Gerundelan Ragil Koentjorodjati

Jika kita merujuk pada berita di media massa, maka harga tangan senilai Rp 250 juta. Nyawa Darsem senilai Rp 4,5 milyar (kompas). TKI yang terancam hukuman mati 303 orang. Kalau dikalikan 4,7 milyar, menjadi sejumlah Rp 1.424,1 milyar. Satu trilyun lebih.
Merujuk pada keterangan Migrant Care, para buruh migrant memberikan penghasilan pada Kemenakertrans senilai rata-rata Rp 750 milyar setahun. Dari jumlah tersebut, Rp 500 milyar dari dana perlindungan yang dipungut dari TKI, yaitu sebesar USD 15 per TKI. Selain itu, calon TKI juga harus membeli asuransi seharga Rp 400.000 per orang. Setiap tahun, rata-rata 600.000 TKI diberangkatkan. Jika menghubungkan dengan data dari International Organization for Migration (IOM), pada tahun 2007, terdapat 2.700.000 TKI ke berbagai belahan dunia, maka saat ini terdapat kurang lebih 5.100.000 TKI. Pada tahun 2007, jumlah TKI kita masih menduduki urutan kedua setelah Filipina yang sejumlah kurang lebih 8.233.000 TKI.
Bayangkan perputaran uang yang ada di sana. Luar biasa besar. Pada tahun 2006, Bank Dunia memperkirakan bahwa adanya migrasi mampu mendorong perputaran uang senilai USD 150 milyar per tahun. Dan pada tahun 2009, pengiriman uang ke Negara-negara pengirim TKI mencapai USD 416,5 milyar. TKI kita berkontribusi sebesar 1,63% atau senilai USD 6, 788 milyar. Atau kalau dengan rupiah menjadi sebesar Rp 67.889,5 milyar.
Menakjubkan angka-angka dari bisnis buruh migrant ini. Menjadi sangat masuk akal jika berbagai pihak ingin terlibat mencicipi manisnya buruh migrant. Daro uraian tersebut menjadi sangat mudah menentukan berapa harga satu buruh migrant. Dengan menggunakan rata-rata, maka satu buruh migrant menghasilkan kurang lebih Rp 133 juta setahun. Jadi kalau harga tangan Rp 250 juta, maka itu sudah terlalu mahal. Apalagi Rp 4,7 milyar per orang.
Namun perlu saya tegaskan bahwa logika seperti itu amat sangat ngawur. Jika anda mencermati angka-angka tersebut, maka banyak pertanyaan yang semestinya dipikirkan berbagai pihak. Fakta menunjukkan, jumlah TKI menduduki peringkat kedua tertinggi di Asia, namun memberikan hasil sangat sedikit (hanya 1, 63%). Angka tersebut mengindikasikan bahwa kualitas TKI kita buruk. Kualitas yang buruk tentu disebabkan penanganan yang buruk dari berbagai pihak yang berkepentingan atas perputaran uang dari bisnis TKI. Kenyataan ini didukung dengan berbagai data yang menunjukkan adanya kasus 49 ribu lebih TKI menghadapi persoalan di luar negeri (Kompas). Persoalan yang disebabkan oleh TKI sendiri, disebabkan oleh system dan disebabkan oleh orang-orang yang tidak punya hati.
Angka-angka dan persoalan tersebut menunjukkan bahwa buruh migran melulu hanya dipandang sebagai sebuah komoditas. Bahkan jika pun itu dipandang komoditas, penanganannya pun sangat buruk. Yang ada di benak mayoritas pihak hanya bagaimana mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari para buruh migran. Sangat jauh harapan buruh migran diperlakukan sebagai manusia Indonesia yang tidak boleh dihargai dengan uang. Berapa pun mahalnya. Lalu apa yang seharusnya dilakukan?
Mereka adalah manusia. Meski di Arab ada kemungkinan dianggap budak, mereka adalah tetap manusia Indonesia. Perlakukan mereka sebagaimana layaknya manusia. Penanganan segala persoalan terkait paut dengan TKI yang butuh makan dan butuh hidup, harus ditegaskan dalam hukum yang memanusiakan manusia. Hukum dibangun sebagai landasan membentuk system yang melindungi mereka. Bila perlu sanksi berat dan tegas bagi pihak-pihak yang lalai dan melanggar aturan. Kita tahu banyak calo dan agen liar yang begitu mudah berkeliaran. Kita tahu institusi legal seperti perusahaan asuransi dan perbankan yang hanya mengambil keuntungan. Kenakan hukum tegas pada mereka, termasuk aparat pemerintah yang tidak becus menangani TKI. Adakan persyaratan yang memadai bagi infrastruktur buruh migran agar buruh migran tidak sekedar menjadi budak dengan sebutan pembantu. Bekali mereka dengan keahlian yang cukup.
Lebih penting dari semua itu adalah memanusiakan mereka di negeri sendiri. Sehingga mereka merasa memiliki rumah dan betah tinggal di rumah bernama Indonesia. Ciptakan pemerataan lapangan kerja buat mereka.