Puisi John Kuan
☉ Setetes Air Hujan
setetes air hujan juga bisa nyanyi
bisa menari di atas jamur tumbuh
bunga mekar sebatang flamboyan
ekor anjing liar, ujung lancip bulan sabit
saat mereka berbaris ketuk sekali
tap dance, riang saat kau juga sudi
mengerutkan diri, membuka selaput
agar-agar waktu, ketuk tapak kaki
menari, bawa lapisan atsmosfer kalbu
pergi bersama, telah lama kau ingin
satu perjalanan tapi tidak terbentang
pada terang dan malam, bagai sepotong
agar-agar, kenyal melompat ke jauh
ke tempat setetes air hujan, begitu
leha-leha, bagai seorang gelandangan
membawa seluruh kisahnya, lupa
dirinya, pernah adalah setetes hujan
☉ Lewat Gubuk Rumput Du Fu
kau di dalam senja sebiji jeruk
mengapit tunas rumput, angin sepoi,
dataran luas, musim gugur segera
matang, umpama kuning kepodang
papan catur baru digambar isteri
Gubuk berjingkat, langkahi dangkal
dalam sealir sungai, dari sana waktu
pasang naik, lalu diam-diam surut
biji catur masih di tangan, sisi depan
kabut, sisi belakang sedikit debu
ikan juga arak juga, dari celah-celah
waktu disodor keluar, matahari terbenam
juga, saat begini tiada orang datang
tiada orang pergi, titian di bawah kaki awan
dijalan jadi selembar peta, tampak jauh
adalah papan catur, siapa masih di dalam
angin malam bermain, taruh dua biji
tiga biji bintang tidak kalah tidak menang
dari mana ada pasukan tentara musuh
pada hidup itu ( atau hidup ini )
kau angkat kepala adalah dataran luas
( atau pantulan dataran luas ), sejarah
juga bukan sejarah, kekacauan atau bukan
kekacauan sekejap itu, dalam hening kelam
malam kepak sayap terbang ke angkasa
☉ Mykonos Terapung
Salju yang siuman, jatuh di punggung
atap rumah musim panas, salah sangka
adalah mimpi lupa dibawa pergi rusa
waktu itu, orang-orang terapung di tengah
angkasa, dengan gaya punggung dan
kupu-kupu berenang, melampaui
hidup lalu yang diterjang ombak
juga hidup lalu yang lalu, dari jauh
terapung datang, di luar bingkai mimpi
kampung halaman entah siapa.
penjaja ikan keliling satu teriakan
sudah pecah berderai
☉ Seekor Rusa Hujan di Nara
Kau pelan-pelan mengunyah
Opium. Ranting zaitun.
Tiga puluh juta seketika
Hujan jatuh di telapak licin
tumbuh jadi sebatang
pohon di tengah mimpi gelap
disambung dengan benang
Esok. Tak terhitung jamur,
serangga juga burung dara
pasti akan terbang naik
putus-putus nyala-nyala
di dalam hujan
di dalam lidah api
Dan kau hanya mengunyah
dedaunan yang riang
menari sepenuh langit
jatuh ke bumi lapuk
bagai lautan termanis
tetesan air paling asin
kau hanya mengunyah
sebatang pohon hidup
dengan langkah tidak bisa
kuberi nama, berkedip mata
ah, perahu biji zaitun itu
menumpang onak mimpi
di saat warna langit
menginjak pingsan senja
luap keluar indah kilau cahaya
Artikel Terkait: