Cerpen Mohamad Ridwan
Editor Ragil Koentjorodjati

Saat masih kecil aku tidak mengenal Indonesia. Dan setiap kali aku tanyakan tentang Indonesia tiada satu pun orang yang mengenalnya. Tapi pamanku bilang di Indonesia itu rumahnya tinggi-tinggi dan menggapai langit. Di sana jika berjalan tidak perlu mengandalkan kaki, orang-orangnya bisa berjalan sambil duduk dan bernyanyi. Masih menurut pamanku, di sana cuacanya sanget aneh. Meski di luar hawanya begitu panas tapi di dalam ruangan akan terasa dingin. Sementara untuk makan mereka tidak perlu menanam padi, atau tanaman lainnya untuk kemudian di jual. Mereka dapat uang dengan duduk menghadap kotak aneh dengan gambar bergerak-gerak.
Tapi menurut Samuel, Indonesia tidak seindah seperti yang dikatakan pamanku. Indonesia adalah tempat pembunuh. Mereka tidak berburu binatang seperti yang kami lakukan di desa pamilin di tengah belantara Kalimantan. Tapi mereka berburu manusia. Bukan saja menggunakan Mandau atau sumpit, mereka menggunakan benda aneh berbentuk kelamin laki-laki yang bisa mengeluarkan benda bulat yang terbuat dari timah tapi panas. Bahkan Samuel juga bercerita jika kakaknya dibunuh oleh orang Indonesia saat berada di sana.
Saat aku Sekolah Dasar ibu guru Maria menjelaskan bahwa Indonesia adalah Negara kaya yang luas dan memiliki beragam suku dan budaya. Mereka hidup rukun dan bergotong royong seperti kehidupan di kampung ini. Sebuah kampung yang di kepung belantara Kalimantan, tempat di mana aku bisa bermain dengan otan dan wao–wao, serta berburu burung tiung untuk aku latih bicara seperti manusia. Dan ibu Maria juga mengatakan bahwa kampung Pamilin adalah wilayah Indonesia. Tapi aku meragukannya, karena di sini aku tidak menemukan rumah yang tinggi mencakar langit seperti kata pamanku. Aku juga tidak pernah melihat manusia membunuh manusia seperti kata Samuel. Hanya saja ibu Maria menjelaskan jika di Indonesia juga ada gereja.
“Ibu Maria! indonesia itu apa?” tanyaku lugu pada saat itu.
”Indonesia itu adalah negara kita, tanah air kita, tempat kita dilahirkan.”
“Indonesia itu jauh ya Bu?”
“Indonesia ada di sini, ada di hati kita seperti tuhan Yesus berada di hati kita.”
Begitulah tanyaku terus menerus karena ingin tahu apa itu Indonesia. Namun semakin Ibu menjelaskan tentang Indonesia, semakin aku mengerti jika Indonesia itu jauh. Jauh berbeda dengan bayanganku, juga jauh berbeda dengan keadaan di sini.
Pada buku yang aku baca, di Indonesia anak sekolah pakai seragam merah putih sementara aku dan teman-temanku tidak. Di Indonesia ada lampu pijar yang bisa menyala siang dan malam sementara di sini tidak pernah ada lampu pijar kecuali saat aku menginap di rumah teman Ibu di Emplanjau sebuah kota kecil di Malaysia. Itupun karena kami kemalaman untuk pulang ke Pamilin setelah menjual beberapa karung gabah. Sementara di luar hujan sangat deras sehingga jalan menuju kampung tidak mungkin lagi untuk dilewati.
Setelah umurku lima belas tahun aku diajak teman ayahku untuk merantau di kota Kuching. Kota itu benar-benar menakjubkan. Rumah-rumah yang tinggi menggapai langit dan orang-orang masuk dalam sebuah peti yang mampu bergerak sendiri. Mirip seperti yang dikisahkan pamanku. Tapi aku hanya mengagguminya dan tidak berbicara apa-apa. Aku malu jika Kai Apu teman ayah dan anak-anaknya mengejekku sebagai orang kampungan. Apalagi setelah aku bertanya pada anak gadis Kai Apu yang bernama Margaret itu.
“Apakah tempat ini adalah indonesia seperti yang dikatakan pamanku?”
“Ha ha ha……………..,” seketika Margaret tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang dia pikirkan. Aku berprasangka ia menertawakan ketololanku.
“Mico, ini adalah kota Kuching di Malaysia. Sedangkan yang berasal dari Indonesia adalah kamu,” terangnya yang semakin membuatku tidak mengerti.
Akhirnya aku berlaku sewajarnya seperti yang dicontohkan oleh orang yang ada di sekitarku. Aku bekerja seperti mereka, mengangkat karung-karung kain dari atas truk ke dalam pasar. Kemudian ada orang yang memberiku upah. Aku panggil dia Cik Lan dan Koh Yap, mereka sangat baik dan mengizinkan aku tinggal di rumahnya. Mereka adalah majikanku yang umurnya dua kali umur ibuku dan memiliki anak seumuran kakakku. Aku panggil dia Nona Mey.
Setelah tinggal dua tahun bersama keluarga itu aku menjadi sangat akrab dengan Nona Mey. Diam-diam ia mengajari aku menyetir mobil dan mendaftarkanku ke sebuah sekolah berseragam. Sekolah itu adalah sekolah lanjutan khusus yang belajar pada malam hari. Karena umurku saat itu sudah tujuh belas tahun sementara Nona Mey tidak lagi mau aku panggil Nona. Ia minta dipanggil Mey saja.
Selama sekolah, aku bekerja di siang hari sebagai sopir keluarga Koh Yap. Tapi aku lebih sering menghantarkan Nona Mey yang semakin sibuk mengurusi bisnis plasmanya. Dan saat itu pula aku juga semakin tahu mengenai Indonesia. Indonesia adalah negara tetangga Malaysia. Mereka sering berkonflik. Orang Indonesia sering mengumbar ganyang Malaysia sebagai bentuk kekecewaan terhadap tentara Malaysia yang suka menangkap nelayan Indonesia di selat Melaka. Mereka benci perlakuan majikan asal malaysia yang menyiksa pembantu rumah tangga bahkan juga mereka sangat tidak suka pada klub sepak bola Malaysia yang mereka rasa curang dalam memenangkan pertandingan.
Meski kata orang kampung Pamilin adalah bagian dari Indonesia, tapi selalu saja aku menganggap kampung kelahiranku itu begitu jauh dari Indonesia. Orang kampung Pamilin memandang orang malaysia sebagai kawan sementara orang Indonesia sulit jangkauannya. Bahkan semua kebutuhan orang Pamilin dipenuhi dari Malaysia, apalagi tentara Diraja Malaysia tidak seseram seperti menurut orang Indonesia. Mereka justru sering membantu memperbaiki jalan menuju Pamilin, sementara tentara Indonesia tidak aku tahu apa pekerjaannya.
“Nona, saya hendak pulang sejenak,” aku mengutarakan pamitku pada Nona Mey untuk pulang ke kampung setelah mendapat sesuatu kabar.
”Pulang ke Indonesia?” tanya dia
“Bukan.., saya hendak pulang ke Pamilin,” jawabku ringan tapi Nona Mey justru tersenyum, bahkan menurutku dia menahan tawa. Kemudian ia mengangguk mengizinkan.
“Cepatlah kembali lagi, aku semakin sibuk hari-hari ini.”
“Baik Nona.”
Setelah dua hari perjalan darat aku tiba di Pamilin. Setelah dua tahun aku tinggal, keadaan tanah lahirku begitu porak poranda. Seolah terkena musibah atau bencana. Rumah-rumah sebagian hancur. Sementara belantara di sekeliling desa sudah hampir sirna karena telah terbakar dan hangus.
Tapi aku mencoba bersikap biasa saja, karena mungkin inilah yang di ceritakan Agustinus saat tiba di Kuching kemarin. Ia bercerita tentang musibah yang menimpa kampung dan memporakporandakannya. Kemudian aku ingat ibu dan ayahku yang tinggal di tabing tengah kampung di samping gereja. Dan di hari minggu seperti ini mereka pasti berada di gereja yang sedang ramai kebaktian. Maka aku langsung memutuskan menuju gereja.
Tapi belum sampai halaman gereja, aku dapati penduduk sudah bergerak beriringan meninggalkan gereja. Padahal ini masih pukul 09.00, biasanya kebaktian selesai pukul 11.00. Namun yang paling aneh di antara orang yang berjalan beriringan menuju pohon besar itu terdapat beberapa orang membawa Mandau dan kampak. Sedangkan Romo Yosep justru berada di barisan paling belakang. Maka aku segera mengikuti barisan itu dan menuju Samuel yang aku lihat berjalan di samping Romo.
Setelah bergabung di barisan, aku mencium tangan romo dan berjabat tangan dengan Samuel.
“Apa yang terjadi?” tanyaku pada Samuel.
“Penduduk hendak menumbangkan pohon malapetaka itu.”
“Pohon malapetaka?”
“Iya, pohon itu sumber malapetaka,” jawabnya.
Samuel juga bercerita jika mula dari malapetaka itu ada pada pohon itu. Karena pada suatu hari ada seseorang dari Indonesia datang di kampung. Ia membawa benda kotak kecil yang bisa menyala-nyala. Dengan kotak kecil yang disebutnya telepon seluler itu ia berbicara sendiri di bawah pohon. Dan katanya hanya di bawah pohon itu ia bisa berbicara dengan dunia luar yang ia sebut sebagai Jakarta, Surabaya dan Samarinda. Katanya ia akan mengundang teman-temannya ke sini pada suatu hari yang telah ditentukan.
Di hari yang telah ditetapkan itu penduduk desa mengadakan upacara penyambutan dengan tarian dan makanan yang jarang sekali mereka nikmati sendiri. Tapi ternyata sambutan itu tidak pernah memberi apa-apa. Dan kedatangan orang Indonesia itu juga tidak membawa berkah apa-apa, malah mereka membawa malapetaka bagi kami. Mereka meminta penduduk kampung meninggalkan Pamilin pada hari yang telah ditentukan. Tapi penduduk tidak bersedia diusir begitu saja dari tanah kelahirannya oleh orang yang bahkan belum pernah mengenal Pamilin sebelumnya.
Mengantisipasi tantangan pengusiran itu beberapa orang atas persetujuan pemimpin adat menggeser patok perbatasan antara Republik dan Kerajaan. Mereka menggeser patok lebih dekat dengan wilayah Republik sehingga wilayah kerajaan bertambah beberapa kilometer persegi. Itu dilakukan agar Republik tidak menghancurkan hutan itu juga, hutan tempat hidup beragam binatang dan tumbuhan. Maka binatang yang hidup di selatan kampung digiring menuju arah kerajaan daripada mereka kehilangan rumah dan mati sia-sia di hari yang telah ditentukan.
“Hari ini adalah hari yang ditentukan itu, para pemburu manusia akan mengusir dan membunuh kita,” ucap Samuel mengakhiri kisahnya.
“Tenanglah anakku, Tuhan tidak akan membiarkan ini terjadi,” tiba tiba Romo berbicara. Ia menyesalkan arogansi orang Indonesia yang sebelum meratakan kampung ini ternyata telah lebih dulu memusnahkan hutan dan membakarnya. Mereka akan membuka lahan untuk dijadikan kebun sawit dan kami adalah hama bagi perkebunan itu kelak jika tidak dibinasakan.
“Apa yang bisa kita lakukan?” tanyaku di saat pohon meranti itu mulai roboh. Rebahannya menimpa rerimbunan pohon yang lebih kecil dan menghancurkannya. Seiring ranting yang bercerai berai penduduk justru mengangis tersedu. Sementara gemuruh mulai terdengar dari balik rerimbunan hutan, suaranya mengaum-aum menyeramkan.
“Pergilah kembali ke Kuching, datangilah tempat yang disebut stasion telefision dan kabarkan cerita ini. Sementara kami akan tetap bertahan di sini mempertahankan tanah ulayat kami,” perintah Kai Albertinus pemimpin adat Pamilin.
“Segera pergi sebelum malapetaka besar itu benar-benar datang!” perintah Kai itu sekali lagi. Mendengar perintahnya aku segera berlari kepada ayah dan ibu. Aku memeluk mereka erat dan mengajaknya ikut pergi.
“Pergilah sendiri Nak, Ayah dan Ibu lebih baik mati mempertahankan tanah leluhur ini. Apalagi kami memang sudah pantas mati sebab usia sudah senja. Dan kau yang masih perkasa berjuanglah di luar. Masa depanmu masih cemerlang.”
Ujar ayahku meminta aku untuk tidak ikut bertahan di sini melainkan harus meninggalkan tempat ini sebagaimana pemuda seperti Agustinus, Yama serta remaja seumuranku lainnya.
“Pergilah anakku, kabarkan pada dunia tentang apa yang mereka sebut Indonesia.”
