Oleh John Kuan
Saya sudah jarang membaca puisi hingga gemetar, hingga hilang tumpuan, hingga mata berkaca-kaca. Ternyata setelah hidup hampir setengah abad dan 40 tahun membaca puisi, masih dikasih kemurahan dan kemewahan begini. Teman kirim saya sebuah buku kumpulan puisi Yu Xiuhua ( 余秀华 ).

Dia adalah seorang penyair yang menderita CP ( Cerebral Palsy ), seorang perempuan juga seorang petani. Yu Xiuhua lahir pada tahun 1976 di sebuah dusun di Hebei, karena lahir dalam posisi sungsang, kekurangan oksigen menyebabkan dia lumpuh otak, syaraf motorik terganggu. Setelah tamat Sekolah Menengah dia membantu di rumah, pada tahun 1998 mulai menulis puisi.
Sebagai seorang petani yang menderita CP, menulis baginya adalah sebuah cita-cita yang tak mungkin tercapai. Namun, dia mengeluarkan seluruh tenaga memaksa tangan kiri menekan pergelangan tangan kanan, menggores satu per satu kata yang bengkok dan berantakan. Dia memilih puisi yang paling hemat kata, mengabarkan kepada pembaca perjalanannya melawan nasib. Setiap orang yang menulis puisi dengan jiwa dan hidupnya adalah seorang pemberani. Mereka memperoleh sangat sedikit, mereka memberikan amat banyak. Mereka harus bertarung dengan kelumrahan, dengan budaya populer, dengan kehidupan, dengan harta dan kuasa, bahkan juga teman dan keluarga.
Dia mengambil puisi sebagai senjata, namun bukan buat membalas dendam, bukan buat menyakiti diri sendiri, tetapi ingin menunjukan bahwa dia bisa memandang enteng nasib dan kehidupan yang telah demikian keras terhadapnya, dengan puisi dia mengabarkan kepada pembaca, ketulusan tingkah lakunya yang tanpa basa-basi, keyakinannya terhadap hidup.
Dan apa itu puisi? Susah diberitakan, mungkin adalah sekelumit rasa yang berdenyut, atau sekelumit rasa yang mengendap. Namun ketika hati berseru, ia akan tiba dengan gaya seorang anak yang polos, dan ketika seseorang terhuyung-huyung melangkah di dunia yang terombang-ambing, ia akan tiba sebagai sebatang tongkat.
Mencintaimu
Begitu gagap hidup, setiap hari timba air, masak, makan obat tepat waktu
Saat matahari bagus taruh diri ke dalamnya, seperti sepotong kulit jeruk
Daun teh gonta-ganti minum: krisan, melati, mawar, lemon.
Perihal bagus begini seolah membawa aku ke arah jalan musim semi
Sebab itu aku berulang kali menahan salju di hati
Mereka terlalu bersih terlalu mendekati musim semiDi dalam pekarangan bersih membaca puisimu. Kisah asmara dunia
Sekejap bagai burung pipit tiba-tiba terbang melintas
Dan waktu begitu putih bersih. Aku tidak cocok sedih pedih
Andai kirim sebuah buku buatmu, aku tidak akan mengirim puisi
Aku akan beri kau sejilid tentang tumbuhan, tentang ladang
Beritahu kau perbedaan lalang dan gandumBeritahu kau musim semi sebatang lalang yang cemas
Porselin
Cacatku adalah dua ekor ikan terukir di atas vas porselin
Di dalam sungai sempit, saling lawan arahHitam dan putih dua ekor ikan
Tidak bisa gigit ekor sendiri, juga tidak bisa gigit ekor lawanHitam mau, putih juga mau
Aku hanya membisu, tidak ingin bertanya, tidak mau bertanyaMereka selalu di tengah malam berenang
lewat beberapa garis retak vas porselin
Terhadap benda-benda yang terlihat, memilih tutup mulut.Seandainya aku adalah normal, juga akan diukir di tempat sama
Agar orang tidak tahu bagaimana mengeluh.
Sepertinya sulit memisahkan Joko Pinurbo dengan puisi. Puisi itu Jokpin, dan Jokpin itu puisi. Jokpin sebagaimana dikatakan oleh Afrizal, ia lebih mendekatkan puisi dengan waktu. Waktu, momen dan peristiwa jadi bahan yang diendapkan untuk menjadi puisi. Bisa jadi ini mudah secara sepintas, tapi lihatlah bagaimana dia menuliskan dalam buku ini. “Segalanya menjadi mudah dengan mudah-mudahan” (2012), kalimat singkat itu seperti sederhana, tapi tak sesederhana untuk bisa kita ciptakan. Kemampuan Joko Pinurbo merawat kata dan mengeluarkan kembali dalam rupa kata yang lain, tampak menjadi kekuatan dalam puisinya.
Judul: Haduh, Aku di Follow
Bagi seorang pembaca awan, keindahan puisi adalah ketika ia langsung mengerti akan makna yang terkandung di dalamnya. Puisi menjadi sebuah karya yang tidak asing lagi dan mudah untuk kita jumpai. Namun, puisi kadang hanya berhenti sampai di lidah saja, manakala puisi ini menjelma menjadi kejenuhan. Akan tetapi lain bagi mereka yang memiliki jiwa seni, mereka akan memelototi puisi itu hingga menemukan arti dan makna yang sesungguhnya yang terkendung di dalamnya. Baginya satu puisi yang belum ia temukan maknanya sama saja menciptakan misteri dalam diri, yang pada akhirnya nanti hanya menjadi bayang-bayang ketidak pastian.
Sebait puisi sebagai awalan untuk kita mengenali pengarangnya. Arif Saifudin Yudistira dalam bait puisinya ini menyapa para pembaca dengan satu baris dari bait puisinya, yaitu Kisah yang tak pernah mati. Memperkenalkan diri sebagai seorang individu yang tak mengenal kematian. Menjadikan dirinya sebagai seorang yang memiliki paham eksistensialisme. Menjadikan dirinya sebagai seorang penyair yang mampu merekam setiap peristiwa yang dilihat, hingga kematian bosan menjemput kisahnya. Hingga sampai pada saatnya, kematian menjemput kisah itu, membuatnya tiada secara ragawi, namun aromanya masih tertinggal. Arif Saifudin Yudistira sebagai penulis buku ini juga tercatat sebagai seoarang aktivis yang juga aktif menulis di berbagai media. Membuat jiwa sosialnya benar-benar diasah dan diuji keloyalitasannya.
Judul buku: HUJAN DI TEPIAN TUBUH