Cerpen Thomas Utomo

Aku bangun tidur dengan masih mengantuk dan badan pegal-pegal. Semalaman tidurku gelisah. Berkali-kali aku terbangun. Dan melihat jarum jam yang bergeser terus-menerus, aku berdebar ketakutan. Hatiku serasa menciut.
Kendati azan subuh sudah selesai berkumandang, aku tidak segera beranjak dari dipan. Aku sengaja mengulur waktu. Aku ingin menikmati betul-betul detik demi detik terakhirku. Sampai Ibu melihatku dan menegur,
“Lho, To, kok malah bengong? Lihat sudah jam berapa sekarang. Ayo, cepat mandi!”
Dengan malas aku beranjak mengambil handuk. Lalu beringsut menuju kamar mandi.
Setelah sarapan, aku lantas memasukkan barang-barang keperluanku ke dalam tas. Kakakku perempuan sudah menunggu di ambang pintu.
“Cepat, ah! Nanti terlambat!” ujarnya tak sabar.
Udara masih dilumuri kabut saat kami berangkat. Lagi-lagi aku sengaja mengulur waktu dengan cara memacu sepeda motor lambat-lambat.
Akhirnya kami tiba di Korem. Turun dari sepeda motor, aku menjabat tangan kakakku erat, seakan-akan ini adalah pertemuan kami yang penghabisan. Dia tersenyum dan menyuruhku bergegas.
“Sukses, ya!” katanya memompakan semangat.
Sebentar kemudian, dia dan sepeda motornya sudah menghilang di kelokan jalan.
Aku menjilat bibirku yang mendadak terasa kering. Tiba-tiba aku merasa mulas. Meski begitu, aku berhasil memaksa kakiku buat melangkah.
Sekelilingku masih sepi. Hanya kulihat seorang perempuan berperut buncit sedang berjalan lambat-lambat dengan kaki telanjang. Tangan kanannya memegangi bagian bawah perutnya yang menggelembung. Aku menuju mesjid di sebelah barat pintu gerbang. Hampir jam setengah enam. Namun di dalam mesjid kulihat ada dua shaf orang-orang sedang berjemaah sembahyang subuh. Tiba-tiba aku baru sadar. Dilihat dari belakang, keseluruhan bentuk jasmaniah orang-orang itu boleh dikatakan serupa: tubuh-tubuh tegap, punggung kekar berbentuk huruf V. Kebanyakan dari mereka berambut cepak. Untuk kesekian kalinya aku kembali gugup.
Tanpa kusadari, sinar matahari mulai mencabik sapuan benang kabut. Sekelilingku mulai ramai oleh pemuda-pemuda sebayaku. Seperti aku, mereka bergerombolan duduk di teras mesjid. Mereka mengobrol dan berkelakar dengan logat bahasa yang berlainan. Begitu akrab dan santai. Padahal dari pendengaran yang kutangkap, pemuda-pemuda itu kebanyakan kali baru saling mengenal. Alangkah iriku.
Aku memiliki sifat pemalu yang kata ibuku cenderung keterlaluan. Aku menyadarinya dan sangat tersiksa karenanya. Orang-tua dan kakak-kakakku tidak membantuku keluar dari sifat yang semakin lama menekan dan memasungku dalam kesendirian yang menyedihkan. Aku dan dua kakakku perempuan dibesarkan di bawah tangan besi Ayah. Kami diajar untuk menghormati orang-tua dengan penghormatan yang lebih mendekati rasa takut daripada kasih mesra. Ayahku seorang tentara berpangkat sersan mayor. Oleh lapangan pekerjaannya sebagai tentara, dia mendidik kami dengan kedisiplinan a la militer. Dalam pandangannya, segala sesuatunya harus berjalan teratur, rapi, dan tepat waktu. Penyelewengan dari ketentuan yang telah digariskan Ayah, akan membuahkan hukuman sesuai tingkat kesalahan yang kami perbuat. Sewaktu kecil, di antara tiga bersaudara, akulah yang paling sering digitik dengan sogok bedil atau dijedotkan ke tembok, hanya karena “kesalahan kecil” seperti terlambat pulang sekolah, tidak mau tidur siang, atau lupa mengangkat jemuran. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali geblég kasur mendarat di tubuhku, karena hal “sepele” yang serupa. Aku pernah mendengar sendiri Ayah berkata pada rekannya, kalau dia baru merasa puas memukuli kami—aku dan kakak-kakakku—setelah kami menangis melolong-lolong. Kalau memukuli anak tidak sampai menangis, rasanya kurang marem, katanya. Ibuku tidak banyak mengusik hukuman Ayah. Kebanyakan kali, Ibu hanya menjadi bayangan Ayah. Selesai mengerjakan kewajiban-kewajiban rumah-tangga, dia lebih suka melarikan kekosongan waktunya ke mesin jahit. Membikin pakaian atau menyambung-nyambung kain perca menjadi keset, serbet, atau taplak.