Maka sesegara mungkin aku berlari menjauh bersama Samuel. Kami berlari menuju gua walet di atas bukit yang dari sana kami bisa melihat Pamilin dengan jelas. Dengan jelas kami melihat truk besar, tank , dan mobil besar menerjang kampung serta merobohkan pohon-pohon dan rumah penduduk. Kemudian orang-orang berbadan tinggi dan berseragam loreng yang disebut Samuel sebagai pemburu manusia keluar dari dalam truk dan tank serta langsung memberondong seluruh penduduk kampung dengan senjatanya. Samar-samar aku dengar umpatan mereka.
“Dasar penghianat negara, penggeser patok perbatasan, menghina kedaulatan.”
Tapi seiring angin berhembus dan hujan turun berlahan kemudian melebat suara itu jadi menghilang. Begitupun gambarnya. Sementara Samuel masih saja bergumam,“ orang Indonesia, pembunuh sesama manusia.”
Melihat kondisi Samuel yang kurang stabil kejiwaannya karena kembali mengenang bagaimana kakaknya dibantai di kota Sampit beberapa tahun lalu, aku mengajaknya masuk ke dalam gua sarang wallet. Hawa dingin di luar segera menjadi hangat. Aku pun tidur pulas karena masih lelah melakukan perjalanan dari Kuching ke Pamilin. Namun begitu bangun aku sudah tidak melihat Samuel di sampingku seperti semula. Aku segera berlari keluar gua.
Di luar gua matahari telah mengintip di balik bukit karena ternyata pagi telah menjelang, kabut tipis pun mulai tersibak oleh hangat sinarnya. Begitu pun kabut yang menutupi pemandangan Pamilin dari atas bukit. Seiring kabut yang tersibak berlahan-lahan, tampak kampung itu telah menjadi merah. Sungai-sungainya pun ikut menjadi merah dan pohon juga memerah. Burung gagak mulai terbang mengitari kampung . Di salah satu sudutnya masih ada manusia berseragam loreng dan di bagian lain mesin pemotong telah menumbangkan beberapa pohon.
Tanpa pikir panjang, juga tanpa berpikir tentang Samuel aku segera berlari menuruni bukit sambil mengingat perintah pemimpin adat untuk kembali ke Kuching dan mengabarkan tragedi ini di stasiun telefision. Aku kembali menembus hutan namun tidak berani menengok kampung Pamilin yang telah menjadi kampung merah.
***
Seperti biasa, cuaca kota Kuching terasa begitu panas. Tapi rupanya tidak sepanas hatiku. Sudah beberapa media cetak dan telefision yang aku temui tapi mereka tidak bersedia menanggapi kabar yang aku ceritakan. Meski awalnya mereka sangat antusias dan saling memandang tapi begitu mereka menelpon seseorang pasti kemudian mereka menolak memberitakan ceritaku atas tragedi yang menimpa Pamilin dan penduduknya.
“Maaf Tuan, kami tidak bisa memberitakan kisah anda. Kami takut akan terjadi konflik komunal yang lebih besar di negeri anda seperti yang terjadi di Kota Sampit beberapa tahun lalu.”
Begitulah kira-kira jawaban mereka kepadaku sebelum kemudian kami berjabat tangan. Senyum mereka mengembang seperti bunga cubung yang membuatku makin pusing dengan tingkah mereka.
Ketika harapanku pupus dan pikiranku kacau karena putus asa, media terakhir yang aku kunjungi menyarankan aku agar melapor ke NGO Lingkungan hidup. Dan dari NGO itu, aku mendapat informasi bahwa media tidak bersedia memberitakan kisahku bukan karena takut konflik komunal yang akan terjadi. Karena mereka tidak berkepentingan terhadap konflik itu. Mereka takut memberitakan kisahku karena di balik perusakan hutan di Kalimantan pada umumnya dan pembantaian di kampungku pada khususnya ada perusahaan plasma kelapa sawit asal Malaysia. Dan biasanya perusahaan itu memiliki andil dalam hiruk pikuk media dalam negeri. Maka sangat wajar jika media takut memberitakan ceritaku karena akan sangat berpegaruh bagi kelangsungan hidup media mereka.
Tapi ada satu hal yang membuatku terkejut dan begitu kecewa bahkan tidak ada dalam bayanganku sebelumnya. Ternyata di balik pembantaian di Pamilin ada perusahaan kelapa sawit milik Nona Mey. Majikanku sendiri yang baik dan bersedia menyekolahkanku hingga setingkat SMA bahkan bersedia membiayai kuliahku .
Meski dengan kekacauan dan kegalauan yang berkecamuk di benaku. Tanpa media aku menulis kisah ini. Kisah tentang betapa jauhnya Indonesia.
*) Penulis adalah mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya.