimbang menjadi sekedar formalitas yang direkayasa. Budaya juga akan membuka pemikiran masyarakat untuk menjadi lebih cerdas dalam setiap tahapan proses politik. Masyarakat tidak hanya sekedar menjadi obyek para politisi, tetapi subyek dari setiap proses politik itu sendiri.
Pada tataran yang lebih umum, budaya kerja sama dan gotong royong yang positif mendorong tumbuhnya budaya tidak takut. Persaingan global yang tampak kejam dengan pakaian individualisme dan materialisme semestinya dapat dibendung dengan kebersamaan, bukan pembinasaan antar komponen masyarakat sehingga dunia tampak seperti rimba belantara dengan gedung-gedung sebagai ganti pepohonan. Budaya persaingan yang sehat, mengaku kalah jika memang kalah secara fair memberi ruang tumbuhnya budaya ksatria. Budaya yang menghormati proses, diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan terhadap hasil dari proses-proses tersebut.
Memang, pembangunan budaya lebih lamban. Untuk itulah percepatan dengan revolusi budaya diperlukan. Sejarah di belahan dunia seperti di Korea Selatan, Cina, dan Jepang sudah membuktikan bahwa reformasi politik membutuhkan revolusi budaya. Tanpa revolusi budaya, reformasi politik hanya menjadi pekerjaan yang sia-sia.

Repost dari Note FB

Kecantikan Perempuan: Membawa Berkah atau Musibah?

The Mona Lisa
Cantik: Berkah atau Musibah?
“Bu Kie, ingatlah wajah-wajah itu. Dan jangan pernah percaya pada perempuan berwajah cantik, karena di balik kecantikannya tersimpan kelicikan”
Begitulah kira-kira pesan ibunda Thio Bu Kie sebelum menghembuskan nafas terakhir dalam prolog film Heaven Sword and Dragon Sabre. Kalimatnya mungkin tidak tepat begitu, tapi pesannya jelas bahwa kecantikan perempuan bisa berbahaya.
Sejarah nusantara sedikit banyak juga menyajikan kecantikan sebagai biang masalah. Ambil contoh dalam cerita berdirinya kerajaan Singasari pada tahun 1222. Indahnya tungkai Ken Dedes, istri akuwu (setingkat camat) Tunggul Ametung, telah membuat Ken Arok blingsatan. Skenario yang indah dalam cerita keris Mpu Gandring memuluskan rencana sang anak “pidak pedarakan” memperistri istri Tunggul Ametung dan mengangkat dirinya menjadi raja Tumapel. Ken Umang, yang sudah berpacaran dengan Ken Arok tentu saja merasa cemburu. Buah cemburu tersebut melahirkan pembunuhan demi pembunuhan antar keturunan Ken Arok pada masa Kerajaan Singasari.
Perang Bubat (1351 M) antara Majapahit dengan kerajaan Galuh merupakan contoh lain bagaimana kecantikan perempuan menghancurkan kredibilitas Hayam Wuruk dan Gajah Mada sebagai pemimpin-pemimpin besar pada jamannya. Nafsu Hayam Wuruk untuk menikahi Dyah Pitaloka Citaresmi menjadi awal perilaku memalukan Gajah Mada yang haus kekuasaan dengan memporakporandakan persiapan pernikahan menjadi peperangan yang menewaskan seluruh rombongan kerajaan Galuh di desa Bubat.
Cuplikan cerita tersebut menunjukkan bagaimana kecantikan menunjukkan sisi berbahaya. Memang dalam hal ini Tuhan sangat adil. Kelemahan fisik perempuan diimbangi dengan keindahan yang memiliki “daya serang” yang luar biasa. Ketebalan tembok Gedung Putih yang susah ditembus peluru Al Qaida, mampu ditembus Monica Lewinsky. Dan di depan mata kita masih jelas terlihat retaknya kewibawaan KPK akibat manuver cantik Rani Yuliani.
Tentu saja saya tidak hendak mengatakan bahwa kecantikan adalah sebuah dosa atau kesalahan. Justeru disini saya ingin menegaskan adanya daya serang perempuan dengan kelemahan dan kecantikannya yang sungguh luar biasa. Pertanyaannya, mengapa tidak digunakan untuk menghancurkan korupsi di negara kita dan membangun negeri ini? Alangkah indahnya jika anugrah luar biasa yang diterima perempuan berkembang menjadi talenta yang membangun dan memperanakkan budaya unggul di setiap sisi kehidupan.
Peningkatan peran perempuan dalam pemberantasan korupsi cukup masuk akal dengan adanya bukti penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan lebih berhati-hati dalam bertindak dibandingkan kaum lelaki. Penelitian Jenkins, Diego dan Glaser (2006) yang dimuat dalam Jurnal Judgment and Decision Making Vol. I No. 1 Juli 2006, bercerita bagaimana perempuan dan laki-laki mengambil risiko dalam bidang gambling, kesehatan, rekreasi dan sosial. Yang menarik dari penelitian tersebut adalah bahwa baik perempuan dan laki-laki sama-sama bersedia menerima tingkat risiko yang sama berkaitan dengan kehidupan sosial. Namun perempuan lebih memiliki pertimbangan (judgment) yang optimis terhadap kemungkinan hasil-hasil positif sebuah tindakan. Di bidang kehidupan yang lain, perempuan tidak berani “bermain-main” dengan risiko dari sebuah tindakan, termasuk dalam bidang keuangan (Weber, Blais dan Betz; 2002). Dalam konteks korupsi, penelitian tersebut berguna sebagai landasan empiris untuk menempatkan perempuan sebagai pelaku aktif dalam upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi.
Perempuan yang baik (cantik akhlaknya) menghasilkan masyarakat yang baik, demikian juga sebaliknya perempuan yang hancur-hancuran menghasilkan masyarakat yang hancur juga. Demikianlah pepatah yang sering kita dengar. Dalam kontek pengikisan korupsi, peribahasa tersebut menjadi lebih bermakna dengan adanya kontribusi aktif perempuan di berbagai bidang kehidupan. Perempuan diharapkan tidak sekedar menjadi penonton, tetapi menjadi pelaku sejarah yang menciptakan sejarah. Jika tidak bekerja maka perempuan dapat berpartisipasi lewat keluarga dengan mengikis konsumerisme. Sedikit menahan diri agar suami tidak merasa harus memenuhi semua kebutuhan yang di luar kekuatannya. Orang Inggris memahat peran tersebut dalam kalimat indah “I married my husband for life, not for lunch”.
Bagi perempuan yang tidak sekedar menjadi ibu rumah tangga, peran aktif dapat dimulai dengan menempatkannya pada posisi-posisi penting dan strategis di perusahaan atau pemerintahan. Dalam kontek Indonesia, peran perempuan harus lebih ditingkatkan baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kuota DPR untuk perempuan bukan menjadi acuan karena dalam sistem tersebut tersirat perempuan hanya sebagai pelengkap penderita. Lebih utama jika perempuan karena kehendak bebasnya menempatkan diri serta meningkatkan kapasitas diri untuk bisa berkontribusi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah kepemimpinan perempuan, jika pun ada, jarang sekali menceritakan pemimpin yang gagal karena ketampanan laki-laki. Cleopatra yang konon gemar laki-laki pun lebih terkenal sebagai penakluk laki-laki ketimbang ditaklukkan laki-laki. Sejarah nusantara mencatat Shima, ratu Kalingga yang sukses memimpin kerajaannya dalam kejujuran. Seorang perempuan yang mampu memimpin kerajaan menjadi “gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem karta raharja”. Kecantikan fisik yang diimbangi dengan kecantikan hati yang menjelma pada kecantikan perilaku terbukti mampu membawa kemakmuran sebuah bangsa. Meski demikian, apakah kecantikan itu membawa berkah atau musibah, kembali pada diri masing-masing. Setidaknya dulu para leluhur bisa, mengapa sekarang tidak?

(Repost)