Sedari kecil aku mulai merasa diriku berbeda dengan kebanyakan anak laki-laki di lingkunganku. Aku tidak suka bergerombolan pergi mandi-mandi di kali atau bermain sepak-bola dan kelereng. Permainan anak laki-laki seringkali membosankan dan membikinku berkeringat. Makanya aku tidak suka. Aku lebih suka menggabung kakak-kakakku yang bermain pasaran atau békel dengan teman-temannya. Tapi seringkali aku diusir, karena dianggap mengganggu dan merusak mainan mereka.
Melihat permainan dan pergaulanku yang berbeda dengan kebanyakan anak laki-laki lain, aku kerap dihina dengan sebutan: banci! Darahku selalu mendidih mendengar hinaan itu, karena aku percaya tubuh dan jiwaku laki-laki tulen. Tapi aku hanya bisa memendam amarah, karena aku tidak bisa berkelahi. Anak-anak tentara yang lain, kerap membawa-bawa pekerjaan ayahnya agar ditakuti dan tidak ada yang berani mengejek, hingga mereka bisa berlaku sewenang-wenang. Tapi aku tidak pernah meniru kelakuan itu. Aku tidak suka berlindung di bawah ketiak orang lain, meski orang itu ayahku sendiri.
Sebagai laki-laki yang tidak pandai bicara dan menempatkan diri, aku selalu merasa gelisah dan canggung jika berada dalam keramaian. Aku ketakutan oleh sebab yang tak pasti. Aku takut bajuku jelek. Aku takut sikapku wagu. Aku takut diejek seperti perempuan. Makanya di sekolah aku lebih memilih tenggelam dalam tumpukan buku-buku perpustakaan daripada pergi ke warung jajan. Aku tidak punya teman dekat. Bagiku, berteman dengan buku-buku lebih mengasyikkan. Selain tidak usah bercakap-cakap, aku juga tidak perlu khawatir sikapku akan wagu.
Sampai SMA, aku masih meneruskan kebiasaanku mengunjungi perpustakaan. Selain alasan yang telah kusebutkan, ada kejadian lain yang membuatku semakin tidak betah berlama-lama di dalam kelas. Diprakarsai gerombolan siswa laki-laki, teman-teman sekelas berkomplot menjadikanku maskot kelas. Perkataan “maskot” di sini, bukanlah sebuah gelar yang membanggakan. Ini lebih dimaksudkan sebagai penghinaan. Aku menjadi bahan olok-olokan seantero kelas. Misalnya jika guru akan menunjuk siswa untuk mengerjakan soal di papan tulis, tanpa dikomandoi, teman-teman kompak bersuara meminta guru menunjukku. Tidak cukup sampai di situ. Jika aku mau maju, teman-teman menyiuliku. Ada juga yang berkata sumbang, semisal: “I-hi…, pacarnya Lisa maju.” Yang akan disambung geer dan sorak-sorai teman-teman yang lain.
Bagiku, segala sesuatunya adalah perkara besar. Olok-olokan teman-teman sekelas membuatku tertekan. Tidak ada teman yang bisa kuajak bicara, selain tumpukan buku yang tetap tenang dalam kediamannya. Aku tidak menceritakan masalahku pada orang-orang di rumah. Selain malas, aku pikir juga tidak banyak gunanya. Paling-paling ibuku akan berkhotbah, “Kamu yang sabar, To. Banyak-banyaklah berdoa.” Sedangkan ayahku: “Salahmu sendiri nggak ngelawan. Jadi laki-laki kok melempem.”
Bingung hendak berbuat apa, akhirnya aku melampiaskan keruwetan pikiranku pada makanan. Di rumah, aku menjadi makhluk pemamah biak kelas wahid.
Pekerjaanku berpusar pada makan, tidur, sekolah, membaca. Tidak heran dalam tempo singkat tubuhku jadi melar. Dengan tinggi seratus enam-puluh delapan centimeter, bobot tujuh-puluh lima kilo membuatku tidak leluasa bergerak.
Suatu hari aku menemukan majalah bergambar sampul laki-laki bertubuh langsing namun atletis, ialah majalah Men’s Health. Melihat tubuh penuh ukiran otot itu, entah mengapa aku seperti tersihir. Mungkin lebih tepatnya kagum. Dalam diriku timbul sebuah pikiran: barangkali aku bisa seperti laki-laki itu! Aku ingin tubuhku jadi bugar dan ringan.
Berbekal bacaan dari majalah Men’s Health, aku yang sebelumnya tidak menyukai kegiatan yang menggunakan banyak gerak jasmani dan mengeluarkan keringat, tiba-tiba menemukan diriku begitu terobsesi pada olah-raga kardiovaskular, macam lompat tali, berenang, dan jogging. Memang mula-mula badanku sering pegal-pegal. Tapi lama-lama, asyik juga. Tujuan utamaku ialah ingin menurunkan berat badan. Hanya itu. Aku juga mengurangi porsi makan dan menelan pil pelangsing. Aku sungguh merasakan betapa tidak nyamannya bergerak ke sana ke mari dengan membawa tubuh tambun. Ditambah lagi aku tidak ingin membahagiakan orang-orang yang menemukan julukan baru bagi diriku, yaitu Paman Gembul.
Melihat diriku rupanya Ayah salah paham. Laki-laki pemuja kejantanan itu mengira anak laki-lakinya yang lembek telah berubah. Dia mengira aku berolah-raga karena ingin menjadi tentara!
Saat itu menjelang masa-masa akhir SMA. Aku belum punya bayangan hendak meneruskan ke mana. Tetapi Ayah dengan sifatnya yang pemaksa, menyuruhku mengikuti jejaknya: menjadi tentara. Boleh dikatakan aku terlahir dari keluarga tentara. Kakekku dari pihak Ibu; tentara. Pakdhé, Oom, dan saudara sepupu juga tidak sedikit yang menjadi tentara. Cuma ada dua sepupuku yang jadi polisi. Kata Ayah, di pundakku tersandang kewajiban buat meneruskan darah tentara keluarga kami.
Sewaktu Ayah berkata seperti itu, aku tidak membantah. Ayah selalu menjelma Burisrawa setiap kali bicara dan tertawa. Suaranya keras menggelegar, terbahak-bahak. Kali itu, Ayah kembali mengulangi ajarannya, bahwa rida Tuhan mengikuti rida orang-tua. Karena itu—kata Ayah—aku harus manut orang-tua, jika tidak mau laknat Tuhan menimpaku berpuing-puing.
Aku tahu watak orang-tuaku. Karenanya aku tidak berani mengatakan secara langsung penolakanku pada kemauan Ayah. Dengan hati-hati kukatakan bahwa kakiku impur dan bahuku miring sebelah. Dengan kekurangan-kekurangan itu, bisakah aku menjadi tentara? (Maksudku sebenarnya mengatakan hal itu tentu saja untuk memadamkan kemauan Ayah). Tapi ternyata Ayah tenang-tenang saja. Dia malah terkekeh dan berkata: itu semua bisa diatur. Kamu tenang saja. Aku mengerti maksud Ayah dan hal itu membikin hatiku kecut.
Aku tidak menyangsikan kesanggupan Ayah menjadikanku tentara melalui perantaraan rekannya. Aku juga tidak khawatir kantong Ayah bakal kering jika membiayaiku masuk pendidikan tentara—karena di kantor, Ayah menduduki kursi yang basah. Yang kusangsikan ialah kesanggupan diriku sendiri. Barangkali mudah saja aku masuk pendidikan tentara dengan uang pelicin. Tapi ‘ kan masalah tidak berhenti hanya sampai di situ. Bagaimana selama proses pendidikan? Bagaimana selama masa dinas? Sebagai manusia yang mawas diri, aku merasa memiliki lebih banyak kekurangan daripada kelebihan yang patut dibanggakan. Menjadi tentara selalu lebih mementingkan kekuatan otot, daripada ketajaman pikiran. Aku tidak dikaruniai ketajaman otak seperti kakakku sulung. Tapi aku juga tidak pernah menduduki peringkat istimewa dalam mata-pelajaran olah-raga. Nilai-nilai olah-ragaku tidak pernah beranjak dari angka enam atau enam setengah.
Aku ingin menolak kemauan Ayah. Namun hatiku yang kecil mengisyaratkan adanya kesialan yang bakal menimpaku jika aku mengecewakan Ayah. Berkali-kali kubuktikan sendiri, bahwa kata-kata orang-tua adalah malati, yang akan menimbulkan kuwalat jika tidak dipatuhi.
Mendekati masa-masa akhir SMA, hatiku semakin berdebar ketakutan. Ketakutan antara menghadapi ujian akhir nasional dan semakin dekatnya waktu pendaftaran tentara.
Sebulan setelah pengumuman kelulusan, pendaftaran Secatam dibuka. Menuruti perintah Ayah, aku pergi ke Ajenrem guna mencari informasi persyaratan pendaftaran. Semuanya kucatat kemudian kuurus berkas-berkas yang dibutuhkan.
Ujian seleksi tiba, kutempuh dengan hati diselimuti kecemasan.
Hari pertama ialah ujian kesehatan. Kami sebanyak seratus pemuda dikumpulkan di DKT. Kami dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil, masing-masing sejumlah sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok secara bergantian memasuki bilik-bilik pemeriksaan.
Dimulai hari pertama, aku sudah dihinggapi rasa rendah diri yang menyiksa. Betapa tidak. Selama proses ujian kesehatan berlangsung, kami diwajibkan hanya memakai celana pendek di atas lutut. Selama itu pulalah mataku disuguhi lautan penuh otot: dada-dada bidang, perut-perut kencang bergurat enam kotak, punggung-punggung tegap berbentuk huruf V, dan sebagainya lagi yang serba memancarkan kejantanan. Bodohnya, aku terus saja memperhatikan tubuh-tubuh sterk itu sambil membanding-bandingkannya dengan tubuhku sendiri. Alangkah jauh perbedaannya. Betul berkat latihan lompat tali, berenang, dan jogging, berat tubuhku susut menjadi enam-puluh kilo. Tetapi bentuk tubuhku lencir. Tidak bergurat-gurat otot seperti pemuda-pemuda itu.
Dari keseluruhan bilik pemeriksaan yang harus kami masuki, ada satu bilik yang membuat tubuhku panas-dingin. Dalam bilik itu, kami bersepuluh wajib telanjang bulat menghadap tiga dewan penguji. Sementara di sebelah kiri kami adalah jendela kayu yang terbuka lebar dengan taman dan koridor di seberangnya. Sesekali kulihat laki-laki berseragam hijau atau perempuan berpakaian putih-putih melintas. Dua penguji kami berseragam PDH. Mereka duduk di belakang meja sambil mencatat. Yang seorang berseragam putih-hitam. Laki-laki inilah yang memeriksa aurat kami satu per satu, depan-belakang. Sampai pemuda kesembilan, semuanya nampak tidak ada masalah. Giliran pemuda terakhir, yakni pemuda di sebelah kiriku, penguji itu kedengaran mengeluh. Aku sempat menoleh. Ternyata pemuda di sampingku hernia. Auratnya melorot, sehingga menjadi bentuk yang memuakkan.
Kukira, itulah bilik pemeriksaan terakhir. Aku keluar bilik dengan pikiran ruwet. Antara malu, kasihan pada pemuda itu, dan kecamuk pikiran yang lain. Yang jelas aku mendongkol pada ayahku. Dia tidak pernah memberitahuku bahwa dalam ujian seleksi masuk pendidikan tentara, ada satu tahap yang mengharuskan peserta untuk telanjang bulat. Ayah juga tidak menceritakan detil tahapan yang harus kutempuh selama mengikuti ujian seleksi. Dan hal ini membuat ketidak-sukaanku pada Ayah semakin berkarat!
Setelah mengaso selama empat jam, petugas memanggil nomor-nomor dada kami. Tidak semua nomor dipanggil. Kali itu, kami hanya harus masuk sebuah bilik, bergantian satu per satu hanya memakai celana dalam. Tibalah giliranku. Seorang penguji memeriksa tubuhku, kemudian menyebutkan kekurangan-kekurangan yang dia temukan (yang sebelumnya tidak pernah aku ketahui): leher terlalu condong ke depan, bahu miring, punggung tidak simetris, kaki membengkok, dan telapak kaki rata seperti bebek. Dua penguji lain yang duduk di belakang meja hanya manggut-manggut, lalu mencatat. Tetapi tiba-tiba penguji yang tadi memeriksa tubuhku bersuara: dia anaknya Hadi Pranoto—sambil matanya menunjuk kepadaku. Dua penguji lain kembali mengangkat muka, sebentar meneliti keseluruhan diriku, lalu mengangguk, dan kembali mencatat.
Jam tujuh malam, hasil ujian seleksi tahap pertama diumumkan. Kami maju satu per satu menerima sepucuk surat sesuai nomor dada kami. Dan ketika kuketahui bahwa aku lulus ujian, aku merasa itu adalah sesuatu yang “wajar”. Kukatakan wajar, soalnya dengan begitu banyak kekurangan yang kumiliki, aku tetap bisa lulus, karena ada sebuah pesan sponsor: dia anaknya Hadi Pranoto. Dan pengetahuan ini, membuat aku semakin takut.
Usai pembagian surat , seorang petugas menjelaskan secara ringkas mengenai ujian esok hari, yaitu ujian jasmani: apa-apa yang harus kami bawa dan siapkan, juga di mana dan jam berapa kami harus berkumpul.
Keluar dari ruangan, aku menjumpai kakakku sudah menunggu. Kukabarkan tentang kelulusanku. Dia tersenyum, lalu kami pulang.
Ujian pertama adalah berlari mengelilingi lapangan sepak-bola dalam waktu dua-belas menit. Tanpa kesukaran berarti, sampai bunyi peluit tanda berakhirnya waktu berlari, aku bisa menyelesaikan enam setengah kali putaran. Aku cukup bangga dengan pencapaianku itu. Ternyata, meski kakiku membengkok ke dalam, aku tetap mempunyai kesanggupan buat berlari kencang. Di antara anggota kelompokku, aku menduduki peringkat kedelapan.
Tetapi sebegitu akan ujian kedua, rasa cemas kembali menjalariku. Kami beriringan menuju palang-palang restok. Kami diberi waktu tiga menit buat melakukan pull-up atau back-up. Tiba giliranku, aku gemetaran. Tapi aku nekat. Dan nyatalah. Tanganku yang kurus tidak kuat mengangkat tubuhku sampai dagu melewati palang restok. Pemuda-pemuda lain menertawakanku. Dengan sedih, aku pura-pura tidak melihat dan mendengar. Penguji kami ada dua orang. Seorang daripadanya memperhatikanku dengan pandangan menghina sambil bibirnya berkecumik menggumamkan sesuatu, lalu berujar, “Nomor 385, nilai restok nol. Gagal!”
Ujian berikutnya segera menyusul: push-up dan sit-up.
Usai melakukannya, aku bersender pada anyaman kawat pembatas lapangan tenis sambil melipat kaki. Pemuda-pemuda di sekitarku ramai mengobrol. Sesekali aku turut mencampuri. Itu pun kalau aku ditanya lebih dulu. Tiba-tiba seorang tentara melambaikan tangan ke arahku. Aku menoleh kanan-kiri guna memastikan.
“Ya, kamu nomor 385!” serunya.
Aku bangkit dan langsung mendekat.
“Nomor 385,” ulang laki-laki itu, lalu beralih pada catatan di tangannya. “Namamu Teguh Triyanto?”
“Iya, Pak,” sahutku perlahan, tanpa menyembunyikan rasa penasaran.
“Yang tegas!”
“Siap, Pak! Betul saya!”
Tentara itu terkekeh. “Bagus. Begitu, dong. Itu baru namanya calon tentara,” lalu menyambung, “Kamu anaknya Hadi Pranoto?”
“Siap, betul!”
“Hmm.. begitu.” Dia manggut-manggut. “Ya sudah. Sana kamu kembali ke tempatmu!” Tangannya melambai, menyuruhku pergi.
Aku kembali duduk tanpa sempat tahu, kenapa tentara itu bertanya demikian? Hatiku menduga-duga, mungkin tentara itu adalah teman Ayah.
Ujian terakhir di Korem hari itu adalah pemeriksaan postur tubuh. Kami masuk sebuah aula dengan hanya menggunakan celana dalam. Seperti sudah menjadi kebiasaan, aku kembali dihinggapi rasa malu.
Kira-kira ada empat-puluhan pemuda yang masuk aula. Dua dari empat dinding aula merupakan lapisan kaca yang memantulkan keseluruhan bentuk tubuh kami. Aku mengelakkan mata, karena malu melihat pantulan tubuhku sendiri. Dua penguji memeriksa tubuh kami satu per satu. Bagian tubuh yang dirasa kurang sempurna, langsung diberi tanda silang menggunakan spidol merah. Giliranku, aku merasakan coretan di tengkuk, bahu kanan-kiri, pinggang, paha, betis, dan telapak kaki (sebelum mencoret telapak kaki, penguji menyuruhku mengangkat dan menunjukkan telapak kakiku). Lalu penguji berjalan ke muka tubuhku, mencoret dadaku kanan-kiri.
Penguji yang mencoreti tubuh, bersuara, “Lihat nomor 385. Bodinya mirip sekop.” Suara itu pelan, namun mengandung nada ketawa. Kurasa pemuda-pemuda lain mendengarnya, karena suasana aula yang senyap.
“Betul,” sahut rekannya yang bertugas mencatat. “Pahanya kayak talas Bogor !” suaranya keras, bernada kegirangan seperti menemukan mainan yang telah lama hilang.
Baru pertama kali aku mendengar ejekan seperti itu. Aku tersinggung. Ejekan itu serupa tusukan berbisa yang melumpuhkan kepercayaan diriku yang tersisa.
Dan seperti memiliki daya magnet, tiba-tiba berpasang-pasang mata menancapkan arah pandangnya kepadaku, seolah hendak mencari kebenaran kata-kata itu.
“Hei, siapa yang menyuruh kalian menengok?!” hardik penguji, mengoyak kesenyapan aula. Para peserta kembali menghadap depan dengan posisi tegap. Penguji pun melanjutkan tugasnya.
Tidak terkirakan rasa nelangsa yang merasukiku. Dan begitu saja. Tiba-tiba aku membenci diriku sendiri. Aku benci sekaligus malu memiliki bentuk tubuh seperti ini, Aku ingin menghilang. Ingin lenyap dan dilupakan. Andai saja aku memiliki keberanian untuk mengutarakan penolakanku pada kemauan Ayah, tentu aku tidak akan terperangkap dalam situasi yang tidak mengenakan ini.
Pemeriksaan postur tubuh selesai.
Seperti robot, aku keluar aula dengan hati hampa. Kami kembali berpakaian, dan lalu beristirahat di serambi samping aula.
“Euh, mestilah aku akan gagal,” keluh pemuda di samping kananku.
Aku menengok untuk melihat muka pemuda itu. Ternyata, dia teman satu kelompokku.
“Aku juga. Begitu banyak coretan di tubuhku,” sahutku tanpa bermaksud menghibur.
“Ayahmu tentara ya, Mas?” tanya pemuda itu mengalihkan pembicaraan.
Mengapa dia bertanya begitu? Apa tadi dia melihat dan mendengar percakapanku dengan seorang tentara di lapangan tenis, sehingga lalu dia bertanya demikian?
“Iya,” sahutku, segan. Aku selalu malas mengakui atau mengatakan pekerjaan ayahku. Soalnya, orang-orang kerap memerhatikan keseluruhan diriku, sebegitu tahu kalau ayahku seorang tentara. Mungkin hendak melihat dan mengukur: pantas atau tidak orang macam diriku menjadi anak tentara.
“Hmm.. Pastilah kamu mendapat pertolongan,” gumamnya tanpa melihat ke arahku.
Aku menerka kata-katanya itu sebagai sebuah sindiran. Dan sebagai tanggapan, aku tersenyum sumir.
“Ini pertama kalinya kamu mendaftar?” tanyaku.
“Bukan. Ini ketiga kalinya.”
“Kemarin-kemarin, kamu gagal di apa?”
“Postur tubuh.”
“Kedua-duanya?”
“Ya.”
Aku terdiam, ingin tahu lebih lanjut; apa kali ini pemuda itu “dibawa” oleh seseorang. Tapi aku malas menanyakannya. Aku kembali sibuk dengan pikiranku sendiri.
Berenang menjadi tahap terakhir dari ujian jasmani. Dengan menggunakan tiga buah truk, kami diangkut menuju kolam renang milik SPN di lereng Gunung Slamet.
Ujian renang dimulai. Kami kembali diharuskan hanya memakai celana dalam. Kuceburkan diriku bersama empat pemuda lain. Mungkin karena capek atau lapar atau karena dasarnya aku lemah, aku tidak kuat mengayuhkan tangan sekencang-kencangnya. Padahal di ujian ini, teknik menjadi tidak penting. Yang utama hanyalah rentang waktu yang ditempuh. Dan ketika tanganku menyentuh dinding finis, aku baru tahu kalau dari kami berlima, akulah yang paling bontot mencapai finis.
Sempat kudengar seorang penguji berseru, “Huu.. dasar lamban!”
Sewaktu duduk kembali di dalam truk yang selanjutnya mengangkut kami menuju Ajenrem, aku semakin berdiam diri. Pemuda-pemuda di sekelilingku asyik mengobrol, namun anehnya aku seperti tidak mendengar apa pun. Kulayangkan mataku menembus kaca pelapis kepala truk.
Sekitar jam dua siang, kami sampai di Ajenrem. Para peserta ujian turun dari truk seperti air bah, lalu mereka terpecah menjadi gerombolan-gerombolan yang duduk-duduk di emperan bangunan Ajenrem, atau di warung-warung makan dan pinggir jalan. Aku sengaja menyisih, berjalan ke arah timur, menuju alun-alun Purwokerto. Seorang pemuda yang tidak perlu kuketahui namanya, membuntutiku. Dia mengaku berasal dari Tegal. Setelah tahu aku orang asli Purwokerto, pemuda itu memintaku menemaninya mencari bakul mie bakso. Aku hanya kenal beberapa warung mie bakso di sekitar daerah ini, yaitu di daerah alun-alun kota sebelah timur Ajenrem. Setelah menemukan warung mie bakso, kutinggalkan pemuda itu menuju toko buku loakan di sebelah barat penjara. Aku membeli buku sejarah Kerajaan Aceh karya Denys Lombard. Lalu keluar, karena azan sembahyang asar telah memanggil.
Sebelum dan selama aku mengikuti ujian seleksi, ibuku telah berprihatin. Dia rajin berpuasa dan sembahyang tahajjud guna mengirimiku kekuatan. Sama seperti Ayah, Ibu juga berhasrat besar aku menjadi tentara. Kesungguhan Ibu membuatku terharu. Namun dalam sujud sembahyang asar kali itu, aku justru memanjatkan doa supaya aku gagal masuk pendidikan tentara. Aku telah semakin mantap bahwa aku memang tidak pantas menceburkan diri dalam lapangan pekerjaan itu.
Sewaktu aku bocah, kakekku pernah bercerita, dalam lapangan pekerjaan tentara, soal ejek-mengejek, hina-menghina bukan lagi menjadi masalah. Itu adalah hal yang “lumrah”, bahkan terkesan seperti menjadi “keharusan”. Katanya, ejekan-ejekan itu diperlukan guna mengasah kekuatan mental tentara, di samping kekuatan tubuh yang terlatih berkat latihan-latihan fisik. Kakek bilang, kekuatan mental adalah pokok kekuatan tentara yang akan mempengaruhi kekuatan tubuh untuk menjaga pertahanan negara.
Kata-kata kakekku itu hanya kudengarkan sambil lalu, tanpa perhatian penuh—karena tidak kurasakan pentingnya. Dan perjalanan waktu pelan-pelan mengikis ingatanku akan kata-kata itu. Tapi, kejadian di Korem dan kolam renang, membuat ingatanku kembali terseret pada kata-kata Kakek.
Aku memiliki telinga yang tipis. Dan jika aku menjadi tentara, tidak terbayangkan betapa selama proses pendidikan dan masa selanjutnya, aku “harus melayani” ejekan demi ejekan yang masuk ke telingaku—karena aku tidak pernah bisa memasabodohkan semua perkataan dan sikap yang merendahkan harga diriku; semuanya kudengarkan dan kupikirkan. Oleh kesadaran dan pengetahuan itu, aku merasa tidak siap dan tidak mampu.
Tapi aku takut. Aku seperti dikejar-kejar perasaan bersalah pada Ayah dan Ibu. Aku minta ampun dan juga mohon pada Tuhan agar menghindarkanku dari kemurkaan Ayah. Kalau aku benar-benar gagal di ujian ini, Ayah pasti akan kecewa dan marah padaku. Tetapi aku berharap, Ayah juga mengerti bahwa aku telah berusaha. Semoga.
Setelah sembahyang, aku merasa lebih tenang. Saat langit sebelah barat semakin merah, hasil ujian seleksi jasmani diumumkan. Tiap-tiap kelompok dibariskan secara berbanjar. Nomor-nomor kami dipanggil secara berurutan.
Petugas yang membagikan surat adalah tentara yang tadi menanyaiku di lapangan tenis di Korem. Begitu aku di hadapannya, entah kenapa wajah tentara itu nampak keruh. Dia seperti sedang memendam sesuatu. Atau mungkin dia kecapekan. Dia menyerahkan surat hasil ujian tanpa memandang ke wajahku.
Aku memojok untuk mengetahui hasil ujian. Dan, puji Tuhan. Sesuai yang kuharapkan, surat itu mengabarkan bahwa aku tidak lulus ujian seleksi jasmani! Dikatakan, aku tidak memenuhi syarat dalam bidang postur tubuh dan uji samapta restok. Keseluruhal nilai uji jasmani ditambah uji kesehatanku juga masih kurang dari batas ketentuan minimal. Aku disarankan mencari peluang lain di luar anggota TNI.
Aku tidak tahu kepada siapa Ayah “menitipkanku” (sebelum aku mengikuti ujian, Ayah telah memberi sejumlah uang muka kepada rekannya, agar semua prosesku dimudahkan). Dan memang aku tidak perlu mengetahuinya. Yang pasti, aku sungguh berterima-kasih kepadanya, karena sudah tidak meluluskanku. Aku menerima hasil ujian itu dengan lapang dada—karena seharusnyalah demikian. Aku segera menyisih. Sengaja berjalan melipir. Kutolehkan wajahku menghindari muka-muka para peserta. Beberapa pemuda mencegat, bertanya mengenai hasil ujian jasmaniku. Demi kesopanan, aku terpaksa berhenti dan melayani pertanyaan mereka. Secara singkat kujawab aku tidak lulus, lalu aku segera pamit. Aku tidak mau lagi bercakap-cakap dengan mereka. Dan memang tidak perlu. Dengan kertas hasil ujian di tangan, pikiranku kini dipenuhi satu hal: pulang. (*)
Ajenrem: Ajudan daerah resort militer
Bakul: Pedagang
DKT: Detasemen kesehatan tentara
Geblég: Alat pemukul kasur dari penjalin yang dibentuk seperti raket
Korem: Komando resort militer
Marem: Puas hati
Nelangsa: Sedih
PDH: Pakaian dinas harian
Secatam: Sekolah calon tamtama
SPN: Sekolah polisi negara
TNI: Tentara nasional Indonesia
Wagu: Kaku; tidak pantas
Saya suka sekali cerpen ini. Mungkin berasal dari pengalaman pribadi atau hanya imajinasi saja, yang pasti mampu membuat saya memahami satu sisi dunia tentara. Semoga pemuda yang bersangkutan menemukan jalan keluar atas segala masalah hidupnya.
SukaSuka
Halo, Mas Rizqi Shaomi. Salam kenal. Saya Thomas Utomo, penulis cerpen di atas. Terima kasih atas kesediaan Mas membaca cerpen saya. Alhamdulillah, kalau memang Mas menyukainya. Amiin atas doa Mas untuk pemuda di cerpen tersebut. Salam. 🙂
SukaSuka